Sebuah mobil jeep dengan harga mahal masuk ke dalam kampus UTP, kampus tempat Vio menempuh pendidikan magister nya.
"Cie cie, tuh udah dijemput sama pacar lo tuh!" Celine menggoda Vio sambil menaik turunkan alisnya.
"Bacot lo!" omel Vio kepada sahabatnya sejak sekolah menengah pertama itu.
"Udah sana samperin, daripada mata-mata cewek cabe pada melototin teman rasa pacar lo itu!" usir Ara sambil mendorong tubuh Vio untuk menghampiri Dante yang sedang bersandar di badan mobil mengkilapnya itu.
Dengan menghembuskan nafas lelah, Vio akhirnya berjalan menghampiri Dante, sambil sesekali membalas sapaan teman-teman kampusnya.
Vio tahu bahwa banyak pria penghuni kampus ini yang tertarik dan suka kepadanya, tapi melihat saingan mereka adalah pria seperti Dante yang bukan saja keren tapi juga mapan secara financial, pasti membuat pria-pria yang masih menggantungkan hidup mereka sama orang tuanya itu memilih mundur dan hanya menjadi pengagum rahasia saja.
Mereka tak tahu saja, bahwa di antara Vio dan Dante tak pernah terucap kata cinta, sayang atau kata serupa itu yang menegaskan status mereka secara pasti.
"Mau langsung pulang atau makan siang dulu?" tanya Dante saat Vio berada di dekatnya dan tak lupa menggenggam tangan mungil itu.
"Terserah Abang aja," jawab Vio lalu masuk ke dalam mobil setelah Dante membukakan pintu untuknya.
"Makan siang dulu ya, aku belum maksi soalnya." Tanpa meminta persetujuan Vio, Dante menjalankan mobilnya menuju ke salah restoran western langganannya.
Mereka memasuki resto tersebut lalu memilih duduk di pojokan.
"Mau makan apa Vi?" tanya Dante sambil menyerahkan buku menu kepada Vio.
"Steak Salmon aja Mbak, minumnya es lemon tea," ucap Vio kepada Mbak pramusaji yang berdiri di sampingnya sambil memegang kertas kecil untuk mencatat pesanan mereka.
"Saya mau steak wagyu, medium rare, minumnya orange jus." Dante pun menyerahkan kembali buku menu itu kepada pramusaji.
"Saosnya mau yang apa Pak, sama kentang mau yang mashed potato atau kentang goreng?" tanya si Mbak sebelum berlalu dari hadapan mereka.
"Yang Salmon saosnya mushroom kentangnya mashed, yang wagyu saosnya sama mushroom, kentangnya digoreng," jawab Dante sopan.
Vio menghela nafas panjang mendengar betapa Dante tahu betul apa makanan kesukaannya, warna favoritnya bahkan brand favoritnya.
Tapi apa iya semua perhatian itu cukup saat status hubungan mereka abu-abu alias terjebak hubungan friendzone.
Jujur Vio sayang dan nyaman dengan Dante, tapi saat hubungan mereka hanya jalan ditempat dan tak ada kemajuan yang berarti, apa iya dia tetap bertahan.
Vio bukannya meminta untuk dinikahi, usianya juga baru menginjak dua puluh empat tahun, Vio hanya ingin kejelasan statusnya agar dia tak malu andai dia mengklaim Dante sebagai miliknya.
Kalau sekarang ia mengenalkan Dante sebagai pacar dan tahu-tahu pria itu hanya menganggapnya teman, apa Vio tidak malu nantinya.
Kalau kalian tanya apa Vio tak pernah memperjelas status hubungan mereka itu bagaimana? Jawabannya tentu saja Vio malu, takut dia dikira kecentilan nanti, alhasil Vio memutuskan untuk tetap menunggu sampai nanti waktu yang akan menjawabnya.
"Ayah sama Bunda gimana kabarnya Vi?" tanya Dante membuat Vio terbangun dari lamunannya.
"Baik Bang, Ayah seperti biasa sih, tambah sibuk malah, kan beberapa bulan yang lalu diangkat jadi presdir, kalo Bunda lagi seneng banget ngerawat anggrek," jawab Vio.
"Udah lama banget aku nggak mampir ke rumah ya, padahal aku ada oleh-oleh dari Jepang buat Ayah sama Bunda kamu, ," kata Dante lagi sambil terus membangun obrolan mereka.
"Santai aja Bang, namanya Abang juga lagi sibuk-sibuknya, paham banget kok gimana jadi pengusaha itu. Aku yang jadi event organizer kecil-kecilan juga sibuk kok, kudu kesana kemari sendiri, apalagi Abang yang terima tongkat estafet perusahaan dari Papa Abang, pasti banyak urusan dan sibuk banget," ucap Vio panjang lebar.
"Maaf ya Vi, aku jadi nggak banyak waktu buat kamu." Dante mengusap punggung tangan Vio dengan lembut, membuat Vio ketap-ketip dan bingung dengan sentuhan itu.
Tak lama seorang pramusaji datang membawa pesanan mereka. "Makasih Mas," Vio mengangguk sopan.
Pramusaji tersebut segera berlalu dari hadapan mereka, dan mereka pun menikmati makan siang mereka yang sebenarnya jamnya sudah telat itu.
"Gimana bisnis kamu Vi?" tanya Dante setelah menelan makanannya.
"Baik Bang, sekarang lagi ngerjain acara ulang tahun sepupunya Celine," jawab Vio.
"Good. Nggak usah capek-capek kerja sewajarnya aja," ucap Dante santai, tapi kalimat itu membuat mood Vio justru anjlok.
'Harusnya tuh ngomong, kan nanti ada aku yang akan memenuhi kebutuhanmu, jadi kan gue punya kepastian bahwa hubungan kita ini lebih dari teman Bang!'
Dan kalimat protes itu tentu saja hanya ada dalam hati Vio, karena pantang bagi Vio untuk mengungkapkan isi hatinya, kalo kata Bunda sih perempuan memang harus menunggu, tak elok rasanya harus mengejar laki-laki.
Dante melirik Vio, yang entah kenapa hari ini terlihat banyak bengong dan melamun, seperti ada yang sedang dipikirkan oleh gadis itu.
"Nanti malam aku terbang ke Vietnam, ada customer baru yang akan beli benang dari perusahaan aku, habis dari Vietnam aku usahain buat mampir ke rumah sekalian nganter oleh-oleh."
Vio hanya mengangguk mengiyakan, apalagi kan yang dilakukan seorang teman buat support teman yang lain.
Setelah makanan mereka habis, Dante mengantarkan Vio ke rumahnya tanpa berniat untuk turun dan menyapa Bunda nya Vio karena dia harus mengejar waktu.
"Thanks ya Bang." Vio melambai dan menunggu mobil Dante menghilang di tikungan depan sana.
"Baru pulang Kak?" sapa Bunda Rissa bundanya Vio.
"Iya Bun." Vio pun mencium punggung tangan Rissa dan hendak berlalu masuk ke dalam rumah.
"Lepasin meski berat Kak, jangan dipaksain daripada nanti kamu tambah sakit," ucap Rissa tiba-tiba.
Vio menggamit lengan bundanya dan mereka masuk ke dalam rumah mereka.
"Padahal aku tuh sayang banget sama dia Bun, dan aku tahu Bang Dante juga sayang sama aku," bisik Vio sambil merebahkan kepalanya di bahu sang Bunda.
"Tapi sayang aja nggak cukup Kak, kamu butuh kepastian agar kamu tahu harus melangkah kemana. Ini udah dua tahun dan rasanya Bunda sudah nggak bisa sabar lagi, Bunda takut suatu saat dia menikahi orang lain dan membuat hatimu patah karena nggak ada ketegasan dari kamu," ucap Rissa memberi nasihat.
"Iya Bun, Vio tahu kok Vio harus ngapain," ucap Vio akhirnya.
Ya Vio tahu pada akhirnya dialah yang akan dirugikan disini, setelah dia memberikan rasa itu kepada Dante sedangkan hubungan mereka hanya teman dengan rasa pacar.
Vio menatap layar ponselnya yang kembali menghitam, sambil mengomel pelan Vio bergegas kembali ke mobilnya yang terparkir di lantai lima mall ini.
Barang yang dicari belum semuanya ketemu, tapi Vio menyudahi acara belanjanya untuk keperluan salah satu kliennya itu, semata-mata karena permintaan Dante yang secara tiba-tiba meminta Vio untuk menjadi plus one nya di pernikahan salah satu temannya.
"Lho Kak, kok udah balik?" Bunda Rissa yang sedang mencoba resep masakan baru di dapurnya menoleh ketika melihat hentakan sepatu di lantai rumahnya.
"Dante minta ditemenin ke nikahan temennya Bun." Lalu Vio berlalu dari hadapan sang Bunda setelah sebelumnya mencium punggung tangan dan pipi bundanya itu.
Vio membuka ke dua pintu lemari pakaiannya dan memilih-milih gaun yang cocok untuk pesta nanti malam.
"Nggak niat banget sih ngajakin ke pesta dadakan gini!" Dengus Vio kesal, pasalnya Vio harus mengeluarkan baju pesta yang satu kemudian disusul baju yang lain hanya untuk mencari baju yang cocok untuk dipakai nanti malam.
"Bun... " Vio keluar dari kamarnya dan membawa beberapa baju pesta.
"Pulangnya jangan malem-malem lho Dek." Suara bunda Rissa terdengar dari teras belakang.
"Mau kemana lagi kamu Sa?" tanya Vio menginterupsi pembicaraan bundanya dan Asa adik lelaki Vio satu-satunya.
"Mau basket Kak," jawab Asa santai.
"Aku mau pergi lho dek, Ayah kan lagi keluar kota, temenin Bunda di rumah." Tugas memerintah dan memberi intruksi pada Asa itu adalah tugas Vio sebagai anak pertama. Bunda Rissa hanya mengulum senyum melihat tingkah Vio itu, sejak kecil Vio memang sudah menunjukkan dominasinya sebagai kakak perempuan sekaligus kakak pertama di rumah ini.
"Iya ih bawel banget deh!" sahut Asa kesal.
"Adek!" omel Vio dengan nada marah.
"Ngapain sih pada ribut! Bunda di rumah ditemenin Simbok sama pak Satpam Kak."
"Tapi tetep aja Vio nggak tenang Bun, nih bocah kalo main kan suka lupa waktu!" sahut Vio gemas.
"Asa janji nggak akan pulang malem Kak."
"Ya udah bener ya. Um Bun, tolong pilihin dress buat nanti malem dong." Vio menyerahkan beberapa baju pestanya untuk dipilihkan oleh bundanya.
"Mau kemana Kak?" tanya Rissa menerima baju Vio tersebut. Rissa, perempuan bersahaja yang jarang dandan dan lebih suka tampil sederhana itu, sebenarnya tak pandai memadu padankan baju, tapi entah kenapa Vio selalu melibatkannya untuk penampilannya.
"Aku diajak Dante ke pernikahan temannya," jawab Vio sambil memperhatikan Rissa yang tampak berfikir.
"Hijau sage ini bagus Kak. Ada sepatu dan tas yang senada kan?" Rissa kembali menyerahkan baju Vio itu ke pemiliknya.
"Ada. Kan waktu itu dibeliin sama Bunda." Vio berniat kembali ke kamarnya untuk beristirahat sejenak, tapi saat ia berpapasan dengan Asa, Vio kembali mengingatkan sang adik untuk pulang tepat waktu.
Malam harinya Vio telah bersiap, Dante sedang menunggunya di ruang tamu berhadapan dengan Bunda Rissa, meski terkesan ramah, tapi Vio tahu bundanya pasti lagi kesal sama Dante karena statusnya digantung sama pria tersebut.
"Bun... aku jalan dulu ya," pamit Vio.
"Pulangnya jangan malam-malam ya Kak, meski Ayah nggak ada, jam malam tetap berlaku. Tolong anter Vio paling lambat jam sepuluh malam ya Dan," ucap Rissa bergantian ke Vio lalu ke Dante.
"Pasti tante. Saya permisi dulu." Dante mencium punggung tangan Rissa disusul oleh Vio.
Dante menggandeng tangan Vio dan membantunya naik ke mobilnya.
Setelah mobil Dante meninggalkan rumah Vio, barulah Dante menanyakan perihal wajah Rissa yang terlihat tegang itu.
"Biasa Bang, kan Ayah sedang ke luar kota. Bunda kalo nggak ada Ayah memang gitu deh wajahnya, judes!" Vio tersenyum dan mencari jawaban aman, meski bukan itu alasan sebenarnya kenapa bundanya sekarang seperti tidak ramah sama Dante, apalagi alasannya kalau bukan karena Dante menggantung status Vio.
"Tapi muka bunda kamu kayak nggak welcome gitu deh Vi, aku merasa gimana gitu," sahui Dante sambil menatap Vio sekilas, karena Dante kan harus tetap fokus pada jalan di depannya.
Vio tersenyum mendengar kalimat Dante barusan, karena orang yang tidak mengenal Rissa selalu berkata bahwa Rissa itu galak, tapi sebenarnya Rissa itu hatinya lembut banget dan mudah mengasihi orang. Tapi kali ini tebakan Dante tepat karena Rissa tak suka sama sikap Dante itu.
Mobil masuk ke sebuah hotel berbintang di daerah Sudirman, tempat di mana acara pernikahan temannya Dante berlangsung.
Seperti saat berangkat, Dante pun membantu Vio turun. Dante menggenggam tangan Vio lembut dan mereka melangkah ke meja penerima tamu, Dante mengarahkan barcode undangan yang ada di ponselnya ke mesin scanner, lalu Dante dan Vio masuk ke dalam ruangan tersebut.
Vio tertegun saat melihat penampakan venue acara tersebut. Sebagai event organizer, Vio mengakui bahwa dekorasi tempat ini terbilang sangat indah dan spektakuler.
"Kita salaman ama pengantinnya dulu ya, baru setelah itu kita hunting makanan," ucap Dante memposisikan Vio di depannya.
Zevanya, pengantin perempuan yang juga teman dekatnya Dante itu menyambut Dante dengan sukacita, dia bahkan memeluk erat Dante.
Vio yang posisinya berjalan di depan Dante sempat menoleh saat menyadari Dante tak ada di belakangnya.
Vio terpaku, pasalnya Dante seperti melupakan keberadaannya dan berbincang akrab dengan kedua pengantin tersebut.
Merasa keberadaannya seperti daun kering yang terbang disapu angin, Vio memutuskan turun dari panggung dan melipir mencari jalan keluar di antara padatnya tamu undangan yang datang.
"Dante tambah keren aja ya. Pantes Zefanya kayak nggak bisa move on gitu dari Dante." Suara seorang perempuan yang tak dikenal oleh Vio tanpa sengaja mampir ke telinga Vio.
"Lo nggak tahu kalo Dante juga gamon sama Zefanya?" Suara perempuan lain yang ikut berghibah itu juga terdengar di telinga Vio.
"Lhah kalo gamon kenapa nggak dikawinin aja sih!" ucap yang lainnya lagi.
"Mereka beda keyakinan guys, salah satu nggak ada yang mau ngalah."
Dan Vio pun akhirnya paham kenapa sampai sekarang Dante tidak pernah menegaskan status hubungan mereka.
Vio mengangkat sedikit dress nya dan berjalan cepat keluar dari ballroom tersebut.
Sampai di depan pintu masuk ballroom itu, Vio yang berjalan cepat dan tak menoleh ke kanan ke kiri menabrak seseorang hingga tubuhnya nyaris terpelanting.
"Ma maaf, saya nggak sengaja!" ucap Vio sambil melepaskan diri dari pegangan tangan lelaki itu yang menahan tubuhnya hingga dia tak terjatuh.
Lelaki itu menatap Vio sambil tersenyum manis. "It's oke Mbak." jawab lelaki itu sopan.
Vio pun berlalu dari sana sambil mengusap matanya yang mulai berembun.
"Beneran mau nyusul Celine ke Bali?" Rama masuk ke kamar anak sulungnya yang pintunya terbuka lebar itu.
"Iya Yah, lumayan bisa refresing sekalian cari ide buat konsep EO aku." Vio melanjutkan menata baju-bajunya ke dalam dua koper kecil. Rencananya dia akan stay di Bali lumayan lama, meskipun di Bali bertebaran store yang menjual baju, tapi Vio memilih membawa baju yang ada di lemarinya.
Rama mengusap kepala Vio dengan sayang, tak perlu meminta penjelasan ke Vio langsung, karena Rissa sudah bercerita apa yang terjadi. Vio dan Rissa hubungannya sedekat itu, hampir tak ada rahasia di antara dua perempuan cantik itu.
"Kak.... " Giliran Rissa yang masuk ke dalam kamar Vio.
"Udah selesai packingnya?" tanya Rissa kemudian.
"Udah Bun."
"Jaga diri baik-baik ya Kak, Ayah sama Bunda percaya sama kamu, jangan salah gunakan kepercayaan itu ya." Rissa mengelus pundak Vio dengan sayang.
"Iya Bun. Lagian kan disana ada om sama tantenya Celine Bun, nggak mungkin kami bisa macem-macem juga."
Setelah menghabiskan waktu berbincang agak lama dengan kedua orang tuanya, Vio diantar kedua orang tuanya berangkat ke bandara.
Kuliah empat sks kembali Vio terima selama perjalanan ke bandara, dan Vio senang-senang saja mendengar petuah bijak itu, tak ada rasa jengkel apalagi sampai membalikkan kata-kata ke mereka.
Setelah mereka berpelukan, kini waktunya Vio untuk masuk ke dalam. bandara.
Mungkin karena melamun atau apa, Vio tanpa sadar menyenggol seseorang yang berjalan di depannya.
"Ma maaf Mas, saya nggak sengaja," ucap Vio sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"It's oke Mbak," sahut pria itu.
Vio mengangguk sekali lagi lalu pergi meninggalkan orang itu.
"Dua kali dia nabrak gue, sayang cakep-cakep tapi beg*!" ucap pria itu kepada punggung Vio yang menjauh.
Vio menunggu beberapa saat lamanya untuk masuk ke dalam pesawat, sebuah panggilan telepon kembali ia terima, dengan malas Vio memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Mungkin lebih dari dua belas kali panggilan telepon dan puluhan chat yang dikirim oleh Dante ke nomornya, satupun tak ada yang Vio balas.
Vio cukup tahu diri untuk tidak semakin menjerumuskan dirinya kedalam ketidakpastian hubungan yang mungkin akan membuatnya akan terluka nantinya.
Vio duduk dekat jendela di pesawat ini, sengaja memilih tempat itu agar tidak terganggu oleh penumpang lain yang duduk di sampingnya yang kemungkinan akan keluar masuk untuk pergi ke toilet.
Vio memasang seat belt lalu mulai memejamkan mata, seorang pria yang tanpa sengaja disenggol Vio sebanyak dua kali itu duduk di sampingnya.
Pria yang tak lain Amarta itu melirik Vio yang terlihat sudah memejamkan mata dan memasang bantal di lehernya.
Seorang pramugari berjalan hilir mudik untuk membantu penumpang yang memerlukan bantuannya, lalu sesaat kemudian pesawat itu pun mengangkasa di udara.
Sebentar-sebentar Amar melirik Vio yang terlelap di sampingnya itu dengan pandangan penuh ketertarikan.
Cantik dan menarik, meski di mata Amar perempuan yang duduk di sebelahnya itu seperti orang tulalit karena banyak melamun.
Tiba-tiba saja kepala Vio terkulai di pundak Amar, wangi parfum maskulin tercium di hidung Amar.
"Buset baru ngeh kalo badannya wangi banget deh, maskulin yang feminim gitu, hmm enak banget."
"Hai Capt," sapa seorang pramugari yang mengenal Amarta itu menyapa ramah.
"Hai Del," balas Amar sopan dan pelan, Amar hanya tak ingin menganggu Vio yang tampak begitu terlelap itu.
"Pacar?" goda Della menyerahkan kopi kepada Amar.
"Calon pacar," jawab Amar sambil terkekeh pelan.
"Oh... good luck Capt." Dan Della pun berlalu untuk menawarkan minuman dan makanan ke penumpang yang lain.
Sebuah guncangan kecil terasa, dengan reflek Vio menegakkan tubuhnya dan menyadari dia tadi bersandar di bahu Amar.
"Eh Mas... maaf saya tidur di pundak Mas ya." Dengan wajah bersemburat merah Vio menyembunyikan rasa malunya.
"It's oke Mbak," sahut Amar sopan.
Vio mengeryit kemudian mengingat sosok Amar yang ia tabrak tadi pagi saat ia memasuki bandara.
"Mas yang tadi saya tabrak kan?" tanya Vio.
"Iya... tadi pagi dan beberapa hari yang lalu saat menghadiri pesta pernikahan teman sekolah saya," jawab Amar santai.
Pernikahan... beberapa hari yang lalu.
Ingatan tentang malam itu kembali ke terlintas di benak Vio, rasa yang ingin ia buang saat ia meninggalkan Jakarta tadi siang membuat Vio kembali tertunduk.
Rasanya tuh... capek dan sakit hati banget, dua tahun waktunya terbuang percuma hanya untuk menunggu seorang pria selesai dengan masa lalunya.
Vio menghela nafas panjang lalu melemparkan pandangannya ke luar jendela, hanya ada awan putih dan sesekali awan mendung melintas di dekatnya.
Amar melirik Vio yang kembali terlihat sendu dan melamun lagi.
Oh melarikan diri ke Bali karena patah hati tho.
Begitu kira-kira yang Amar pikirkan tentang Vio, dan tak ingin mengganggu perempuan cantik yang sedang patah hati itu, Amar memutuskan untuk tidur mumpung perjalanannya bersisa setengah jalan.
Vio melirik pria di sebelah yang sedang memejamkan mata itu, rahang tegas dan wajahnya pun cukup ganteng, membuat pria yang duduk di sampingnya itu terlihat gentleman.
"Wajahku nggak ada yang salah btw," ucap Amar tiba-tiba.
Vio melengos, malu karena kepergok sedang memperhatikan Amarta.
"Kalo memang nggak pantas untuk dipertahankan lebih baik dilepaskan, memang menyakitkan tapi lebih baik daripada makan ati," ucap Amar pelan sambil kembali memejamkan matanya.
"Siapa yang patah hati sih?!" ketus Vio senewen.
"Aku nggak nuduh kamu patah hati btw," balas Amar kini membuka matanya dan menatap Vio.
Vio kembali melengos karena tahu apa yang diucapkan Amar benar adanya.
"Amarta." Amar mengulurkan tangannya mengajak Vio berkenalan.
Vio menatap tangan yang menggantung di depannya tanpa minat. Pantang baginya berkenalan dengan seorang pria di sebuah transportasi umum, pasti pria iseng yang memanfaatkan situasi dan kondisi.
Melihat Vio tak merespon tangannya, Amar kembali menarik tangannya dan kembali memejamkan matanya dengan perasaan dongkol tapi sekaligus kagum.
Tak banyak perempuan yang menolak diajak berkenalan oleh pria seganteng dirinya.
Dua puluh menit kemudian pesawat akhirnya mendarat, tanpa menoleh ke Vio, Amar langsung berdiri dan mengantri bersama penumpang lain yang juga hendak turun juga.
"See you next time Capt." sapa seorang pramugari menyapa Amar yang berjalan melewatinya.
Vio membelalakan matanya tak percaya. "Nggak mungkin kan dia pilot?" gumam Vio kepada dirinya sendiri.
Bahkan Vio benar-benar sadar siapa pria tadi saat seorang pramugari menggodanya dengan ramah.
"Take care ya Mbak, dapet salam dari Captain Amarta Yasa Mahendra."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!