"Dara, bukain pintunya. Kamu jangan coba kabur lagi ya, Dara! " Teriak Puspa sambil menggedor pintu rumah kontrakan.
"Ada apa buk, mau nagih uang kontrakan ya? " Ujar Gita yang mengintip dari depan rumahnya.
"Yang dipangil siapa, yang keluar siapa. Dara kemana sih? Dari kemarin didatangin kok gak ada"
"Kabur mungkin buk, kemarin saya lihat mereka pergi seharian. Itu motor nya ada di rumah berarti orang nya juga ada di dalam, coba diketuk lagi pintu nya"
Saat akan mengetuk pintu untuk kedua kalinya, Dara keluar dengan kaos oblong dan celana pendek.
"Nah ini dia anaknya keluar juga. Mana uang kontrakan bulan ini? Kenapa gak dianterin ke rumah? " Puspa menengadahkan tangannya pada Dara untuk meminta uang.
"Halah palingan gak ada uang tuh, kalau ada pasti udah dibayar dari kemarin" Gita menyambar ucapan yang seharusnya dijawab oleh Dara.
"Maaf buk, besok Dara antar ke rumah. Hari ini belum ambil uang jadi.. "
"Kenapa gak ngabarin? Saya jadi repot bolak balik kesini. Yasudah besok kamu antar ke rumah, jangan telat lagi! "
"Kenapa dibolehin buk? Nanti ngelunjak kalau dikasih hati, mending paksa aja buat bayar daripada rugi"
Puspa pergi tanpa menghiraukan ucapan Gita yang selalu julid kepada siapapun. Bahkan orang sebelum Dara yang mengontrak juga selalu mendapatkan ocehan nya.
Dara juga masuk ke dalam rumah karena memang biasanya jarang menanggapi Gita.
"Ada apa mbak, pagi pagi udah ribut" Tanya Fira yang sedang sarapan.
"Biasa dek, kalau telat bayar pasti gini"
"Mbak lupa ambil uang? "
"Bukan lupa dek tapi kemarin di ATM ngantri panjang, jadi males rasanya. Nanti aja setelah ngantar kamu sekolah pasti belum banyak orang di ATM"
Dara melanjutkan aktivitas nya membersihkan rumah sambil menunggu Fira menyelesaikan sarapan. Setelah selesai, langsung mengantarkan ke sekolah SMA lalu mengambil uang di ATM.
"Ehm, sombong banget mau ngambil duit sampai gak lihat kalau ada tetangga nya" Sapa Hesti yang melihat Dara tanpa menatap ke arah nya
"Oh iya pagi mbak, mau ambil uang juga? "
"Iya dong, kamu pikir saya mau markir disini! "
Dara mengelus dadanya pelan karena setiap hari harus bertemu dengan tetangga nya yang memiliki tingkah menyebalkan. Kalau bukan karena menamani Fira yang ingin sekolah di desa ini, maka sudah jauh jauh hari ia tidak mau tinggal disini. Ia menunggu giliran setelah Hesti masuk ke dalam ATM.
Hesti mengibas ngibaskan uang berjumlah 500rb dengan niat pamer kepada Dara. Seyuman nya remeh menatap orang orang disekeliling juga. Seolah dia yang memiliki paling banyak uang. Maklum lah karena hidup di desa terbilang cukup murah.
Dara hanya tersenyum geli melihat kenorakan yang dilakukan oleh Hesti. Padahal cuma uang 500rb yang sudah pasti kecil untuk nya. Ia memanfaatkan kesempatan ini untuk menagih hutang Hesti.
"Mbak Hesti gak lupa kan kalau punya hutang sama saya" Ujar Dara senyum.
"Kamu mau nagih hutang? Butuh banget ya sampai nagih nya disini? " Raut wajah Hesti mendadak berubah tidak senang.
"Butuh dong mbak, siapa sih yang gak butuh uang? "
"Em ka-kamu kan mau narik uang juga, sana buruan daripada nanti keduluan orang lain" Hesti mengalihkan pembicaraan agar tidak didesak untuk membayar hutang.
Dara mengiyakan dan langsung masuk ke dalam. Hesti masih menunggu nya diluar untuk melihat berapa banyak uang yang ditarik. Matanya melotot fokus ke arah dompet Dara saat dia keluar.
"Lihat apa sih mbak? Ada yang salah sama dompet saya? "
"Gak, kamu narik uang berapa? Kalau boleh sih saya mau minjam uang lagi" Senyum Hesti tidak tahu diri.
"Dikit mbak cuman 100rb" Dara berbohong daripada harus meminjamkan uang lagi kepada orang yang tidak mau membayar hutang.
"Owalah miskin, Uang segitu mending buat bayar parkir aja" Ledek Hesti meremehkan Dara.
"Bisa banget mbak buat bayar parkir setahun" Balas Dara santai karena tidak mau mengambil pusing ucapan Hesti.
"Yasudah sekalian bayarin parkir saya, makasih" Hesti pergi menjauh tanpa mendengar jawaban Dara.
Dara hanya bisa pasrah mendapatkan perlakuan dari tetangga nya yang menghina miskin tetapi bayar parkir saja tidak mampu. Sehingga dengan terpaksa, ia membayarkan Hesti karena kasihan dengan tukang parkir nya jika tidak dibayar. Setelah pulang dari ATM, ia mampir belanja di tukang sayur keliling yang kebetulan mangkal di depan kontrakan nya. Raut wajah malas ditunjukkan saat melihat Hesti yang sedang berbelanja juga.
"Ketemu lagi kita, boleh dong bayarin belanjaan saya. Soalnya lagi buru buru nih nanti saya ganti" Hesti pergi lagi tanpa rasa malu.
"Catat aja ya bang Dede, biar dia bayar sendiri" Ujar Dara kesal.
"Iya neng, mau belanja apa? "
"Pagi bang dede, boleh ngutang ya? " Ujar Gita yang baru keluar dari rumah nya.
"Haduh masak tiap hari ngutang sih, kapan mau bayarnya? " Dede menggaruk kepalanya geram namun tidak bisa melakukan apa apa selain mengiyakan.
"Nanti juga dibayar kalau suami saya pulang"
"Dari tahun ke tahun juga bilangnya gitu, tapi tuh hutang belum dilunasi juga"
"Nih bang, kembalian nya simpen aja buat belanja besok" Dara memotong pembicaraan Dede dan Gita untuk menyodorkan uang 100. Ia masuk ke dalam rumah dan menyimpan sayuran nya di dalam kulkas. Lalu keluar lagi untuk duduk didepan teras dengan membawa sebuah laptop.
Gita yang melihat Dara sibuk dengan laptop nya langsung datang menghampiri. Ia melototkan mata saat melihat merk laptop yang digunakan yaitu Apple.
"Banyak uang kamu Dar? "
Dara terkejut saat mendengar suara Gita yang tiba tiba ada orang di depan nya. Ia fokus melakukan pekerjaan hingga tidak menyadari keberadaan orang itu.
"Maaf ngagetin hehe, laptop kamu bagus. Pasti harga nya mahal ya? " Gita bersikap baik karena ada maunya.
Dara melihat ke arah laptop nya sejenak dan baru teringat jika laptop yang dipakai memang mahal.
"Gak mbak git, ini saya beli bekas. Murah kok cuman satu jutaan" Balas Dara berbohong.
"Wah enak banget ya bisa bergaya pakai uang satu juta. Saya nitip dong beliin laptop kaya gini juga" Gita menyampaikan keinginan nya.
"Buat apa mbak? " Dara bingung karena Gita tidak melakukan kegiatan apapun yang menggunakan laptop.
"Sama seperti kamu lah, duduk di depan rumah sambil pamer merk laptop" Gita meringis senyum membayangkan laptop mahal yang akan dipamerkan ke tetangga. Tangan nya bergerak seolah sedang memegang dan memainkan laptop.
"Maaf mbak, saya beli ini sama teman sendiri. Kalau mau ya harus beli yang harga normal nya. Saya masuk dulu mbak" Dara meninggalkan Gita yang masih berada di depan kontrakan.
Gita mengepalkan tangan karena permintaan nya tidak dituruti. Ia mencari cara untuk memberikan pelajaran kepada Dara.
"Awas aja kamu, berani main main sama saya" Gumam Gita.
Dara melanjutkan pekerjaan nya di ruang tamu dengan segelas susu dan sepiring camilan. Ketika sudah selesai, ia merasa ngantuk hingga memejamkan mata dan langsung tertidur pulas di sofa yang keras.
"Mbak, bangun mbak. Gak enak tidur disini nanti badan nya sakit semua" Ujar Fira menepuk pundak Dara. Ia baru pulang dari sekolah nya bersama dengan Tyas.
Dara membuka mata lalu duduk dengan kondisi masih mengantuk. Ia terdiam sejenak hingga tersadar kalau laptop nya tidak ada di meja. Padahal seingatnya belum sempat disimpan didalam kamar.
"Kamu nyimpen laptop Mbak? " Tanya Dara kepada Fira yang sedang ganti baju di kamar nya sendiri.
"Aku gak lihat laptop nya mbak Dara, emang disimpan dimana? " Fira berbalik tanya.
Dara masih bingung karena baru bangun tidur dan berusaha mencoba untuk mengingat dimana terakhir meletakkan laptop. Ia mencari di kamar namun tidak menemukan nya. Hingga satu kontrakan yang ukuran nya kecil itu sudah digeledah semua tetapi tetap tidak ada.
"Gimana nih dek, laptop nya pasti dicuri sama orang. Soalnya mbak ketiduran disini terus pintu nya juga sengaja dibuka tadi biar ada udara masuk" Ujar Dara panik.
"Lagian mbak harusnya tahu kalau tetangga kita itu orang nya aneh semua. Mereka suka menghina kita miskin tapi gak ngaca sama diri sendiri. Pasti laptop mbak dicuri sama salah satu diantara mereka" Celoteh Fira.
"Udah gak usah bahas soal mereka. Mbak mau laptop nya ketemu karena banyak kerjaan di dalam nya. Kalau gak ada yang penting juga mbak gak bakalan panik gini karena laptop itu bisa dibeli lagi tapi kalau data nya gak bisa. Kamu tahu kan? "
Fira mengangguk paham lalu menjelma menjadi detektif dadakan dengan mengintrogasi Dara agar mengetahui kronologi sebelum laptop nya hilang. Setelah dijelaskan secara detail, kecurigaan mengarah kepada Gita yang sempat menginginkan laptop itu. Mereka berdua tidak langsung menuduh tanpa ada bukti terlebih dahulu karena orang seperti nya pasti akan terus mengelak mencari alasan. Dara memutuskan untuk datang berkunjung ke rumah Gita.
Kebetulan pintu rumah Gita terbuka lebar dan orang nya sedang sibuk menatap layar laptop seolah mengerti cara memakai nya.
"Permisi mbak Gita, ehem punya laptop baru nih" Ujar Dara tersenyum penuh arti karena kebetulan alam membantu menemukan pelaku yang mengambil laptop milik nya.
"Iya dong, lihat nih laptop baru saya yang pasti nya lebih bagus dari kamu. Mahal loh ini bukan kaleng kaleng" Balas Gita menunjukan merk sambil tersenyum bangga.
Dara memperhatikan laptop itu dengan penuh kejelian. Memang sangat berbeda dengan laptop yang ia punya. Namun tetap saja mencurigakan karena tidak mungkin Gita membeli laptop semahal itu karena suami nya hanya bekerja serabutan.
"Beli dimana mbak Git? Saya jadi pengen beli juga" Ujar Dara berpura pura padahal tidak tertarik sedikit pun. Ia sengaja memancing Gita agar mau mengatakan nya dengan bersikap seolah sedang iri.
"Di seberang jalan sana, kamu tahu kan yang paling besar toko nya itu" Balas Gita tanpa tahu maksud dari pertanyaan Dara.
"Yaudah saya mau kesana sekarang. Makasih loh Mbak Git udah dikasih tahu" Dara langsung beranjak pergi dari rumah Gita.
Gita tersenyum puas karena mengira bisa memanas manasi Dara dengan laptop baru nya hingga dia merasa iri. Ia senang karena bisa mengerjai Dara yang menurut nya terlalu sombong padahal gak punya uang banyak.
"Kamu gak akan mampu beli" Batin Gita sambil melihat ke arah Dara yang menyiapkan motor untuk pergi.
Dara langsung melajukan motor nya ditemani oleh Fira. Ia harus segera menemukan laptop nya karena jika sampai tidak ditemukan, maka bisa berakibat fatal terhadap pekerjaan nya. Sesampainya di tempat tujuan, Dara langsung menanyakan soal Gita.
"Kemarin ada orang yang namanya Gita beli laptop disini gak pak? " Ujar Dara kepada seorang karyawan laki laki.
"Oh mbak Gita yang rumah nya diseberang sana? Kemarin sih jual laptop terus ditukar tambah sama laptop baru disini, tapi ngutang karena gak punya cukup uang" Balas karyawan toko secara blak blakan yang seharusnya menghargai privasi para customer.
"Saya boleh lihat laptop yang dijual sama mbak Gita? Kalau cocok mau saya beli"
Karyawan tersebut mengangguk lalu mengambil laptop yang ternyata benar milik Dara. Untung saja belum sempat terjual dan data data di dalam nya juga masih utuh karena baru berada di toko beberapa jam yang lalu jadi belum sempat diperiksa.
Dara mengatakan yang sebenarnya kepada karyawan itu tentang Gita yang mencuri laptop milik nya lalu dijual untuk membeli yang baru agar tidak terlihat mencuri. Namun perbuatan nya bisa terdeteksi dengan mudah.
"Saya mau ambil laptop ini karena didalam nya ada banyak data pekerjaan. Berhubung ini laptop hasil curian, jadi saya bisa ambil tanpa membayar kan? " Ujar Dara.
"Tetap harus dibayar sesuai dengan harga pasaran. Untuk masalah yang mbak alami, itu bukan tanggung jawab kami" Balas karyawan itu yang tidak ingin melepaskan laptop secara cuma cuma.
Dara mengeluarkan kartu debit nya untuk transaksi itu namun ditahan oleh Fira. Menurut nya, mereka harus memberikan balasan agar Gita tidak sembarangan mencuri barang milik orang lain terutama tetangga nya sendiri.
"Catat aja sebagai hutang nya mbak Gita pak" Ujar Fira memberikan ide.
"Gak bisa mbak, kami gak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan"
"Saya akan memberi jaminan berupa kartu nama, kalau mbak Gita protes dan gak mau bayar maka silahkan mengubungi saya" Balas Fira Cerdik. Ia memang lebih pintar kalau soal balas membalas daripada kakak nya Dara yang cenderung menerima perbuatan buruk dari orang lain.
Karyawan itu langsung mengangguk dan mencatat sejumlah uang di catatan hutang Gita.
Ketika mereka kembali ke rumah, Gita segera menghampiri karena dari tadi menunggu di depan.
"Coba lihat laptop nya, palingan gak jadi beli kan karena terlalu mahal untuk kamu? " Ujar Gita meremehkan.
Dara menyuruh Fira untuk segera masuk karena tidak suka jika dia harus ikut berurusan dengan tetangga rese nya.
"Nih mbak, bagus gak? " Dara mengeluarkan laptop dari wadah nya.
Mata Gita melotot tidak percaya dengan apa yang dilihat. Tangan nya menggenggam gemetar hingga tidak mampu menjawab pertanyaan Dara. Ia berpikir keras bagaimana bisa laptop itu kembali ke tangan nya.
"Kok diam mbak? Ada sesuatu yang janggal? " Dara tersenyum menatap Gita yang terlihat gugup.
"Ga-gak ada, saya pulang dulu" Balas Gita terbata bata. Ia langsung berlari masuk ke dalam rumah karena menyadari jika Dara sudah mengetahui nya. Rasa kesal menyelimuti, ia tidak menyangka kalau akan ketahuan secepat itu.
Dara membiarkan Gita untuk pergi daripada harus berdebat dengan nya. Lagipula orang itu sudah mati kutu karena ketahuan mencuri. Ia memutuskan untuk mengantarkan uang kontrakan ke rumah Puspa daripada nanti dia datang lagi dan membuat keributan.
"Nah gini dong, kalau sudah bayar, saya kan jadi segan dan gak marah marah sama kamu" Ujar Puspa tersenyum lebar sambil menghitung uang pecahan 100rb an.
"Sudah pas ya bu, total nya 500rb" Balas Dara yang terus memperhatikan Puspa membolak balikan lembaran merah tanpa berhenti.
"Oke, sana pulang. Jangan lupa bulan depan harus bayar tepat waktu!"
"Baik bu puspa, saya permisi" Dara beranjak pergi kembali ke rumah. Sebenarnya ia bisa saja membayar uang kontrakan selama tiga tahun ke depan. Namun tidak ingin dilakukan daripada membuat semua uang nya masuk ke kantong tetangga yang sudah pasti akan meminjam uang kalau tahu dirinya berduit.
Di tengah jalan, ia menemukan Hesti yang sedang mengorek ngorek tempat sampah. Rasa penasaran timbul hingga membuat nya memperhatikan tingkah Hesti. Ia memberanikan diri untuk bertanya daripada harus menunggu sampai selesai maka bisa terlalu lama.
"Cari apa mbak? " Ujar Dara melirik ke tempat sampah berukuran besar.
"Ehh, kamu Dara, ngagetin aja sih. Saya lagi cari uang" Balas Hesti menghentikan aktivitas nya mengorek sampah sejenak.
"Apa? Emangnya ada uang di tempat sampah? Wah kalau ada sih saya juga mau ikut nyari ya mbak" Dara meledek dengan tertawa kecil.
"Jangan sembarangan kalau ngomong, kamu kira saya ini pemulung yang cari uang di tempat sampah? " Hesti naik darah karena sikap Dara yang dianggap nya telah menghina.
"Pemulung aja cari barang bekas nya lalu baru dijual untuk dijadikan uang. Bukan mencari uang secara utuh, mau sampai tahun baru juga gak bakal nemu mbak"
"Bisa diam gak? Saya cari uang yang gak sengaja terbuang, kalau gak mau bantuin mendingan pergi aja" Hesti kembali melanjutkan mengorek sampah. Ia mencoba mengendalikan emosi nya agar tidak bertengkar dengan Dara karena mencari uang itu lebih penting untuk saat ini.
Dara pergi dengan senyuman kecut, melihat tingkah Hesti yang selalu aneh itu sudah menjadi makanan nya sehari hari.
Malam harinya. Hujan turun dengan deras, membasahi apapun yang terkena tetesan air nya. Dara dan Fira menikmati udara sejuk di ruang tamu yang sekaligus tempat menonton TV. Beruntung di kontrakan kecil itu tersedia TV tabung untuk hiburan sejenak melepas rasa lelah.
Fira menyinggung sedikit soal bisnis restoran Dara di desa itu. Ia penasaran dengan perkembangan bisnis nya karena tidak pernah datang melihat. Ketika sedang asyik mengobrol, mereka diganggu oleh suara ketukan pintu yang langsung dibuka oleh Dara.
"Mbak Hesti, bu puspa, kenapa hujan lebat begini malah datang ke kontrakan saya? " Ujar Dara terlihat bingung akan maksud dua orang itu.
Hesti dan Puspa langsung melenggang masuk tanpa menunggu diijinkan oleh Dara. Puspa memang selalu semena mena karena rumah itu milik nya. Padahal tidak seharusnya dia melakukan itu karena hak mengontrak ada pada Dara, jadi kalau mau berbuat apapun di rumah itu harus meminta izin kepada orang yang mengontrak.
"Buatin teh anget dong, dingin nih" Ujar Hesti yang sedikit menggigil.
Fira langsung berdiri ke dapur untuk membuatkan minuman. tidak berselang lama, ia kembali dengan sebuah nampan lalu menyuguhkan dua gelas teh.
"Jadi gini Dar, rumah yang sekarang Hesti tempatin itu sudah disita oleh pihak bank karena dia gak mampu bayar hutang. Nah karena sekarang Hesti gak punya tempat tinggal, dia minta saya untuk menampung nya di kontrakan milik saya" Puspa menjelaskan semua nya dengan detail.
"Kalian mampir kesini sambil nunggu hujan nya reda? " Balas Dara sepemahaman nya.
"Bukan mampir, tapi saya mau tinggal disini. Ini kan kontrakan nya bu Puspa" Sambung Hesti.
"Kalau mbak Hesti mau tinggal disini, terus saya gimana bu puspa? Emangnya gak ada kontrakan lain selain disini? " Dara mengira kalau diusir dari kontrakan.
"Kamu tetap disini tinggal bareng sama Hesti, untuk masalah uang kontrakan itu bisa dibagi dua. Saya ini baik loh karena membantu kamu yang kesulitan membayar uang meskipun cuman 500rb perbulan. Kalau soal kontrakan lain sih banyak tapi ada di desa lain. Hesti mau nya disini saja, jadi mau kamu terima ataupun tidak itu sudah menjadi keputusan dari saya, selaku pemilik kontrakan" Terang Puspa semena mena.
Hesti kegirangan mendengar pernyataan Puspa yang memaksa Dara untuk menerima nya tinggal bersama. Ia bisa numpang tinggal tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Dara terpaksa mengiyakan karena tidak ada pilihan lain. Lagipula hanya untuk sementara waktu jadi tidak ada masalah.
Puspa langsung pergi setelah selesai menjelaskan. Ia tidak mau terlalu berlama lama dengan orang yang terlihat miskin semua. Rasanya tidak level dengan status sosial nya yang tinggi dan dikenal paling kaya dalam satu desa.
"Kamu tolong kemasi barang barang karena sekarang kamar ini adalah milik ku" Ujar Hesti menunjuk kamar yang ditempati Dara.
Dara beranjak memindahkan semua barang barang nya dengan terpaksa harus tidur satu kamar dengan Fira. Padahal suasana yang diinginkan saat berada di kamar adalah suasana yang tenang dan sendirian.
"Sampai kapan racun itu ada disini mbak? " Tanya Fira yang duduk di tepi ranjang sedangkan Dara berdiri di dekat jendela kamar. Ia memang sering menyebut orang yang menyebalkan dengan sebutan racun
"Gak tahu dek, mungkin... "
"Dara!! " Teriak Hesti memotong pembicaraan mereka.
Dara langsung menghampiri Hesti yang berada di dapur. Ia melihat tatapan tajam dari mata Hesti dengan hembusan nafas berat.
"Kenapa mbak? Kalau mau manggil itu gak perlu teriak karena kontrakan ini kecil jadi suara lirih pun bisa kedengeran" Ujar Dara kesal dengan Hesti yang baru beberapa saat berada di rumah ini namun sudah membuat keributan.
"Kamu gak masak? Kenapa tudung saji nya kosong gak ada makanan? " Balas Hesti yang kelaparan karena dari tadi siang belum sempat makan.
"Oh cuman masalah makanan, kalau laper ya usaha dong mbak. Kita emang tinggal satu kontrakan tapi kebutuhan nya cari sendiri sendiri" Ujar Dara memberitahu Hesti agar tidak membebani kebutuhan pribadi pada dirinya.
"Kamu jangan pelit sama tetangga, lagipula kita ini sudah seperti keluarga. Mending kamu masak buat saya, kamu tega ngelihat saya kelaparan? "
Dara menuruti perkataan Hesti karena rasa iba. Ia tidak mempermasalahkan jika harus memasakkan nya dengan bahan makanan yang dimiliki. Mengingat orang itu baru saja datang dan belum bisa belanja sendiri.
"Ngapain sih mbak harus masak buat dia? Harusnya kan kalau mau makan ya beli sendiri bukan malah minta sama kita" Ujar Fira tidak terima.
"Kamu jangan kurang ajar ya, masih kecil gak usah ikut campur" Balas Hesti sengit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!