...Girls X Machine...
Novel ini menampilkan gadis-gadis dengan hati sekeras ksatria dan harga diri setinggi ratu.
Selamat membaca...
Pada tahun 1927, abad ke-19, terjadi sebuah tragedi bernama Orbit Runtuh dengan kode Mainus-001. Pasukan Kerajaan Arnoida melakukan perang besar terhadap Kerajaan Gargantia. Untuk mencegah pengkhianatan di ibukota, diperlukan pasukan khusus.
Tidak hanya menghadapi pengkhianatan terhadap kerajaan, mereka juga merencanakan penculikan putra mahkota. Pasukan khusus ditugaskan untuk membebaskan putra kerajaan dari ancaman pasukan Arnoida. Dua agen terbaik dikirim untuk mengumpulkan informasi mengenai rencana busuk Arnoida. Akhirnya, rencana mereka bocor ke telinga departemen Gargantia dan pasukan Arnoida gagal menjalankan misinya di tengah peperangan, meski Gargantia harus merelakan salah satu pengemudi katafrakt terbaik pada masanya.
Katafrakt adalah mesin tempur yang diciptakan oleh banyak negara maju. Katafrakt dibuat untuk melindungi umat manusia dan dianggap sebagai puncak teknologi. Namun, manusia tidak bisa mengendalikan keseimbangan dunia. Dengan menggunakan kekuatan Katafrakt, mereka berusaha merebut dan menguasai dunia, sehingga menimbulkan kekacauan yang dinamakan perang Katafrakt.
Indonesia, Jakarta, pukul 01:30 Malam.
Rika Uenohara adalah seorang perempuan yang tinggal di pinggiran kota Jakarta bersama keluarganya setelah lulus dari SMA Dirgantara Kemayoran. Keluarga Rika memiliki darah campuran Indonesia dan Jepang, memberikan Rika paras wajah yang imut dengan kulit putih bersih, rambut cokelat lurus, dan mata cokelat halus.
Meskipun masih muda dan memiliki tubuh ideal, kehidupannya berubah tragis setelah lulus sekolah. Wajah Rika seindah senja dan kepintarannya luar biasa, namun dia merasakan penyesalan yang dalam. Rika adalah gadis biasa dengan takdir yang suram.
"Aku berharap semuanya menghilang saat aku sendiri. Aku berharap diriku sendiri juga ikut menghilang. Rasanya sangat menyakitkan seperti orang asing di dunia ini..." pikirnya.
Hidupnya adalah kekejaman yang mencengkram siapa pun, termasuk dirinya yang telah lama menderita secara fisik dan mental. Selain memiliki fisik yang sangat lemah, dia juga kehilangan harapan masa depannya. Tidak memiliki tujuan itu berat...
"Seandainya, aku seperti orang lain mungkin aku bisa melakukan banyak hal."
"Aku tidak bisa meraih apapun, hidupku terasa dibelenggu oleh ketakutan, tanpa ada bisikan tulus."
Selama ini tidak ada yang menyadari beban yang dipikul oleh Rika, sampai akhirnya dia mulai menyerah. Hatinya sudah rusak karena mentalnya lemah, tanpa teman di sisinya.
Kehidupan apa yang dicari jika perasaan ini begitu menyakitkan... Aku sudah tak bisa melakukan apapun, aku tak bisa mengharapkan apapun...
Kematian, ya, benar, kematian adalah sesuatu yang banyak dihindari oleh orang. Tapi... aku menginginkannya...
...Aku pernah memikirkan tentang diriku, apakah di dunia lain ada sosok diriku yang bisa melakukan banyak hal. Sepertinya tidak mungkin. Itu hanyalah khayalanku saja.
Namun setidaknya, aku ingin melihat diriku yang lemah ini terlihat berguna. Aku sudah tidak peduli dengan kehidupanku sekarang, dunia benar-benar melupakanku.
Dia meninggalkan semua kenangannya, hanya bisa menangis di kegelapan kamarnya yang sepi, sunyi, dan hampa. Tanpa memiliki apapun, benar-benar tak memiliki siapapun.
Teman? Sahabat? Atau orang lain? Tidak ada yang mampu melihat Rika sekarang.
Dari luar rumah terdengar suara jangkrik yang memaksa masuk melewati jendela, seolah menemani malam Rika. Di balik guling yang menutupi wajahnya, Rika terlihat sedang menangis, meneteskan air mata perlahan sampai dagunya, mengalir tenang seolah menumpahkan kesedihan.
Bagaimana perasaanmu ketika tidak memiliki apapun, tak berdaya, tanpa seseorang yang melihatmu? Bukankah itu sangat menyakitkan?
Moo... Biarlah, inilah duniaku. Aku benar-benar sudah menyerah, untuk diri ini yang selalu bertahan. Aku merasa kasihan dengan diriku sendiri. Karena hanya aku yang bisa melihat penderitaanku, hanya aku yang bisa mendampingi diriku.
Aku... hanya ingin bahagia, tapi sungguh sulit sekali.
Rika duduk di sudut kamarnya yang sepi, memandang keluar jendela yang sudah lama tidak dibuka. Langit malam menyembunyikan bintang-bintang, mencerminkan hatinya yang penuh kesedihan dan ketakutan. Bertahun-tahun Rika tidak bisa bekerja, tubuhnya melemah karena penyakit jantung kronis dan tumor otak yang perlahan merenggut vitalitasnya. Setiap hari adalah perjuangan, namun penderitaannya ia rahasiakan dari orang tuanya yang sudah renta.
Dulu, Rika adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Senyumnya mampu menerangi suasana hati siapa saja yang melihatnya. Namun, kini senyum itu menghilang, digantikan oleh tangisan setiap malam. Dia meratapi nasibnya yang hampa, terjebak dalam tubuh yang semakin lemah dan pikiran yang penuh kekhawatiran. Tidak ada lagi keceriaan dalam hidupnya, hanya keputusasaan yang terus menghantui.
Setiap kali melihat foto-foto temannya di media sosial, Rika merasakan luka yang semakin dalam. Teman-temannya telah meraih banyak kesuksesan, dengan pekerjaan yang mapan dan kehidupan yang tampak bahagia. Mereka bisa menikmati hasil jerih payah mereka, sementara Rika hanya bisa berdiam diri di rumah, merasakan kepedihan di balik senyumnya yang dipaksakan. Dunia terasa tidak adil baginya.
Orang tua Rika mengira anak perempuan mereka baik-baik saja. Rika selalu menutupi sakitnya dengan kata-kata manis dan senyum palsu setiap kali berbicara dengan mereka. Ia tidak ingin membebani mereka dengan kekhawatiran yang tidak perlu. Namun, setiap kata yang terucap terasa seperti belati yang menusuk hatinya sendiri. Betapa beratnya menanggung semua ini sendirian, tanpa ada yang bisa diajak berbagi.
Suatu malam, ketika rasa sakit itu menjadi tak tertahankan, Rika kembali menangis di tengah sunyi. Hatinya memohon keajaiban, berharap ada secercah harapan yang bisa membawanya keluar dari kegelapan ini. Namun, di dalam dirinya, dia tahu bahwa waktu yang tersisa mungkin tidak banyak. Meski demikian, Rika berusaha kuat, untuk dirinya dan untuk orang tuanya yang sangat ia cintai.
Kehidupan Rika adalah perjuangan yang tidak terlihat oleh banyak orang. Dia adalah pahlawan dalam diam, melawan rasa sakit dan ketidakadilan dengan keberanian yang luar biasa. Meski senyumnya telah memudar, semangatnya untuk terus bertahan adalah bukti bahwa di dalam diri setiap manusia, ada kekuatan yang tak terbatas. Dalam keheningan malam, Rika berjanji pada dirinya sendiri untuk terus bertahan, berharap suatu hari nanti, penderitaannya menghilang. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang diluar akal.
Malam itu... Adalah awal dari perubahan... Karena, Pada malam itu. Suatu Doa mengabulkan harapan perempuan itu.
Angin tenang masuk melalui jendela kamar Rika yang suram. Dia sedang tertidur, meratapi kesendiriannya. Gorden putih berayun-ayun terkena angin malam, membawa masuk cahaya rembulan yang memantul ke sosok hitam yang muncul secara misterius. Bayangan itu tampak ingin meraih Rika dengan tangannya. Sosok itu menyerupai perempuan dengan rambut cokelat panjang, mengenakan pakaian sekolah. Jemarinya menyentuh pundak Rika, menyebabkan sesuatu yang aneh terjadi pada Rika.
Sekilas kejadian aneh memasuki ingatan Rika. Dia terbangun dalam keadaan tertegun dan sedikit terengah-engah. Dengan tubuh yang gemetar, dia melamun, "Apa yang terjadi barusan?" ucapnya dalam hati.
Pemandangan luar biasa dari kota Gargantia Eureka muncul dalam ingatannya. Kota Mecha itu tampak sangat nyata. Rika kembali sadar ketika mendengar seseorang berteriak memanggilnya. Teriakan itu hanya didengarnya.
...Rika, bukalah kedua matamu......
...Rika......
...Rika......
Setelah ingatan itu memasuki otaknya, Rika kebingungan. Dia melihat ke atas dan menyadari atap kamarnya yang gelap. Dia duduk di samping kasurnya, paras wajahnya penuh air mata. Dia mendengar suara seseorang berbicara kepadanya, namun dia belum pernah mendengar suara itu sebelumnya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya pada dirinya sendiri. Lengan kanannya meraih dahinya yang terasa sedikit panas. "Sepertinya aku hanya demam."
Rika melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 01:34 malam. Dia menghembuskan napas dalam-dalam. Keberuntungan menjauh darinya, dan dia tidak bisa membangunkan kedua orang tuanya yang tengah tertidur.
"Aku tidak bisa membangunkan mereka," pikirnya.
Meskipun demam semakin menjadi-jadi, dia berusaha memaksakan dirinya untuk kembali ke tempat tidurnya. Tubuhnya mulai terasa panas dingin, dan seluruh tubuhnya gemetar tak karuan. Firasat buruk menyelimuti perasaannya, membuatnya semakin khawatir. Rika tidak ingin merepotkan orang lain, terutama kedua orang tuanya yang sudah renta.
Dengan kondisi seperti itu, dia kembali ke tempat tidurnya, berusaha melupakan hal-hal aneh yang baru saja terjadi. Perlahan, Rika menutup kelopak matanya yang indah dan berdoa dalam hati, "Semoga aku baik-baik saja."
Namun, kondisi tubuhnya semakin parah. Samar-samar, terdengar suara memanggilnya. Suara yang sebelumnya dia dengar, tapi kali ini terdengar lebih nyata.
"Rikaaa... Rikaaaa!!"
Tiba-tiba, suaranya berubah menjadi teriakan yang lebih familiar, suara orang tuanya. Rika membuka matanya dengan susah payah. Dia kebingungan melihat atap yang asing.
"Aku... berada di mana?"
Cahaya terang menyilaukannya. Dia melihat beberapa orang berpakaian putih dan berkacamata di sekelilingnya, tampak panik. Rika merasa tubuhnya sangat berat dan tidak bisa bergerak.
"Apa yang terjadi dengan diriku? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tubuhku terasa sangat berat?"
"Pak dokter, apakah anakku akan baik-baik saja?! Apakah anakku bisa selamat?!" Suara ayahnya terdengar penuh kecemasan.
"Semuanya akan terkendali, dan semua tim medis sedang berusaha menyelamatkan Rika!" jawab seorang dokter.
Rika berusaha menggerakkan bibirnya, tapi tidak bisa. Pandangannya semakin berat dan dia perlahan kehilangan kesadarannya. Terakhir kali, dia melihat kedua orang tuanya yang histeris memanggil namanya.
"Aku benar-benar sangat menyedihkan..."
Dokter-dokter berusaha menyelamatkan Rika yang kondisinya semakin memburuk. "Tidak ada cara lain!" kata seorang dokter, mengambil alat pacu jantung.
Monitor detak jantung menunjukkan garis lurus, menandakan berakhirnya penderitaan Rika.
"Apakah hidupku akan berakhir? Apakah... aku akan mati? Aku... sangat kesepian. Aku benar-benar ingin ditemani seseorang... Aku ingin dibutuhkan..."
"Semuanya akan berakhir... Diriku yang tidak bisa apa-apa, diriku yang lemah ini, diriku yang kecil ini, diriku yang tak berharga ini, diriku yang kesepian ini..."
"Ayah... Ibu... Maafkan Rika."
Rika mengeluarkan tetesan air mata sebelum akhirnya menutup matanya untuk selamanya.
"Rikaaaaa... Rikaaaaaa!!"
...- Novel Orisinil By Setsuna -...
NOVEL INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK NOVELTOON. SEMOGA KALIAN SEMUA SUKA.
Rika terbangun dalam mimpi yang terasa begitu nyata, di tengah medan pertempuran yang suram dan penuh bahaya.
Di sekelilingnya, langit gelap dipenuhi awan hitam tebal yang berputar-putar, memancarkan kilatan petir yang menakutkan. Suara gemuruh perang terdengar jelas, memekakkan telinga, dan tanah di bawahnya bergetar seakan merasakan setiap ledakan.
Rika melihat dirinya berada dalam kokpit sebuah katafrakt, mesin perang besar yang kokoh dan mengerikan. Dia mengendalikan tuas dan tombol dengan tangan yang gemetar, menyadari bahwa di sekitarnya, berbagai katafrakt besar lain sedang mengepungnya. Katafrakt-katafrakt ini berkilauan di bawah kilatan petir, dengan baju baja mereka yang kokoh dan persenjataan berat yang mengancam.
Bangunan di sekitarnya terlihat rusak parah, dengan reruntuhan yang berserakan di mana-mana. Api berkobar di beberapa tempat, menghanguskan sisa-sisa struktur yang dulu berdiri megah.
Udara dipenuhi debu dan asap tebal, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat.
Tiba-tiba, sebuah ledakan besar terpicu di dekat Rika. Suara ledakan itu begitu keras, mengguncang tubuh dan katafraktnya. Api dan serpihan logam beterbangan ke segala arah, dan Rika merasa tekanan yang luar biasa menghantam tubuhnya. Dia melihat tangannya berlumuran darah, dan rasa sakit yang tajam mulai menjalari tubuhnya.
Dalam pandangan yang semakin buram, Rika melihat dirinya sendiri tergeletak di tanah, bersimbah darah dan tak sadarkan diri. Kesadaran perlahan-lahan meninggalkannya, sementara suara-suara pertempuran semakin menjauh, tenggelam dalam kegelapan yang datang menghampiri.
"RIKA!"
Teriakan seseorang menyadarkan Rika. Perlahan, dia membuka kelopak matanya yang lemah, memperlihatkan bola mata berwarna cokelat yang indah. Dia mendapati dirinya terbaring di sebuah ranjang rumah sakit.
"Apa yang terjadi!"
Dalam lamunan sadar, Rika meraih keningnya, kebingungan dengan apa yang terjadi padanya. "Apa yang terjadi dengan diriku?" gumamnya, menoleh ke sekeliling. Wajahnya meneteskan air mata yang mengalir.
Nampak sesuatu sangat berbeda yang dirasakan oleh Rika. Perlahan-lahan, matanya menyapu seluruh ruangan, melihat berbagai peralatan kesehatan rumah sakit pada umumnya. "Hah... Rumah sakit?" pikirnya. Tapi ada sesuatu yang tidak biasa.
"Sepertinya bukan,"
Rika mulai banyak berpikir, mencoba memahami lingkungan dan kondisinya. Jemari rampingnya menyentuh dagu, seolah sedang memikirkan sesuatu. "Aneh sekali, terakhir kali aku berada di rumah sakit, dikelilingi oleh beberapa dokter dan..." Ingatannya kembali pada kedua orang tuanya.
"Mendengar kedua orang tuaku menangis memanggilku..." Kesedihan yang mendalam terpancar di wajahnya.
Dari luar, burung kenari hinggap di cabang pohon besar, berkicau riang. Cahaya matahari siang menembus pepohonan, menciptakan bayang-bayang yang menyatu dengan tembok. Angin yang tenang menambah suasana damai.
Rika berusaha bangun, menapakkan kakinya di lantai yang sangat bersih. "Eh... kenapa tubuhku terasa sangat ringan?" Rasanya ada perubahan pada tubuhnya.
Rika perlahan berjalan mendekati jendela berbentuk kotak yang menjulang, dengan kaca bening yang bersih. Jendela itu dihiasi gorden putih yang terlipat rapi, menampilkan pemandangan luar yang memukau.
Angin tenang menerpa wajah Rika, menghilangkan sedikit kesedihannya. Di luar, gedung-gedung besar menjulang tinggi mengelilingi kamar, membuat Rika terpesona. "Lagipula, di mana aku sekarang?" pikirnya.
"Seharusnya, terakhir kali..." Sesaat dia terdiam. "Aku... seharusnya aku sudah mati?"
Benar, seharusnya dia sudah mati. Tapi kenapa dia masih hidup?
Ingatan yang sulit muncul di benaknya. Dia berusaha menerima kenyataan tersebut. Mendadak Rika kehilangan keseimbangan, meraih nakas untuk menopang dirinya. Tangan yang lain menyentuh dahinya. Rika benar-benar tidak mengerti kondisinya sekarang. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia hidup.
Pelan-pelan, Rika berjalan mengenakan pakaian pasien, mendekati pintu untuk keluar dari kamar. "Sepertinya aku harus mencari petunjuk." Dia termenung sejenak, menatap gagang pintu. "Ah... jangan-jangan aku bereinkarnasi?!" Rika melihat tangannya yang memegang gagang pintu, kemudian Rika melewati pintu itu lalu menoleh ke kanan dan kiri. Sejauh mata memandang, hanya terdapat koridor.
Dengan memutar gagang pintu, dia menguncinya. "Benar, untuk sekarang ini aku ingin mencari sebuah petunjuk," ucapnya sambil menutup pintu.
Rika berjalan ke arah kanan, berbicara sendiri, "Apakah aku akan baik-baik saja?" Dia terlihat gelisah, melangkah lambat melewati lorong yang menunjukkan bahwa dia berada di sebuah akademi besar. Wajahnya meliuk ke sana-sini.
Dia melihat banyak pintu ruangan di sepanjang koridor. Temboknya bersih dan dekorasinya enak dipandang, layaknya akademi elit. "Firasatku benar, ini adalah sebuah sekolah!" Akhirnya Rika menemukan pintu utama.
"Sepertinya itu pintu utamanya. Bagaimanapun, aku harus keluar dari sini untuk mencari seseorang yang bisa membantuku," pikirnya. Namun, dia mengerutkan dahi. "Apakah aku bisa mempercayai seseorang dengan mudah?"
Tiba-tiba, terdengar seseorang memanggil namanya dari arah belakang.
"Rikaaa... Rikaaaaa... Hei, apakah kau mendengarku... Rikaaaa... Rikaaaaa..."
Suara itu terdengar familiar, seolah dia pernah mendengarnya di suatu tempat. Rika menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang perempuan seusianya berlari menghampirinya dengan melambaikan tangan dan tergesa-gesa.
Perempuan itu memakai seragam akademi yang mirip dengan sekolah Jepang pada umumnya, dengan kerah lebar dan simpul pita. Roknya sebatas paha. Wajahnya cantik dan rambutnya berwarna kuning layaknya keturunan Barat, dengan pupil mata yang indah. Dia sedikit lebih pendek dari Rika.
"Siapa dia?" pikir Rika bingung.
Perempuan ceria itu mendekati Rika. "Rikaaa!!" Setelah sampai, dia nampak terengah-engah. "Bagaimana bisa?!" Dia berbicara dengan nafas terpotong-potong.
Rika mendengarnya bingung. "Eh, kamu... siapa?"
Perempuan itu terkejut. "Haaah?! Apakah kamu melupakan sahabatmu ini?! Aku Fuka!! Fukari Gehenna!!" Dia nampak kesal karena pertanyaan Rika aneh. "Sudah beberapa tahun yang lalu aku memperkenalkan diriku, apakah kamu lupa?" Fuka sedikit cemberut. "Hemph!"
"Rika, walaupun kita selalu bersama, tapi kamu harus mengingat wajah temanmu!"
"Fuka?" pikir Rika bingung.
Walaupun begitu, Fukari melihat Rika dengan rasa kangen dan bersyukur. "Rikaaa... aku khawatir sekali tau! Akhirnya kamu sudah sadar!"
Perlahan, Rika mulai merasa mual seolah ingin muntah. Hal itu membuat Fukari khawatir. "Sepertinya ini bukan duniaku. Aku seharusnya sudah mati. Lalu apa yang terjadi dengan tubuhku ini?" pikir Rika jauh setelah trauma dengan kondisinya.
"Hei... Rika, kau tidak apa-apa?!" Fukari ingin menopang Rika, meskipun Rika terlihat menolak.
"Ah... Aku tidak apa-apa, jangan pedulikan aku," respon Rika seolah tidak ingin Fuka terlibat.
Fuka mengeluh dengan nafas panjang. "Kamu ini ya!" Dia mendadak melihat Rika dengan aneh.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Rika.
"Apakah karena sakit kepribadianmu menjadi sedikit berubah? Tidak seperti biasanya." Ucap Fuka. Dia tersenyum. "Ah, itu tidak penting. Aku harus membawamu ke ruangan kepala dokter sekarang!"
"Dan kau tidak boleh menolaknya! Ayo... ikut aku!" Fuka meraih tangan Rika dan menuntunnya ke suatu tempat. "Bagaimanapun juga, kondisimu sedang tidak baik!" Fuka sedikit memarahi Rika. "Sesekali kamu harus mendengarkan nasihatku. Sebagai sahabatmu, aku sangat khawatir dengan kondisimu. Rikaa, Rikaa!"
Rika pasrah mengikuti Fuka yang baru dia kenal. Saat ini, dia benar-benar tidak memahami kondisi sekelilingnya.
Fuka menarik tangan Rika dengan tegas, meskipun penuh perhatian. Mereka berdua berjalan melewati lorong-lorong akademi yang tampak seperti labirin. Rika mencoba mengingat setiap detail, tetapi semuanya terasa asing baginya.
"Ayo, kita harus segera sampai di ruangan kepala dokter," ujar Fuka dengan nada cemas.
Sesampainya di depan sebuah pintu bertanda "Kepala Dokter," Fuka mengetuk pintu dengan keras.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam.
Fuka membuka pintu dan mengajak Rika masuk. Di dalam ruangan, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal duduk di belakang meja penuh dokumen. Dia melihat ke arah Rika dengan tatapan serius.
"Ah, akhirnya kau sadar, Rika," ucap dokter itu sambil tersenyum. "Duduklah."
Rika duduk dengan ragu-ragu, sementara Fuka berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat.
Rika mendapati dirinya di sebuah dunia yang penuh dengan hal baru dan keindahan, sebuah campuran antara teknologi maju dan alam yang memukau. Di sekelilingnya, bangunan-bangunan besar dan megah menjulang tinggi dengan arsitektur yang menggabungkan gaya klasik dan futuristik.
Gedung-gedung itu dilengkapi dengan jendela-jendela besar dari kaca bening yang memantulkan sinar matahari, menciptakan pemandangan yang hampir magis dan cerah.
Langit cerah dengan warna biru yang menenangkan, dihiasi oleh beberapa awan putih yang melayang lambat. Di antara gedung-gedung, terdapat taman-taman hijau dengan pepohonan besar dan bunga-bunga berwarna-warni yang bermekaran, menciptakan kontras yang indah dengan struktur beton dan kaca di sekitarnya. Burung-burung berkicau riang, menambah suasana damai dan harmonis.
Di kejauhan, terlihat kendaraan-kendaraan terbang melintasi langit, bergerak dengan tenang dan tanpa suara.
Teknologi di dunia ini tampaknya sangat maju, dengan berbagai perangkat dan alat yang terlihat canggih dan efisien, namun tetap terintegrasi harmonis dengan alam sekitar. Di jalan-jalan, orang-orang berjalan dengan tenang, mengenakan pakaian yang elegan dan rapi, mencerminkan budaya yang mungkin menjunjung tinggi kesopanan dan keindahan.
Koridor akademi tempat Rika berada tampak sangat bersih dan teratur, dengan dekorasi yang elegan dan minimalis.
Lampu-lampu yang tergantung di langit-langit memberikan pencahayaan lembut, menciptakan suasana yang nyaman dan tenang. Pintu-pintu ruangan dihiasi dengan ukiran halus dan tanda-tanda digital yang menunjukkan identitas masing-masing ruangan.
Di luar, tiang-tiang bendera dengan lambang yang tidak dikenalnya berkibar diterpa angin, menambah kesan resmi dan megah. Suara gemerisik dedaunan dan kicauan burung berpadu dengan suara lembut dari aliran air di kolam-kolam kecil yang tersebar di taman, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.
Itulah dunia lain yang ditempati oleh Rika Uenohara sekarang.
Setelah menunggu hasil dokumen penelitian terhadap Rika, mereka berdua dikejutkan oleh informasi yang menegangkan. Informasi ini disampaikan langsung oleh kepala dokter yang memiliki wewenang khusus di Akademi Gargantia, Robert Vermilion, yang namanya tertera pada pakaian yang dikenakannya.
"Rika, bagaimana bisa terjadi!" ucapnya keras, matanya terbelalak walau terhalang oleh kacamata transparannya.
Seorang pria paruh baya bertubuh ramping mengenakan jubah kedokteran memegang dokumen, wajahnya terbuka setelah melihat dokumen kesehatan milik Rika, hasil percobaan scanner AI untuk mengetahui dan menganalisis keseluruhan tubuhnya. AI atau kecerdasan buatan sering disebut demikian.
Wajahnya kembali tenang sembari mengatakan sesuatu. "Kau benar-benar mengejutkanku," ia sedikit bergumam. "...kau benar-benar mempunyai kemampuan yang sangat misterius. Aku langsung memahami kenapa komandan selalu menceritakan bakatmu kepadaku, Rika."
Fukari sangat penasaran dengan isi dokumen hasil penelitian tersebut. "Sensei, apakah terjadi sesuatu dengan kondisi Rika sekarang?" ia bertanya.
Dokter itu mengangguk, sorot matanya kembali memperhatikan dokumen tersebut. Dia benar-benar sangat meyakini kebenaran dokumen tersebut.
Sesaat kemudian, dokter itu menoleh ke arah Rika dan tersenyum. "Rika, ini adalah suatu keajaiban yang diberikan oleh dewi fortuna kepadamu, karena kamu sudah menyelamatkan Putra Mahkota."
"Hah, aku telah menyelamatkan seseorang?" Rika terkejut.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian saat aku bereinkarnasi?" pikirnya dengan penuh kebingungan.
Dokter itu memperlebar senyumnya. "Oleh karena itu, di sini aku akan memberitahu sebuah informasi yang sepertinya harus kamu dengar. Ini adalah tentangmu, Rika. Semua riset ini hanyalah tentangmu saja. Apakah kau siap mendengarnya?"
Kedua wajah perempuan itu nampak serius, seolah sudah siap mendengarkan informasi tersebut meskipun ekspresi Rika mulai tak tenang.
Rika membatin. "Apakah aku akan baik-baik saja?"
Fukari meraih tangan Rika kemudian menautkan tangannya. Fukari mengetahui bahwa saat ini perasaan Rika sedang sangat khawatir.
Sesaat, Rika menatap Fukari dengan penuh kebingungan seolah Rika mengetahui bahwa Fukari benar-benar mengetahui perasaannya. Itu adalah salah satu perasaan yang belum pernah ia temukan.
Benar, saat ini perempuan yang selalu menyendiri itu seolah menemukan sesuatu yang ia inginkan semasa hidupnya, perasaan itu adalah sebuah pilihan. Seperti persahabatan yang nyata.
Rika mengedipkan matanya dan mengeratkan sedikit bibirnya sehingga nampak senyuman manis. Ia mengetahui bahwa dirinya sudah kembali tenang. Untuk itu ia mengeratkan tangannya seakan menerima perasaan Fukari.
"Aku siap, sensei." ujar Rika dengan suara tenang, wajahnya serius.
Kemudian dengan jelas dokter tersebut mulai membacakan dokumen itu. "Rika Uenohara, dokumen ini adalah rangkuman riwayat kesehatanmu selama mengikuti penelitian di laboratorium."
"Di sini, tertulis bahwa kondisimu sekarang ...." Sesaat, ia menatap wajah Rika dan terdiam sejenak. Kepala dokter itu melesungkan bibirnya dan melanjutkan ucapannya, "... di sini sudah tertulis bahwa kondisimu stabil, maka dari itu, Rika, bergembiralah karena aku nyatakan bahwa kamu sudah sembuh total dari penyakit misterius yang sudah diteliti langsung oleh 'HOG Corporation', yaitu Health Organization Gargantia."
"Sekarang, kondisi sel-sel darah merah milikmu sudah kembali bebas dari gangguan yang diakibatkan oleh sel-sel abnormal yang disebut sebagai penyakit Genus-Cancer Red Blood."
Robert Vermilion tersenyum bangga kepada Rika seolah menganggapnya sebagai keluarga. "Selamat atas kesembuhanmu, Rika."
Setelah mendengarkan itu semua, Fukari langsung menampilkan wajah gembira. "Rika, akhirnya! Aku benar-benar sangat senang sekali," Fukari langsung memeluk Rika dengan sangat erat, mengalungkan lengannya ke tubuh Rika yang mungil.
Rika sedikit terkejut, tidak tahu bagaimana harus merespon. Namun, ia merasakan sesuatu yang sangat tenang, perasaan sayang temannya itu benar-benar memasuki kalbunya. Mulutnya tak bisa mengatakan apa pun selain menerima pelukan kasih sayang tersebut.
Namun, Rika terlihat sedikit bingung. Ia merasa, seharusnya tidak memiliki riwayat penyakit tersebut.
"Yang terpenting, sekarang kamu sudah sembuh dan besok kamu bisa kembali ke akademi," kata dokter tersebut. Dia mengangguk untuk meyakinkan Rika.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan diriku? Seharusnya aku tidak memiliki riwayat penyakit darah, lalu tumor dan jantungku bagaimana?" pikir Rika
"Anoo— ...Sensei, aku ingin bertanya mengenai kondisi jantung dan otakku? Apakah tidak ada masalah yang serius?" Rika bertanya, sepertinya ia ingin memastikan sesuatu.
"Rika, bukankah jantungmu baik-baik saja?" tanya Fukari.
"Aku hanya ingin memastikan saja," jawab Rika.
Dokter itu menampilkan sorot mata yang aneh, merasa Rika memiliki perubahan kepribadian. Dia seolah tak mengenal Rika yang sekarang.
"Hmmm..." gumam dokter itu. Perlahan-lahan pandangannya memperhatikan gelagat Rika, memikirkan sesuatu yang tak mungkin ia bahas sekarang. Dokter itu kembali tersenyum serta menjawab pertanyaan Rika. "Baiklah, jantung dan otak ya," katanya sembari memainkan pena di jemarinya.
Dia bergumam sambil mengganti lembaran halaman dokumen untuk mencari informasi mengenai kondisi kesehatan jantung dan otak Rika. "Ah, ketemu!"
"Di sini tertulis kondisi jantungmu serta otakmu terlihat baik-baik saja. Aku sudah memastikannya," kata Robert Vermilion.
Setelah mendengar jawaban itu, Fukari langsung sedikit heboh, "Tuh kan, semuanya baik-baik saja!"
Namun, nampaknya Rika tak terkejut. Raut wajahnya banyak memikirkan sesuatu. Di samping itu, Fukari melihat Rika yang tengah kebingungan. "Rika!" Fukari nampak ingin menyadarkan Rika.
"Ya... ada apa?" Rika keheranan melihat pandangan Fukari yang melekat ke arahnya.
Fukari ingin menaruh harapan kepada Rika walaupun ia menyadari sesuatu yang tak beres dengan Rika. "Bagaimana dengan ingatanmu?" tanya Fukari.
Mendadak mata Rika membelalak, ia menggaruk pipinya dengan telunjuknya, mulutnya sedikit terkekeh. "Sepertinya aku kehilangan ingatan." Jawab Rika, tampaknya ia berbohong.
Benar, sementara ini ia ingin menyembunyikan identitasnya sebagai manusia reinkarnasi sampai menemukan seseorang yang tepat untuk membantunya.
Bukankah aneh jika Rika membahas kejadian yang membingungkan tersebut ke orang lain, bisa-bisa Rika dianggap sebagai orang tak waras. Hanya cara seperti itulah yang bisa menyelamatkan keadaannya sekarang. Sementara ekspresi Fukari dan dokter tersebut sedikit keheranan dengan gelagat Rika.
Setelah mereka berdua mengunjungi ruangan kepala dokter, Rika dan Fukari berjalan berdampingan melewati lorong-lorong yang sangat panjang. Mereka berdua berjalan tanpa berbicara. Keadaan di sana agak sedikit canggung, benar sekali. Akibat Rika yang selalu mengurung diri di kamarnya, ia kehilangan kemampuan untuk mencari topik pembicaraan. Ia tidak bisa menanyakan sesuatu dengan mudah.
Mendadak Fukari memulai topik pembicaraan yang amat canggung tersebut, ia menanyakan sesuatu kepada Rika dengan memanggilnya. "Rika," ujar Fukari.
Dari samping Rika langsung menoleh kepadanya dengan ekspresi sedikit bertanya-tanya. "Yaa, ..." Rika ingin memanggil namanya, namun ia sedikit lupa. "... Fuka, ada apa?" akhirnya ia mengingat nama temannya tersebut.
Fukari sesaat khawatir dengan kondisi ingatan Rika, ia juga merasa curiga dengan dokumen kesehatan milik Rika. Bagaimana mungkin ia bisa sembuh total jika ia mengalami kehilangan ingatan? Namun yang terpenting bagi Fukari adalah kesembuhan Rika.
Ia benar-benar sangat senang sekali melihat sosok Rika sekarang. Mungkin dari wajah Fukari kita seolah melihat peristiwa menyedihkan yang menimpa Rika walaupun kita tak pernah tahu apa yang sudah terjadi padanya.
Dengan ekspresi prihatin, Fukari menyentuh salah satu pundak Rika. "Sekarang, apakah kamu ingat tempat tinggalmu?"
Ah, benar sekali. Tempat tinggal adalah hal terpenting dalam kehidupan, namun sekarang gadis polos itu tidak ingat sama sekali dengan yang namanya rumah. Lagi-lagi wajah Rika terkekeh menahan malu.
"Eh, sepertinya aku lupa!" jawabnya dengan ekspresi cengar-cengir. Kalau tidak ada Fukari mungkin Rika akan tidur di luar.
Fukari melesungkan bibirnya dan mendesah. "Hemm.. sudah kuduga."
Rika tersenyum samar. "Maaf merepotkanmu, Fukari."
Fukari menggeleng dan tersenyum. "Tenang saja, aku akan mengantarmu ke tempatmu tinggal, tapi jangan sampai kamu melupakan jalannya lagi ya!" candanya.
Rika mengangguk, namun tiba-tiba wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Perasaan bersalah merayap dalam hatinya, sebuah perasaan yang jarang ia alami.
Mata Rika mulai berlinang, dan dengan suara pelan ia berkata, "Fukari, maaf jika aku terus merepotkanmu."
Melihat Rika seperti itu, Fukari segera menyadari perasaan sahabatnya. Ia tahu bahwa Rika tidak ingin merepotkan orang lain. Dengan senyum manis yang khas, Fukari berkata, "Tenang saja, sebagai sahabat terbaikmu, aku akan selalu ada untukmu! Aku akan melindungi senyumanmu, Rika! Ehe!"
Rika terkejut dan terharu. Perkataan Fukari benar-benar berarti baginya, mampu meredakan kegelisahan dan menghapus rasa kesepiannya. Kehadiran Fukari menjadi sumber kebahagiaan bagi Rika.
Dalam hati, Rika berkata, "Fukari, aku ingin mengenalmu lebih jauh," sambil memandang sahabatnya yang sedang tersenyum hangat.
"Fukari, terima kasih."
"Karena Rika sedang kesulitan, mana mungkin aku membiarkannya begitu saja!" celoteh Fukari sambil berjalan dengan ekspresi ceria.
Kemudian ia menoleh ke arah Rika dan berkata, "Jadi serahkan saja padaku!" Fukari memberikan kepercayaannya, sambil menunjukkan otot lengannya yang ramping.
Rika kini benar-benar merasakan kehangatan persahabatan yang nyata, meskipun sebelumnya ia pernah kehilangan perasaan itu. Ketika hidup di Jakarta, teman-teman semasa sekolahnya sering memanfaatkan Rika tanpa memberikan pertolongan balik. Meskipun begitu, Rika selalu membantu mereka dengan tulus, meskipun ia tahu mereka hanya peduli pada kepentingan pribadi.
Namun, apakah Fukari akan berakhir seperti teman-temannya dulu?
Tiba-tiba, wajah Fukari berubah tenang namun penuh kesedihan. Dengan suara serius, ia berkata, "Rika, melihatmu seperti itu sebenarnya aku tak tahu harus berpikir seperti apa. Aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa untukmu, bahkan aku tak bisa menyelamatkanmu!"
Rika terkejut mendengar kata-kata Fukari. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Heii Rika, ketika melihatmu bersimbah darah dan tak sadarkan diri...." Tiba-tiba Fukari berpaling ke arah Rika.
"Itu membuatku sangat takut! Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi itu benar-benar terjadi begitu saja! Aku merasa hampir kehilanganmu selamanya, dan aku tidak ingin hal itu terjadi. Aku benar-benar takut kehilanganmu, Rika."
Mendengar reaksi Fukari yang begitu emosional, Rika mulai berbicara dalam hati, "Apakah Fukari membicarakan sesuatu tentang diriku?"
Rika mengangkat tangannya, melihat telapak tangannya dengan cermat. "Diriku?"
Waktu terus berjalan, dan air mata mulai menetes dari mata Rika. Ia akhirnya menyadari sesuatu.
Alasan mengapa Fukari mengatakan bahwa kepribadiannya berubah. Dari telapak tangannya, ia menggenggam erat dan meletakkannya di tengah dadanya. Mungkin itu bukan khayalannya, tetapi ia benar-benar merasakan dirinya yang lain datang menyelamatkannya dari kehampaan, kesepian, dan kematian.
"Fuka, aku tidak akan kemana-mana," ucap Rika sambil menampilkan senyuman manis yang dibaluri oleh tetesan air mata.
Fukari tersenyum hangat kepada Rika. "Rika, aku akan selalu mempercayaimu!"
Rika tiba-tiba berpikir, "Apakah Fukari pantas mengetahui rahasia yang sudah menimpaku? Tapi, aku masih memerlukan banyak petunjuk."
Selanjutnya, Rika meraih tangan Fukari tanpa berkata apapun, dan mereka berdua berjalan menuju apartemen tempat Rika tinggal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!