Aretta adalah seorang gadis kecil yang sangat periang diusianya, yang kala itu masih berada dikisaran 5 tahun. Layaknya gadis kecil pada umumnya, yang hanya tahu tentang bermain dan berimajinasi.
Meski ia lahir dari orang tua yang bukan keturunan ningrat, tp tidak mengurangi kebahagiannya kala itu.
"Are . . ." Panggil seorang wanita yg masih terlihat muda.
" Iya bu, bentaaar" Sahut Aretta yg saat itu sedang asik bermain lompat tali dengan teman-temannya.
"Ayo buruan mandi, hari ini kita harus pergi ke Jakarta, ke tempat ayahmu bekerja".
"Iya bu".
berlari menuju wanita yang ia panggil ibu.
"Ayo sayang, kita harus segera bersiap menyusul ayahmu". Ucap sang ibu.
"Memangnya kenapa sih bu, kita harus pergi ke Jakarta segala ?" Tanya Arettta polos.
"Kenapa bukan ayah saja yang pulang ?"
Aretta melanjutkan pertanyaannya.
"Disana Ayah sedang bekerja, sayaaang. Kita harus kesana, agar ayahmu semakin giat mencari uang." Ucap sang ibu.
"Baiklah bu." Ucap Aretta menurut pada ibunya.
Aretta tidak punya pilihan lain selain menuruti kehendak ibunya. Meski ia harus berpisah dengan teman-teman sebayanya.
Ayahnya yang hanya sekedar supir taksi, membuatnya harus merelakan masa kecilnya bermain dengan teman-teman yang akrab dari sejak usianya sangat belia.
bahkan mungkin, ada diantara teman-teman Aretta yang dilahirkan tidak jauh beda dengannya.
Ibu Aretta pernah bercerita, kalau ia dan teman-temannya mempunyai tanggal lahir yang tidak jauh berbeda.
Misalnya Vani yang tanggal lahirnya hanya berselang seminggu dari tanggal lahir Aretta.
Dan bahkan Wanto, yang hari kelahirannya hanya berbeda sehari dari Aretta.
Maka tentu saja tidak heran, kalau mereka sudah sangat akrab satu sama lain. Bagaimana tidak, hampir setiap hari mereka bermain bersama. Bahkan sampai makanpun mereka harus saling menunggu satu sama lain.
"Are, apa kamu melamun, sayang ?" Ucap sang ibu mengagetkan Aretta dari lamunannya.
"Maafkan Are, bu. . ." Menyandarkan kepalanya dipundak sang ibu sambil berusaha menahan tangisnya.
"Kenapa harus minta maaf, sayaang ?"
Ucap sang Ibu lembut seraya membelai kepala anaknya
"Maafin Are kalau harus bersedih karena meninggalkan teman-teman Are, bu"
Air matanya pun tidak sanggup lagi ia bendung.
"Are tidak bermaksud untuk tidak mau menuruti keinginan Ibu menemui ayah di jakarta, Are hanya takut kalau nanti sesampainya di Jakarta, tidak ada yang mau berteman dengan Are, buu. . ."
ucapnya masih terisak.
"Are sayaang, kamu ga usah takut ga punya temen, karena nanti di Jakarta akan banyak anak-anak yang usianya sebaya denganmu. Bahkan Ayah bilang, kalau disana kita juga punya tetangga yang berasal dari kampung kita juga sayaaang." Ucap ibu mencoba menenangkan.
"Benarkah bu ?" Ucap Aretta antusias.
"Iya sayang." Jawab sang Ibu lembut.
"Yeeeeyy, brarti Are bakal langsung punya temen dong ya bu ? Nanti Are mau main petak umpet, lompat tali, kelereng, terus masih baaaanyak lagi." Ucapnya semakin Antusias.
"Iya sayaaang, mulai sekarang kita ga usah mikirin macem-macem ya ? Daripada telat ntar bisnya, mending kita siap-siap sekarang yuk". Ucap Ibu menyemangati gadis kecilnya yang periang.
Karena sebagai seorang ibu, pasti mengetahui tentang anaknya. Ia tahu betul kalau seberapapun anaknya kesal, marah, atau sampai menangis sekalipun, itu tidak akan bertahan lama. karena gadis kecilnya memang memiliki jiwa periang dari semenjak masih sangat kecil.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.
hiruk pikuk ibukota masih terasa ramai. Membuat siapapun yang berada di tempat itu pasti merasakan kebisingan yang tak terkira.
Bagaimana tidak, suasana kendaraan pribadi yang lalu lalang. Ditambah dengan asap kendaraan yang membuat siapapun menutup area hidung dan mulut rapat-rapat.
Tak terkecuali dengan Aretta dan ibu yang baru pertama kali menginjakan kaki di ibukota.
Aretta menggenggam tangan ibunya erat-erat, seakan tak mau lepas barang sedikitpun.
Begitu juga sang ibu yang menggenggam tangan anaknya erat-erat dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya harus menjinjing tas yang lumayan besar ukurannya.
Tak lama sang ibu mengajak anaknya untuk duduk dibangku kecil dipinggir warung yang ada di dekat mereka berdiri.
"Are, kamu duduk dulu disini sayang. Ibu mau telfon ayah dulu sebentar." Ucap sang ibu meminta anaknya untuk duduk d kursi sembari menurunkan tas jinjing yang sedari tadi tak lepas dari lengannya.
"Are takut ibuu." Ucap Aretta yang tak mau melepaskan genggaman tangannya.
"sebentar sayaaang." Ucap sang ibu yang masih dengan kelembutannya
Akhirnya dengan sedikit berat hati, Aretta melepaskan genggaman tangan sang ibu.
"Yah, ibu udah sampai terminal nih sama Aretta. Ayah dimana ?" Ucap ibu setelah menekan tombol pada handphonenya.
"Iya bu, sebentar lagi ayah sampai. Ibu tunggu dulu ya sebentar." Ucap laki-laki diseberang telfon.
Tak lama setelah ibu memasukkan kembali handphonenya kedalam saku kemeja yang ia kenakan, datanglah taksi berwarna biru muda yang berhenti tepat didepan Aretta dan ibunya.
tin. . tiiinn. . .
"Ayaaaaaaahhhhh. . . ." Teriak Aretta dengan suara khasnya, yang membuat orang-orang yang ada disekitarnya memandang suara itu berasal.
Seketika keluarlah pria paruh baya dari dalam taksi yang segera berlari menuju suara itu berasal seraya menggendong sambil mengangkat tubuh mungil nan cantik itu.
"apa kabar Aretta sayangku . . . ? Ayah kaaangeen banget sama Are. Sini peluk ayah !" Suara pria tersebut sembari merentangkan tangannya yang disambut pelukan oleh sang anak.
"Aretta juga kaaaaaaangeeeeeen banget sama ayah." Ucap gadis kecil tersebut sembari mengecup pipi sang ayah.
"Oh ya ayah, inget tidak janji ayah sama Are waktu itu ?" Lanjut Aretta.
"Janji ? Janji apa yaaa, ayah lupa ?" Sembari memutar bola matanya mencoba mengingat.
"Ayaaah, kok lupa sih udah janji ama Are ? Kan ayah udah janji mau ngajakin Are jalan-jalan pakai taksi ayah ?" Sembari memasang muka memelasnya.
"Siap tuan putri yang cantik, mari ayah antarkan ke tempat yang tuan putri inginkan." Ucap sang ayah antusias.
Kemudian tanpa menunggu lama, taksipun meluncur menyusuri jalanan ibukota yang masih ramai. Terlihat senyum sumringah dari sudut bibir mungil Aretta. Ia teramat sangat senang menyadari dirinya bersama ayah dan ibu tercinta mengelilingi jalanan menggunakan taksi.
"Are mau kemana ?" Tanya Ayah.
"Kepasar aja yah, are mau beli mie cup."
Jawab Aretta dengan wajah sumringahnya, sembari sedikit berjingkrak. Karena posisinya saat itu memang duduk dibangku belakang sembari sesekali berdiri.
Sementara sang ibu hanya memandangi anaknya dari kaca spion , sembari sesekali tersenyum melihat tingkah sang anak dan ayah yang sudah cukup lama tidak bertemu.
Tanpa disadari, taksipun menepi pada sebuah pasar. Tanpa menunggu lama, ayah, ibu dan Aretta segera membeli barang kebutuhan yang diinginkan. Dan setelah semuanya didapatkan, mereka segera menuju rumah kontrakan yang letaknya tak jauh dari pasar.
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, Aretta dan kedua orang tuanya baru sampai di tempat tinggal ayah.
Sebuah rumah kontrakan kecil yang terdiri dari dua lantai. Dimana anak tangganya terbuat dari kayu yang hampir lapuk termakan waktu. Aretta menaiki anak tangga itu dengan sangat pelan-pelan, seraya tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan ayahnya.
"Ayah, apakah d kamar ayah ada kamar mandinya ?" Tanya Aretta yang seketika langsung menghentikan langkah kaki orang tuanya.
"Tidak ada, sayaang. Are mau ke kamar mandi ?" Ucap Ayah yg masih berhenti ditengah tangga.
"Tidak ayah." Ucap Aretta singkat.
"Kalo Are mau ke kamar mandi, lebih baik sekarang, mumpung kita belum masuk ke kamar." Tambah ibu.
"Enggak bu, Are cuma nanya aja." Ucap Aretta.
"Ya sudah, sekarang kita lanjut naik yah. Are pasti cape karena dari tadi keliling Jakarta."
Ucap Ayah.
Aretta mengangguk pelan.
Sesampainya di lantai atas, para tetanggapun menyambut kedatangan Aretta sekeluarga.
Mereka hanya berpikir, kalau siapapun yang menjadi tetangga kamar, maka itu artinya akan menjadi saudara juga.
"Waah, pak Kasim sekarang bawa keluarganya ya ?" Ucap salah seorang tetangga yang kamarnya tepat d depan kamar ayah Aretta.
"Iya bu, biar ga sepi kalo ada anak istri mah."
Jawab ayah Aretta sembari tersenyum.
"Oh iya bu, ini kenalin Wati istri saya. Sementara yang cantik ini Aretta anak saya." Lanjut Ayah.
"Wati." Ucap ibu sambil menyodorkan tangannya.
"Utami, panggil saja ibu Tami." ucapnya dengan menyambut uluran tangan Ibu Wati.
"Mari bu masuk dulu, kebetulan ada minuman soda dikamar saya." Ucap bu Tami ramah
Sementara itu, mata ibu memandang ayah, hingga keduanya bertatapan penuh arti.
"Ya sudah, ibu sama Aretta mampir dulu aja ke kamar ibu wati. Biar ayah beresin kamarnya dulu." Ucap Ayah singkat.
Sementara itu bu Tami mempersilahkan Aretta dan Ibunya masuk ke kamarnya.
Aretta yang sedari tadi menampakan muka lelahnya, tiba-tiba bersemangat ketika melihat banyak boneka dikamar bu Tami.
"Silahkan diminum bu, dee." ucap bu Tami pada ibu dan Aretta, seraya menyuguhkan air soda rasa lemon.
"Iya bu, makasih loh udah repot-repot. Pake bawain minuman segala." Ucap Ibu.
Keduanya asik mengobrol kesana kemari, mulai tentang kampung halaman, saling menceritakan keluarga satu sama lain, hingga mereka merasa akrab.
Sementara itu Aretta asik bermain dengan boneka, sampai berlari-lari riang layaknya anak kecil pada umumnya.
Sampai akhirnya Aretta berhenti disebuah balkon yang letaknya persisi disamping kamar bu Tami. Pandangannya tertegun ketika melihat ke arah lantai bawah.
Betapa terkejutnya Aretta ketika mengetahui keramaian yang ada di lantai dasar, ia melihat banyak laki-laki dewasa yang asik berjoget ria sambil d tangannya membawa sebotol minuman, sementara ditangan lainnya membawa beberapa lembar uang kertas.
Sedangkan matanya meneliti lagi, ia bahkan sampai memelototkan matanya saat menyadari kalau ternyata di tengah kerumunan pria dewasa yang tadi dilihatnya, ada seorang wanita muda, yang pakainnya sangatlah seksi dengan membawa mikrofon ditangan kanannya sambil mengeluarkan suaranya yang terdengar sedikit merdu.
"Are, ternyata disini rupanya. Ibu nyariin dari tadi. Ibu khawatir, sayaaang." Ucap sang ibu yang membuat Aretta berjingkat kaget.
"Ibu membuat Are kaget aja." Ucap Aretta seraya memegang dadanya.
"Bu, Are takut buu." Ucap Aretta seraya memeluk ibunya.
"Takut kenapa, sayaaang ? Kan ada ibu sama ayah." Ucap ibu sembari membelai rambut anaknya.
"Ituu !" Menunjukan tangannya kearah lantai bawah.
"Ga papa kok. Selama kita ga ganggu mereka, mereka ga akan ganggu kita. Sekarang, kita masuk ke kamar aja yu. Mungkin Ayah sudah selesai beres-beresnya."
Aretta pun langsung menurut pada ibunya, ia berusaha agar melupakan pandangannya pada lantai bawah.
Sedangkan sang ibu segera berpamitan pada tetangga barunya, yang dari tadi sudah mau direpotkan oleh keluarganya.
Tanpa menunggu lama, Ibu segera membawa Aretta menuju kamar ayahnya yang letaknya tepat d depan kamar bu Tami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!