"Ziziiiiiii.......!" pekik Haga kala melihat ada baret pada desk motor kesayangannya. Mata elangnya langsung menoleh ke arah balkon atas yang mana di sana Zizi sedang duduk sambil membaca komik. Kedua kakinya menyandar pada meja. Sementara tangan kanannya memegang apel. Gadis itu sesekali menggigit apel. Sedangkan matanya tetap fokus pada bacaan komiknya.
Haga meletakkan helem di atas kaca spion begitu saja. Mengayunkan kakinya menyusul gadis itu berada.
Setttt
Haga merampas apel Zizi yang hendak gadis itu gigit. Zizi kaget sehingga ia menoleh ke arah pria yang kini tengah menatapnya tajam.
"Kenapa?" tanya Zizi bingung.
Zizi menurunkan kedua kakinya. Meletakkan buku komik ke meja. Mata bulat Zizi mengedip. Mulutnya terbuka menganga..
"Itu motor gue lo apain?" tanya Haga. Tangan kanannya menunjuk ke bawah ke arah motor pria itu terparkir. Bisa dilihat cara Haga yang menatap Zizi. Pria itu sangat emosi.
Zizi menoleh ke arah motor Haga. "Memangnya kenapa sama motor lo?" tanya Zizi polos.
Haga ingin sekali menelan Zizi yang bersikap tidak tau apa apa bahkan terkesan sangat polos. Haga mengepalkan kedua tangannya erat. Ingin sekali menelan Zizi yang sangat menyebalkan baginya. Di tambah lagi wajah Zizi yang biasa saja membuat Haga sangat kesal.
"Motor gue baret."
"Hah." Zizi langsung menoleh. Tampak terkejut. "Kenapa bisa baret?"
"Nah itu, kenapa bisa baret? Pasti lo yang baretin." Haga berdecak dengan ketidaktahuan Zizi. Kedua tangannya bersedekap dada.
"Ngaku lo. Kenapa motor gue baret. Pasti lo yang bikin ulah. Seminggu ini itu motor di parkiran. Gue yakin itu ulah lo." lanjut Haga menuduh Zizi.
Zizi menekan bibirnya ke dalam. "Gimana bisa gue? Gue gak bisa pake motor lo." Elak Zizi bahkan gadis itu ikut bersedekap dada.
"Gue gak mau tau. Lo harus tanggung jawab." lirih Haga. Bahkan pria itu menyeret Zizi menuju ke lantai bawah.
Tangan Zizi di cengkeram kuat Haga bahkan Zizi merasakan kesakitan karna tampak dari tangannya yang memerah.
"Sakit Ga!" rengek gadis itu tapi tak di dengar oleh Haga sama sekali. Pria itu terus membawa Zizi ke tempat motornya berada.
"Lihat tuh." ucap Haga.
Zizi menepis tangan Haga kemudian melihat baret panjang yang memanjang pada desk motor Haga.
Zizi tercenung untuk sesaat. Dia benar benar gak tau kenapa bisa baret seperti itu.
"Panjang banget." gumam Zizi.
"Sekarang gue gak mau tau. Lo harus tanggung jawab."
Zizi menengok ke arah Haga yang menatapnya tajam.
"Gue gak ngelakuin." balas Zizi mengelak.
"Heh, dirumah ini cuman kita tinggal berdua. Terus kalo lo yang gak ngelakuin siapa lagi yang ngelakuin. Setan?" kesal Haga.
"Emang gue yang gak ngelakuin. Gue bisa jamin." Zizi tetap pada pembelaannya.
"Jamin dengan apa?" Haga bersikap congkak. "Lo emang gak suka sama gue. Tapi jangan kekanakan seperti ini. Itu motor kesayangan gue dan lo udah baretin segitu panjang. Kalo dilihat dari lukanya ini seperti baretan yang disengaja. Artinya lo pake paku buat baretin tuh motor." ucap Haga dengan persepsinya.
Zizi menggigit bibirnya ke dalam. Sampai segitunya Haga bisa paham dengan apa yang terjadi dengan motornya.
"Ngaku gak lo. Atau sebagai imbalannya seminggu ke depan lo gak akan gue kasih uang jajan." ancam Haga menyeringai. Hanya itu yang bisa menjadikan ancaman bagi gadis di depannya ini. Gadis di depannya ini tak akan bisa dengan uang jajan yang pas. Karna setiap pulang Zizi akan kedapatan belanja karna banyak tas yang selalu berserakan di sofa setiap Haga kembali dari kampus.
Mata Zizi membelalak terkejut. Kenapa ujung ujungnya uang jajannya malah di stop. Ini gak bisa dibiarin.
"Loh. Kenapa harus uang jajan gue yang jadi ancaman." ucap Zizi tak terima.
"Karna lo gak mau ngaku." balas Haga.
"Emang bener kok gue gak ngelakuin." Zizi tetap tidak mau mengaku.
"Terserah. Pokoknya lo harus tanggung jawab. Motor gue udah seperti ini. Dan itu impas buat lo karna gak mau ngaku. Uang jajan lo yang gue potong buat benerin nih motor." ucap pria itu. Haga berbalik memasukkan motor kesayangannya kembali ke dalam garasi. Biarlah tukang bengkel nanti yang ambil. Sementara dirinya menggunakan mobil sebagai sarana pergi ke kampus.
Mobil Haga melewati Zizi yang masih termenung di tempatnya. Dengan kecepatan sedang mobil Haga membawa angin yang kencang. Debu berhamburan di mana mana. Dan itu membuat rambut Zizi beterbangan. Begitu dengan rok pendeknya yang tersingkap. Apalagi ini musim kemarau. Sudah pasti banyak debu yang berhamburan.
"Uhuk uhuk uhuk...."
Zizi terbatuk karena debu. Zizi menepi ke teras matanya memerah menatap mobil Haga yang melewatinya hingga melewati pintu gerbang. Tangan Zizi mengepal kuat.
"Kurang ajar banget kamu Ga." Gumam Zizi.
Setelah mobil Haga menghilang di balik pintu, gadis itu lekas masuk ke dalam.
Ya, Zizi dan Haga adalah pasangan suami dan istri. Mereka di paksa dijodohkan karena mereka tidak ingin hidup keduanya salah pergaulan. Dengan adanya pernikahan ini kedua orang tua Haga maupun Zizi merasa sudah aman.
Mereka menikah dua bulan yang lalu. Meskipun keduanya masih sama sama mengenyam pendidikan masing masing tetapi karena uang mereka bisa melanjutkan pendidikan mereka meski status mereka masih bersekolah.
Haga adalah anak pengusaha sukses yang mampu menembus hingga pasar internasional. Sementara Zizi merupakan anak tunggal dari seorang pengusaha industri garmen. Keduanya sama sama anak pengusaha sukses.
Meskipun Haga anak pengusaha. Tetapi Haga memiliki usahanya sendiri. Haga mendirikan restoran dan kafe. Usahanya itu berkembang hingga keluar daerah. Sudah tentu Haga sendiri sangat kaya. Apalagi hanya menafkahi seorang Zizi. Kehidupannya yang bergelimang harta itu tidak bisa meninggalkan kebiasaannya. Sehingga uang lebihan yang diberikan oleh Haga seringkali digunakan belanja barang branded.
Bisa dilihat pakaiannya selalu bermerk. Dari sepatu tas dan yang lain lainnya. Setiap hari pakaian gadis itu selalu berganti ganti dan itu membuat iri setiap temannya yang melihatnya.
"Hah, Punya suami gak bermoral banget." Zizi mendesah pelan. Dirinya duduk di sofa di ruang tengah.
Wajahnya terlihat cemberut. Bibirnya monyong hingga lima senti. Bisa dipastikan moodnya rusak oleh perlakuan Haga tadi. Gimana dia bisa hidup jika uang jajannya dikurangi. Bahkan sangat pas untuk pulang dan pergi ke sekolah.
Drrttt drrttt drtttt
Ponsel yang berada di saku kemejanya bergetar. Gadis itu melihat nama di papan layar. ternyata Dian temen sebangkunya yang menelpon.
"Halo, Dian." ujarnya lesu.
"Dih lesu amat. Kenapa?" tanya Dian di seberang sana. Kebetulan hari ini hari sabtu. Sekolah mereka pulang lebih awal. Maka dari itu sekarang Zizi sudah berada di rumah dan bersantai seperti ini.
"Gak apa apa. Lo nelpon ada apa? Kalau gak penting gue tutup deh."
"Oh, astaga Zi. Galak amat sih! Ini kan sabtu malam minggu, gue mau ngingetin. Jadi keluar gak?" tanya Dian.
Zizi menoleh ke arah jendela. Hari masih terlihat terang. "Gak. Gak bisa. Gue ada kerjaan." tolak Zizi.
"Ye, tumben banget lo ada kerjaan. Orang tua lo kan kaya. Emang lo punya kerjaan apa. Pembantu di rumah lo kan banyak." cerocos Dian.
"ya pokoknya gue gak bisa Di. Udahlah gue tutup." Zizi menjauhkan ponselnya dan hendak menekan tombol off. Tapi suara dian memekik dan Zizi kembali mendekatkan ke telinganya.
"Eh bentar." pekik Dian. "Sore ini ada pertandingan basket di lapangan Garuda. Lo mau nonton gak. Bintangnya Samuel." ucap cepa Dian.
Zizi mengerutkan kening. Sebelum menikah Zizi memang menyukai Samuel dalam artian mengagumi cowok itu. Tapi setelah menikah rasa kagum itu seolah terkikis. Tapi karena Dian sudah tau kalau Zizi memang menyukai Samuel. Apapun yang dilakukan Samuel, Dian akan selalu memberi tau. Seperti hari ini Dian meneleponnya dan memberi tau.
"Gimana? Pergi gak?" ucap Dian menyadarkan lamunan Zizi.
"Ya udah. Kita ketemuan di lapangan aja." balas Zizi akhirnya menyetujui ajakan Dian. Lagi pula kalau di rumah rasanya badmood banget. Apalagi tadi habis di marahi sama Haga. Sekarang dia lebih baik mencari suasana yang bisa membuat moodnya membaik.
Panggilan bersama Dian ditutup. Zizi beranjak dari sofa. Mengayunkan kakinya menuju tangga ke lantai dua. Zizi dan Haga memiliki kamar terpisah. Karna itu saran dari kedua orang tua mereka agar tidak terjadi hubungan intim. Bagaimanapun jika seorang lelaki dan perempuan hidup bersama dalam satu ruangan yang sama akan membangkitkan orang ketiga yaitu setan. Meskipun status mereka suami istri tapi mereka masihlah pelajar. Bagaimanapun keduanya mewanti wanti agar bersabar lebih dulu. Menunggu hingga lulus barulah bisa bersama.
Zizi mengganti pakaiannya setelah itu menyambar kunci mobil miliknya yang ia letakkan di gantungan dekat pintu.
Tak butuh lama gadis itu sudah sampai di parkiran lapangan Garuda. Di sana sepertinya Dian sudah menunggu. Karna terlihat Dian duduk di bangku taman sambil kepalanya celingukan satu tangannya membawa camilan jagung berondong.
"Di." panggil Zizi seraya menghampiri Dian. Tangan kanannya melambai lambai.
Dian yang merasa di panggil pun menoleh. Gadis itu lekas berdiri.
"Zi. Akhirnya lo datang." Dian tersenyum.
"Demi lo dan demi Samuel." ungkapnya dan keduanya pun tertawa bersama.
Ketika pertandingan selesai hari sudah gelap. Zizi dan Dian keluar sambil berjalan berdampingan dari dalam lapangan. Mereka tampak seru menyaksikan pertandingan tadi. Dan itu bisa mengalihkan kekesalan Zizi dengan cara berteriak berlebihan.
Suara Zizi yang paling keras menyemangati tim perwakilan sekolahnya tentunya. Sehingga sorak sorai itu semakin besar. Tim dari sekolah Zizi mendapat semangat paling riuh. Dan semua itu tidak berakhir sia sia. Di akhir pertandingan perwakilan dari sekolah Zizi menang dengan unggul 80:60. Para penonton sangat puas dengan hasil yang di dapat.
Zizi dan Dian mengobrol sepanjang jalan. Hingga Zizi merasa perutnya keroncongan.
"Gue laper, Di. Cari makan yuk." ajak Zizi.
Dian melirik jam di tangannya. Masih terlalu sore juga. Sekitar jam 8 malam.
"Kita makan di kafe seberang gimana. Gue tau menu makanan di sana enak enak. Lo pasti suka sama menunya." ucap Dian.
"Ayo."
Kedua sahabat itu melajukan kendaraan masing masing ke tempat yang di tunjuk Dian. Kafe itu letaknya strategis dengan perkantoran. Apalagi setiap malam minggu seperti ini banyak pemuda yang menghabiskan malam mereka di sana. Bukan sekedar berkencan semata. Mereka juga bisa menikmati lagu yang di nyanyikan oleh band yang bekerja sama dengan kafe itu. Suasananya adem, damai dan nyaman tentunya.
"Gimana menurut lo?" tanya Dian. Kedua gadis itu sudah duduk di kursi yang kosong. Menikmati sebuah lagu romantis yang di populerkan artis di depan sana. Mereka juga sudah memesan makanan dan minuman sebelum masuk. Jadi mereka tidak perlu mencari pelayan hanya sekedar memesan menu.
"Boleh juga pilihan lo." Zizi manggut manggut.
Keduanya pun terhipnotis akan lagu yang sedang dinyanyikan saat ini.
"Silahkan!" hingga tak berapa lama seorang pelayan mengantarkan makanan mereka.
Zizi dan Dian langsung mencicipi makanan mereka. Kedua matanya tampak berbinar. "Makanannya sangat lezat. Lo juara kalau milih tempat." puji Zizi.
Dian tersenyum senang. "Tentu saja." sahutnya bangga.
Hingga mereka tidak menyadari jika di balik sebuah ruangan Haga tersenyum smirk. Melalui cctv yang ia pasang. Ia dapat melihat siapa saja yang mendatangi kafenya termasuk Zizi sang istri sendiri. Dari tatapan mata dan wajahnya yang riang, Haga bisa menebak jika menu yang ia hidangkan akan selalu memenuhi cita rasa para pelanggan.
Tampak Zizi mengobrol santai. Sementara Haga merasa puas dengan usahanya yang bisa memuaskan para pelanggan.
Haga melirik jam di tangannya sudah jam sepuluh. pria itu memantau lewat cctv. Dan pengunjung di akhir pekan akan semakin meningkat. Dia menarik jaketnya yang ia sandarkan di sofa di ruangannya. Sambil berjalan keluar pria itu mengenakan jaket.
"Bos, masih sore. Sudah mau pulang?" manager yang ditunjuk Haga datang menyapa.
Dia adalah seorang pria muda yang memiliki usia sekitar 25 tahunan sepantaran dengan kakak sepupu Haga, Deo namanya. Sementara Haga sendiri berusia 23 tahun beda tipis dengan usia Zizi yang 17 tahun.
Haga menepuk bahu Deo. Lalu tersenyum. "Ada banyak kerjaan di rumah. Jadi kafe ini gue serahin ke elo." sahutnya lalu menepuk pelan bahu Deo.
"Oke. Sip bos. Bos tenang saja." Sahutnya seraya menepuk dadanya sendiri.
Haga bergegas meninggalkan kafe miliknya dan menuju parkiran di basment. Saat hendak memasuki mobilnya. Ia sepintas mendengar suara yang familiar.
Haga tidak jadi masuk ke dalam mobil. Melainkan mencari sumber suara itu.
Pria itu berjalan mengendap di balik tembok. Dan ternyata benar itu suara Dewi mantan pacarnya dulu. Diam diam pria itu memperhatikan DEWI. Sudah tiga tahun berlalu. Wanita itu masih terlihat cantik. Haga terdiam menikmati tontonan gratis. Padahal yang dia tonton adalah kemesraan Dewi dan kekasihnya.
Tiba tiba sebuah tangan menghinggap di bahunya. Seketika jantung Haga berdetak kencang. Haga langsung menoleh, siapa gerangan yang sudah merusak momennya melihat sang pujaan hati yang kini sudah menjadi mantan. Seketika itu mata Haga membulat.
"Lo." lirih Haga kesal. Ternyata tangan yang menghinggap di bahunya itu tak lain adalah istrinya. Haga menoleh ke belakang sang istri karena tadi wanita itu tidak datang sendirian masih ada teman wanitanya namun di belakang tidak ada siapa siapa. Zizi pun menoleh ke belakang. Siapa yang dia cari?
"Lo nyari siapa?" tanya Zizi yang kemudian kembali menatap Haga yang celingukan.
"Justru Lo yang ngapain disini?" tanya Haga menatap penuh selidik.
"Gue baru dari toilet. Tadi lo ngintip siapa?" tanya Zizi heran. Pasalnya sudah sejak pria itu keluar dari dalam lift pria itu tak langsung ke mobil selain mengendap endap sedang mengawasi sesuatu. Tapi Zizi tak menghiraukan keberadaan Haga karna ia sudah tak bisa menahan buang hajat. Setelah keluar ternyata pria itu masih bertahan di sana. Zizi pun penasaran, apa yang dilakukan pria itu layaknya maling di dalam kegelapan seperti itu.
Haga menoleh sekilas ke belakang, sepertinya Dewi sudah pergi. Haga bernafas lega karena Zizi tidak melihat Dewi.
Zizi mengikuti arah pandang Haga. Gadis itu menengok ke belakang Haga. Tidak ada apa apa di sana.
"Sudah malam. Ayo pulang." Ucap Haga. Haga berlalu melewati Zizi masuk ke dalam mobil. Zizi pun langsung menuju mobilnya karena tidak menemukan apapun.
Mobil keduanya berjalan beriringan sampai di rumah mereka.
Keesokan harinya, Zizi pergi ke sekolah lebih dulu. Sementara Haga masih ada sedikit waktu karena ia masuk siang hari ini. Pria itu menggunakan waktunya untuk menscroll sosmed di ponselnya. Sudah tiga tahun pria itu putus hubungan dengan Dewi begitu juga dengan sosmed yang biasanya berhubungan dengan Dewi langsung di blok. Kali ini Haga membuat alamat surel yang baru, ia pun mencari alamat Ig Dewi. Ternyata masih sama.
Tampaknya gadis itu lebih bahagia dari dugaannya. Terlihat setiap foto yang gadis itu unggah. Ada beberapa foto sedang bersama teman temannya di bali. Kemudian beberapa foto lainnya dimana foto foto itu hanya mengunggah minuman dan makanan. Hingga sampai terus ke bawah. Haga menemukan dua tangan yang saling bertumpu. Di jari manis keduanya tersemat sebuah cincin. Di dalam captionnya tertulis 'Happy Graduation'. Itu artinya Dewi sudah bertunangan.
Untuk sesaat Haga merasa sesak. Haga menutup ponselnya kemudian turun dari atas kasurnya. Masih jam 9 pagi. Perutnya terasa lapar.
Haga melihat ke arah meja makan. Di sana tidak apa apa selain tudung saji. Di dalamnya ada roti yang tersisa setengah. Pria itu mengambil satu mengolesinya dengan selai nanas. Melahapnya hingga tandas. Kemudian ia kembali ke lantai atas membersihkan diri dan bersiap ke kampus.
**
"Zi, ntar balik sekolah ke mall yuk." ajak Dian.
Seketika mata Zizi meredup. Bagaimana dia bisa pergi ke mall. Uang jajannya saja hanya cukup buat seminggu.
"Ga ah, Di." tolak Zizi.
"Tumben lo nolak Zi. Kenapa?" tanya Dian heran. Pasalnya Zizi biasanya akan selalu bersemangat jika diajak jalan ke mall.
"Uang jajan gue di stop seminggu ini." balas Zizi cemberut.
Mata Dian membola. "Kenapa?"
"Gara gara gue dituduh baretin motor sepupu gue." kata Zizi beralasan. Padahal bukan sepupunya melainkan suaminya. Tapi Zizi tidak pernah bercerita mengenai pernikahannya dengan siapapun. Bagaimanapun Zizi harus merahasiakannya.
"Kok bisa?" tanya Dian.
"Gue gak tau sabab musabab itu motor baret. Tapi dia nuduh gue yang baretin motor dia. Dan gue kena hukumannya." cerita Zizi yang gak sepenuhnya bohong.
"Astaga Zi, segitunya sepupu lo." Dian merasa iba dengan cerita Zizi.
Zizi mengangguk melas.
Di pintu masuk terdengar suara langkah kaki. Zizi dan Dian sama sama menoleh.
"Zizi, Dian." lirih seorang wanita bermode. Dia adalah Nisa.
"Akhir pekan lo harus dateng ke pesta ulang tahun gue." ucap Nisa.
Zizi dan Dian saling tatap. Nisa adalah siswa paling populer di sekolah ini. Kenapa gadis itu bisa mengenal mereka. Padahal tidak terlalu akrab.
"Kenapa?" tanya Nisa heran.
"Gak, cuman heran aja. Ya udah. Gue pasti dateng kok." Balas Zizi datar.
"Oke." Nisa tersenyum cerah meletakkan undangan kepada keduanya. Kemudian gadis itu pergi.
Dian menyenggol bahu Zizi. Zizi menoleh. "Si populer, tumben ngundang kita." Ucap Dian.
Zizi mengendikkan bahu acuh.
Sore hari, Zizi pulang dengan wajah lesu. Sampai di rumah sudah ada Haga yang duduk di sofa sambil memangku laptop. Zizi melempar tasnya ke sofa samping sementara Zizi langsung melempar tubuhnya di samping Haga.
Zizi mengintip ke arah layar laptop Haga. Nampak pria itu sedang serius meneliti keuntungan usahanya. Karena Zizi bisa lihat setiap angka yang tertera di sana.
"Jurusan bisnis. Pelajarannya banyak angka. Pusing gue lihatnya." celetuk Zizi. Kemudian memejamkan matanya yang terasa ngantuk.
Haga melirik sekilas kemudian kembali fokus pada layar laptopnya. Tidak memperdulikan Zizi yang duduk bersandar di sebelahnya.
"Ga, Lo gak kasihan apa sama gue. Bosen gue gak bisa jalan keluar sama temen." Celetuk Zizi lagi.
"Makanya jadi orang jangan sok usil." balas Haga datar.
"Gue gak usil Ga. Gue beneran gak ngelakuian." Zizi tetap pendiriannya.
Haga tak membalas ucapan Zizi yang di rasa tidak mau mengaku.
"Ga, weekend ntar ada acara ulang tahun temen gue. Seenggaknya, ngasih kado lah."
Haga tetap diam dan fokus pada kerjaannya. Zizi sekilas melirik. Tapi Suaminya itu tetap gak respon.
Zizi menarik nafas panjang. "Yaudah kalao tetep gak mau ngasih. Gue mau minta sama papi." ucap Zizi di ikuti bangkit dari sofa.
"Gak boleh. Lo itu tanggungan gue. Mau ditaruh di mana muka gue dihadapan papi." cetus Haga menghentikan gerakan Zizi. Di balik punggungnya Zizi merasa menang. Tapi wajah Zizi tetap di buat melas.
"ya lo kan gak ngasih gue duit. Keperluan gue banyak sementara uang jajan gue lo potong." pancing Zizi lagi.
"Iya bakal gue kasih tapi cuman buat beli kado." balas Haga tanpa menatap Zizi.
"Terus soal keperluan lo. Lo bisa tulis apa aja. Gue yang beliin." seketika itu wajah Zizi berubah muram. Si Haga tetap aja Haga. Manusia paling menyebalkan.
Zizi tak menyahut lagi. Wajahnya semakin kesal. Gadis itu berlalu sambil menyambar tas sekolahnya dan membawanya ke lantai atas. Kakinya sengaja di hentakkan menandakan bahwa dia benar benar kesal. Sudah berusaha buat merayu tapi tetap saja Haga tidak berubah.
Sementara itu Haga terlihat heran. Kenapa dengan gadis itu? Alis Haga mengerut seraya menatap Zizi yang menghentak kakinya menaiki tangga. Haga menaikkan bahu acuh. Wanita memang manusia aneh.
Zizi menulis keperluannya yang begitu banyak sampai sampai Haga merasa pening sendiri. Tapi Haga tetaplah Haga, si manusia yang gak mau menyerah.
Sebaliknya dari kampus, pria itu membelokkan mobilnya ke mall. Sekalian saja dia membeli kado buat sepupunya yang katanya ulang tahun weekend ini.
Masuk ke dalam toko yang menjual banyak pernak pernik. Di sana Haga memilih milih barang. Entahlah perempuan biasanya suka apa, Haga juga tidak mengerti. Tapi kata pelayan, biasanya wanita suka yang lucu lucu. Haga melihat sebuah bando yang menurutnya lucu. Ia pun mengambil satu, tapi sebuah tangan mendahului mengambilnya. Seketika Haga hendak marah tetapi ia tahan karna ternyata yang mengambil itu Dewi.
"Dewi!" celetuk Haga.
Si perempuan pun menoleh. "Haga!" Dewi tersenyum. Haga tercengang. Wanita itu tetap saja manis apalagi kalau tersenyum seperti itu.
"Bandonya lucu." puji Dewi pada bando yang diserobotnya.
Haga mengangguk. Melirik bando yang berada di tangan Dewi. "Kamu suka?" tanya Haga.
Dewi mengangguk. "Suka karna lucu." balasnya.
"Aku beliin buat kamu."
"Eh, gak perlu. Aku bisa bayar sendiri." Ucap Dewi menolak. "Ngomong-ngomong kamu sendiri mau beli apa?" tanya Dewi melirik Haga yang diam.
"Beli kado buat sepupu yang ulang tahun."
Dewi mengangguk. "Aku juga mau beri hadiah sama keponakanku."
Wanita itu pun memanggil pelayan dan memintanya membungkus bando itu. Setelah pelayan membawanya untuk di bungkus Dewi melihat ke barang yang lain. Haga mengikuti wanita itu.
"Kamu masih saja tetap cantik." puji Haga pada Dewi.
Dewi merespon dengan senyuman. "Sudah tiga tahun kamu masih saja memujiku." balas Dewi.
"Ya karna memang begitu." haga tidak punya kata kata lagi memang untuk memuji wanita yang menjadi kesayangannya dulu.
"Andai kamu gak minta putus. Mungkin saat ini yang menjadi istriku adalah kamu." gumam Haga pelan. Tapi pendengaran Dewi tetap saja masih bisa dengar.
"Heh, apa?" tanya Dewi berpura pura.
"Gak apa apa." Haga mengalihkan penglihatannya ke lain arah.
"Maaf Ga, mungkin kita tidak berjodoh." Dewi menunduk.
"Gak perlu minta maaf. Semua udah jalannya." Haga melihat pelayan datang, ia pun terdiam.
"Silahkan nona." kata pelayan itu memberikan bingkisan kepada Dewi. Dewi menerimanya. Kemudian melirik Haga. "Ga, aku duluan." ucap Dewi.
Haga mengangguk. Menatap punggung wanita yang dulu menjadi kekasihnya menghilang ke dalam kerumunan.
Seperginya Dewi, Haga menghembuskan nafas panjang. Masih saja mengharapkan wanita yang pernah mengisi relung hatinya saat dulu.
"Mas, ada yang bisa saya bantu." seorang pelayan mengalihkan renungan Haga. Pria itu menoleh ke arah pelayan lantas mengangguk. "Bantu saya carikan hadiah buat ulang tahun." ucap Haga.
"Baik." sahut pelayan itu.
Pelayan itu pun mengeluarkan barang barang yang menurutnya cukup unik. Karena dari cerita sang pelanggan. Kado yang di minta adalah kado buat seorang cewek. Haga melihat semua barang itu. Dan pilihannya jatuh pada sebuah gelang yang menurutnya lucu. Pria itu pun membayar tagihannya.
Haga memutar langkahnya menuju ke toko swalayan. Di sana pria itu mengambil barang barang yang ditulis Zizi. Pria itu awalnya cuek cuek saja. Hanya barang yang tidak terlalu penting menurutnya. Tapi setelah berada di rak bagian pembalut mendadak pria itu terdiam. Menoleh ke sana kemari seperti pencuri. Melihat sekeliling kalau rak yang saat ini tempatnya berdiam tidak dilewati orang. Tangannya mengulur mengambil satu pembalut secara acak dan memasukkannya ke dalam keranjang lalu menutupinya dengan kapas.
Pria itu segera menjauh dari rak yang sangat terkutuk itu. Pria itu bernafas lega ketika tidak ada orang yang melihatnya. Hanya saja dia merasa sangat menyesal ketika menuruti kemauan Zizi.
"sial." umpatnya kesal. Pria itu menatap dua kantong ukuran yang besar. Keperluan wanita itu ternyata sangat banyak. Tidak seperti dirinya yang menurutnya simple.
Haga memasukkan kedua kantong itu ke dalam bagasi. Melajukan mobilnya pulang ke rumah.
Begitu tiba dirumah. Hari sudah mulai gelap. Zizi tampak bersantai di sofa di ruang tengah sedang memainkan ponsel.
Pria itu datang menghampiri lalu meletakan dua kantong ukuran besar di sofa di samping Zizi. Membuat wanita itu menoleh.
"Nih, permintaan lo." balas Haga datar.
"Eh, sudah pulang." Zizi tersenyum. Kemudian pria itu masuk ke dapur mengambil air dan menenggaknya.
Sementara Zizi langsung membuka kantong yang berisikan keperluan dirinya. Meneliti barang barangnya yang mungkin ada yang kurang. Zizi manggut manggut tampak senang.
"Ini nih yang namanya suami pengertian." balas Zizi ketika pria itu sudah keluar dari area dapur dan hendak menuju lantai dua. Namun sebelum menaiki tangga, Haga melewati ruangan tengah sehingga pria itu pun melewati Zizi.
"Heh,"
Zizi tersenyum puas. Apalagi bisa membuat harga diri seorang Haga turun hanya dengan membelikan beberapa barang yang menurutnya aneh.
Haga menaiki tangga, lalu matanya melirik ke arah bawah dimana gadis itu cekikikan seorang diri.
**
"Lo ntar malem jadi pergi ke pestanya si populer itu Zi?" tanya Dian. Keduanya sedang menikmati segelas kopi kap. Mereka sedang bersandar pada sandaran pembatas di lantai dua kelasnya. Dari lantai tersebut mereka dapat melihat bawah dimana Samuel sedang berlatih basket di lapangan.
"Kenapa enggak sih. Bagaimanapun kita harus menghargai undangan dia yang menurut gue secara khusus kepada kita."
"Ce ileh, khusus. Kita kan gak terlalu kenal sama dia." cibir Dian.
Zizi mengendikkan bahu acuh.
"Ngomong-ngomong si Samuel keren banget." ucap Dian. Gadis itu mengalihkan pandangannya menuju Samuel yang berhasil memasukkan bolanya ke dalam ring.
Zizi mengikuti arah pandang Dian menatap Samuel yang memang benar kata Dian. Samuel terlihat sangat keren.
Sementara di bawah Samuel langsung mendongak le atas.
"Sam." pekik teman yang lainnya. Sehingga Sam harus kembali fokus menangkap bola.
Jam istirahat selesai. Terdengar suara bel berbunyi. Semua siswa berhamburan masuk ke dalam kelas. Begitu juga Zizi dan Dian. Keduanya masuk ke kelas mengikuti pelajaran selanjutnya.
"Kita ke salon sekalian Zi." ucap Dian ketika sudah berada di parkiran hendak menuju mobil mereka masing masing.
"Salon yang mana?" tanya Zizi.
"Tante gue ada. Kita ke pestanya Nisa bareng aja."
"Oke."
Kedua sahabat itu pun menuju salon yang ditunjuk Dian. Di sana langsung di sambut tante Rina.
"Dian, tumben mau ke sini?" ucap Tante Rina melihat keponakannya yang tumben tumbenan mau datang. Padahal Dian ini susah banget kalau di ajak ke tempat tantenya itu.
"Mau ke pesta tan." balas Dian tersenyum menampilkan gigi putihnya.
Tante Rina mengangguk. "Tan, ini sahabat aku loh. Kenalin namanya Zizi." Tidak lupa Dian memperkenalkan Zizi kepada tantenya itu.
Tante Rina tampak memperhatikan Zizi. Zizi tersenyum seraya mengulurkan tangan kanannya. Tante Rina menyambutnya seraya mengingat ingat wajah Zizi yang tampak familiar.
"Zizi tante." ucap Zizi memperkenalkan diri.
"Rina, tantenya Dian." balas sang tante ramah. "Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya. Iya gak sih?" tanya tante tanpa melepas tautan tangan mereka.
"Dimana tante.?" tampak alis Zizi mengerut.
Tante Rina tampak berpikir sejenak mengingat ingat di mana mereka pernah bertemu. "Di......hotel. Bener gak. Waktu itu kalau gak salah kamu menikah." tebak tante Rina.
Zizi membeku. "Siapa yang menikah tante?" celetuk Dian yang berdiri di samping Zizi.
Tante Rina melepas tautan tangan dengan Zizi. Lalu menunjuk Zizi. "Ini temanmu. Bener gak Zi?" tanya Tante Rina menatap Zizi.
Zizi menoleh wajahnya tampak pias. "Zi, kamu sudah menikah?" tanya Dian penasaran.
Zizi kembali menatap sang tante, tersenyum canggung menampakkan gigi putihnya. "Ah tante salah kali." Zizi mengedip ngedip agar si tante itu tidak bercerita lebih banyak. Tapi nyatanya si tante tidak terlalu paham.
"Enggak salah. Beneran dia kok. Eh gimana sekarang Zi. Masih langgeng kan sama suami kamu?" tanya tane Rian riang. Dian mendadak cengo. "Dulu kamu nangis nangis minta di anter pulang. Ketika sudah sah akhirnya kamu mau juga." ucap tante yang gak peduli dengan sekitar.
Menikah?
Zizi?
Banyak pertanyaan yang menyangkut di kepala Dian saat ini.
"He he. Iya tante. Tapi tan, kita kapan riasnya ya. Soalnya udah keburu malem takut telat." Zizi melirik ke samping melihat Dian yang tanpa berkedip memandangnya. Pasti sahabatnya itu minta penjelasan darinya. Jadi ia buru buru menyadarkan tante Rina agar segera bertindak dan tidak lagi banyak bertanya soal kisahnya.
"Eh iya." Tante Rina menoleh ke luar jendela kalau hari sudah mulai gelap. Wanita paruh baya itu pun membawa ke sebuah ruangan yang agak ke dalam. "Ayo masuk." ajak tante Rina.
Zizi melangkah lebih dulu tak lama Dian mengikuti masuk. Tampaknya Dian terlihat marah. Karena sejak tadi tante menyinggung pernikahannya gadis itu menatapnya curiga.
Satu jam berlalu, keduanya pun selesai berdandan.
"Wah cantik sekali kalian." Zizi tersenyum puas. Begitu juga Dian. Mereka sama sama cantik.
"Tante tinggal ya." ucap tante Rina lalu meninggalkan keduanya di dalam ruangan.
Kesempatan bagi Dian bisa bersama Zizi. Dian pun menatap Zizi penuh selidik.
"Zi, lo beneran udah nikah?" tanya Dian. Tatapan matanya tampak kecewa, kesal dan sedih bersatu dalam rasa yang entahlah. Tapi saat ini tatapan mata Dian terlihat sangat tajam.
"Sebagai sahabat tentunya gue merasa kecewa Zi."
Zizi menunduk dengan kedua tangan saling bertaut. "Ceritanya panjang Di. Gue gak bisa cerita sama lo sekarang." balas Zizi merasa bersalah. "Maaf Di."
"Gue gak mau permintaan maaf lo. Yang gue mau lo berutang penjelasan sama gue." balas Dian.
"Oke. Kita pergi ke pesta dulu besok adalah minggu. Gue bakalan cerita apapun sama lo."
Dian mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji Zi. Lo gak boleh rahasiain sendirian. Jika lo nganggep gue sahabat lo. Tapi jika gue lo anggep bukan sahabat lo lagi mending kita gak usah ketemu lagi." ucap Dian.
Wajah Zizi berubah pias. "Astaga Di. Lo kok gitu amat sih. Kita udah berkawan sejak kita masuk SMP. Sudah berapa lama kita berteman Di."
"Ya makanya lo janji buat ceritain ke gue. Kita saling berbagi rasa sedih kita rasa suka kita. Tapi kenapa lo nikah gak bilang bilang. Kecewa gue." Dian tampak cemberut.
Zizi menautkan kelingkingnya dengan kelingking Dian. "Gue janji. Tapi wajah lo jangan cemberut gitu dong. Jelek ih." ledek Zizi.
Dian tampak menampilkan wajah cerianya lagi. "Oke. Siapa juga yang jelek. Cantik begini." Dian bercermin.
"Yok berangkat." Zizi menarik tangan Dian.
"Tante makasih ya...." pekik Dian seraya keluar dari butik.
Tante Rina keluar dari kantornya. Melihat tingkah keduanya membuat wanita paruh baya itu menggeleng pelan.
"Dasar bocah." gumamnya pelan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!