Hannah dan Danira kini tengah duduk berdua dibangku taman, keduanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing sampai Hannah membuka percakapan.
"Nanti setelah kita berdua lulus , kamu mau berkerja apa mau lanjut kuliah, Ra?" tanya Hannah pada teman dekatnya sejak pertama kali masuk sekolah.
"Kayanya aku mau lanjut kerja aja, Han. Kamu tahu sendiri, bagimana kehidupan keluargaku. Aku ragu, kalau aku masuk kuliah apa orang tuaku akan sanggup menanggung biayanya." jawab Danira dengan suara lirih, dan tatapan sedih.
"Memangnya kamu mau kerja apa hanya dengan ijazah SMA, Danira?" tanya Hannah.
Danira mengedipkan bahunya.
"Apa saja, yang penting halal, jadi pelayan toko, atau pelayan restoran, jadi pembantu juga aku gak masalah."
Danira terlihat sangat pasrah dengan keadaannya.
Hannah meraih tangan Danira, seolah ingin menguatkan temannya itu.
"Andai aku bisa membantumu, Ra." Ucapnya pelan. Danira turut menggenggam erat tangan Hannah.
"Bukankah dari dulu kamu sudah banyak membantuku, Han. Kamu satu-satunya teman terbaikku." Danira menatap mata lekat wajah Hannah.
Hannah Aurora Lee.
Ayahnya seorang pria asal Korea.
Sedangkan Ibunya asli orang Sunda.
Teman yang selalu ada dalam suka dan duka hidupnya Danira, teman yang selalu membela Danira dari ejekkan teman-temannya sekolah
Danira Grisela, bisa satu sekolah dengan Hannah karena mendapat beasiswa.
Ayahnya hanya penjual soto keliling, sementara Ibunya hanya seorang buruh cuci dari rumah kerumah.
Danira tak terlalu berharap bisa melanjutkan pendidikannya, karena masih ada dua orang adiknya yang masih memerlukan biaya pendidikan, ia harus memikirkan masa depan adiknya Rio dan Rina.
Para murid disekolah Danira seolah tak menyukai kehadiran anak orang miskin seperti Danira turut sekolah ditempat itu.
Mereka selalu mengatakan keberadaan Danira mencemari sekolah mahal mereka.
Beruntung Danira masih bisa bertahan, karena kehadiran Hannah. Apalagi hanya ini satu-satunya kesempatan bagi Danira untuk bisa mendapat gelar lulusan SMA.
Berkat adanya Hannah yang bersedia menjadi temannya, membuat Danira merasa lebih lega menjalani hari-harinya disekolah.
Hannah memang teman dalam suka, maupun duka bagi Danira. Meski perbedaan diantara mereka sangatlah jauh.
Dari segi fisik.
Hannah bertubuh tinggi, berkulit putih, dengan mata bening kecoklatan.
Sedangkan Danira bertubuh kecil, berkulit sawo matang, dengan mata hitam pekat.
Begitu juga dengan status sosial mereka.
Hannah adalah anak orang kaya, apapun yang dia mau selalu bisa ia dapatkan.
Sementara Danira, harus bekerja lebih dulu atau membantu orang tuanya, hanya untuk memenuhi apa yang dia butuhkan
Hanya yang dia butuhkan, bukan yang dia inginkan.
Meski mereka sangat jauh berbeda, mereka bisa menjadi teman dekat dan Hannah selalu jadi orang pertama yang membela Danira saat ia di ejek oleh siswa lain di sekolah.
Rasa mereka berdua saling menyayangi, dan rasa itu tumbuh dengan sendirinya. Sampai mereka bisa berteman baik selama tiga tahun.
Mereka tetap akrab karena rasa percaya diantara mereka berdua.
***
Hannah dan Danira berjalan beriringan menuju rumah Danira. Namun, baru saja mereka sampai teras rumah sederhana Danira, mereka mendengar suara tangisan, dan makian dari dalam rumah Danira.
Dengan cepat Danira dan Hannah melangkah memasuki rumah melalui pintu depan yang terbuka lebar.
Danira dan Hannah melihat Bu Rania, ibunya Danira tengah menangis, ia mendapat teguran dari tiga orang yang berdiri di hadapannya.
Mereka adalah Pak Bram, seorang rentenir yang terkenal kejam ditempat itu, dan dua orang anak buahnya.
Mata Pak Bram menatap Danira dan Hannah dari atas sampai bawah.
Tatapan yang seakan ingin menerkam mereka berdua, bibirnya mengukir senyum yang sangat menyeramkan, dalam pandangan Danira dan Hannah.
"Kalian harus ingat, aku memberi kalian waktu satu minggu lagi. Kalau kalian masih belum melunasi hutang kalian dalam waktu satu minggu, dan tidak bisa membayar sisa hutang kalian yang 10 juta, mau tak mau kalian harus merelakan Danira untuk jadi istri kelimaku, kalau kalian tak mau menyerahkan Danira, aku akan mengambil tanah dan rumah ini!" suara Pak Bram menggema diseluruh isi rumah yang sempit itu.
Ucapan Pak Bram, seketika membuat wajah Danira dan Ibunya pucat pasi. Terdengar suara Ibu Rania yang tengah menghiba dan memohon agar Pak Bram mau menambah tengat waktu untuk melunasi hutang mereka.
Danira dengan cepat meraih tubuh Ibunya dan menggenggam tangan Ibunya dengan erat. Kedua pipi wanita itu dibanjiri air mata.
Hannah yang menyaksikan kejadian itu turut berkaca-kaca.
Pak Bram menatap Danira dari ujung kepala, sampai ujung kaki.
Seringai kembali hadir di wajahnya.
"Cantik, kamu harus ingat , satu minggu lagi kamu akan resmi menjadi istriku." Ucapnya seraya terkekeh, dan berlalu keluar dari rumah itu bersama dua orang anak buahnya.
Bu Rania meraung sejadinya setelah Pak Bram meninggalkan rumah mereka. Danira dan Hannah hanya bisa menenangkan Bu Rania.
***
Setelah pulang dari rumah Danira, Hannah mengunjungi kantor Papanya, ia tak memperdulikan asisten pribadi Papanya, yang melarang Hannah masuk, karena Papanya tengah sibuk, karena kedatangan seorang tamu.
Hannah seketika terdiam, menatap sosok wanita seksi, yang tengah duduk dikursi tepat disamping Papanya
Lengan wanita itu melingkarkan lengannya dipinggang Papanya, seolah mengatakan kalau Papanya hanya milik wanita itu.
Saat melihat Hannah masuk, wanita itu berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah Hannah.
"Hai Hannah, kamu apa kabar? Tante ke sini cuma untuk membawakan makanan untuk Papamu. Papamu katanya belum sempat makan sejak pagi, karena masih banyak pekerjaan. Sekarang Tante harus kembali ke kantor Tante. Dah Sayang." wanita itu melambaikan tangan pada Hannah, setelah mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja.
Wanita itu, Tante Dona kekasih Papanya Hannah yang tidak pernah ia sukai. Bibir Hannah mengerucut, dengan wajah yang ditekuk menatap ke arah Papanya, Hajun Lee.
Hajun bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri Putri satu-satunya dan mencium kedua pipi putrinya.
"Kenapa, Sayang?" tanya Hajun.
“Papa ingat kan sama janji Papa?” tanya Hannah.
"Janji yang mana, Sayang?" tanya Hajun bingung, lalu menarik lengan Hannah untuk duduk di sofa bersamanya.
"Papa janji akan mengabulkan apapun permintaanku, kalau aku berhasil mendapat peringkat lima besar saat kelulusan di sekolahku nanti?" tanya Hannah.
Hajun menganggukkan kepalanya. "Hmm... lelaki yang dipegang omongannya kan, pasti Papa akan mengabulkan apapun yang kamu mau." Jawab Hajun santai.
Hannah mengulurkan jari kelingkingnya dihadapan Hajun.
"Janji!"
Hajun mengaitkan jari kelingkingnya dikelingking Hannah.
"Janji" ucapnya seraya tertawa kecil.
Hannah mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.
"Sumpah!" Lagi Hannah menuntut.
"Sumpah!" jawab Hajun, yang juga mengangkat dua jarinya, masih tetap tersenyum, lalu mengacak rambut putrinya gemas.
"Sebenarnya apa yang kamu mau, Sayang? Jalan keluar negri? Kuliah disana? Atau mau mobil keluaran terbaru?" Tanya Hajun.
Hannah menggeleng lirih.
"Beberapa hari lagi pengumuman kelulusan, aku akan menagih janjiku pada Papa hari itu," jawabnya penuh penuh rahasia.
Hajun tertawa kecil, lalu mencubitnya pipi Hannah gemas.
"Iya, Sayangku. Papa pasti akan mengabulkan apapun permintaanmu." Jawab Hajun meyakinkan Hannah, kalau ia akan memenuhi janjinya.
***
Hannah dan Danira duduk di kursi taman sekolah seperti biasa.
“Bagaimana keadaan Ibumu, Ra?” tanya Hannah pada Danira.
"Ibu menangis terus dari semalam Han. Ibu menyalahkan dirinya sendiri, karena hutang itu untuk membiayai operasi kanker payudara Ibu. Aku kasihan tapi apa yang bisa aku lakukan." jawab Danira lirih.
"Bapakmu...bagaimana?" tanya Hannah lagi.
"Bapak bilang... Bapak lebih rela menyerahkan tanah, dan rumah kami dari pada menyerahkan aku pada Pak Bram, Han."
"Lalu kalian akan tinggal di mana?" tanya Hannah lagi.
Danira menggelengkan kepalanya pelan.
"Entahlah," jawabnya dengan suara yang sangat lirih.
"Kamu jadi mau kerja, setelah lulus, Ra?" tanya Hannah.
Danira menganggukkan kepalanya lagi.
"Kamu mau tidak, kalau bekerja di rumahku?" Mata Hannah menatap Danira dengan penuh harap.
Danira membalas tatapan Hannah dengan tatapan bingung.
"Kerja di rumahmu?" tanya Danira dengan suara seolah dia tidak percaya dengan pendengarannya.
Mereka memang sahabat karib, tapi sampai saat ini Hannah yang selalu berkunjung ke rumah Danira, sedangkan Danira tidak pernah sekalipun berkunjung ke rumah Hannah.
Setahu Danira, Ayah Hannah bekerja di luar negeri dan hanya pulang sesekali.
Hannah tinggal bersama dengan Neneknya,
Orang tua Ibunya.
"Maksudmu, di rumah Nenekmu, Han?" tanya Danira lagi, karena Hannah diam saja tidak menjawab pertanyaannya tadi.
Hannah menggelengkan kepalanya pelan.
"Rumah Papaku. Tiga bulan lalu Papaku kembali ke sini" jawab Hannah.
"Owhh... Aku mau Han, aku mau, jadi tukang masak, tukang cuci, tukang kebun juga mau, asal jangan jadi supir, karena aku tidak bisa menyetir." Ucap Danira bersemangat, sambil terkekeh pelan.
"Bukan itu pekerjaan yang ingin Aku tawarkan
kepadamu, Ra." suara Hannah terdengar meragu.
"Lalu? Baby sitter? Papamu nikah lagi ya? Kamu punya adik?" Danira mencecar Hannah dengan banyak pertanyaan.
Hannah menggelengkan kepalanya ragu.
"Aku mohon, kamu jangan tersinggung ya, Ra. Aku ingin sekali membantumu. Aku ingin selalu bersamamu. Aku sudah putuskan menawarkan ini kepadamu. Papaku belum tahu kalau aku menawarkan hal ini kepadamu. Tapi Papaku sudah berjanji, kalau aku masuk lima besar lulusan terbaik, maka aku boleh meminta apa saja. Aku akan memintanya menuruti keinginanku ini, Ra." jelas Hannah panjang lebar pada Danira.
"Jadi pekerjaan apa yang ingin kamu berikan untukku, Han?" tanya Danira semakin penasaran.
Hannah menatap Danira dalam, Danira balas menatap mata sahabatnya itu.
"Berjanjilah kamu tidak akan marah padaku, berjanjilah, Ra!" Hannah menggenggam jemari Danira.
Danira mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.
"Janji...cepat katakan!" Desak Danira tidak sabar lagi.
Hannah menarik nafas dalam, sebelum menjawab pertanyaan Danira.
"Pekerjaan yang ingin aku tawarkan kepadamu, Ra, bukan pekerjaan sesungguhnya, bukan hal yang biasa, karena pekerjaan ini... eehmm, hhh... kumohon, An, jadilah Mamahku, menikahlah dengan Papaku," Hannah menggenggam erat jemari Danira, matanya yang berkaca-kaca menatap mata Danira dengan penuh permohonan.
Permintaan Hannah seperti petir disiang bolong bagi Danira. Mata Danira berkedip-kedip menatap sahabatnya.
"An... Aku mohon Ra. Terdengar egois memang, karena aku memintamu menikah dengan Papaku yang sudah tua, tapi Papaku belum renta kok Ra, badannya masih tegap belum bungkuk, matanya masih awas tanpa kaca mata, wajahnya belum keriput meski sudah banyak umurnya, Ra, aku mohon Ra, mau ya....," bujuk Hannah sembari mempromosikan Papanya, di hadapan sahabatnya yang sangat ingin ia jadikan Mamahnya.
Mata Danira masih berkedip-kedip.
Ia sepertinya tengah mengalami shock akibat permintaan sahabatnya yang tidak terduga itu.
********
********
Danira meletakan tangannya dahi Hannah, dan leher Hannah.
"Kamu enggak panas Han, tapi kenapa bicara kamu melantur ya?" Danira mengerutkan dahi, bingung.
Hannah menghela nafas berat, lalu mengeluarkannya pelan.
"Waktumu kurang dari seminggu untuk berpikir. Kedua Nenek, dan Kakek ku sudah setuju, untuk membayar semua hutang keluargamu. Mereka juga akan membiayai pendidikanmu, dan kedua adikmu, selama kamu mau jadi Mamaku." Hannah mencoba meyakinkan Danira.
"Jadi, maksud kamu, ini beneran Han?" Danira masih belum percaya dengan apa yang diucapkan Hannah.
Hannah menganggukan kepala, lalu menggenggam jemari tangan Danira erat.
"Aku mohon, Ra. Please, bantu aku, jadilah Mamaku." Hannah memohon, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bantu kamu? Aku tidak mengerti, Han, Dalam hal ini, aku yang ingin kamu bantu, Kenapa sekarang kamu yang minta bantuan sama aku?" tanya Danira semakin bingung.
Matanya menatap wajah Hannah yang memelas, dengan tidak berkedip.
Menurut Danira dirinya yang seharusnya minta bantuan pada Hannah, bukan Hannah yang butuh bantuannya.
Kembali terdengar Hannah menarik nafas berat.
"Papaku, dia punya pacar namanya, Tante Dona. Aku, dan kedua Nenek Kakekku tidak suka dengan Tante Dona. Makanya kita berusa memisahkan mereka, dengan memaksa Papa untuk menikah denganmu. Aku tidak ingin Mamah yang lain. Aku maunya kamu yang jadi Mamahku."
"Tapi kenapa harus aku, Han. Masa Ibu tiri, seumuran denganmu?"
"Cuma kamu yang bisa membuat aku nyaman, dan tenang. Lagipula Kakek sama Nenek juga sudah setuju dengan hal ini."
"Tapi Papamu belum tentu setuju."
Hannah tersenyum, kata-kata Danira tadi menyiratkan kalau Danira mulai memikirkan tawarannya.
"Aku akan buat Papa setuju, bagaimanapun caranya" jawab Hannah, kembali bersemangat.
"Aku belum bilang mau, Han" goda Danira.
"Dari pada kamu menikah sama Pak Bram, sudah tua, jelek, lintah darat, jadi bini kesekian pula. Hiiy, serem." Hannah bergidik, kemudian melanjutkan.
"Lebih baik sama Papaku, ganteng, gagah, masih muda mirip Lee Min Ho pula" Hannah mulai lagi mempromosikan Papanya.
Danira tertawa, mendengar Hannah berusaha mempromosikan Papanya.
Danira belum pernah bertemu, ataupun melihat foto Papa Hannah sekalipun.
"Kalau Papa kamu secakep Lee Min Ho, bisa makan hati aku nanti, Han." Danira tertawa seakan lupa dengan masalahnya.
"Lihat saja nanti besok, kamu pasti akan jatuh cinta pada pandang pertama, sama Papaku." Hannah menggoda Danira.
"Memangnya Papamu yang akan mengambil nilai kelulusanmu besok Han?" tanya Danira.
"Ya, akan kita lihat besok, berapa cewek yang akan terpesona, begitu melihat ketampanan, seorang Hajun Lee." Kikik Hannah, Danira ikut tertawa bersamanya.
"Eeh, kamu belum jawab tawaranku." Hannah mengampit tangan Danira.
"Beri Aku waktu berpikir, Han. Aku juga harus bicara dengan Bapak, dan Ibu," jawab Danira.
Hannah mengangguk setuju.
"Aku berharap dapat jawaban secepatnya, dan kabar baik yang akan aku terima." harap Hannah.
"Semoga saja, Han." jawab Danira singkat.
***
Waktu pengumuman kelulusan tiba.
Benar apa yang dibayangkan Hannah sebelumnya, terjadi juga akhirnya.
Begitu Papanya, Hajun Lee, ke luar dari dalam mobil, semua mata memandang takjub akan ketampanan Papanya.
Papanya tinggi, putih, rambutnya hitam lebat, matanya bening kecoklatan, lengannya kokoh, dadanya bidang, bahunya tegap.
Hannah merangkul manja lengan Papanya, dengan senyum bangga menghiasi bibirnya. Mereka melangkah mendekati Danira yang datang bersama Bapaknya.
Danira merasa pipinya panas, saat ingat kata-kata Hannah tempo hari, yang mengatakan, kalau Danira akan jatuh cinta pada pandang pertama pada Papanya.
'Benar kata Hannah, Papanya ganteng bahkan lebih ganteng dari Lee Min Ho.' batin Danira.
"Hay, Danira, Bapak, apa kabar?" Hannah menjabat tangan Bapaknya Danira.
"Baik, Nak Hannah." Bapaknya Danira menyambut uluran tangan Hannah.
"Papa kenalkan, ini sahabat Hannah, Danira, dan ini Bapaknya" Hannah memperkenalkan sahabatnya pada Papanya. Hajun mengangguk, sambil menyalami Bapaknya Danira.
"Hajun!!" Ucapnya singkat, seraya tersenyum. Kemudian menyalami Danira.
"Terimakasih sudah jadi teman terbaik untuk Hannah."
Danira hanya mengangguk tanpa suara, menyambut uluran tangan Hajun.
***
Hannah dan Danira bernapas lega, mereka berdua sudah lulus SMA.
Danira diperangkat 2 sementara Hannah diperingkat 5.
Mereka berdua saling memeluk bahagia, diiringi derai air mata bahagia.
Hannah melepas pelukannya pada Danira. Lalau berbisik pelan di telinga Danira.
"Aku tunggu jawabanmu segera." bisiknya lirih.
Danira tersenyum
"Aku kira kamu sudah lupa, Han."
"Lupa? Tidak akan, An. Karena itu impianku, untuk selalu bisa dekat denganmu, bagaimana? Betulkan Papaku ganteng?" Hannah melirik Papanya yang tengah bicara dengan Bapaknya Danira, Danira mencubit pinggang Hannah gemas, membuat Hannah terpekik.
"Seandainya aku setuju, belum tentu Papamu setuju, Han." Danira menatap ke arah Hajun, dan Bapaknya.
Hannah manggut-manggut.
"Hmmm... sepertinya benar, ada yang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama." goda Hannah, sambil mengedip-ngedipkan mata ke arah Danira.
Danira memukul lengan Hannah dengan lembut.
"lissshh, sepertinya kamu akan jadi anak tiri paling menyebalkan. Aku harus berpikir jutaan kali lagi untuk jadi Mamahmu, Han." sengit Danira.
Hannah terkekeh sambil memeluk bahu Danira.
Hajun dan Bapaknya Danira mendekati ke duanya.
“Papa, ingat ya dengan janji Papa.” Hannah melepaskan pelukan di bahu Danira, lalu memeluk lengan Hajun dengan manja.
Hajun mengangguk pelan.
"Iya, kamu mau minta apa?" tanya Hajun.
"Ada deh, tapi nanti saja," jawab Hannah, masih belum mau mengatakan permintaan pada Papanya.
"Maaf Pak Hajun, Nak Hannah. Bapak pulang duluan." Pak Burhan mengulurkan tangannya pada Hajun, dan Hannah.
"Oh ya, Pak. Saya juga harus kembali ke kantor." Hajun menyambut uluran tangan Pak Burhan.
"Danira, Bapak pulang duluan ya, kasihan Ibumu sendirian menyiapkan jualan." Danira mencium punggung tangan Bapaknya.
"Iya Pak, Danira juga sebentar lagi pulang. Hati-hati ya, Pak."
Bapak Burhan mengangguk, lalu berlalu menuju parkiran mengambil motor miliknya.
"Papa, anterin aku ke rumah Danira ya. Nanti sore, baru jemput aku." Hannah menatap Papanya manja.
"Kita jalan saja, Han. Seperti biasanya." Ucap Danira.
Hajun menatap Danira, teman dekat anaknya. Hajun tidak tahu, bagaimana bisa Hannah memiliki teman seperti Danira, yang dari penampilannya bagaikan langit, dengan bumi dengan putrinya.
Putrinya hampir korea seutuhnya, dengan rambut hitam lebat, kulit putih bersih mulus, tinggi semampai. Dan bola matanya bening kecoklatan.
Sedangkan Danira, tingginya hanya sebahu Hannah, kulitnya sawo matang, rambut panjangnya hitam legam, dan kulit tangannya terasa kasar, saat tadi mereka berjabat tangan.
"Papa!" Hannah menyadarkan Hajun dari lamunan.
Danira yang sadar Hajun tengah menilainya, merasakan pipinya memerah. Pandangan mata Hajun yang seakan meremehkan dirinya, membuatnya jadi tidak enak hati.
"Oke, Papa antar kalian." jawab Hajun. Hannah bersorak kegirangan.
Rumah Danira memang tidak begitu jauh dari sekolah mereka.
Hajun ikut ke luar dari mobil, saat mereka tiba di halaman rumah Danira.
Ia tak menyangka, putri manjanya bisa betah berlama-lama di rumah yang tidak layak huni, menurut pandangan Hajun.
Di teras rumah, Pak Bram sedang memaki-maki kedua orang tua Danira.
Danira lari ke teras diiringi Hannah dan Hajun.
"Nah, ini dia calon istriku, sebentar lagi kamu akan jadi milikku, manis," Pak Bram terkekeh, tangannya berusaha menjangkau wajah Danira.
Danira berusaha menepiskan tangan Pak Bram yang ingin menyentuhnya.
"Anda sudah berjanji seminggu lagi baru kembali, bukan? Kenapa anda datang hari ini?" Tanya Danira dengan nada marah.
"Aku hanya ingin melihatmu, Manis," jawab Pak Bram, sambil kembali ingin meraih wajah Danira.
Tiba-tiba, Hajun menarik tangan Pak Bram yang ingin menyentuh wajah Danira.
"Sebaiknya anda pergi!" Pandangan Hajun, menatap tajam Pak Bram.
Pak Bram menepiskan tangan Hajun dengan kasar, dibalas tatapan Hajun yang masih tajam.
"Anda jangan ikut campur, ini urusan saya! Hmmm baiklah, hari ini saya akan pergi. Tapi ingat, beberapa hari lagi, saya akan kembali." Pak Bram melangkah ke luar dari teras diiringi dua anak buahnya.
Hajun menatap Danira dan keluarganya, ia ingin meminta penjelasan atas apa yang barusan terjadi tadi.
"Han, sebaiknya kamu ajak Papamu pulang ya." Danira mendekati Hannah.
Hannah menatap mata Danira, ada kesedihan yang dalam di sana.
Hannah mengangguk.
"Telpon aku kalau ada apa-apa ya, Ran." mohon Hannah. Danira mengangguk.
Hannah mengajak Papanya pamitan, lalu pergi meninggalkan rumah Danira.
Menyisakan pertanyaan di dalam hati Hajun, tentang apa yang baru saja terjadi di depannya tadi.
'Ada apa dengan keluarga Danira? istrinya?
Sungguh tidak pantas orang setua itu ingin menikahi bocah ingusan seperti Danira.'
Hajun meremas setir mobil dengan kuat. Ada kemarahan di dalam hatinya. Ia merasa marah, karena sahabat putrinya diperlakukan tidak senonoh seperti tadi.
Hajun yakin, jika Danira terluka, maka Hannah juga pasti merasakan sakit yang sama.
Hannah yang duduk di sebelah Papanya terus memperhatikan gerak gerik, dan mimik wajah Papanya.
Hannah berusaha tersenyum, ia yakin Papanya pasti sedang memikirkan kejadian di rumah Danira tadi.
'Hmmm... baguslah, kalau nama Danira sudah mulai masuk ke dalam pikiran Papanya.' batin Hannah senang.
*********
*********
Saat Hannah tengah berbaring diranjang empuknya, tiba-tiba saja ponsel Hannah berdering.
Hannah dengan cepat bangkit dan meraih ponselnya.
"Danira" Hannah bergumam saat menatap layar ponsel.
"Halo, An." sapa Hannah.
"Iya Han. Aku sudah bilang sama orang tuaku," jawab Danira di seberang sana.
"Terus, orang tuamu bilang apa, Ra?" tanya Hannah dengan hati berdebar sekaligus tak sabar.
Danira menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Hannah.
"Danira!!" Hannah kembali memanggil karena sudah tak sabar.
"Iya Han, orang tuaku bilang... iya," suara Danira terdengar sedikit berat mengucapkan kalimatnya.
Hannah terjingkat kegirangan dan terus melompat diatas ranjang setelah mendengar jawaban Danira.
"Terima kasih banyak, Ra. Sekarang juga aku berangkat ke kantor Papa. Sekali lagi terima kasih banyak ya, An." tanpa menunggu lama, Hannah bergegas menutup panggilan.
Hannah melangkah cepat dan meminta supirnya untuk mengantar dirinya ke kantor sang Papa.
Dalam perjalanan ke kantor Papanya, Hannah menyempatkan menelpon Nenek dan Kakeknya untuk menyampaikan kabar gembira dari jawaban Danira barusan.
***
Hajun yang beberapa hari ini disibukan dengan pekerjaan, sampai lupa menanyakan tentang kejadian dirumah Danira pada Hannah.
Bahkan untuk makan siang saja, Dona yang mengantarkan ke ruangannya.
Sama halnya dengan hari ini, setelah makan siang, Dona kini mulai merayunya dengan menciumnya.
Dona duduk di atas lengan sofa, tangannya melingkar sempurna dileher Hajun.
Namun, tiba-tiba saja pintu terbuka, Hannah seketika muncul di ambang pintu ruangan Papanya.
"Papa!" Hannah tersentak di ambang pintu, wajahnya merah padam, menahan amarah saat melihat apa yang dilakukan Dona dan Papanya.
Dona dengan cepat berdiri dari duduknya dan melepaskan tanggannya dari leher Hajun, lalu ia mengambil tas miliknya diatas meja.
Dona melangkah menghampiri Hannah.
"Kamu gak perlu marah, Hannah. Aku tidak akan menguasai Papamu, hanya untukku sendiri." Ucap Dona seraya melangkah didepan Hannah.
Kedua tangan Hannah terkepal erat. Kepala Hannah seolah mendidih dan mengeluarkan asap.
Hajun mendekati putrinya.
"Jangan dimasukan kehati ucapan Tante Dona barusan ya!" Hajun mengusap rambut putrinya lembut.
"Duduklah, kamu ingin minum apa? Ada apa siang-siang begini datang ke kantor Papa? Ada yang penting?" Hajun berucap lirih.
Hannah menggelengkan kepala, Ia masih berusaha meredam amarahnya.
"Aku mau menagih janji Papa!" Hannah memandang lekat tepat ke bola mata kecoklatan milik Papanya.
"Janji? Ooh... janji akan memenuhi permintaanmu kemarin? Baiklah, minta apa yang kamu mau, Sayang. Papa akan mengabulkannya." Hajun mengusap lembut jemari Hannah.
"Menikahlah dengan Danira!"
Hajun bak disambat petir disiang bolong setelah mendengar permintaan Hannah.
"Danira? Maksudmu, Danira temanmu yang kucel itu? Ya ampun, Han... apapun yang kamu minta akan Papa kabulkan, tapi permintaanmu kali ini sangat kelewatan!" Hajun berdiri, ia memandang marah pada putrinya, dengan tangan berkacak pinggang.
"Tapi Papa kan udah janji!" Hannah tutut berdiri, matanya yang berkaca-kaca, menatap Papanya dengan tatapan marah.
"Papa emang udah janji, tapi tidak kalau permintaanmu seperti ini!" Hajun semakin marah.
Hannah menghapus air matanya.
"Kalau Papa tidak mau mengabulkan permintaanku, maka Papa jangan harap bisa bertemu aku lagi!" sengit Hannah, dan sebelum Hajun sempat berkata-kata, Hannah sudah berlari ke luar dari kantor Papanya.
Hajun mengacak rambutnya, baru kali ini ia bertengkar dengan putrinya.
"Apa yang sudah meracuni pikiran Hannah sampai memiliki ide segila itu" batin Hajun.
Hajun tahu kalau Hannah sangat tidak menyukai Dona, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya menentukan siapa wanita yang harus ia nikahi.
Hajun yang kehilangan semangat untuk meneruskan pekerjaannya, hanya duduk bisa termenung di kursi kerjanya.
Hajun teringat ancaman Hannah tadi, sesaat sebelum Hannah ke luar dari kantornya.
Hajun bergegas meraih ponselnya untuk menghubungi Hannah.
Tapi ponsel Hannah tidak aktif.
Ditelponnya orang rumah, dan jawaban asisten rumah tangganya adalah.
Hannah tidak ada dirumah.
Dicobanya menelpon orang
tuanya, menanyakan apakah Hannah ada di sana. Jawaban mereka Hannah tidak ada juga di sana.
Ditelponnya mertuanya, atau Orang tua dari Ibunya Hannah,
Jawaban mereka sama, Hannah tidak berada di sana juga.
Pikiran Hajun semakin merasa kacau, begitu juga dengan perasaanya.
Tiba-tiba Hajun teringat sesuatu, cepat diraih kunci mobil, dompet, dan ponselnya. Lalu Hajun bergegas ke luar dari ruangan itu menuju parkiran.
***
Hannah masih terisak dibahu Danira.
"Aku benci sama Papa... Papa udah ingkar janji, Danira." isaknya pelan dengan air mata yang berderai.
"Gak boleh gitu Han, gimanapun juga , Om Hajun itukan Papa kamu, kamu gak boleh membenci orang tua sendiri." Danira berusaha menenangkan Hannah.
“Aku nginep di sini ya, Ra, bolehkan?” tanya Hannah dan Danira hanya mengangguk saja.
Danira tidak tahu, kenapa Hannah sangat senang berada di rumahnya yang sangat sederhana ini.
Padahal Danira sangat yakin, kalau rumah Hannah pasti beribu kali lipat lebih bagus dari pada rumahnya.
"Tapi besok kamu harus pulang ya, Han." bujuk Danira.
"Besok aku pulang ke rumah Nenek saja. Aku tidak mau bertemu Papa!" Hannah menyeka air matanya.
"Iya...." Danira mengangguk.
Tiba-tiba, suara Pak Bram terdengar dari luar rumah Danira.
Danira dan Hannah saling pandang, ada perasaan takut menyergap mereka, karena saat ini mereka hanya berdua saja di dalam rumah Danira.
Bapaknya Danira sedang berkeliling berjualan Soto. Sedangkan Ibunya tengah berkerja dirumah tetangga dibantu dua orang adik Danira.
Hannah dan Danira ke luar menemui Pak Bram. Wajah Pak Bram menyeringai ke arah mereka berdua.
"Hay, manis, hari ini adalah hari terakhirmu berstatus sebagai gadis. Besok kamu sudah akan resmi menjadi istri Bram Handoyo!" tawa Pak Bram menggema, terdengar sangat memuakkan bagi telinga Hannah dan Danira.
Pak Bram, dan anak buahnya melangkah maju untuk mendekati Danira dan Hannah. Danira dan Hannah mundur untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Pak Bram kembali menyeringai, memperlihatkan giginya yang berwarna coklat akibat terlalu banyak merokok.
Tangannya berusaha menggapai tubuh Danira, tangan Danira sekarang ada di dalam genggaman tangannya.
Danira berusaha berontak dari cengkeraman tangan Pak Bram, Ia berteriak meminta bantuan dengan sekuat tenaga, dan suara sekerasnya.
anak buah Pak Bram menutup pintu, dan menguncinya.
Hannah berusaha menolong Danira, tapi dua orang anak buah Pak Bram menahannya dengan memegangi kedua tangannya.
Tawa mereka membuat Hannah ingin muntah rasanya. Airmata sudah membasahi pipi Danira dan Hannah.
Suara teriakan mereka masih terdengar.
Tiba-tiba pintu depan yang tertutup rapat, dan terkunci ada yang mendobrak, pintu itu jatuh berdentum diatas lantai.
Hannah melihat Papanya menjebol pintu, dibantu beberapa warga. Pak Bram, dan kedua orang anak buahnya segera melarikan diri dari pintu belakang rumah Danira.
Hajun dengan cepat memeluk Hannah dengan erat, Ia bersyukur karena datang tepat waktu. Warga yang ada di situ menghampiri Danira yang tak sadarkan diri.
Tekanan batin yang beberapa waktu ini menghimpit pikiran, dan perasaannya membuat kondisi tubuh Danira jadi lemah.
Hajun dengan cepat mengangkat tubuh Danira dan membawanya mobil, diiringi oleh Hannah.
Hajun meminta supir mobil Hannah agar menunggu keluarga Danira, dan membawa mereka ke rumah sakit nantinya.
Melihat Hannah terus menangisi Danira, yang kepalanya berbantalkan paha Hannah, Hajun bisa melihat, dan merasakan, betapa dekatnya mereka berdua dan betapa sayangnya Hannah pada Danira.
Hajun sekarang mulai memahami, kenapa Hannah menginginkan Danira sebagai Mamanya.
Hannah butuh seorang Mama yang bisa jadi teman, jadi sahabat, untuk tempat berbagai rasa. Dan Danira yang paling diinginkan untuk menjadi Mama tirinya.
Hajun harus mengakui, selama ini Dona memang gagal mendekati Hannah, juga kedua orang tua dan mertuanya. Dona terlalu sibuk mengambil hati, dan perhatiannya.
***
Danira mengerjapkan mata, yang pertama dilihatnya adalah wajah Hannah yang berurai air mata.
"Han... aku di mana? Jangan menangis Han." suara Danira membuat Hajun juga kedua orang tua Danira mendekatinya.
“Syukurlah, kamu sudah sadar, Nak?” tanya ibunya, dan dijawab Danira dengan anggukan kepala.
"Maaf sudah merepotkan semua." Ucap Danira dengan suara lemah.
"Jangan bicara seperti itu, Ra." ucap Hannah seraya menyeka air matanya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruang perawatan tempat Danira dirawat.
"Masuk." Ucap Bapaknya Danira.
Pintu terbuka seorang juru rawat pria berdiri di ambang pintu.
"Keluarga pasien, diminta mengurus biaya administrasi." ucap orang yang datang itu.
Hajun mendekati orang itu.
"Saya yang akan mengurusnya." jawab Hajun dan jawaban itu membuat Hannah menatap Papanya dengan pandangan lekat.
Orang yang di depan pintu menatap Hajun ragu.
"Saya calon suami pasien... keluarga juga kan." jawaban Hajun seakan ingin menghapus keraguan orang itu.
Semua mata memandang Hajun tidak percaya, setelah mendengar kata-kata yang barusan diucapkannya.
Bukankah Hajun sudah menolak permintaan Hannah, itu yang diceritakan Hannah pada mereka saat Hannah baru datang ke rumah mereka tadi.
Tapi kenapa sekarang Hajun bisa berubah pikiran. Hannah mendekati Papanya.
"Papa?" Hannah memandang wajah Papanya dengan raut penasaran juga kebingungan.
Hajun memeluk bahu Hannah lembut.
"Apapun akan Papa lakukan untuk bisa terus bersamamu putri kecilnya Papa." Ucap Hajun. Hannah menangis bahagia dalam pelukan Papanya.
"Terima kasih, Papa sudah mau mengabulkan permintaanku." Ucapnya.
Melihat sikap lembut Hajun pada Hannah, orang tua Danira semakin yakin kalau keputusan mereka menerima tawaran Hannah tidaklah salah.
Danira menundukan wajahnya, dia tidak tahu harus sedih atau gembira.
Tapi, melihat kembali senyum diwajah kedua orang tuanya, itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Hajun melepas pelukannya ditubuh Hannah.
"Papa urus biaya administrasinya dulu ya!" Ucap Hajun.
Kemudian Hajun mengangguk kepada kedua orang tua Danira, Namun, Hajun tak memandang ke arah Danira sedikitpun.
Danira merasa sadar diri, baginya apa yang dilakukannya memang bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, karena hal ini sama saja seperti ia tengah menjual dirinya.
Tapi Danira merasa tidak lagi mempunyai pilihan lain, kebahagiaan orang tua, dan kedua adiknya adalah yang paling utama sekarang ini.
Danira menatap punggung Hajun yang menghilang dibalik pintu.
'Siapa sangka, Oppa Korea itu akan jadi suamiku. Ya!! Walaupun pernikahan ini tak akan seperti pernikahan pada umumnya. Pernikahan atas dasar cinta' batin Danira.
******
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!