NovelToon NovelToon

Ti Amo ("Buka Hatimu Untukku")

Part 1 Masa Kecil

Karakter :

Liliana Atmariani Mahiswara

Supel, senang bercanda, usil dan selalu riang walau ada kesedihan. Anak tunggal dari seorang ibu yang memiliki perusahaan besar.

Andika Pradana Danadyaksa

Pendiam, keras kepala dan egois. Bersahabat dengan Liliana sejak masa sekolah. Dika, hanya mau berteman dengan Liliana daripada dengan yang lainnya. Anak kedua dari keluarga yang memiliki perkebunan.

Renita Salwa Arjanti

Sahabat Dika dan Liliana semasa sekolah hingga dewasa. Ia memiliki sifat yang sama dengan Liliana. Anak dari seorang dosen.

Rendi Cakara Dierja

Kakak kelas Dika, Liliana dan Renita/Rere. Ia anak yang bersahabat, kalem, sopan dan menyukai Liliana secara diam-diam.

Kalau karakter Rere belum bisa saya temukan. Nanti akan saya carikan, ya.

Mari kita langsung membaca kisahnya. Cekidot

*****

Masa Kecil

“Hai ...” sapaku kepada anak baru pindahan yang baru beberapa hari datang.

“Hai juga …” sapanya ramah sambil menyambut uluran tanganku.

“Kamu anak pindahan itu, ya.

Kelas berapa?” tanyaku cerewet walau aku sudah tahu.

“Iya. Namaku Andika. Panggil saja aku Dika. Aku kelas V”

“Namaku Liliana. Teman-teman memanggilku Lili. Sama dong aku juga kelas V walau kita beda kelas," kataku dengan tertawa.

“ Senang berkenalan denganmu, Lili."

“ Senang juga berkenalan denganmu, Dika.”

*****

Sejak pertemuanku dengannya di pesta ulang tahun teman sekolah, kami menjadi teman atau bisa dikatakan kami adalah sahabat dekat. Dika sangat memperhatikanku dan selalu melindungiku dari gangguan anak\-anak nakal. Mungkin ini yang menyebabkan mengapa aku jatuh cinta padanya.

Di masa SMP kamipun di sekolah yang sama walau beda kelas, tetapi hal itu tak mengurangi pertemuan kami sebagai sahabat. Di sekolah inilah aku berkenalan dengan kakak kelas yang bernama Rendi. Ia menyukaiku. Namun, aku berusaha menolaknya karena tak suka.

“Li, ada yang suka sama kamu,”

kata Rere sahabatku dengan nada bercanda.

“Siapa memangnya?” Aku bertanya berlagak tidak tahu.

“Ah ... masa kamu tidak tahu, sih?” Rere menggodaku lagi.

“Benar aku tidak tahu, Re.” Aku berkata tak jujur padanya. Rere itu tukang gosip.

“Wah ada suka sama sahabat cantikku ini," goda Dika tiba-tiba sambil mengacak rambutku.

Aku tersipu malu.

“Memang siapa, Re?” tanya Dika sambil menyambar keripik milik Rere.

“Kakak kelas kita. Rendi namanya."

“Oh ... yang itu? Aku setuju itu, Li. Masa kamu tidak suka sama dia?” tanya Dika penasaran ingin tahu jawabanku.

“Ah ... kalian ini apa-apaan sih?”

“Ayo kita dukung Lili, Dika!” sorak Rere bertepuk tangan, teman-teman lain heran melihat kami.

Aku segera pergi, karena mereka telah membuat aku malu.

“Aduh ...! jerit kesakitanku saat tak sengaja menabrak seseorang. Bodohnya aku jalan sampai tak melihat.

“Maaf, ya. Sakit tidak?"

“Iya sakit. Makanya kalau jalan pelan dong." Aku memarahinya padahal jelas-jelas aku yang salah.

“Iya maaf deh. Aku sudah minta maaf masa tidak dimaafkan.”

“Iya sudah aku maafkan.”

“Namamu siapa ya?” tanyanya sambil menjulurkan tangannya ke arahku.

“Memang kenapa tanya namaku?” tanyaku dengan ketus.

“Memangnya tidak boleh berkenalan ya?"

“Namaku Rendi."

Aku terkejut. Ternyata ini yang namanya Rendi. Cowok berkacamata tapi mempunyai paras yang ganteng.

“Kok diam saja. Tidak punya nama ya?"

“Enak saja. Ya, punya dong. Namaku Liliana. Panggil saja aku Lili.” Aku kesal melihat tingkahnya.

"Kalau begitu aku panggil kamu Ana saja deh. Nama Lili seperti pasaran. Bagaimana?”

Aku melotot, enak saja mengatai namaku pasaran.

“Terserah kamu saja,” kataku sambil pergi.

Sejak saat itulah aku, Dika, Rere dan Rendi selalu bersama. Menginjak tahun kedua kami sekolah. Aku menjalin kasih dengan Rendi walau aku tidak tahu apa diriku menyukainya tidak? tapi hubungan kami hanya bertahan setahun saja karena tidak ada komunikasi antara kami sejak Rendi diterima di SMA favorit.

*****

Masa Kuliah

Hari ini aku merasa sangat kesepian, karena Dika tidak lagi bersamaku. Ia sudah menjadi kekasih Jessi. Setiap kali ia bertamu ke rumahku tak ada lagi yang dibicarakan adalah tentang Jessi. Aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik tanpa bisa berkomentar.

“Lili, kau sudah dengar kalau Andika nembak Jesica anak kelas sebelah”? tanya Rere sewaktu istirahat di kampus.

“Iya aku tahu. Tadi malam Andika memperkenalkan cewek barunya.” Aku menjawab pelan.

“Kamu tidak cemburu, Li?” lanjutnya sambil melihatku dengan tatapan sedih.

“Iya, tidaklah Re."

“Kamu menyukainya Andika sejak kalian kecil mengapa kamu tidak mengatakan yang sejujurnya, Li?"

“Lebih baik kami hanya menjadi teman saja, Re.”

“Kenapa harus membohongi dirimu sendiri, Li?

Aku hanya tersenyum saja menanggapi perkataan Rere.

Sejak Dika menjalin kasih dengan Jesi, kebersamaan kami semakin berkurang. Aku sangat sedih melihat kebersamaan itu tapi aku bisa apa? Dika hanya memerlukanku saat ia bertengkar dengan Jesi. Bagi Dika, aku hanya tempat curhat saja. Saat ia tak memerlukanku, ia bahkan tak menyapa saat di kampus. Dika sudah berbeda dengan dirinya yang dulu. Ia bukan Dika kukenal sejak kami kecil. Apakah ia sudah melupakanku hanya karena ia sudah memiliki Jesi?

“Hai, Liliku sayang?” sapa Dika suatu siang.

Aku hanya tersenyum kecut

“Kenapa wajahmu kok kecut begitu. Lagi dapet, ya?” Tanya Dika dengan nada bercanda.

Aku menggeleng.

“Dasar kamu ini. Kalau ditanya orang tuh jawab dong.”

“Aku tidak apa-apa,Dika. Kok tumben sendirian. Mana Jesi?

“Jesi lagi sakit, Li.

“Li, mau tidak temenin aku anterin aku ke rumah sakit."

Apa kubilang? Ia datang padaku hanya untuk meminta pertolongan.

“Kamu bisa pergi sendiri, Dika?"

“Iya sih tapi aku malu bertemu sama keluarganya.”

Aku hanya diam mencerna perkataan Dika.

“Mau, ya temenin aku, Li."

Aku hanya mengangguk. Entah mengapa aku tak bisa menolak permintaannya.

“Terima kasih ya, Li. Memang kamu teman terbaikku, deh.”

“Oke deh nanti siang aku tunggu kamu di gerbang kampus.”

“Kenapa kamu datang saat kamu membutuhkanku saja, Dika.” Aku mengeluh dalam hati.

****

Di rumah sakit

Di rumah sakit aku hanya melihat kemesraan mereka saja. Mereka bahkan mengacuhkanku seolah-olah diriku hanyalah sebuah patung. Bahkan mereka tak menyadari bahwa aku sudah pulang dan hanya menulis memo mengatakan bahwa aku pulang terlebih dahulu.

Tanpa sadar aku menabrak seseorang.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Maaf, ya,” sahutku tak memperhatikan jalan.

“Justru aku yang meminta maaf karena aku tadi tidak lihat kamu jalan,” jawab lelaki itu.

“Eh ... sepertinya aku mengenalmu?” tanya lelaki itu lagi seraya melihatku.

“Kamu Liliana, bukan?" lanjutnya lagi.

“Iya betul. Tapi kamu siapa,ya?” Aku ragu untuk menjawabnya, takut salah mengenali orang.

“Ana … Ana … masa kamu lupa sama aku?”

Ana!! Hanya Rendi yang memanggilku seperti itu.

“Rendi ya? sahutku terkejut.

Rendi menggangguk.

“Bagaimana kabarmu, Ana?

“Aku baik-baik saja kok, Ren.”

Setelah lulus SMA, Rendi meneruskan kuliah di negara tetangga dan membuat hubungan persahabatan kami hilang.

“Kamu ada apa ke rumah sakit, Ana” tanya Rendi.

“Lagi mengunjungi teman sakit. Kalau kamu, Ren?

“Sepupuku sakit.”

“Siapa sepupumu yang sakit?”

“Si Mira. Ingatkan?

Ya aku mengingat semua anggota keluargamu karena kamu merupakan bagian masa laluku.

“Hei ... kok diam sedang memikirkan apa?”

Aku menggeleng dan tersenyum.

“Ana, kamu tahu tidak Mira ternyata jadian sama teman kita sendiri loh." Rendi mengajak aku untuk duduk di kursi sejenak dan melepas rindu.

“Memang siapa?”

“Masa kamu tidak tahu atau kamu hanya pura-pura?"

Aku hanya menggeleng. Rendi senang memberi tebakan.

“Si Andika. Teman waktu kita SMP.”

Tentu saja aku terkejut.

“Tidak menyangka ternyata Mira jadian dengan Dika. Ya sudah aku ke Mira dulu. Sampai ketemu lagi, Ana.”

Akupun tak menyangka bahwa selama ini Dika jadian dengan Mira. Aku baru menyadari bahwa Mira adalah Jesica Miranda. Mengapa aku begitu bodoh sampai aku tak mengenalnya?

Mira adalah sepupu Rendi yang tinggal di Malaysia. Aku kenal dengan Mira waktu ia berlibur ke rumah Rendi. Rendi adalah bagian masa laluku. Ia menyukaiku sewaktu aku masih SMP

*****

“Hai, Sayang tumben pulang sore? tanya Bunda di meja kerjanya.

“Lili tadi menemani Dika menjenguk Jesi di rumah sakit, Bunda."

“Memang sakit apa Jesi?”

“Tidak tahu,.Bunda. Oh, ya Bunda aku tadi bertemu Rendi. Bunda masih kenal Rendi?”

“Oh, ya tentu Bunda masih ingat, Sayang. Dia mantanmu waktu kamu SMP, bukan?” canda Bunda yang membuatku malu.

“Kok Bunda tahu?”

“Tentu Bunda tahu, Sayang.”

“Tapi Lili kan tidak pernah cerita sama Bunda.”

“Apa sih yang tidak Bunda tahu dari kamu. Kamu kan anak Bunda satu-satunya.”

“Ah … Bunda ini.” Aku memeluk Bunda.

“Ya sudah bunda ke kantor dulu. Bunda sudah menyiapkan makanan buat kamu.”

Sejak Ayah meninggal, Bunda-lah yang menggantikan ayah untuk mencari nafkah. Sesibuk apapun Bunda selalu menyempatkan diri untuk bersamaku walau hanya sebentar. Aku tidak punya seorang kakak. Hanya ada aku, Bunda dan Bibi di rumah yang besar ini.

Sudah hampir sebulan Jesi tidak masuk dan saat itupula Dika jarang kelihatan di kampus. Pulang dari kampus Dika sudah ada di rumah sakit. Setiap hari seperti itu.

“Lili, kamu kemana saja aku cari-cari?” sahut Dika suatu siang.

“Ada apa, Dika?Jawabku lelah menghadapi sifat egoisnya.

“Jesi meminta kamu untuk datang ke rumahnya."

“Acara ulangtahun Jesi?" tanyaku.

“Bukan. Ini acara kami berdua dan hanya mengundang teman-teman terdekat saja.”

“Jam berapa acaranya?”

“Jam 6 sore. Aku jemput kamu ya nanti.”

Aku ingin menjawab tidak padanya. Namun, Dika pasti memaksa menyuruhku pergi. Aku merasa enggan berada di dekat mereka.

Oke ... jangan lupa beri vote dan komennya. Terima kasih

Part 2 Pergi Untuk Melupakan

Mohon saran dan kritiknya...

°

°

°

Di rumah Jesi

“Teman-teman terima kasih atas kedatangannya. Di acara ini hanya untuk menyambut kepulangan Jesi dari rumah sakit dan juga untuk merayakan 3 tahun hari jadian kami sebagai sepasang kekasih dan kami akan bertunangan bulan depan," kata Dika dalam pidatonya di taman belakang rumah Jesi.

Ternyata sudah 3 tahun Dika dan Jesi sebagai kekasih dan akan bertunangan. Aku tak menyadari bahwa waktu begitu cepatnya datang. Waktu itulah yang memisahkan persahabatan kami. Terkadang aku merasa cemburu melihat kedekatan mereka berdua seperti waktu ini. Dika mencium kening Jesi dan mengucapkan kata cinta di hadapan teman-teman. Tak terasa air mataku menetes dan aku segera keluar.

“Apakah kamu masih mencintainya, Anna?" tanya Rendi tiba-tiba.

“Apakah ini yang menyebabkanmu tidak pernah bisa mencintaiku,” lanjutnya.

“Sudahlah, Ren. Jangan mengingat yang dulu lagi ” sahutku berusaha tegar meski hati tak bisa kubohongi.

“Tidak bisa, Na. Aku harus mengetahuinya.”

“Apa hakmu untuk mengetahui itu semua?”

“Karena aku masih mencintaimu sampai kapanpun. Sejak aku putus dengan Nita, aku tidak pernah bisa mencintai gadis lain selain kamu, Anna."

Aku terdiam mendengar Rendi mengatakan itu

“Anna,aku tahu kamu mencintai Dika sejak kita SMP. Mengapa kamu tidak pernah mengatakan hal itu?"

“Aku tidak mau hanya karena hal itu persahabatan kita jadi hancur, Ren.”

“Jadi kamu bertahan selama lima tahun memendam semua itu. Anna, aku tahu itu sangat menyakitkan buatmu tapi setidaknya biarkan Dika tahu perasaanmu.”

Bagaimana aku bisa mengatakan yang jujur jika di mata Dika hanya ada Jesi?

“Tidak Ren. Dika tidak boleh tahu tentang hal ini. Jangan biarkan dia tahu sesungguhnya.”

“Tapi, Anna …”

“Aku mohon, Ren jangan ada yang tahu tentang hal ini. Berjanjilah padaku.”

Rendi memelukku dalam dekapannya. Aku menangis.

“Iya Anna. Aku tidak pernah mengatakan pada siapapu.”

(Tanpa mereka sadari Dika mengetahui pembicaraan mereka)

*****

Hari ini acara yang special bagi Dika dan Jesi karena tepat sebelum kelulusan bulan depan mereka bertunangan sore ini. Acara yang membuat aku sakit dan perih di relung jiwaku. Saat Dika memakaikan kalung di leher Jesi tanpa terasa aku merasakan kehilangan ragaku. Aku seakan merasa cemburu dan sakit hati dan tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. Aku meminta Rendi untuk mengantarkan pulang. Dalam perjalanan pulang kami hanya terdiam saja dan aku tahu Rendi pasti mengetahui hal itu.

Sudah hampir memasuki ujian skripsi tapi aku tidak pernah melihat Jesi di kampus. Kata temannya Jesi masuk rumah sakit lagi. Pantas saja Dika jarang ke kampus. Mungkin aku harus menjenguk Jesi di rumah sakit sepulang dari kampus.

“Kami tidak bisa menjamin kesembuhan Jesi, Pak,” kata seorang dokter di depan pintu kamar.

“Sel kankernya sudah menyebar kebagian tubuh yang vital. Kita hanya bisa berdoa saja," lanjut dokter itu.

“Pasti ada cara lain kan, Dok? tanya Dika mendesak.

“Iya Dok. Pasti ada cara yang menyembuhkan anak saya kan," kata ayah Jesi yang berusaha tegar.

“Maaf Pak. Kami sudah berusaha sebisa kami.”

Aku kaget mendengar percakapan mereka. Benarkah yang aku dengar? Aku tidak bisa melihat kesedihan yang dirasakan Dika apabila nyawa Jesi tidak tertolong.

“Mengapa kamu ke sini, Li," tanya Dika tiba-tiba, aku tak menyadari kedatangannya.

“Aku mau menjenguk Jesi, Dika.”

“Jesi tidak bisa dijenguk hari ini. Lain kali saja kau datang."

“Baiklah aku pulang dulu.”

Dika sudah berubah. Dia menjadi dingin dan ketus dalam setiap perkataannya.

“Anna …”

Aku tak memberinya jawaban hanya ulasan senyum.

“Kamu mau ke mana, Anna?"

“Aku mau pulang ,Ren."

“Loh kamu tidak menjenguk Jesi?”

“Kata Dika, Jesi tidak bisa dijenguk hari ini.”

“Ya sudah aku antar kamu pulang. Ayo masuk mobilku?”

“Ren, apa benar Jesi ada penyakit serius?” Aku bertanya pada Rendi, karena tidak tahu. Kukira hanya penyakit biasa saja.

“Kamu sudah tahu, Anna."

Aku menggangguk.

“Iya sejak kecil Mira sering sakit dan kata om kalau Mira tidak bisa bertahan lama hidupnya. Sudahlah jangan bahas itu lagi."

“Anna, kamu mau kerja di mana kalau udah selesai di wisuda."

“Aku mau ikut Budeku di Amerika. Aku mau ambil kuliah bisnis agar aku bisa melanjutkan bisnis keluargaku.”

“Wah tidak bosan kamu ya. Udah kuliah lama masih saja mau kuliah.” Rendi mengajakku bercanda.

“Aku tidak pernah bosan mempelajari sesuatu.”

“Wah hebat kamu."

“Kalau kamu?”

“Aku akan mengambil alih usaha ayah di Amerika.”

“Wah berarti kita bisa ketemu dong."

“Pasti itu. Nah kita sudah sampai rumahmu.”

“Kamu tidak mampir dulu, Ren?” tanyaku sebelum membuka pintu mobil.

"Bunda lagi masak pecak terong kesukaanmu, loh."

Rendi senang dengan masakan Bunda. Apalagi kalau kesukaannya.

“Lain kali saja. Salam buat tante, ya.”

****

Akhirnya besok adalah hari yang menentukan aku lulus ujian skripsi atau tidak tapi aku mendengar kabar dari Rendi bahwa Jesi sudah pergi untuk selamanya. Mendengar kabar ini aku menangis. Menangis bukan karena sainganku sudah pergi tapi menangis karena Dika selamanya tetap mencintai Jesi. Itu yang ia katakan padaku semalam.

“Li, maafin aku selama ini karena aku sudah tidak memedulikanmu lagi sejak aku bertemu dengan Jesi."

“Iya Dika. Aku tahu hal itu pasti terjadi apabila sahabat kita sudah punya pasangan," sahutku sambil tersenyum walau aku hanya tersenyum kecut.

“Terima kasih selama beberapa tahun ini kamu udah menjadi sahabat terbaikku. Li, aku pernah mendengar pembicaraan kamu dan Rendi waktu itu.”

“Yang mana, Dika?” Aku sungguh tidak paham maksudnya.

“Kamu jangan berbohong padaku, Li. Aku tahu sejak dulu kamu menyimpan perasaan denganku.”

“Kalau itu benar. Memang kenapa, Dika? Aku tahu kamu selamanya mengganggap aku sebagai sahabatmu saja tidak lebih dari itu. Aku mulai menyukaimu bahkan aku ingin memilikimu sejak kita masih kecil tapi aku tahu kamu tidak pernah membuka hatimu untuk aku. Aku bisa menerima hal itu asal kamu tetap di sampingku sebagai sahabatku walau kamu tak bisa kumiliki," jawabku pelan.

“Maafkan aku Li. Aku baru menyadari bahwa kamu mencintaiku tapi aku tak bisa, Li. Aku masih mencintai Jesi walau mungkin nantinya Jesi sudah tidak ada di sampingku. Kenapa kamu tidak membuka hatimu untuk Rendi, ia sangat mencintai kamu.”

“Iya aku tahu Dika tapi aku tidak bisa membuka hatiku untuk orang lain.”

“Sekali lagi maafkan aku, Li."

“Kamu tidak perlu mengatakan hal itu, Dika. Dika, apabila aku tidak pernah menjadi sahabatmu apakah kamu bisa mencintaiku seperti kamu mencintai Jesi?”

“Mungkin saja, Li."

Untuk terakhirnya Dika memelukku dan berlalu pergi meninggalkan aku dengan berurai mata. Seminggu lagi aku akan berangkat ke Amerika melanjutkan kuliah dan melupakan semua kenangan di sini.

“Kamu, sudah berbenah, Li” tanya Bunda di kamarku.

“Sudah, Bunda. Bunda,maafkan Lili karena Lili meninggalkan Bunda sendiri."

“Eh…kamu bicara apa sih? Bunda tidak apa-apa kok sayang. Kan ada tante Rini mau tinggal di rumah Bunda."

Aku tersenyum dan memeluk Bunda.

“Besok kamu mau kemana dengan Rendi?”

“Biasalah Bunda mungkin kita hanya makan saja.”

‘Li, kemarin malam Bunda mendengar pembicaraanmu dengan Dika. Jangan memaksakan diri untuk mencintai orang yang tidak mencintai kita. Itu sangat menyakitkan."

“Iya Bunda, Lili tahu itu. Mungkin Lili akan belajar mencintai orang lain.”

“Belajarlah mencintai orang lain, Sayang.”

Bunda memelukku dalam dekapannya, aku merasakan kehangatan di pelukan Bunda.

Besok aku akan berangkat ke Amerika bersama Rendi. Sebelum itu aku menitipkan surat untuk Dika melalui sahabatnya, Jo.

*Dear Dika sahabatku

Dika,setelah kau membaca surat ini. Mungkin aku sudah meninggalkan Indonesia entah sampai kapan aku bisa bertemu denganmu lagi. Benar katamu aku akan tetap menjadi sahabatmu sampai kapanpun juga. Aku tidak bisa memaksamu untuk mencintaiku sama hal dengan dirimu. Mungkin aku akan belajar mencintai Rendi seperti kau katakan padaku malam itu. Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai Rendi tapi aku akan terus belajar mencintainya. Aku tahu kamu tidak pernah bisa membuka hatimu untukku tapi kebersamaan kita yang sudah terjalin lama biar itu aku simpan dalam hatiku walau dirimu tak pernah bisa kumiliki.

Sahabatmu

Lili*….

Dan aku melangkah menatap masa depanku.

\=Bersambung\=

Ayo beri vote dan komennya untuk dukungan author. Terima kasih

Part 3 Masa Penuh Kenangan

Mohon saran dan kritiknya...

°

°

°

Di mataku, Dika adalah orang yang tampan dan atletis. Siapa yang tidak menyukainya? Semua teman-teman mengagumi ketampanannya. Dika itu orang yang sangat sulit didekati oleh siapapun kecuali aku, Rere dan Rendi.

Berbanding terbalik dengan Dika. Rendi adalah kakak kelas yang humoris, sama usilnya denganku dan perhatian.

Sedangkan Rere, temanku sejak bayi. Maklum saja ibu kami bersahabat sejak kecil. Ia teman yang menyenangkan, berbagi rahasia bersama, cerewet dan penyayang.

"Lili ....!"

Aku senang menjahili Rere yang terkejut secara tiba-tiba. Kali ini, aku mengerjainya dengan menjewer telinganya dari belakang saat makan di kantin.

"Salahmu nggak dengar aku panggil," kataku sambil tertawa melihat Rere mengusap telinga.

"Aku bukannya nggak dengar. Tuh ... aku lihat Dika lagi didekatin sama anak kelas sebelah." Rere menunjuk ke taman yang berdekatan dengan kantin.

Feni namanya, gadis imut berbando itu selalu mengikuti Dika bahkan seperti seorang stalker yang mengetahui kegiatan Dika. Kali ini, ia memberikan kaos asli dari klub kegemaran Dika yaitu Real Madrid.

"Menurutmu Dika terima nggak ya tuh kaos?" Rere penasaran, begitu juga diriku.

Alih-alih menerima, Dika malah pergi tanpa mengucapkan apapun. Kasihan Feni, untuk ketiga kalinya pemberiannya tidak diterima Dika.

"Sudah aku duga. Dika tidak akan menerimanya."

Aku menggangguk menanggapi perkataan Rere. Memang susah untuk menjalin kedekatan dengannya. Tidak sembarangan teman yang bisa ia ajak bicara.

"Untungnya dia nggak sedingin es batu sama kita," sahutku disertai anggukan Rere.

Aku sudah menaruh pada Dika hati sejak kami sama-sama di bangku sekolah dasar. Awalnya aku tidak tahu itu perasaan apa, ketika Dika berdekatan dengan teman gadis lain, hatiku merasa tidak nyaman.

Aku baru menyadarinya ketika aku sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di saat itulah, rasa suka ini semakin menjadi. Namun, aku tak mau mengungkapkannya. Aku tahu persahabatan kami putus.

"Aduh ... yang lihat Dika sampai ngiler," ledek Rere. Aku segera menjitak kepalanya.

Aku meninggalkan Rere yang masih makan di kantin.

*****

Kami berempat selalu menghabiskan waktu akhir pekan dengan keluar. Kadang menonton di rumah Dika atau masak bersama di rumah Rere yang kebetulan ibu Rere dulunya koki terkenal.

Seperti hari ini, kami sedang keluar ke kota untuk mencari materi ujian.

"Wah ... nggak nyangka, ya. Rendi sebentar lagi masuk kuliah," kataku sambil melihat Rendi memilih buku.

Meskipun usia kami terpaut setahun, Rendi tidak mau dipanggil kakak. Menurutnya panggilan itu terlalu tua.

"Otaknya dia cerdas. Nggak seperti Rere dan Lili."

Aku mendengkus kesal Dika mengatai otakku tidak cerdas. Dasar Dika to the point sekali.

"Meskipun otakku nggak cerdas, yang penting aku punya otak untuk berpikir," balas Rere yang merasa tersindir.

Rendi hanya tersenyum melihat tingkah kami. Ia memang paling sabar menghadapi perdebatan antara Rere dan Dika jika bertengkar atau adu mulut.

"Memangnya otakmu bisa berpikir? Kamu kadang lelet kok." Dika kembali meledek Rere.

"Biar lelet, tapi aku cantik." Rere membalasnya seraya menyentil telinga Dika.

Dika terlihat kesal. Ia langsung menuju kasir untuk membeli buku lalu keluar. Rere dan Dika selalu seperti anak kucing dan anjing kalau bertemu.

"Nanti kalau kamu kesepian, bisa telepon aku."

"Bukannya jadi anak mahasiswa baru akan sibuk, Ren?"

Rendi menggeleng,"Tidak kok. Aku selalu punya waktu untuk kamu, Li."

Andai yang bicara itu adalah Dika, mungkin aku akan bahagia.

"Ya, kamu tahu sendiri. Saat kamu masuk SMA, kita berpisah dan kamu sibuk sekali. Sekarang saat kita sudah satu sekolah, kadang saja kamu sibuk," ocehku pada Rendi.

Rendi mengacak poniku hingga tak beraturan lagi.

"Meskipun aku sibuk, aku tak mungkin bisa melupakanmu."

Namun sayang, ucapannya tidak bisa ia tepati. Rendi terlalu sibuk dengan kuliahnya yang berada di luar kota hingga perlahan hubungan kami mulai menghilang.

****

Hal yang paling aku ingat kedekatanku dengan Dika yang notebene dari kecil sangat pendiam, saat aku jatuh sakit di sekolah dasar. Maagku kambuh dan membuat Bunda panik, karena saat itu Bunda lagi rapat.

Alhasil aku dititipkan kepada ibunya Dika sampai Bunda menjemput, sambil menahan sakit dan meringis karena nyeri. Dika membaringkan aku ke pangkuannya. Ia mengusap kepalaku dan memijitnya. Semua perhatiannya membuatku senang.

"Kalau sakit, jangan diam. Katakan padaku, ya."

Aku berdehem pelan, tak kuat rasanya menahan sakit di ulu hati.

"Kamu jajan sembarangan, sih."

Kecerewetan Rere malah membuatku semakin sakit. Dasar sahabat nggak peka.

"Diamlah Re! Kamu itu buat Lili tambah sakit," omel Dika dan langsung Rere diam seketika.

Sampai detik ini, kenangan itu tak pernah kulupakan. Namun, semuanya telah berbeda. Seiringnya waktu mendewasakan kami, ia berubah dan bukan seperti Dika yang dulu. Hanya Rere yang selalu ada bersamaku. Sedangkan Rendi semakin sulit dihubungi.

Perlahan tapi pasti, Dika tak lagi bersamaku dan Rere melewati akhir pekan seperti janji yang pernah kami buat dulu. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan seorang gadis manis, teman sekampus dan memilih menghindar jika bertemu.

*****

"Kamu yakin mau pergi, Li?"

Sore ini aku menemui Rere di sebuah kafe dekat kampus. Aku berpamitan padanya untuk pergi melanjutkan kuliah di luar negeri.

"Apa Dika tahu perasaanmu?"

"Iya dia tahu, Re. Namun, ia tak bisa menerimaku."

"Dasar cowok bodoh! Si Jesi udah meninggal, masih aja diingat," umpat Rere yang kesal.

"Sudahlah, Re. Jangan dibicarakan lagi. Biar Jesi tenang di sana," ujarku memberi pengertian pada Rere yang tak suka melihat Dika terlalu tenggelam dalam dukanya.

"Lalu kamu mau pergi ke sana sama Rendi?"

Beberapa tahun tak bertemu Rendi, kami dipertemukan di rumah sakit saat Jesi dirawat. Kami memulai lagi persahabatan yang lama tak terjalin.

"Iya, aku dan Rendi akan kuliah di tempat yang sama. Apa kamu mau ikut, Re?" Aku menawarkan pada Rere untuk kuliah di sana.

Rere hanya menggeleng. Aku tahu ia berat meninggalkan ayah dan ibunya. Apalagi Tante Voni sedang sakit. Rere memilih kuliah di dalam negeri.

Sebenarnya, akupun ingin di sini. Namun, jika aku tetap tinggal maka kesedihanku tak akan hilang untuk melupakan Dika.

"Berapa lama kamu akan pergi, Li?" tanya Rere dengan sedihnya.

"Entahlah Re, sampai aku menuntaskan kuliahku."

"Aku harap Rendi bisa menjagamu di sana. Jangan lupa selalu hubungi aku, ya."

Kami saling berpelukan, selama ini aku dan Rere tak terpisahkan. Kami bukan lagi sahabat melainkan saudara.

"Hati-hati, gadis usil." Rere menyeka air matanya sambil mengejekku.

"Iya kamu juga, Re. Jangan banyak makan. Nanti tidak ada pangeran menyapa," balasku disertai tawa.

Mungkin ini yang terbaik baikku. Pergi untuk sementara melupakan peristiwa tersebut.

\=Bersambung\=

Dukung saya dengan memberi vote dan komen. Kalian boleh kok promosi karya di kolom, nanti saya kunjungi satu persatu. Saling mendukung. Terima kasih semuanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!