“Selamat Bun, yang mau punya suami!” bisik Dara, kepada Bundanya yang mau melangsungkan pernikahan kedua dengan Ayah Galang.
Maria tersenyum menatap putri cantiknya yang tak kalah cantik saat di mike up. “Kamu juga selamat Nak, nanti kamu akan mempunyai Ayah!” balas Maria.
“Alhamdulillah, aku nggak sabar Bun,” ungkap Dara, yang memang tak sabar menunggu momen Ibunya akan menikah.
“Emang kamu sudah tahu siapa calon suami Bunda?” tanya Maria, dengan wajah menggoda.
Lantas, Dara menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Nggak perlu tahu, 'kan nanti kenalan Bun!”
Maria Sonia Putri(Ibu Dara), nyatanya belum memberi tahu siapa yang akan menikahinya yang tak lain adalah teman sekolah Aldara Sonia Putri(Anaknya).
“Ah, iya juga. Tapi__" Senyum Maria lenyap saat mengingat perkataan anak Bram Pratama yang bernama Galang.
Flashback On
Dimana waktu Maria dipertemukan oleh Bram kepada Galang diresto kemarin dulu.
“Ckk, apakah dia pelakor itu?” tanya Galang dengan santai.
“GALANGG! JAGA BICARAMU!” bentak Bram kepada Galang, yang seenaknya mengatakan Maria adalah pelakor.
Galang tersenyum mengejek menatap tajam Maria. “Sudahlah Pah, sampai kapanpun aku tak sudi mempunyai perempuan kedua yang menjadi Ibuku. Cukup Mamah Dinda yang tidak pernah terganti dalam peran Ibu!" ucap Galang, mencoba meyakinkan Ayahnya kalau memang ia tak menginginkan peran kedua sang Ibu.
Bram mencoba untuk tidak tersulut emosi, tapi apalah daya tensinya naik saat Galang menyebutkan nama Dinda yang tak lain istri pertamanya yang saat ini sudah berada dirumah sakit jiwa.
“Apa yang kamu harapkan sama perempuan gila itu GALANG?!” tanya Bram, dengan mata nyalang menatap sang Anak.
Brak!
Galang memukul meja didepannya dengan keras, hingga suaranya sangat memekikkan telinga bagi yang mendengar. Nyaris beberapa orang yang asik makan menoleh kepada tempat Galang.
Tidak ada yang mencegah Galang membuat kekacauan sebab, ia anak pemilik Restoran besar ini yaitu milik Bram Pratama.
Bram Pratama adalah pengusaha terkenal saat ini, bukan hanya di Indonesia tapi di Luar Negeri pun kekayaannya masuk nomor 3 orang terkaya.
Sedangkan di Indonesia ia menjadi nomor 1 orang terkaya. Hingga suatu kejadian pertengkaran rumah tangga Bram itu diambang kehancuran akibat Dinda yang merusak kepercayaan terhadap istrinya yang kini sudah sakit jiwa.
Galang yang sifatnya yang keras kepala, tidak mau kalau keinginannya di tolak mentah-mentah sang Ayah. Galang juga dingin pada setiap orang, kecuali kepada Dinda(Ibunya).
Genk motornya sekarang terkenal pesat dikalangan anak muda. Bagaimana tidak? Galang mempunyai skil untuk selalu menang saat balapan. Bukan tentang itu, solidaritas dalam perkumpulan Genk motor tersebut sangatlah di acungi jempol.
Walau Geng motor dikenal sebagai pembuat onar, tapi bukan dengan Genk Motor Galang! dalam dirinya tidak terlintas untuk mengganggu masyarakat melainkan membantu.
Glang hanya terkenal sebagai lelaki dingin, nan jutek itu harus menerima kenyataan pahit Ayahnya akan menikah.
Jangan lupa, Glang Pratama juga ditakutkan disekolah. Ada beberapa orang yang mencari gara-gara dengannya, harus mendapatkan bully-an!.
“Cukup Pah! aku tidak akan menerima dia sebagai Ibuku!” ucap Galang dengan suara ditekan.
“Baiklah. Tapi Bu Maria tetap menjadi Istriku!” balas Bram, dengan wajah serius.
“Cihh!” Galang tersenyum licik. “Kita lihat, apa acara itu akan berlangsung dengan sempurna?” tantang Galang kepada Bram.
“Kamu__”
Maria menyentuh tangan kekar Bram agar berhenti berdebat dengan Anaknya. “Mas, nggak papah. Mungkin, ini memang yang terbaik untuk tidak melanjutkan hubungan ini!” lirih Maria.
Bram menggeleng tidak setuju, sedangkan Galang sudah tersenyum mendengar ucapan Maria.
“Nggak! pernikahan ini nggak bisa dibatalkan Maria.”
“Sudahlah Mas, aku nggak papah ko. Kamu turuti saja permintaan Anakmu, ia begitu juga tidak mau ada yang menggantikan posisi Ibunya.” Sambil melihat mata tajam Galang yang tak pernah lepas dari Maria, “tapi percayalah Nak, sosok Ibu kandung tidak akan pernah tergantikan perjuangannya.”
Galang menaikan alisnya sebelah. “Baguslah kalau anda mengerti!”
Bram langsung menarik kerah sang Anak dan langsung mendaratkan Bogeman dipipi Galang.
Bug!
“Mana sopan santun kamu Lang? mana? katanya si Dinda itu mengajarkanmu berbicara dengan orang tua, tapi apa? kamu menunjukan sikapmu seperti Ibumu!” ucap Bram dengan penuh emosi.
“Astagfirullah, Mas, jangan!” Maria langsung menahan tangan Bram yang mau memukuli Galang.
Bram langsung terdiam saat mata tajam kedua matanya beradu dengan sang Anak yang sudah tersungkur.
Cekrek!
Cekrek!
“Ini harus menjadi tranding topik guyss!” kata orang-orang yang sedang antri.
Bukan cuman satu, malah ada yang langsung mengamadikannya di sosial media tentang Bram yang memukuli anaknya.
“Jangan di upload, nanti kalau ada masalah bukan aku yang bertanggung jawab!” cegah teman duduk wanita tersebut.
“Lambat loh!” Sambil menunjukan hasil foto dan beberapa orang yang sudah berkomentar dalam postingannya.
Baru juga satu menit, sudah seratus komentar yang memenuhi postingan foto tersebut.
Galang memegangi pipinya yang sudah memerah. “Ckk, aku tidak akan membiarkan Papah menikah lagi. Ingat! kalau Papah tidak membatalkan pernikahan itu, Papah harus membayar nyawa seseorang!”
Galang langsung melenggang keluar dari restoran Ayahnya. Bram juga terduduk di kursi sambil memperhatikan tangan kekarnya yang sudah meninju pipi sang anak. Tangan kekar itu juga bergetar, harusnya ia tidak memukuli Galang.
Tetapi, Galang juga sudah kelewatan batas saat berucap. Mau tak mau ia harus memberi pelajaran kepada anaknya.
Maria tertunduk, “Maafkan aku, Mas.”
“Sudah, nggak papah. Nanti saya coba bicara kepada Galang dirumah.”
“Kita batalkan saja pernikahan ini, Mas!”
Bram menaruh telunjuknya dibibir Maria. “Sttt jangan bilang gitu, kita akan segera menikah besok!"
“Be-besok?” tanya Maria sedikit gagap.
Mata indahnya itu membulat tak percaya, bukankah pernikahan mereka masih satu Minggu lagi kenapa harus dipercepat?.
“Yah. Bukankah lebih cepat lebih baik, 'kan?”
Maria mengangguk, tapi langsung terlihat tidak bersemangat dengan ucapan Galang.
“Tapi aku takut, takut kalau Galang membenarkan ucapannya Mas.”
Bram menggenggam tangan Maria yang sudah terasa dingin. “Nggak usah dipikirin yah? anak itu hanya menggertak saja tentang ucapannya,” papar Bram
*Flashback Of**f*
“Tapi kenapa Bun?” tanya Dara.
“Hmm ... Nggak, Bunda hanya kepikiran tentang selanjutnya. Bunda sangat gugup,” ujar Maria.
Dara tersenyum jahil kepada Maria yang kini sudah terbalut jilbab. “Ciee, bunda gugup! jangan gugup Bun, 'kan ada Dara yang temani Bunda!” goda Dara.
“Sudah selesai,” ucap perias itu kepada Maria.
“Terimakasih, Mbak!” kata Maria.
“Sama-sama.”
Sedangkangkan diluar, suasananya tidak begitu ramai. Cuman ada penghulu dan saksi pernikahan mereka. Bram sengaja tidak mengundang teman bisnisnya, karena ia pikir saat merayakan resepsi pernikahan baru mengundang temannya.
***
“Saya terima nikahnya Maria Sonia Putri binti Khaled diba__" Ucapan Bram terpotong saat pintunya terbuka lebar mendapati Galang yang sudah berdiri diambang pintu.
Dor!
Satu tarikan senjata itu, mengenai dada Maria. Hingga, membuatnya langsung ambruk disamping Bram.
“Akhh!” ringgis Maria, sambil memegangi dadanya.
“BUNDAAA?!" teriak Dara histeris.
“BUNDAA!” teriak Dara histeris.
Dara berlari menghampiri Bundanya, pasalnya tadi ia pamit kekamar mandi, tapi apa yang dia lihat? tubuh Maria bersandar dipangkuan Bram.
Dada Maria kembang kempis menahan sakitnya tembakan tersebut tepat mengenai dada. Akankah Maria bisa selamat? kayaknya itu adalah hal paling mustahil sebab, Maria mau mengatakan kata perpisahan untuk terakhir kalinya.
“Bu-Bunda? jangan tinggalin Dara, hikss ...!” raung Dara, sambil mengelus wajah cantik Bundanya.
Galang?
Galang hanya mematung melihat Dara, sekaligus teman sekolahnya yang sering ia bully, ternyata Anak dari perempuan yang merebut Ayahnya.
Tangannya mengepal kuat, menatap tajam Dara dari ambang pintu.
‘Cihh! rupanya anak pelakor itu kamu Dara! lihat, ini tidak akan cukup untuk membayar rasa sakit hati yang dialami Ibu saya!.’ Galang membatin, rupanya ia lupa akan kesalahan fatal yang ia buat sendiri.
Bram ingin sekali berdiri untuk memberi pukulan kepada Anaknya, nyatanya omongannya kemarin dulu itu benar-benar terjadi.
Niatnya memukuli Galang ia urungkan, untuk saat ini Maria membutuhkan tanganan medis. Bram mau menggendong Maria, tapi Maria menyentuh dada bidang Bram sambil menggelengkan kepala.
“Jangan, Mas. A--ku a-akan pergi,” kata Maria.
Wajah yang tadinya berseri-seri, itu menjadi pucat pasi dengan bibir bergetar mengatakan sesuatu.
Maria masih sempat tersenyum kearah Galang, serta Putrinya yang terlihat sangat sedih.
“Bu-Bunda jangan ngomong gituuu.” Dara tak mampu menahan sesak Didada yang begitu menghimpitkan udara masuk.
Sungguh kejadian ini membuatnya begitu syokk. Dara hanya bisa menangis seraya menggenggam tangan Maria yang juga menggenggam tangannya.
Maria tersenyum, “Bu-Bunda minta, jangan kamu bolos sekolah yah. Jangan pernah meninggalkan kewajiban mu sebagai muslimah, Nak. Ohh yah, jangan pernah menyalahkan siapapun tentang kejadian ini.”
Hahh?
Bisa-bisanya Maria mengatakan seperti itu? hanya seorang Ibu sejati yang tahu tentang perasaan Anak, walaupun dia bukan Anaknya. Seorang Ibu tahu betul, semua yang terjadi hanyalah kesalah pahaman Galang kepadanya. Biarlah waktu yang akan menjelaskan, kalau dia tidak merebut laki orang.
Ini juga adalah resiko setiap jalan yang diambil dengan tidak sukanya seorang Anak, dan Anak akan memperjuangkan egonya.
Dara yang mendengar ucapan Maria itu hanya menggeleng. “Tidak! Bunda jangan tinggalin Dara, hikkss ...! Bunda tahu, Dara tidak punya siapa-siapa kecuali Bunda. Bu-Bunda tetap disini, Bunda tidak akan pergi kemana-mana, 'kan?”
Maria meneteskas air matanya sambil berusaha tersenyum, agar Dara tidak mengetahui kalau ia sedang kesakitan.
“Hmm, Bunda tidak bisa janji sayang.” Maria menyentuh pipi Dara dan menghapus air mata putrinya.
“To-tolong, jaga Dara Mas. Walau kita belum sah menjadi suami istri, tapi aku titip Dara. Hanya kamulah satu-satunya yang bisa membantu Dara,” kata Maria, kepada Bram.
Bram juga ikut meneteskan air matanya, ternyata ini sangatlah sakit! sakit melihat kasih Ibu kepada Anak yang ia cintai. Jujur, ia sangat sesak melihat Dara yang tidak mau Maria pergi, dan ini adalah ulah Putranya yang keras kepala nan egois itu tega memisahkan Ibu dan Anaknya.
“Maria, aku akan menjaganya seperti Anakku sendiri. Jangan khawatir, aku akan memberikan pelajaran kepada Galang, dan membuatnya masuk penjara!” ucap tegas Bram.
Yahh, dia tidak perduli itu Anaknya sekalipun! kejahatan, tetaplah kejahatan, tidak ada yang mencegah keadilan bukan?. Kejahatan tepat didepan mata itu akan membuat Galang mendekam dipenjara.
Maria menggeleng haru, “Jangan, Mas. Mungkin ini sudah takdirku akan secepatnya pergi. Tuhanku sudah merindukanku, makanya aku pergi lebih dulu.”
“A-aku berharap, biarpun pernikahan kita gagal, semoga Anak-anak kita tidak akan gagal untuk dipersatukan!” ujar Maria.
Bram mengangkat pandangannya kearah depan, dimana Galang masih disitu layaknya sedang menonton sebuah Film.
“What? gila ni orang! bisa-bisanya ia sekarat masi membicarakan aku dan anaknya!. Dihhh, amit-amit.” Galang langsung melenggang pergi, berasa tidak membuat kesalahan sedikitpun.
Dara?
Dara hanya bisa diam sambil mendengarkan ucapan Maria.
“Galang Pratama, bukan sih?” gumam Dara.
‘Kalau memang iya? berarti dia yang sudah menembak Ibuku?’ tanyanya dalam hati.
Tangan Dara berubah dingin, saat bayang-bayang dirinya di bully itu sangat jelas dalam ingatan. Ia tak pernah lupa kalau Galang Pratama adalah Kakel yang sangat ganas. Bahkan hujatan-hujatan itu sangat nyaring terdengar di telinganya, rupanya Galang bukan hanya bisa membuly, tapi menghilangkan nyawa bidadari surganya.
“Bundaa ...,” panggil Dara lirih.
“Hmmm. Dara anak yang pintar, jangan berlarut-larut dalam kesedihan, yah? Dara harus bisa berdiri sendiri untuk sukses. Ingat, Bunda akan bahagia nantinya diatas sana. Jadilah perempuan yang tegar! hehe.” Lagi-lagi Maria berkata sambil terkekeh.
“Hikss ...! aku tidak bisa setegar itu Bunda.” Dara menunduk, air matanya juga mengalir dengan deras, bagaikan sungai yang terus mengalir menghanyutkan kenangan.
Tampa Maria terdiam sambil menatap langit-langit. Bibirnya berucap syahadat sebelum ia menutup matanya.
Dara terlihat kaku ditempat, ini rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang sekarang ia dalami. Tangannya terulur mencubit pipi tembemnya.
Akhh!
Tidak, ini tidak mimpiii!!
“BUNDAAA!” teriak Dara, seraya menghambur memeluk tubuh Maria.
Para Ustadz yang ikut hadir sebagai penghulu dan para saksi tadi langsung diamankan anak buah Bram. Setelah penembakan itu, Anak buahnya sudah memberi tempat untuk para saksi dan penghulu, takut Galang berbuat nekad lagi.
~Satu minggu kemudian~
Sudah pukul delapan pagi, tapi Galang masih tertidur nyenyak diatas kasurnya. Dengkuran halus itu bertautan membuat melodi yang sangat indah.
Hiss indahh nggak tuh?
Sedangkan diluar Bram sudah rapi dengan jaz kantornya berwarna hitam. Dirinya sudah siap untuk pergi kekantor, tapi Anaknya Galang belum berisiap. Ini hari Senin, masa murid bangung jam 12 siangg.
“Bik, bangunin Galang, ini sudah terlambat untuknya!” pinta Bram.
Mbok Minah mengangguk hormat. “Siap, Pak Bos!”
Bram mengangguk segera pergi, tapi langkahnya mundur mendekat kearah Mbok Minah.
“Ohh yah Mbok, nanti bilangin sama Galang kalau saya mengajaknya makan malam bersama diluar, di Restoran saya yah. Katakan saya menunggunya jam 20.00.” Dibalas anggukan Mbok Minah kepada Bram.
“Baik Bos, saya segera menyampaikannya pada Tuan Muda.”
Bram melangkahkan kakinya keluar. Dirinya masuk ke mobil tersebut, serta menancap gas.
Terik sinar matahari begitu menghangatkan tubuh yang kurang sinar. Berbeda dengan Dara yang sudah mulai gelisah ditempat, ia merasa begitu lama untuk upacara saat ini. Dimana sekarang Upacara terpanjangsih menurut Dara.
Tubuh kurang tidur itu tidak mampu berlama-lama untuk berdiam diri dibawah terik. Keringat dingin sudah membanjiri wajah canti Dara.
Bruk!
Alhasil Dara langsung tersungkur ditanah. Seketika upacara yang tadinya tertib, kini sebagian bubar memba Dara ke UKS.
Sedangkan dari gerbang, diatas sana sudah ada Galang yang memanjat Gerbang yang sudah terkunci.
“Galang-Galang, jangan sok nakal luhh!” cibir Galang kepada dirinya sendiri.
Padahal Upacara masih berlanjut, Galang acuh tak acuh berjalan santai di koridor sekolah. Matanya melongo melihat Dara yang sudah digendong Pria, namanya Arya sang ketua osis.
Galang hanya melirik Dara yang didalam gendongan laki-laki.
“Gini, nih! katanya paham Agama tapi berdekatan seperti ituu!” kata Galang, sambil menaikkan alisnya sebelah.
Foto visual Aldara Sonia Putri
Foto visual Galang Pratama
...****...
...Lanjut nggak?...
~Galang Pratama~
Galang atau sering dipanggil langit. Ia mempunyai wajah yang terkesan datar dan sifat yang memang dingin kepada setiap orang, kecuali sama ke-tiga sahabatnya yang mempunyai kerandoman. Kulit yang putih, serta mata yang berwarna hitam pekat tak lupa alis tebal, bulu mata lentik dan kumis tipis yang menjadi daya tarik kaum hawa.
Walau terkesan dingin, ucapannya saat mengatai orang yang tak disuka, itu sangat menusuk kerulung jiwa. Seperti dulu perkataan itu melukai hati seorang wanita yang mau menjadi Ibu tirinya. Sampai sekarang Galang tidak menyesal telah membunuh wanita itu, memang Ibu dari perempuan yang sering ia bully.
.....
Tring!
Bunyi lonceng istrahat itu menggema di area sekolah Merdeka. Semua siswa-siswi SMA 1 Negeri Merdeka langsung berhamburan di koridor sekolah, ada yang kepalangan dan ada juga yang langsung menuju kantin untuk mengisi perut keroncongan.
Disatu sisi, Dara masih duduk di kursinya. Remaja yang berumur 17 tahun itu menggelamkan kepala di lengan yang bertumpu pada meja.
Krukkkk!
Aldara Putri, siswi kelas 11 itu memegangi perutnya. “Kamu harus tahan, Dar!”
Dara tadi pingsan memang karena tidak sarapan dirumah, padahal nasinya sudah ia masak tapi karena waktu yang tidak memungkinkan, Dara terpaksa tidak makan. Malahan dirinya juga lupa untuk membawa bekal, ternyata hidup sendiri membuatnya serba lupa.
Dulu sebelum Bundanya meninggal, ia sering diingatkan tentang ini dan itu, tapi kini semua telah hilang hanya sebuah kenangan terindah yang tersimpan di lubuk hati.
“Bunda, aku kangen!” gumam Dara, yang masih terduduk dengan tangan menahan perutnya.
Air matanya menetes, mengingat kenangan dulu dengan Maria yang begitu lembut dengannya. Sekarangpun ia masih melamun kalau Maria masih hidup, bayang-bayang Maria terus muncul mengingatkan kepadanya kenangan dulu.
Bahkan Dara harus bisa mandiri, tidak ada Ayah, dan tidak ada keluarga terdekat. Ia dipaksa untuk berdiri sendiri seperti yang Bundanya katakan. Tidak ada lagi alarm ucapan pagi dari Maria, semuanya pergi bersama jasadnya.
“Bundaaa!” teriak Dara, sambil membuka matanya.
“Bwahahaaha. Heyy, dasar keboo!” cibir Lisa, sambil menertawakan Dara diikuti dengan lainnya.
Kelas sebelas itu tadinya sepi, kini sudah ramai karena habis dari kantin. Semua mata menatap Dara dengan tatapan tak suka, pasalnya disekolah Merdeka ini hanya Dara yang memakai penutup kepala. Jilbab syar'i-nya, sering kali jadi bahan hujatan. Padahal zaman sekarang adalah waktu perbaikan, bukan perusakan.
Ada juga yang berpacaran depan umum, tidak perduli dengan sekitar malahan mendekatkan dirinya sendiri dineraka. Dara adalah siswa pindahan desa, yang memang didesa sangat menjunjung tinggi keagamaan.
Dara juga pindahan Madrasah Aliyah, jadi ia tahu tentang pakaian seorang Muslimah yang baik. Walau ilmu agamanya yang sedikit, tidak membuatnya untuk lelah dalam jalan hijrah.
Dara hanya bisa tersenyum menanggapi cibiran Lisa, membuat Lisa jadi geram untuk melakukan hal lebih.
“Wahh, disenyumin loh Lis! cari gara-gara dia.” Siswa yang berdandan menor, ikut memanas-manasi Lisa.
Lisa mengangguk serta berdiri. “Sudah lama yah, tanganku ini tidak mencakar wajah yang sok cantik ini!”
Lisa menunjuk Dara yang sudah tertunduk menatap kebawah. Lisa semakin nekat untuk maju mendekati Dara.
Siswa-siswi yang memang baru seberapa itu langsung berkerumun melingkari Lisa dan Dara.
“Berdiri loh!” suruh Lisa kepada Dara.
Dara berdiri mengikuti perintah temannya, etss kalau teman tidak akan begini yahh.
Dikelas 11 IPA memang tidak ada yang mau berteman dengan Dara, bahkan mereka selalu menghindar saat Dara menghampiri mereka untuk saling kenal.
“Auu, sakitt ...!” lirih Dara.
Dara ikut memegangi jilbabnya. Sebab, tangan Lisa menarik rambut yang tertutupi kain.
“Hahahahah ....” Semua menertawakan Dara yang sudah menangis, dan memelas untuk dilepas.
“Lisa, A-Aku tidak bersalah, kenapa kamu menarik rambutku?” tanya Dara, disela-sela kesakitan.
Lisa menyunggingkan senyum penuh arti, kalau memang ia tidak suka dengan perempuan ini.
“Ckk, apa loh lupa Dara? bukankah kamu yang anak pelakor itu?” todong Lisa.
Dara terbelalak, kenapa bisa Lisa mengetahui tentang itu? pikirnya. Semua siswa disitu, ikut melontarkan hinaan kepada Dara.
“Dasar anak pelakor! huuuuu!” kata mereka, dan langsung mendorong-dorong Dara hingga dirinya tersandar dipapan tulis.
“A-aku bukan anak pelakor, hiks ...!” bantah Dara sambil terisak.
Hatinya begitu sakit, saat dikatakan anak pelakor. Bukan cuman itu, Aira sedih Bundanya sudah meninggal tapi sebutan pelakor itu tidak pernah hilang.
“Mangg eak? hahahah!” Mereka semua tertawa puas.
Nyatanya kebenaran itu belum terungkap Maria yang dikatakan pelakor, padahal ada kebenaran dalam masalah itu yang ditutupi Ayah Galang.
Bram belum klarifikasi soal itu, karena ia tidak mau menyakiti hati Anaknya. Dan untuk menjelaskan kepada Galang, belum tentu bisa diterima olehnya.
Lisa maju mendekat lagi..
“Sekali lagi aku bu__”
Plakk!
Tamparan yang sangat keras itu memenuhi ruangan kelas. Bahkan, Kaka kelas mereka sudah berkerumun didepan pintu kelas 11 melihat kejadian tersebut.
****
Sedangkan ditempat lain, Galang tertidur pulas diatas meja. Bima, Satria dan Dodi hanya memandangi bos mereka yang kini sudah berada dialam baka. Etsss, alam mimpi:)
Bima~ Sebelas dua belas dengan Galang, yang mempunyai sifat dingin, tapi bedanya Bima sedikit cerewet.
Visual Bima
Dodi~ Si tukang lawak, dan paling sering mencuri. Mencuri dalam hal makanan! ingat, makanan!
Satria~ Si penyabar, dan humble kepada setiap orang.
Visual Satria
Ketuanya, Galang Pratama~ Emosian, keras kepala, dan dingin. Tidak banyak basa-basi!
“Langg?” panggil salah satu siswa.
“Stttttt!” Sontak ketiganya menaruh tangan dibibir.
Siswa itu langsung menengok kebelakang. “Ohh, maaf-maaf!” ucapnya, “tapi ini tentang Galang.”
“Katakan,” ujar Satria.
“Ada nama Boss loh disebut-sebut dekel(Ade kelas).”
Galang menggeliat, matanya terbukalah lebar.
“Siapa yang menyebut namaku?” tanya Galang pada intinya.
“Anak kelas sebelas yang bicarain loh Lang,” ungkapnya.
Brak!
Galang meloncat, dan langsung berjalan dimana yang sedang membicarakannya.
Lisa masih membuat Dara malu, sehabis menampar ia berdecih menatap Dara sinis.
“Kalian para wanita, hati-hati sama Dara soalnya dia bisa saja menikung pacar kalian hahah!” ucapnya pada Siswi-siswi yang menonton pembullyan itu.
“Kasian yah, anak pelakor itu tidak jadi Adik Langit. Ihhh amit-amit deh, nanti Galang jadi kakaknya sipelakor itu.” Diluar kelas 11 itu sudah bergosip sambil menatap Dara yang terpojok.
Bukannya kasihan, malah hinaan itu menjadi-jadi.
Galang sudah memasang wajah datarnya menatap laki-laki yang baru saja menyebutkan namanya.
Bughh!
“Apa maksud loh, Hahh?!” bentak Galang, hingga kini semua berbalik melihat siswa kelas 10 sudah ditonjok Galang.
Remaja itu sudah meringis kesakitan. “A-ampun, Bang,” ucapnya dengan memelas.
Galang siap memukul pelipis Fikar, yah nama siswa yang telah menyebut nama Galang.
Stttt!
Galang langsung ditarik menjauh oleh teman-temannya, membuat Galang semakin geram. Ia tidak suka kalau ada yang ikut campur, tentang perkelahiannya.
“Langit, sudah!” ucap Dodi, yang menahan tangan kekar Galang.
Sedangkan Bima dan Satria itu menahan bahu Galang yang terus meronta.
“Jangan ganggu urusan guee!” bentak Galang kepada temannya.
Ketiganya nyaris menggeleng.
“Lang, kami nggak mau kamu masuk BK lagi. Emang kamu nggak bosan, tadi pagi sudah masuk kesana?” Satria tidak habis pikir sih sama Galang.
Dodi pun mengangguk membenarkan. “Kita-kita ini cinta banget sama Luh. Jangan pernah dustain kita hmm,” tutur Dodi, dan langsung mendapat pukulan di jidat.
Tak!
“Heyy Doodd, aneh loh!” celetuk Bima yang tadi menjitak Dodi.
Galang tersenyum tipis menanggapi coletehan mereka. Cuman Dodi sih ngelawak tidak pada tempatnya.
Emang sampah pada tempatnya? dahhlah saya juga nggak tahu!
“Emang boleh, seganteng itu!”
“Ini gantengnya nggak ada lawan emang si Galang.”
“Calon jodoh guaaa!”
“Ayo Lang, pukulin lagi! kamu ganteng banget, apalagi pas berantem!”
Ucapan ciwi-ciwi itu membuat Galang risih.
”Aaakh tolong,” ucap Dara pelan, yang nyaris hampir tak terdengar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!