Rumah penuh Hangat
Suara dentingan sendok saling beradu dalam sebuah ruangan. Sinar matahari perlahan masuk melalui sela-sela jendela, membawa kehangatan sebuah keluarga yang tengah sarapan bersama.
Putra, lelaki yang tengah duduk di ujung meja sesekali menengok ke si sulung, yang sedang berusaha untuk menyendok makanannya sendiri. Tangannya bergerak untuk mengusap rambut sang putri dengan lembut, pergerakan itu tak luput dari pandangan istrinya yang baru saja datang sembari membawa tas milik si bungsu.
"Mas, bekal Kevin udah aku masukin ke dalam tas, ya?" pesan wanita itu. Putra mengangguk, dan melanjutkan sesi sarapannya dengan tenang.
"Kamu hari ini di rumah aja? Anna libur kan?" tanya Putra pada sang istri, sebab istrinya lah yang selalu membersamai Anna saat sekolah, dan memantau kegiatan si sulung selama seharian penuh.
Syifa mengangguk, dan menarik kursi untuk duduk di samping Kevin. "Cuma sehari ini sekolah Anna libur, jadi aku di rumah aja," sahutnya. Putra bisa menangkap pancaran lelah dari wajah istrinya, sebab Syifa harus bekerja ekstra untuk mengurus Anna yang mengidap autisme sejak kecil, dan mengambil kelas di sekolah untuk orang-orang yang berkebutuhan khusus. Putra sesekali ingin membiarkan istrinya beristirahat dengan mencari pengasuh anak, namun Syifa menolaknya. Ia masih bisa mengurus Anna dan Kevin sendirian, dengan Putra yang selalu bersamanya.
"Yaudah, pakai waktu kamu untuk istirahat ya. Aku usahakan untuk pulang lebih awal hari ini," ucap Putra memberi pesan pada sang istri. Beralih ke Anna, lelaki itu memusatkan pandangannya penuh ke arah sang putri, lantas tersenyum kecil. "Anna, jangan rewel ya hari ini. Anak pintarnya Ayah, tunggu Ayah pulang kerja nanti ya. Setelah itu kita bisa main sama-sama, okay?"
Mendengar pernyataan sang Ayah, Anna pun mengangguk kecil sebagai jawaban dengan penuh antusias. "Janji ya, Ayah?" pinta anak itu dengan mulut penuh makanan. Dan dengan suara yang tidak terlalu jelas, hingga Putra sedikit mencondongkan kepalanya untuk mendengar kalimat sang putri.
"Iya Ayah janji," ucap Putra bersungguh-sungguh. Lelaki itu menyudahi sesi makannya, dengan sigap Syifa pun memberikan segelas air putih padanya.
"Kevin, sudah selesai? Ayah udah mau berangkat nih," tegur sang Bunda. Kevin yang sedang asyik makan pun kini buru-buru menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Takut ia akan terlambat untuk datang ke sekolah sebab waktu sudah beranjak siang.
Meninggalkan Anna yang tengah menghabiskan sarapan, Syifa mengantar Putra dan Kevin sampai di ambang pintu. Seperti biasa, Putra memberi satu kecupan kecil di kening istrinya, dan Kevin yang menyalami Syifa dengan penuh senyum.
"Bunda, Kevin berangkat dulu ya!" pamit anak lelaki berusia enam tahun itu, sembari berlari ke arah mobil terlebih dahulu.
Terkekeh kecil sebab tingkah sang bungsu, Putra kembali memusatkan perhatiannya kepada Syifa. Dengan senyum kecil, lelaki itu mengusap kepala istrinya yang berbalut hijab berwarna merah. Menatap iris hitam milik sang istri yang selalu penuh binar.
"Aku berangkat dulu ya, mau dibeliin apa waktu pulang nanti?" tanya Putra menawari.
Syifa berpikir sejenak, memikirkan kebutuhan rumah tangga apa yang sekiranya habis dan menitip kepada Putra. "Beliin buku gambar baru buat Anna. Semalam, dia bilang ke aku, katanya mau coba-coba gambar," sahut Syifa.
"Kamu memang ibu yang perhatian," ucap Putra memberi pujian. Mengulurkan tas yang ada di genggamannya, wanita itu pun memberikannya pada Putra.
"Hati-hati Mas," pesan Syifa saat melihat suaminya beranjak pergi.
"Dadaa! Bunda!" Kevin menyembulkan kepalanya dari balik jendela mobil. Melambaikan tangannya dengan wajah riang pada sang Bunda sebagai tanda perpisahan untuk hari ini.
"Kevin, hati-hati ya," pesan Syifa pada putranya juga.
Seusai Putra dan Kevin pergi, Syifa kembali masuk ke dalam rumah. Ia menarik nafas dalam ketika melihat seisi rumahnya yang berantakan. Anna sudah meninggalkan meja makannya, dengan makanan yang masih tersisa di piring. Dan tengah bermain sendirian dengan semua mainan yang dimilikinya.
Syifa beralih duduk di sofa, meraih ponsel dan memilih untuk menggulir media sosialnya sekedar untuk menjernihkan pikiran. "Anna, Bunda capek kalau harus beresin mainan kamu juga. Bunda nggak mau tahu, kamu harus beresin semuanya sendirian," ucap wanita itu dengan nada cukup tinggi.
Anna mengedipkan matanya menatap sang Bunda. Anak perempuan berusia sembilan tahun itu hanya bisa menganggukkan kepalanya, kemudian menunduk kala mendengar suara Bundanya yang cukup meninggi.
Anna berpikir, Bundanya tengah marah.
Ia melanjutkan aktivitas bermainnya, tanpa peduli suara berisik yang membuat Bundanya sedikit terganggu.
Sebagai ibu, Syifa tentu pernah merasa berada di titik terlelah. Namun bagaimanapun, ia sudah menerima kondisi Anna seutuhnya.
✨️🌙🪐
Putra menutup laptopnya usai dirasa pekerjaannya akan segera selesai. Lelaki itu membereskan berkas-berkas yang menumpuk, kemudian membenarkan tag di mejanya yang bernama Putra Ganendra.
Untung saja, tak banyak pekerjaan yang harus ia handle hari ini. Maka dari itu, ia bisa pulang lebih awal seperti janjinya pada Syifa. Cahaya matahari yang berwarna jingga menerobos masuk ke jendela kaca dari gedung tinggi milik Putra.
Lelaki itu kembali duduk di kursinya, meregangkan tubuh usai lelah seharian bekerja. Suara dering ponsel menyapa indra pendengaran. Lantas membuatnya segera meraih benda pipih itu, dimana nama Lin tertera di layarnya.
"Halo Mas, gimana kabar kamu?" suara seorang perempuan terdengar begitu Putra mengangkat telfonnya.
Sudut bibir lelaki itu tertarik, memancarkan senyum. Suara adiknya sudah lama tak ia dengar, diam-diam ia juga merindukan adik bungsunya itu. "Mas baik, Lin. Kamu gimana kabarnya? Kerjaan lancar kan?" tanya Putra turut menanyakan kabar.
"Lancar dong, aku pengen pulang ke Indonesia, Mas. Pengen ketemu Anna sama Kevin, tapi pekerjaanku banyak banget," keluh perempuan itu. Alinda Belvana, pekerjaannya sebagai lawyer di Amerika membuatnya begitu sibuk, hingga terkadang tak sempat meluangkan waktu untuk menjenguk keponakannya.
Putra memutar tubuh, membuang pandangannya ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Ia menarik nafas pelan kemudian berkata, "Kalau begitu, cari waktu luang dan pulang ke Indonesia. Barangkali ketika kamu pulang ke sini, hubungan kamu dan Syifa juga akan membaik," ucap lelaki itu.
Mendengar nama Syifa, membuat Lin berdecak kecil. Bukan rahasia umum jika kedua perempuan itu tidak akur sejak Putra menikah. "Aku cuma pengen ketemu keponakanku, bukan istri kamu," ralat Lin menjelaskan.
"Apa salahnya kamu bersikap baik sama istriku, Lin? Mas sudah lama menikah, tapi kalian juga tak kunjung akur. Kalau begini, Mas yang pusing," ucapnya turut menumpahkan keluhan.
"Yaudah kalau Mas maksa. Lin bakal coba bersikap baik, tapi kalau Mbak Syifa yang menolak, jangan salahin Lin ya," peringat Lin yang akhirnya pasrah.
Putra tersenyum kecil. Sudah lama ia menginginkan kedua perempuan itu akur. Sebab ia hanya mempunyai Lin sebagai keluarga, dan ia berharap Syifa juga akan menerima kehadiran Lin.
Putra memijat pelipisnya dengan wajah lelah sebab jalanan sungguh macet hari ini. Membuatnya harus berlama-lama di dalam mobil, dan pulang terlambat.
Putra kembali menggulir layar ponselnya, membuka room chatnya dengan sang istri namun tak ada balasan yang ia peroleh. Lelaki itu berpikir bahwa istrinya sudah tidur. Begitupun dengan anak-anaknya.
Ia melirik ke arah kursi di samping, sudah ada beberapa barang titipan Syifa yang berhasil ia dapatkan. Walau harus membuatnya menghadapi kemacetan jalanan seperti saat ini.
Hampir satu jam berlalu, akhirnya Putra sampai di rumah hingga hampir larut malam. Ia menenteng tas belanjaannya dan membuka pintu yang belum terkunci.
Namun belum sempat ia mengucapkan salam, suara barang pecah tiba-tiba mengejutkannya. Disusul dengan suara tangisan Anna yang membuatnya cepat-cepat meletakkan belanjaan dan menghampiri sang putri.
Tampak di ruang tengah, Anna berdiri sembari menatap pecahan gelas di depannya. Anak perempuan itu menangis sesenggukan sebab terkejut, dan langsung digendong oleh Putra agar tak terkena pecahan kaca.
"Anna, kamu nggak papa?" tanya Putra memastikan. Mengusap punggung tangan sang Putri yang sedikit terluka, mungkin karena pecahan kaca itu.
Kevin yang baru saja datang berlari kecil sembari membawa sapu. Anak lelaki itu berinisiatif untuk membersihkan pecahan gelas yang dijatuhkan Anna, namun dengan sigap Putra mengambil alih.
"Kevin, Bunda dimana?" tanya Putra kembali mencari. Pandangannya beralih ke penjuru ruangan, namun tak ia dapati Syifa terlihat dimanapun.
Kevin menggelengkan kepalanya, sebab sejak tadi ia hanya bermain berdua bersama Anna. "Kevin nggak tahu, Yah," sahut anak lelaki itu dengan suara lirih.
Saat tangisan Anna sedikit mereda, barulah Syifa datang dari lantai atas rumahnya. Wanita itu nampak begitu khawatir dan bergegas menghampiri Anna yang masih digendongan Putra.
"Kenapa Mas? Aku dengar barang pecah dari atas, aku lagi di kamar mandi jadi aku nggak tahu," ucap wanita itu setengah panik.
Putra mendudukkan Anna ke sofa yang empuk, disusul Kevin yang duduk di sebelahnya dan berusaha menenangkan sang kakak.
"Anna jatuhin gelas, jadi dia terkejut," jelas lelaki itu. Mengusap surai lembut istrinya guna menenangkan dan ia tak merasa bersalah karena telah meninggalkan Anna.
"Maaf Mas, seharusnya aku nggak tinggalin Anna sendirian," gumam wanita itu merasa menyesal.
"Nggak papa, ini bukan salah kamu. Biar aku yang beresin ya? Kamu obatin luka Anna lebih dulu," suruh Putra. Syifa menarik nafas dalam, kemudian menatap kedua anaknya yang berada di sofa. Wanita itu berjalan untuk mengambil kotak P3K di dalam lemari, dan menghampiri Anna yang masih sesenggukan.
Syifa meraih tangan Anna, dan meniupnya perlahan. Wanita itu membuka kotak P3K dan meraih sebuah obat luka untuk Anna. "Sakit ya, Na?" tanya wanita itu dengan khawatir.
Anna mengusap air mata dengan tangan mungilnya, dan mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan sang Bunda. "Sini Bunda obati luka kamu."
Anna menatap Syifa dengan ragu-ragu, namun ketika sang Ayah datang menghampirinya, ia pun memberi akses kepada Syifa untuk mengobati lukanya.
"Kevin, kamu juga nggak apa-apa kan?" tanya Putra pada si bungsu. Duduk di sofa dan membawa Kevin dipangkuannya.
"Kevin nggak papa kok, Yah. Aman!" sahut anak lelaki itu menenangkan.
Sudah berulang kali Anna menjatuhkan gelas seperti ini, dan itu seringkali membuat Putra khawatir. "Yaudah kita istirahat yuk, nanti sebelum tidur, Ayah bacakan dongeng untuk kalian berdua," ajak Kevin mengalihkan pembicaraan.
Kevin dan Anna berseru riang, dan berhasil membuat sudut bibir Syifa tertarik. Wanita itu tersenyum lega karena Putra selalu bisa diandalkan untuk anak-anaknya.
"Makan dulu yuk Mas, kamu pasti capek karena seharian udah kerja," ucap Syifa pada suaminya. Ia tak ingin Putra kelelahan karena sudah bekerja seharian, dan masih mengurus anak-anaknya anak yang sedikit rewel.
"Nanti aja, biar anak-anak tidur dulu," sahut Putra menolak.
Syifa menarik nafas pelan, dan menuruti perkataan suaminya. Mereka pun membawa Anna dan Kevin ke kamar untuk beristirahat. Walaupun Putra belum sempat berganti baju ataupun membereskan belanjaan yang masih di depan pintu.
✨️🌙🪐
"Ini vitamin kamu ya mas, jangan lupa dimakan," pesan Syifa sembari memberikan beberapa botol vitamin yang biasa Putra konsumsi.
Wanita itu duduk disamping suaminya yang baru saja menyelesaikan sesi makan. Menatap lekat-lekat wajah Putra guna mengusir lelah sebab mengurus anak-anaknya seharian.
Menyadari Syifa terus menatapnya, Putra pun memusatkan perhatiannya kepada sang istri. "Kenapa, hm?" Putra bertanya dengan lembut.
"Hari ini kamu ada meeting di luar kan? Pasti kamu pergi sama asisten cewekmu itu," ucap Syifa menyampaikan keluh kesahnya. Sudah seharian ini wanita itu menahan pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Putra, karena ia tak mau mengganggu aktivitas lelaki itu.
Putra tersenyum, mengusap wajah istrinya yang terlihat masam setelah menanyakan hal itu. "Aku memang ada meeting di luar. Tapi nggak berdua aja kok, ada sekretaris aku juga dan beberapa pegawai yang lain. Jangan khawatir, aku nggak akan aneh-aneh," sahutnya menenangkan.
Putra berusaha memahami istrinya yang seringkali cemburu dengan rekan kerjanya. Bukan sekali ini saja Syifa menanyakan hal yang sama, maka dari itu Putra juga berusaha menjaga jarak dengan bawahannya.
"Yaudah kalau gitu." Syifa berkata pasrah walau dengan wajah yang masih terlihat masam.
"Tadi aku lihat lengan Kevin ada bekas lebam, dia habis jatuh?" Putra bertanya dengan topik lain. Membuat Syifa seketika terdiam dan menelan ludah gugup.
"Mungkin dia jatuh Mas," jawabnya dengan tenang. "Namanya juga anak kecil, pasti dia aktif bermain. Maaf ya, aku kurang aware sama luka Kevin," sambung Syifa merasa bersalah.
Bukannya ia ingin memarahi Syifa atau apa, namun Putra yang justru merasa bersalah. Sebab Putra berpikir bahwa dialah yang tidak bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk anak-anaknya. Sementara Syifa merawat mereka sendirian.
"Hey, nggak papa. Bukan salah kamu kalau Kevin juga luka. Tapi aku minta sama kamu, jangan marahin Kevin kalau dia kurang hati-hati saat bermain ya, dan juga Anna. Dia pasti mudah merasa takut atau terkejut karena hal-hal kecil," pesan Putra.
Syifa mengangguk kecil, memahami apa yang dikatakan Putra. Meski belum sempurna, mereka mencoba untuk melakukan yang terbaik.
"Nilai Kevin akhir-akhir ini menurun, Mas. Mungkin karena dia banyak bermain, apa kita kasih les dia aja ya?" tanya Syifa meminta pendapat.
Putra meraih segelas air minum dan menghabiskan vitamin yang ada di tangannya, kemudian menatap istrinya yang tengah menunggu dirinya berbicara. "Kita tanya Kevin dulu ya? Gimanapun, nanti dia juga yang menjalani. Aku takut malah membebani Kevin, setidaknya nanti kita bantu sesi belajarnya sama-sama," nasihat Putra memberi pengertian.
Putra memang ingin yang terbaik untuk Kevin, tapi dia juga tidak ingin membebani anak itu.
Suara detik jam saling beradu dengan tangisan Kevin dalam ruangan itu. Anna tak sengaja memukulnya dengan mainan di kepala Kevin, dan membuatnya sedikit memar. Anna hanya menatap Kevin dengan bingung, sebab anak itu menangis cukup keras dan Anna tidak tahu harus melakukan apa.
Putra sedang tidak ada di rumah, dan membuat Syifa kerepotan sendiri. Wanita itu membawa Kevin duduk di atas sofa dan memeriksa lukanya. "Diam Kevin!" ucap wanita itu dengan nada yang cukup tinggi. Ia mengompres luka Kevin namun anak lelaki itu belum juga berhenti menangis.
"Kevin, Bunda bilang berhenti!" Syifa menatap anak laki-lakinya dengan marah. Ia benar-benar lelah mendengar tangisan anak itu sejak tadi pagi, dan lebih diperparah karena Anna tak sengaja memukulnya.
Mendengar suara sang Bunda, Kevin menahan tangisnya hingga sesenggukan. Wajah sembab itu tak bisa menyembunyikan raut wajah takut kala Syifa meninggikan suara.
Kevin memang tidak bisa dibentak, namun entah mengapa Syifa selalu melupakannya. "Kalau ada Ayah, Bunda nggak akan teriak kaya gini," gumam Kevin masih sesenggukan.
Ditatapnya iris hitam sang Bunda dengan berkaca-kaca. Meraih jemari Syifa namun dengan cepat wanita itu menghindar dari Kevin. Syifa berusaha mengendalikan dirinya. Ia menarik nafas dalam dan berharap emosinya cepat mereda.
"Udah berapa kali Bunda bilang, Kevin. Jangan pernah bicara apapun tentang hal ini sama Ayah kamu. Sekarang kamu tunggu di sini, Bunda mau urusin kakak kamu dulu," pesan Syifa yang langsung menghampiri Anna. Anak perempuan itu berdiri di sudut ruangan sembari memperhatikan interaksi antara Kevin dan Syifa. Dan langsung menunduk takut begitu Syifa menghampiri dirinya.
Tanpa aba-aba, Syifa menarik pergelangan tangan Anna dengan kasar dan membawanya masuk ke dalam kamar. Kevin yang khawatir dengan keadaan sang kakak, mengikutinya sampai di ambang pintu. Walau pintu telah dikunci oleh Syifa, Kevin masih bisa mendengar keributan Bundanya. Syifa memang selalu seperti ini, tempramennya sangat tidak terkendali saat Putra tidak berada di rumah.
"Anna, Bunda tuh capek tiap kali kamu kaya gini. Udah berapa kali Bunda bilang, belajar jadi anak yang baik!" teriak Syifa menekankan kalimat di akhirnya. Tangan wanita itu terus memukul tubuh kecil Anna hingga tersudut di depan lemari. Tak peduli dengan Anna yang ketakutan, Syifa sudah kalap dengan emosinya.
"Dipukul kaya gini sakit, kan? Tapi kenapa kamu pukul adik kamu kaya gitu?" cerca Syifa sembari mencengkeram lengan Anna.
Anak perempuan itu menggigit bibirnya menahan tangis. Namun tatapan menusuk Syifa membuat tangisnya tumpah seketika.
Dari luar kamar, Kevin berusaha mencari celah untuk mengintip dan memastikan kakaknya baik-baik saja. "Bunda, jangan marahin Kakak. Dia nggak sengaja pukul aku..." gumam Kevin lemah.
Sekalipun ia masih merasakan perih di kepalanya, namun Kevin juga tidak mau Anna kena marah.
Sementara di dalam sana, Anna pun belum berhenti menangis. Membuat Syifa tambah frustasi dan berakhir mendorong Anna hingga gadis itu terjatuh di kasur. "Renungi kesalahan kamu, dan jangan keluar sebelum Bunda suruh," peringat wanita itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Anna di kamar sendirian.
Kala membuka pintu, perhatian Syifa langsung terpusat pada Kevin yang masih berdiri di depan pintu. Anak itu menatap takut pada Syifa dan langsung menunduk. Syifa acuh, kemudian melangkah pergi untuk meninggalkan Kevin tanpa peduli apa yang akan anak itu lakukan.
Kevin diam, tak bisa berbuat apapun. Yang ia lakukan hanyalah masuk ke dalam kamar dan berusaha menenangkan Kakaknya. Selalu seperti ini saat Putra tidak ada di rumah, dan mau tidak mau anak kecil itu hanya bisa diam. Ia tak berani mengadu kepada Ayahnya perihal sang Bunda yang selalu bermain fisik ketika ia marah.
"Kakak, jangan sedih ya. Bunda lagi capek, Bunda nggak mungkin benci kita kan, Kak?"
✨️🌙🪐
Putra menggandeng tangan Kevin dan mengajaknya masuk ke dalam sebuah minimarket. Saat ia pulang bekerja, anak itu merengek minta dibelikan coklat. Dan berakhir untuk jalan-jalan bersama Ayahnya hingga ke minimarket yang ada di dekat rumah.
Kevin menyusuri rak demi rak untuk mencari snack favoritnya. Tangannya menggenggam sebuah coklat, namun rupanya ia masih menginginkan yang lain.
"Beli kentang goreng aja mau nggak? Biar nanti Bunda yang buatin," tawar Putra sembari menunjuk sebungkus kentang di dalam freezer.
Kevin menggeleng tanda ia menolak. Ia kembali menyusuri rak yang sama dan membuat Putra terheran-heran. "Kamu udah bolak-balik di sini lama banget. Sebenarnya apa yang kamu cari, Nak?" tanya Putra dengan lembut. Lelaki itu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Kevin. Namun anak lelaki itu malah memutar bola matanya, menghindari tatapan Putra.
"Kamu udah dapat coklat yang kamu minta. Sekarang mau cari apa? Biar kita nggak kemalaman, kasihan kalau Kak Anna harus menunggu, kan?" ujar Putra berusaha memberi pengertian.
Bukan salah Kevin yang sebenarnya ingin pergi sementara waktu dari rumah. Sebab jika ia berlama-lama bertemu Bundanya, ia takut tak bisa melupakan kejadian tadi siang. Karena bagaimanapun, memori anak kecil tak mudah dilupakan begitu saja.
Kevin tidak benci, hanya saja ia tak ingin teringat lagi.
"Jajan kaya teman Kevin nggak ada kayanya, Yah. Yaudah kita besok ke sini lagi ya? Ayo pulang, Kak Anna udah nunggu," ajak Kevin sembari menarik jemari sang Ayah.
Putra mengangguk, menggenggam kembali jemari mungil Kevin dan berjalan menuju kasir. Usai membayar semua jajanan anaknya, mereka kembali ke mobil.
Putra mengusap kening Kevin yang masih sedikit biru. Ia sudah mendapat cerita dari Syifa bahwa Anna tidak sengaja memukul anak lelaki itu dengan mainannya.
"Kepala kamu masih sakit?" tanya Putra dengan raut khawatir. "Masih lebam nih, sini Ayah tiup biar hilang sakitnya," canda lelaki itu pada anaknya.
Kevin merespon dengan tawa kecil, Putra akhirnya lega Kevin bisa kembali ceria. "Kevin, maafin Kakak kamu ya kalau nggak sengaja pukul kaya gini. Kevin nggak papa, kan? Maaf ya, Ayah belum bisa meluangkan lebih banyak waktu buat kamu sama Kakak. Ayah janji kalau Ayah dapat libur panjang, Ayah pasti akan bawa kalian untuk liburan," ucap lelaki itu sungguh-sungguh.
"Beneran Ayah?" Kevin menanggapi dengan wajah riang. "Kevin pengen ke kebun binatang, Ayah mau ajak Kevin ke sana kan?" tanya anak lelaki itu penuh harap.
Putra mengangguk sembari tersenyum, kemudian memasangkan seatbelt kepada anaknya dan mulai melajukan kendaraan.
"Iya Ayah janji," ucap Putra sembari memberikan kelingkingnya dan Kevin menyambutnya dengan senyum.
"Yeay, main ke kebun binatang!" anak lelaki itu bersorak senang. Dan tak urung membuat Putra mengulum senyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!