NovelToon NovelToon

ADIKKU DURI DALAM RUMAH TANGGAKU

Cassandra Zahra Aqila

Cassandra Zahra Aqila

Wanita cantik berusia 24 tahun ini adalah istri dari seorang pengusaha muda bernama Damar Aditya Gunawan.

Pernikahan mereka sudah berjalan selama dua tahun dan semuanya berlangsung dengan baik serta penuh kebahagiaan. Kebahagiaan itu pun bertambah karena saat ini Cassandra sedang hamil anak pertama mereka yang sudah berusia enam bulan.

---

Pagi ini, Cassandra sedang menyiapkan pakaian untuk suaminya, juga untuk dirinya sendiri, karena hari ini adalah hari wisuda adik perempuannya satu-satunya.

“Mas, ini bajunya ya. Udah aku siapkan. Aku mau siap-siap juga, ya,” ucap Cassandra kepada suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Iya, Sayang. Terima kasih,” jawab Damar. Setelah itu, mereka pun bersiap-siap.

Tak lama kemudian, Damar dan Cassandra sudah selesai berdandan dan berangkat menuju tempat wisuda adik Cassandra.

Setelah beberapa saat, akhirnya mereka pun sampai dan bertemu dengan mama dan papa Cassandra, serta adiknya, Chelsea Zara Audra.

“Ma... Maaf kami terlambat, ya?” ucap Cassandra pada sang mama.

“Tidak, Nak. Acara baru mulai. Yuk, duduk,” ucap Mama Cindy. Mereka pun menyaksikan acara tersebut.

Tak terasa, acara pun selesai, begitu juga sesi foto bersama.

“Chelsea, selamat ya. Mbak bangga padamu,” ucap Cassandra dengan tulus.

“Iya, terima kasih, Mbak,” jawab Chelsea dengan nada datar.

“Selamat, Chelsea. Semoga cepat dapat pekerjaan,” ucap Damar.

“Terima kasih, Mas,” ucap Chelsea dengan antusias, sambil menggelayut manja pada Damar. Semua orang sudah biasa melihat hal itu. Mereka pikir karena Chelsea adalah anak bungsu dan tidak memiliki kakak laki-laki, maka ia manja kepada Damar.

“Mas, kan El sudah lulus kuliah. Jadi, boleh ya El kerja di perusahaan Mas? Bukannya Mbak Cassandra sudah hamil besar. Kalau harus jadi sekretaris Mas, kasihan juga. Jadi, biar El saja yang gantiin daripada nyuruh orang lain,” rayu Chelsea pada kakak iparnya.

Mereka pun berpikir, memang benar bahwa kehamilan Cassandra sudah besar. Kasihan jika harus sibuk di kantor.

“Bagaimana, Sayang? Menurut kamu?” tanya Damar pada Cassandra.

“Sebenarnya aku masih kuat, Mas, untuk bekerja—” ucapan Cassandra dipotong oleh sang mama.

“Sudahlah, Sandra. Berikan saja pekerjaan itu pada adikmu. Kamu juga sedang hamil besar. Jadi, kamu bisa istirahat, dan El bisa belajar mandiri,” ucap Mama Cindy membela Chelsea, sementara sang papa hanya diam.

“Baiklah, Mas. Aku akan di rumah, dan El bisa menggantikan aku mulai besok. Besok akan aku beri tahu apa saja pada El,” jawab Cassandra, meskipun dengan terpaksa. Bukan karena ia pelit, tapi entah kenapa, ia memiliki firasat bahwa akan terjadi sesuatu, meski ia tidak tahu apa itu.

Setelah itu, mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Cassandra dengan perasaan tak menentu, sedangkan Chelsea begitu bahagia, sudah banyak sekali rencana yang dipikirkannya untuk hari-hari berikutnya.

---

Keesokan harinya, Cassandra dan Damar sudah sampai di kantor, begitu juga dengan Chelsea yang sangat antusias.

Hari itu terlewati dengan aman dan lancar. Semua yang dijelaskan Cassandra dapat dimengerti oleh Chelsea. Apalagi ada asisten pribadi Damar yang akan membantu di sana. Hal itu berlangsung selama beberapa hari, hingga akhirnya Cassandra tidak lagi pergi ke kantor dan hanya berada di rumah.

Seperti hari ini, setelah mengurus suaminya, Cassandra duduk di taman belakang mengerjakan pekerjaannya sendiri tanpa sepengetahuan siapa pun. Ya, Cassandra memiliki restoran yang dibangunnya sendiri selama tiga tahun ini. Sebelum menikah dengan Damar, Cassandra memang sekretaris Damar, tapi tanpa sepengetahuan siapa pun, ia membuka usaha restoran. Dari hanya satu cabang, kini sudah memiliki 15 cabang: 13 di kota besar dalam negeri, dan dua di luar negeri.

Cassandra sebenarnya sudah ingin memberi tahu keluarganya, tapi entah mengapa selalu saja ada halangan. Hingga saat ini, ia belum sempat memberi tahu siapa pun.

Sementara itu, di kantor Damar, waktu makan siang sudah tiba. Namun karena Damar masih banyak pekerjaan, ia tidak keluar untuk makan.

Tok... Tok... Tok... suara ketukan pintu ruangannya.

“Masuk,” jawab Damar.

“Mas, ini El bawain makan siang buat Mas,” ucap El.

“Terima kasih, El. Gak perlu repot-repot,” jawab Damar sambil tetap menatap layar laptopnya.

Melihat sikap Damar yang tak peduli, El pun kesal karena tidak dipedulikan.

Sialan Mas Damar. Kenapa sih gak mau lihat aku? Kenapa harus Mbak Sandra? Cantikan juga aku, tubuhku juga lebih menarik. Lihat saja, akan kubuat kau bertekuk lutut di hadapanku. Hanya aku yang boleh memiliki kamu, Mas, batin El penuh dendam.

Maaf, Mbakku sayang... jangan salahkan aku. Karena kamu yang bodoh memberi jalan buatku untuk merebut suamimu. Coba kalau kau tidak setuju aku kerja di sini, pasti tidak akan seperti ini. Hehehe... Tapi aku bersyukur kamu bodoh, pikir El dengan licik.

Setelah berpikir keras, El pun membulatkan tekad. Hari ini, ia harus bisa membuat Damar menjadi miliknya.

El membuka blazernya dan kini hanya mengenakan tank top ketat dan rok span mini. Dengan perlahan, El mendekati Damar, berdiri di belakangnya, dan mengusap dada Damar perlahan. Damar kaget dan tegang.

“Mas, kok dari tadi El dicuekin sih? El udah bawain makan siang buat Mas, tapi gak dihargai. Bikin El sebel deh... atau Mas gak mau makan nasi, maunya makan El saja?” bisik El menggoda di telinga Damar sambil meniup lembut.

“El, apa yang kamu lakukan? Duduk yang benar sana. Ini gak baik, aku ini kakak iparmu,” ucap Damar gugup.

“Benarkah ini tidak baik? Kalau begini bagaimana?” ucap El sambil memutar kursi Damar dan duduk di pangkuannya.

Damar terkejut melihat pakaian El yang begitu terbuka.

“Begini bagaimana, Mas? Apa ini benar? Apa Mas suka?” ucap El terus menggoda.

“El, cepat bangun! Ini tidak benar!” ucap Damar gugup, bahkan menelan ludah pun terasa sulit.

“Apa Mas gak menyesal kalau El pergi? Mas pasti kelaparan, kan? Sejak Mbak Sandra hamil besar, tubuhnya juga jadi berisi. Apa Mas gak mau coba makanan baru seperti El yang masih segar?” goda El makin berani.

“Ayolah, Mas. El sudah menunggu lama untuk momen ini. Apa Mas gak tahu kalau El sangat menginginkan Mas, lebih dari siapa pun. Lihatlah... El sudah siap,” ucapnya penuh gairah.

“Tapi El... Cassandra bagaimana?” tanya Damar, mulai goyah.

“Gak usah dipikirin, Mas. Wanita bodoh itu gak akan tahu apa pun. Biarin kita bersenang-senang sejenak,” ucap El yang mulai beraksi.

Damar pun berpikir keras. Meskipun hatinya menolak, namun nafsu mulai menguasai akal sehatnya. Dengan perlahan, Damar mengunci pintu otomatis, dan entah siapa yang memulai… terjadilah sesuatu yang tidak diinginkan.

Bersambung

Sudah di revisi

sedikit titik terang

Setelah kejadian itu, bukannya Damar bertaubat atau menyesal, ia justru ketagihan. Semakin lama, ia pun semakin menjauh dari Cassandra. Hal itu membuat Cassandra curiga dan bingung.

“Mas, apa di kantor sedang banyak pekerjaan? Sampai Mas selalu pulang malam?” tanya Cassandra pelan.

“Iya,” jawab singkat Damar, dengan nada cuek.

“Apa perlu bantuan Sandra, Mas? Jika memang sangat sibuk, akan Sandra bantu,” ucap Cassandra dengan lembut.

“Kamu ini berisik sekali sih! Bikin nggak betah di rumah. Kamu nggak perlu ikut campur urusan kantorku, kamu nggak punya hak apa pun. Lebih baik kamu diam, jaga saja anak itu!” ucap Damar kasar, dan itu sangat mengejutkan Cassandra.

“Mas, kenapa kamu marah? Aku hanya menawarkan bantuan saja…” ucap Cassandra pelan.

“Aku bilang diam, ya diam! Sudah, aku mau pergi!” ucap Damar marah, lalu pergi dari rumah menuju apartemen yang ia beli enam bulan lalu setelah menjalin hubungan dengan El.

Damar membeli apartemen itu tanpa sepengetahuan siapa pun. Tempat itu menjadi tempat rahasia mereka memadu kasih, karena di kantor ia merasa kurang puas, apalagi ada Aldo—asisten Damar—yang memang tidak menyukai El.

Saat sampai di apartemen, ternyata El sudah berada di sana. Begitu masuk, Damar langsung menerkam El tanpa henti, melupakan Cassandra yang ia tinggalkan begitu saja di rumah.

Sementara itu, Cassandra masih termenung sendirian di meja makan.

“Kenapa Mas Damar berubah akhir-akhir ini? Aku merasa sejak El menjadi sekretaris Mas Damar, perubahan itu mulai terlihat. Ada apa sebenarnya?” ucap Cassandra bingung dan sedih.

“Tapi... tidak mungkin. El itu adikku. Adik kandungku. Kenapa aku jadi jahat sekali berpikir begitu…” ucap Cassandra, menolak berpikir buruk tentang adiknya.

“Tapi... sudah beberapa kali Aldo memperingatkanku soal ini. Ya Allah, berikanlah petunjuk-Mu tentang kebenaran ini, jika itu memang demi kebaikanku. Aamiin,” ucap Cassandra lirih, penuh kebingungan dan firasat buruk.

Setelah keributan itu, Damar semakin menjadi-jadi. Ia jarang pulang, dan bahkan tidak mau tidur sekamar dengan Cassandra. Damar terus terbayang-bayang oleh permainan El yang membuatnya mabuk kepayang, hingga melupakan istrinya yang tengah mengandung buah hatinya. Namun Damar tak peduli akan hal itu.

Hal itulah yang membuat Cassandra banyak berpikir. Ia tak punya tempat untuk mengadu. Mamanya selalu sibuk dan selalu membela adiknya, sementara papanya terlalu cuek.

Ingin rasanya Cassandra bercerita pada mama mertuanya, namun ia merasa tidak enak hati—apalagi mertua tinggal di kota yang berbeda. Cassandra merasa hidup seorang diri. Ia punya sahabat, tapi Cassandra tak ingin membuka aib keluarganya kepada orang luar. Akhirnya, ia pendam semua sendiri.

Seperti hari ini. Hari ini adalah jadwal untuk periksa kandungan ke rumah sakit. Namun berbeda dari biasanya. Damar yang dulu antusias, kini malah marah dan tidak mau ikut.

“Mas, hari ini jadwal periksa kandungan. Kamu mau ikut atau tidak?” tanya Cassandra dengan lembut.

“Urus urusanmu sendiri! Aku sibuk! Kamu pergi sendiri saja, nggak usah manja. Aku ada rapat. Kamu bisa pergi sendiri! Lihat tuh adikmu, dia mandiri, ke mana-mana sendiri!” ucap Damar kasar. Ucapan itu membuat Cassandra terkejut dan tak enak hati.

DEG!

“Sejak kapan El mandiri? Ada apa ini? Kenapa Mas Damar membandingkan aku dengan El? Ya Allah... ada apa sebenarnya?” batin Cassandra penuh tanya.

Namun karena tak ingin memperpanjang keributan, Cassandra pun mengalah.

“Baik, Mas. Aku pergi sendiri saja,” jawab Cassandra, dengan senyum yang dipaksakan.

“Bagus! Jangan manja,” ucap Damar lalu berlalu pergi begitu saja tanpa pamit.

Cassandra hanya bisa menghela napas dan bersabar. Saat hendak menaruh pakaian kotor, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada sebuah map hitam yang terselip di bawah tempat tidur. Dengan susah payah, Cassandra mengambil dan membuka map itu. Isinya membuatnya terpaku.

“Mas Damar punya apartemen baru? Sejak kapan? Kenapa tidak memberi tahu aku? Kenapa disembunyikan? Dan... apa ini? Ada nama El di dalamnya?” ucap Cassandra dengan tangan gemetar. Air matanya pun jatuh tanpa bisa ditahan.

“Ada apa ini? Kenapa aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa? Apa benar El sudah merayu Mas Damar seperti yang dikatakan Aldo?” ucap Cassandra dalam kebingungan.

Tiba-tiba Cassandra berdiri. Ia segera membereskan semua barang berharganya—surat-surat penting, buku nikah miliknya dan Damar, serta semua emas dan berlian yang ia simpan tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia hanya menyisakan satu baju saja.

“Entah mengapa firasatku hari ini sangat kuat... Allah sudah memberikan petunjuk besar. Aku harus bersiap, walaupun ini menyakitkan. Tapi semoga saja firasatku salah. Lebih baik aku minta bantuan Mira dan Agung untuk membawa semua barangku ke rumah pribadiku,” ucap Cassandra cepat. Ia pun segera menelpon dua orang kepercayaannya.

Tak sampai 30 menit, Mira dan Agung datang.

“Assalamualaikum, Mbak Zahra,” ucap Mira dan Agung.

“Waalaikumsalam. Mira, Agung, maaf aku merepotkan kalian. Tapi aku butuh bantuan kalian. Tolong bawa tiga koper itu ke rumah pribadiku sekarang. Ini tidak ada waktu, mumpung Mbok Asih dan Mbak Yu sedang aku suruh keluar. Maaf aku tidak bisa bercerita sekarang atau menyuruh kalian istirahat,” ucap Cassandra tergesa-gesa.

“Baik, Mbak. Kami mengerti,” ucap Mira dan Agung, lalu membawa barang-barang Cassandra.

“Mbak, kami pergi sekarang saja ya. Nanti kami kabari kalau sudah kami simpan di rumah sana,” ucap Mira dengan pengertian.

“Baik. Terima kasih, dan tolong jangan bilang siapa pun. Satu lagi, kalau terjadi sesuatu padaku... kalian lihat ini,” ucap Cassandra sambil memberikan sebuah amplop, “dan jemput aku di mana pun kalian bisa melihat titik keberadaanku.”

“Baik, Mbak. Kami pergi,” ucap Agung dan Mira bersamaan.

Setelah mereka pergi, tak lama kemudian Mbok Asih dan Mbak Yu kembali ke rumah. Namun, bersamaan dengan itu, sebuah mobil masuk ke halaman rumah. Ternyata itu adalah mobil mama mertua Cassandra.

“Assalamualaikum, Sayang. Apa kabar?” ucap Mama Dania, ibu dari Damar.

“Waalaikumsalam, Mama. Alhamdulillah, Sandra baik-baik saja. Begitu juga dengan cucu Mama ini,” ucap Cassandra dengan bahagia melihat kedatangan mertuanya.

“Ma, Mama datang sendiri? Nggak sama Papa?” tanya Cassandra.

“Mama datang bersama Papa kemarin. Tapi kami menginap di hotel karena lelah. Rencananya mau ke mari, tapi Papa tadi pergi dulu ke perusahaan, ingin bertemu Damar. Oh iya, ayo kita ke rumah sakit. Bukannya ini hari pemeriksaanmu?” ucap Mama Dania.

Ucapan itu membuat Cassandra terkejut. Mertuanya mengingat jadwal pemeriksaannya, sedangkan suaminya sendiri malah melupakan. Ia pun merasa haru dan sedih bercampur menjadi satu.

Bersambung

Sudah di revisi

ketahuan

Setelah berbicara dengan Mama Dania, Cassandra dan sang mertua pun pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya. Saat sampai dan diperiksa oleh dokter, ternyata kondisi kandungan Cassandra sedikit melemah karena dipengaruhi oleh suasana hatinya sendiri. Hal itu membuat Mama Dania kebingungan sekaligus khawatir.

Setelah selesai pemeriksaan dan mengambil vitamin, Cassandra dan Mama Dania tidak langsung pulang. Mereka malah duduk di taman yang tak jauh dari ruang dokter kandungan tadi.

“Sayang, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu sampai terlihat banyak pikiran dan begitu tertekan? Coba ceritakan pada Mama. Mungkin Mama tidak bisa membantu sepenuhnya, tapi paling tidak bisa meringankan bebanmu. Jadi, cobalah untuk cerita,” ucap Mama Dania dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Cassandra yang selama hampir satu tahun ini menahan sesak dan luka di dalam hati, akhirnya tak mampu lagi membendung air matanya. Ia menangis tergugu, membuat Mama Dania terkejut dan bingung. Setelah merasa lebih tenang, Cassandra mulai menceritakan semua yang ia rasakan, firasat-firasatnya, hingga peringatan dari Aldo.

Mendengar semua itu, Mama Dania marah dan kesal. Ia pun merasakan hal yang sama dengan Cassandra. Hatinya sakit mendengar bagaimana putranya telah berubah sejauh itu.

Belum selesai terkejut atas pengakuan menantu kesayangannya, pandangan Mama Dania tak sengaja tertuju pada sepasang pria dan wanita yang tampak mesra berjalan dari arah rumah sakit menuju parkiran mobil. Karena penasaran, Cassandra pun ikut melihat ke arah yang sama.

Saat menyadari siapa mereka, jantung Cassandra serasa berhenti berdetak. Ia melihat suaminya, Damar, berjalan menggandeng tangan adiknya sendiri—El. Bahkan Damar tampak mengelus perut El dengan penuh kasih.

Tubuh Cassandra mendadak lemas, namun ia berusaha tetap kuat. Mama Dania pun tampak sangat shock dan gemetar melihat perlakuan putranya sendiri.

Melihat mobil Damar pergi, Mama Dania bingung dan masih terpaku.

“Ma... Mama,” ucap Cassandra, menyadarkan mertuanya dari keterkejutan. Mama Dania pun sadar bahwa Cassandra juga melihat hal yang sama. Wajahnya tampak sangat terpukul dan penuh luka.

“Maafkan Mama, Sayang. Mama bukan ibu yang baik... Mama tidak bisa mendidik putra Mama hingga tega menyakitimu… hiks... hiks…” tangis Mama Dania pecah.

“Tidak, Ma. Ini bukan salah Mama. Mama adalah ibu yang baik. Hanya Mas Damar saja yang tidak bersyukur dan merasa selalu kurang,” ucap Cassandra, mencoba menguatkan diri meski air matanya terus mengalir. Bahkan rasa nyeri di perutnya mulai muncul, tapi tetap ia tahan.

“Ma, ayo kita ke tempat Mas Damar. Sandra ingin menyelesaikan semuanya, biar jelas dan tidak menimbulkan fitnah,” ucap Cassandra tegas.

Mendengar itu, Mama Dania menatap menantunya dengan rasa bersalah.

“Tapi... kita harus mencarinya di mana, Nak? Mereka pasti punya tempat persembunyian,” ucap Mama Dania putus asa.

“Sandra tahu, Ma. Tadi pagi, tidak sengaja Sandra menemukan surat kepemilikan apartemen atas nama Mas Damar dan El,” jawab Cassandra lirih, membuat Mama Dania kembali terguncang.

Tak lama kemudian, ponsel Mama Dania berdering.

“Halo, Pa,” ucap Mama Dania pelan, bahkan lupa mengucapkan salam.

“Ma, Mama di mana sekarang?” tanya Papa Dimas, ayah Damar.

“Mama di rumah sakit, mengantar Cassandra kontrol kandungan. Ada apa, Pa?” tanya Mama Dania sambil menahan tangis.

“Papa sedang sangat marah sekarang! Kamu tahu tidak, Damar menggunakan dana perusahaan dalam jumlah besar dan sudah tidak masuk kerja selama satu minggu penuh! Dan lebih parahnya, sekretarisnya juga hilang!” ucap Papa Dimas dengan nada tinggi.

“Pa, nanti saja marahnya. Sekarang, susul Mama di Jalan XXX. Mama dan Cassandra akan ke sana,” ucap Mama Dania tegas.

“Ada apa, Ma? Ada masalah dengan menantu dan calon cucu kita?” tanya Papa Dimas mulai khawatir.

“Sudah, Pa. Jangan tanya dulu. Kita lihat dulu di sana. Pokoknya Papa segera ke sana,” ucap Mama Dania.

“Baik, Ma. Papa akan ke sana sekarang. Mama dan Cassandra hati-hati ya,” ucap Papa Dimas.

Setelah itu, mereka pun pergi menuju alamat yang tertera di dokumen apartemen—Papa Dimas dari arah berbeda.

Namun, Cassandra dan Mama Dania sampai lebih dulu. Mereka langsung menuju unit apartemen yang diketahui dari surat yang ditemukan Cassandra. Saat berdiri di depan pintu unit, tubuh Cassandra sudah gemetar, begitu juga Mama Dania. Dengan perlahan, Cassandra menekan bel.

---

Sementara itu, di dalam apartemen, El dan Damar sedang berada di atas tempat tidur, hanya mengenakan handuk. Mereka bersiap melakukan perbuatan yang tidak pantas dilakukan tanpa ikatan pernikahan.

Ketika suara bel terdengar, awalnya mereka mengabaikannya. Tapi setelah lima kali berbunyi, mereka pun bangkit dengan kesal, lalu membuka pintu tanpa mengecek siapa yang datang. Dengan pakaian yang tidak pantas—hanya memakai handuk—mereka membuka pintu.

Betapa terkejutnya mereka ketika melihat Cassandra dan Mama Dania berdiri di depan pintu.

“Sandra… Mbak Sandra…” ucap Damar dan El bersamaan.

“Mama… Tante…” lagi-lagi bersamaan.

“Maaf kalau aku mengganggu. Aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat… atas kehamilan El. Tapi sayang… itu anak hasil zina,” ucap Cassandra dengan tenang namun menyayat.

“Selamat, El, karena kamu berhasil menjadi duri. Semoga duri itu suatu hari nanti tidak menusukmu sendiri,” lanjut Cassandra.

“Dan untuk kamu, Mas… apa sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini, sampai kamu berselingkuh dengan adikku sendiri? Apa karena kamu kasihan melihat dia tidak laku di luar sana, jadi kamu mau jadi jodohnya? Karena kalau dia laku di luar sana, tidak mungkin dia mengambil suami kakaknya sendiri.

Sayang sekali, El. Wajah dan tubuh cantikmu hanya dijadikan simpanan. Mentok-mentoknya jadi istri siri. Aku kira kamu akan mendapatkan jodoh orang hebat karena kepintaran dan kecantikanmu. Tapi ternyata kamu sangat murah… Kamu bahkan mengambil bekas kakakmu sendiri.

Baiklah, aku ikhlaskan semua yang kamu ambil. Dan kamu, Mas… kamu pemimpin hebat, katanya. Tapi ternyata kamu gak kalah murah dari El. Karena kamu mau menampung wanita yang tidak laku,” ucap Cassandra dengan suara tegas, meski wajahnya penuh luka.

“Maaf... Sandra tidak sopan. Sandra pamit,” ucap Cassandra sebelum berlalu pergi.

El dan Damar hanya bisa terdiam membeku. Tapi tiba-tiba—

PLAK! PLAK! PLAK! PLAK!

Suara tamparan keras terdengar. Dua untuk pipi Damar, dua untuk pipi El.

“Benar apa yang dikatakan Sandra. Kalian itu murahan! Yang satu, pria penampung wanita murahan. Dan yang satu, wanita murahan yang tidak laku!

"Kalau kau, El, memang layak dan laku di luar sana, kau tidak akan menggoda iparmu hanya demi jadi yang kedua. Sampai mati pun Mama tidak akan merestui hubungan kalian! Apalagi kau, Chelsea! Mama tidak sudi punya menantu sepertimu! Mama dulu menyayangimu seperti putri Mama sendiri. Karena kamu cantik, terlihat baik. Tapi ternyata itu semua cuma kedok untuk merebut suami kakakmu sendiri!

"Ingat! Hukum karma itu ada! Jika kau berani menyakiti saudaramu sendiri, maka balasannya akan jauh lebih kejam! Sekarang mungkin kamu merasa menang. Tapi suatu hari nanti, rasa bersalah dan ketakutan akan membayangi hidupmu.

"Lihat kakakmu itu! Wanita yang sempurna dan baik… Tapi tetap diselingkuhi oleh suaminya. Kamu yakin Mas Damar tidak akan melakukan hal yang sama padamu saat tubuhmu nanti tak semenarik sekarang karena kehamilanmu itu?” ucap Mama Dania sambil menangis dan menggigil marah.

---

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!