NovelToon NovelToon

KECANTOL DOSEN GALAK

BAB 1

"Astagfirullah..." Pria berhidung mancung itu terkejut bukan main, begitu merasakan lima jari mendarat tajam di wajah tampan Arkana Wibowo, yang tertutup slayer. Gadis bermata bulat itu, menatap pria berhidung mancung itu dengan penuh kemarahan dan rasa terhina. Karena merasa dilecehkan. "Dasar pervert! Bisa-bisanya kamu meraba bokongku," teriak Kanaya dengan suara melengking penuh amarah.

Arka menyipit, mendengar ucapan mahasiswinya itu. "Apa yang kamu katakan?!" Arka membantah dengan wajah memerah. Bagaimana tidak, dia dipermalukan di depan para mahasiswanya oleh gadis tak tahu berterima kasih itu.

"Hei! Jelas-jelas tanganmu yang meraba bokongku," semakin berang ucapan, Kanaya.

"Ya Tuhan, susah sekali berbicara dengan gadis tolol seperti kamu!" balas Arka, frustasi dengan tuduhan tak berdasar yang diterimanya. "Makannya kecilkan suara musikmu," ucap Arka dengan nada mengejek, kemudian menarik kasar handsfree dari telinga mahasiswi semester empat itu. Lalu, dengan tangan besarnya, Arka melemparkan handsfree, milik Kanaya ke semak-semak dan berlalu meninggalkannya dengan langkah tegap dan penuh amarah.

"Heh, dasar mesum...!" teriak Kanaya dengan penuh kekesalan. Gadis itu pun, lalu melemparkan botol air mineral ke arah Arka. Arka tak menggubris, pria berhidung mancung itu terus berjalan meninggalkan Kanaya, dan mahasiswa yang lainnya. Wajahnya merah padam menahan kekesalannya. Sementara itu, Kanaya segera memungut handsfree yang dilemparkan oleh Arka ke semak-semak tadi. Tak lama setelah kepergian Arka, Defi mendekati Kanaya dengan raut wajah kaget. "Nay, kamu menampar dia? Kamu gak tahu? Itu loh dosen baru kita, Pak Arka," ungkap Defi dengan nafas terengah-engah, memberi tahu temannya, tentang identitas Arka yang sebenarnya. Kanaya menatap Defi dengan kening berkerut.

"Apa...! Kamu serius, Def?" Defi mengangguk yakin.

"Ya Tuhan..." Kanaya sontak menutup wajahnya dengan kedua tangannya, merasakan kepanikan mulai menyergapnya.

"Kenapa kamu tidak kasih tahu aku, Def?" Kanaya mulai panik, setelah mengetahui bahwa orang yang ia tampar tadi adalah dosen barunya.

"Gimana aku mau kasih tahu, orang kamunya dipanggil gak dengar," ujar Defi tak mau disalahkan.

"Lagian tadi, kami dan Pak Arka sudah mencoba memanggil kamu, tetapi kamu tidak mendengar karena musik di earphone-mu terlalu keras. Pak Arka tidak bermaksud melecehkan kamu, Nay. Dia hanya ingin membantu menghilangkan ulat bulu yang menempel di celanamu, dan dia melakukannya dengan botol minum, bukan dengan tangannya langsung," jelas Defi, berusaha meluruskan kesalahpahaman antara Kanaya dan Pak Arka.

Kanaya menarik napas dalam-dalam, "Ya Tuhan, Def... Terus, aku harus bagaimana? Pasti Pak Arka sangat marah padaku," gumamnya dengan nada khawatir.

"Ya iya lah, dia marah. Kamu gak lihat, dia sampai buang handsfreemu?, Coba deh minta maaf pada padanya, Nay. Cepat kejar Pak Arka!" saran Defi dengan tegas. Kanaya pun segera mengejar dosen yang tengah berlalu dengan langkah terburu-buru itu.

Sejak kejadian itu, Pak Arka selalu terlihat kesal setiap kali melihat Kanaya. Dosen tersebut bahkan, tidak pernah menanggapi upaya Kanaya yang berusaha mendekat untuk meminta maaf. Sungguh, rasa bersalah di hati Kanaya semakin menjadi-jadi, dan ia bertekad untuk merebut kembali kepercayaan dosen barunya tersebut, dengan cara apapun.

Tiga bulan berlalu, setelah kejadian peristiwa memalukan itu, Kanaya terus berusaha, mendekati Arka untuk meminta maaf. Namin hingga detik ini, Kanaya belum juga mendapatkan maaf dari dosen killer itu.

Pagi ini, mentari menyilaukan mata. Menjadi pemantik rasa semangat pagi, bagi gadis bermata bulat itu. Kanaya bergegas ke kamar mandi, dengan pontang panting ia menyambar handuk yang tergantung di kamarnya.

Suara air yang mengguyur tubuh Kanaya terdengar keras menghantam lantai kamar mandi. Gadis bermata bulat itu terburu-buru mandi, hanya memastikan tubuhnya basah, karena jam sudah menunjukkan pukul 07.15.

Gadis itu terlambat bangun.

"Nay, sudah jam tujuh. Kamu belum bersiap juga? Mas tinggal, pagi ini Mas ada rapat di kantor. Ayo cepat jika ingin berangkat bareng," teriak Al-Faruk, kakak semata wayang Kanaya, dari ruang tamu.

"Bentar, Mas," sahut Naya sambil mencoba mempercepat gerakannya. Air yang mengucur dari shower membasahi rambut panjangnya, dan dia segera menggosok tubuhnya dengan sabun.Dalam hitungan menit, Kanaya sudah mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian yang ia ambil asal dari tumpukan pakaiannya di dalam lemari. Rambut basahnya terlihat masih berantakan, namun dia tidak punya waktu untuk mengurusnya. Dia segera mengambil tas ranselnya dan berlari ke ruang tamu, di mana Al-Faruk sudah menunggu dengan kunci mobil di tangan. Al-Faruq terbengong melihat rambut Kanaya yang berantakan seperti sarang burung. Namun ia tak sempat untuk berkomentar, karna waktu yelah mendesak.

"Maaf, Mas. Aku telat bangun," kata Kanaya dengan napas terengah-engah. Al-Faruk mengangguk dan membuka pintu rumah, mempersilakan adiknya keluar lebih dulu.Mereka berdua bergegas menuju mobil, berharap tidak terlambat untuk rapat.

Di dalam mobil yang melaju menuju kampus, Al-Faruq tak berhenti mengomeli, Kanaya.

"Lain kali, tidur tepat waktu, kamu selalu begadang. Entah apa yang kamu kerjakan di malam buta, tidur hingga larut. Kalau kamu terlambat bangun lagi, Mas gak akan kasih ampun. Silahkan kamu pergi ke kampus naik angkutan umu," ucap Faruq, omelannya sudah melebihi, nenek lampir.

Sementara Kanaya, yang diomeli hanya tersenyum menggemaskan."Hum, maaf. Nay janji, gak telat bangun lagi," ucap Kanaya dengan polos sambil mendekap manja lengan kiri Mas Faruq-nya. Faruq melirik Kanaya, lalu mengusap lembut rambut adiknya Itu. Senyum Kanaya yang menggemaskan itu, membuat Faruq tak tega untuk terus marah.

"Kamu itu," ucap Al-Faruq, mencubit pipi Kanaya.Dalam perjalanan itu, Kanaya mencoba mengalihkan perhatian Faruq dengan bercerita tentang kegiatan kampus dan teman-temannya. Sedangkan Faruq mencoba melupakan kekesalannya dan menikmati momen bersama adik kesayangannya. Di tengah perjalanan, diwaktu genting sekalipun, mereka berdua masih bosa tertawa bersama.

"Turunlah cepat, belajar yang benar," ucapnya sambil bersiap menjalankan mobilnya.

"Terima kasih, Mas Faruq! jangan hawatir, pasti aku belajar dengan serius. Nay, janji besok bangun lebih pagi!" teriaknya sambil melambaikan tangan. Faruq tersenyum melihat adiknya yang bersemangat, lalu melambaikan tangan sebagai jawaban sebelum melanjutkan perjalanannya ke kantor tempatnya berkerja.

Kanaya berlari sekuat tenaga menuju kelas, napasnya terengah-engah dan rambutnya tergerai liar mengikuti langkah kakinya. Sambil berlari, ia menggenggam erat tasnya yang berisi modul. Gadis itu menyadari waktu yang sudah mepet, Kanaya terus berlari dengan cepat hingga tiba di depan pintu kelas.Dalam sekejap, Kanaya melangkah maju untuk membuka pintu, namun tak disangka, daun pintu itu tiba-tiba tertutup dengan cepat. Hingga daun pintu itu, menghantam kuat Kening, Kanaya.

Akibat dari hantaman itu, sontak tubuh Kanaya, terpental ke belakang.Namun anehnya, Kanaya tidak langsung jatuh.Tak diduga, punggung Kanaya justru menabrak dada bidang seseorang yang berada tepat di belakangnya.Akibat refleks tubuh yang tidak kuat menahan beban dan benturan, mereka berdua pun terhuyung ke belakang dan akhirnya terjatuh berhimpitan tepat di depan pintu kelas.

Kanaya berusaha bangkit, sambil memegangi kepalannya yang terasa sakit. Sat Kanaya mengangkat wajahnya, Kanaya sontak terkejut.

"Pak Arka..."

"Kamu..." ucap mereka berbarengan.

Kanaya, sontak berusaha bangun, menarik tubuhnya dari atas dada bidang Pak Dosen-nya. Dengan tubuh terhuyung, Kanaya berusaha berdiri.

"Ya Tuhan, bagaimana bisa aku seceroboh ini?"

pikirnya sambil menahan malu. Untuk saat ini rasa malunya lebib besar ketimbang rasa sakit di keningnya. Di sisi lain, Arka tampak terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Mereka saling melemparkan tatapan yang tampak canggung.

"Haa...apa yang harus aku katakan padanya?" batin Kanaya sambil mendekap erat tas ranselnya. Rasa kikuk kian menguar di antara mereka, membingungkan kedua manusia beda usia itu, yang berusaha mencari cara terbaik keluar dari situasi yang memalukan.

Lalu, Kanaya pun berinisiatif, mengulurkan tangannya untuk membantu Pak Dosen bangun.

"Saya bisa sendiri," ujarnya dengan wajah datar, dingin, dan terasa menakutkan.

"Dasar, ceroboh," omel Arka, menatap tajam pada Kanaya. "Kamu gak papa?" tanya Arka merasa sedikit khawatir, karna suara benturan di pintu tadi terdengar begitu keras. Arka pun kembali menatap mahasiswinya itu, sembari mengibaskan celananya yang kini kotor oleh debu lantai yang menempel.

Kanaya menggeleng cepat. "Ya, saya gak papa, Pak. Maaf, saya tidak sengaja," ujar Kanaya dengan suara mencicit malu yang terpancar di wajahnya. Karena menjadi tontonan teman satu kelasnya. Tampaknya gadis itu tak menyadari jika kepalanya benjol sebesar telur.

"Hoh, kalau begitu cepatlah masuk," ujar Arka, seraya berusaha menyembunyikan rasa khawatir. Namun, tiba-tiba, suara Arka kembali menggema. Saat melihat kening Kanaya memar, "tunggu," ucap Arka lagi. Kanaya menoleh, menatap Pak Dosen dengan perasaan canggung, penuh penyesalan dan ketakutan.

"Ya Pak, ada apa?" tanya Kanaya dengan suara lirih. Arka tak menjawab, ia malah mendekat dan menarik kepala Kanaya perlahan.Pria itu mengamati kening Kanaya dengan seksama. Tiba-tiba, jantung Kanaya berdegup kencang seperti kuda yang siap berperang.

"Ya Tuhan, apa yang akan dia lakukan," batin Kanaya ketakutan, nafasnya pun sesak, seakan oksigen di sekelilingnya terhisap habis. Sungguh Kanaya benar-benar merasa takut, saat bersentuhan dan berdekatan dengan seoran pria,"Pak, Bapak mau ngapain? Banyak yang lihatin," ucap Kanaya gemetar, sembari menunjuk ke arah pintu dengan bibirnya. Arka menoleh, menatap para mahasiswanya yang berdesak-desakan ingin menyaksikan peristiwa langka itu.

"Kalian lihat apa? Siapa yang menutup pintu tadi? Sampai mencelakai teman kalian, seperti ini?" ucap Arka dengan mata tajam dan wajah datarnya. Sontak, mereka kembali berlari masuk dan duduk di kursi mereka masing-masing, takut terkena amarah Arka. "Keningmu memar dan benjol. Pergilah ke ruang kesehatan," ucap Arka sambil memperhatikan wajah Kanaya yang tampak luka, kemudian Arka melangkah masuk ke dalam kelas.

"Tapi, Pak, telapak tangan Pak Arka, juga berdarah dan terluka," ucap Kanaya dengan wajah yang penuh kekhawatiran, sambil menunjuk luka di tangan Arka. Arka seketika menghentikan langkahnya, mengangkat tangannya untuk melihat luka yang Kanaya maksud. Tampaknya pria berjambang tipis itu, bahkan tidak menyadari luka yang ada di telapak tangannya sendiri. Arka menatap tangan terlukanya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca, kemudian tersenyum tipis. 

"Oh, ini hanyalah luka kecil. Tak perlu dikhawatirkan, saya bisa mengobatinya sendiri,nanti" ujar Arka dengan suara lembut yang berusaha menenangkan. Namun, tanpa memberikan kesempatan kepada Kanaya untuk menanggapi, Arka pun kembali melangkah masuk ke dalam ruang kelas, meninggalkan Kanaya yang terpaku di tempat. Gadis itu terdiam, menatap pintu ruang kelas yang telah tertutup rapat, berusaha menentukan pilihannya: mengikuti Pak Arka dan melupakan luka benjol di keningnya yang semakin terasa sakit atau pergi ke ruang kesehatan untuk mengobati lukanya terlebih dahulu. Kebimbangan dan kecemasan, jelas terpancar dari rona wajah Kanaya yang menatap bingung pada daun pintu yang tertutup rapat.

BAB 2

Kanaya merasa tak tahan dengan benjolan di keningnya yang semakin mengganggu. Dengan langkah gontai, ia menuju ke ruang kesehatan kampus, untuk mencari pertolongan. Begitu tiba di sana, petugas kesehatan langsung mengecek kondisi Kanaya. Gadis itu tampak pucat dan berkeringat dingin, ia mengeluhkan sakit kepala yang membuatnya pusing.

"Istirahat aja dulu, Nay. Nanti Ibu bilang ke Pak Arka, kalau kamu harus istirahat," ujar petugas kesehatan dengan nada lembut, mencoba menenangkan Kanaya.

"Iya Bu, terima kasih," ucap Kanaya dengan sopan, sambil memegangi sapu tangan kecil yang diberikan petugas kesehatan, yang Ia menggunakan untuk mengompres benjolan di kepalanya yang kini terasa semakin nyeri.

Kanaya duduk di bangku yang tersedia di ruang kesehatan, berusaha meredakan rasa sakit yang kian menjalar. Matanya terpejam rapat, menahan rasa pusing yang menggelayut di kepalanya.Sementara itu, petugas kesehatan mengambil obat penahan sakit dan segelas air untuk Kanaya."Minumlah obat ini, semoga membantu meredakan sakit kepalamu, Nay," kata petugas kesehatan tersebut, menyerahkan obat dan air pada Kanaya.Kanaya tersenyum lemah, mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum menelan obat tersebut. Setelah beberapa saat, ia merasa sedikit lebih baik dan berharap benjol di keningnya segera membaik. 

Setelah mendapat telepon dari petugas kesehatan,Arka pun bergegas meninggalkan ruang kelas, setelah jam tatap mukanya selesai. Arka dengan wajah datarnya, menatap Kanaya yang tengah tertidur pulas di atas ranjang yang di sediakan di ruang kesehatan. Gadis itu tak menyadari kehadiran Arka.

"Bagaimana Bu,dengan benjolannya itu?Apa tidah berbahaya,apa perlu cek lanjutan?"tanya Arka dengan suara sepelan mungkin. Agar tak mengganggu tidur Kanaya. Petugas itu pun tersenyum.

"Jangan hawatir, Pak Arka,sejauh ini, Mbak Naya tak ada alami mual. Itu tadi sudah saya kasih obat anti nyeri" ujarnya

Arka menghela napas lega, setelah mendengar penjelasan petugas kesehatan tersebut. Ia melangkah mendekati Kanaya yang terlelap, dengan wajah pucat. Dahi Kanaya terasa panas saat Arka menyentuhnya lembut, namun petugas kesehatan menegaskan bahwa itu bukanlah tanda demam melainkan efek dari benturan yang dialami Kanaya sebelumnya.Petugas kesehatan itu mengajak Arka ke luar ruangan untuk memberikan beberapa petunjuk dan rekomendasi perawatan yang harus dilakukan oleh Arka. Selesai berbicara, Arka kembali melihat kondisi mahasiswinya itu. memastikan mahasiswinya benar-benar baik-baik saja. Arka pun lalu kembali ke ruangannnya untuk beristirahat.

Setelah jam kuliah berakhir, Kanaya meminta izin untuk pulang, pada petugas kesehatan ka.pus. Gadis itu duduk di salah satu koridor kampus sendirian, menunggu Faruq menjemputnya. Sore itu langit mendung, membuat suasana semakin hening di sekitar koridor.Tak lama kemudian, Arka melintas di koridor tempat Kanaya menunggu Faruq. Ia terkejut melihat gadis itu masih berada di sana. "Kamu belum pulang?" tanya Arka dengan nada penasaran, berdiri tepat di depan Kanaya.Kanaya yang tengah asyik bermain ponsel, sontak mengangkat wajahnya dan berdiri.

"Oh, iya Pak. Nunggu jemputan," jawab Kanaya sambil tersenyum kecil.Arka menyipitkan matanya, menatap rambut Kanaya yang berantakan seperti baru tersambar petir. "Di rumahmu gak ada sisir rambut?" goda Arka dengan nada bercanda. Namun tetap menampilkan wajah yang terkesan dingin di mata Kanaya. Kanaya merasa malu mendengar komentar tersebut, ia buru-buru merapikan rambutnya. "Hehe, maaf, Pak. Tadi keburu-buru keluar, jadi belum sempat merapikan diri," jelaskan Kanaya sambil tersenyum.Arka tertawa ringan dan mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya. Kanaya tak menyangka akan melihat sisi ini dari sang dosen, "Apakah ini benar-benar Pak Arka yang selalu serius itu? Tertawa hanya karena rambut berantakan seperti ini." Perasaan terkejut bercampur malu memenuhi pikiran Kanaya. "Baiklah, kalau begitu saya duluan. Jangan lupa merapikan rambut sebelum keluar rumah," pesan Arka sebelum berlalu meninggalkan Kanaya yang masih tersenyum malu. "Aduh, rasanya malu sekali. Tapi, di sisi lain ada rasa bahagia karena berhasil membuat Pak Arka tertawa. Apakah ini yang dinamakan 'manisnya pahit'?" pikir Kanaya dengan perasaan berkecamuk. Tak lama setelah itu, Mas Faruq tiba untuk menjemput Kanaya. Mereka pulang bersama, sementara Kanaya masih teringat akan teguran Arka yang membuatnya tersipu malu di koridor kampus tadi. "Ah, kenangan ini akan menjadi momen berharga di hati Kanaya. Berinteraksi dengan Pak Arka secara pribadi seperti ini tidak akan pernah terlupakan," gumamnya dalam hati, tersenyum sendiri di sebelah Faruk. Sontak hal itu membuat Faruq merasa ada yang tak beres.

"Sepertinya ada yang lagi seneng, nih?" ceplos Al-Faruq sambil serius menyetir mobilnya. Lalu Pria berhidung mancung itu, menyipit menatap kening adiknya yang benjol. "Keningmu kenapa Dek?" tanya Al-Faruq menatap cemas. 

Kanaya tertegun, ia bimbang menatap Faruq. Haruskah Kanaya memberi tahu dan bercerita tentang kejadian yang memalukan tadi. "Ah tidak, jika aku cerita. Pasti Mas Faruq akan menceramahiku lagi, karna kecerobohanku ini," gumam Kanaya dalam hati.

"Hey, ditanya malah bengong?" ujar Al-Faruq menjitak lembut kepala Kanaya.

Kanaya merasakan sakit di keningnya yang benjol akibat tertabrak pintu. "Oh ini tadi, Nay, kebentur pintu," sahutnya sambil meraba keningnya. Wajahnya tampak memerah karena rasa malu dan sakit yang ia rasakan."Kok bisa, kening dicium pintu. Emang kamu gak lihat pintu sebesar itu? Kok bisa-bisanya ditabrak," oceh Al-Faruq, merasa heran, lalu tertawa kecil, "kamu itu, cerobohnya gak hilang hilang," ujar Al-Faruq tak merasa heran akan tingkah adiknya itu.  "Ya mana aku tahu Mas, tadi tuh, pintunya terbuka. Tapi pas aku masuk tiba-tiba pintunya tertutup kencang," ujar Kanaya manyun. Faruq  menatap kakaknya dengan tatapan kasihan. Kanaya manyun, sembari menyimpan rasa malu dalam hati. Tuhkan, untung saja Kanaya tidak menceritakan kejadian yang lebih dramatis dari yang ia ceritakan. Jika tidak ingin makin diomelin masnya itu."Apa ada yang nutup dari dalam?" tanya Al-Faruq sambil mengernyitkan dahi, mencoba menenangkan adiknya yang tampak murung dan kesal. Kanaya menggeleng pelan, tak ingin menjelaskan lebih jauh tentang kejadian yang membuatnya merasa malu itu. Namun, di balik rasa kesal itu, Kanaya tahu bahwa Al-Faruq hanya ingin mencairkan suasana dan membuatnya merasa lebih baik. Meskipun begitu, Kanaya tetap merasa minder dan malu karena kejadian memalukan yang baru saja ia alami.

Begitu sampai di rumah, Kanaya langsung menuju kamarnya untuk beristirahat. Tubuhnya terasa ngilu. Setelah insiden memalukan di kampus. Sementara itu, Al-Faruq mengganti jas dan sepatunya, lalu pergi ke dapur untuk mempersiapkan makan malam untuk mereka berdua. Sejak kecil, mereka hanya tinggal berdua setelah kedua orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat yang tragis. Al-Faruq merasa memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan merawat adiknya.Dapur Al-Faruq terlihat rapi dan bersih. Dia mahir dalam memasak, dan hari ini dia memutuskan untuk membuat menu kesukaan Kanaya, ayam goreng kremes dengan sambal terasi. Sementara itu, Kanaya berbaring di tempat tidurnya sambil memeluk bantal kesayangannya. Dia merasa sangat beruntung memiliki kakak sepert Al-Faruq yang selalu ada untuknya. Al-Faruq memang terkadang overprotektif terhadap adiknya, tetapi Kanaya tahu bahwa itu semua karena cinta dan kekhawatiran.Tak lama kemudian, Al-Faruq mengetuk pintu kamar Kanaya. "Nay, ada yang mencarimu!" ucap Al-Faruq memberi tahu. "Siapa Mas?" tanya Kanaya pada sang Kakak. "Mas gak kenal, katanya mau menjenguk kamu," ujar Faruq dari balik pintu kamar adiknya. 

"Haa? Menjenguk aku? Siapa, ya? Apakah mereka teman yang ingin berkunjung atau ada suatu kepentingan lain?" batin Kanaya penasaran. Karna sejauh ini Kanaya bukanlah orang yang memiliki banyak teman. Dia gadis Introvert yang lebih nyaman dengan kesendiriannya. 

Kanaya dari kecil dikenal memiliki introvert sosial, hal itu bukan karena Kanaya tidak bisa bersosialisasi dengan baik, tetapi karena mereka lebih menyukai circle pertemanan yang kecil. Karna Introvert tipe yang Kanaya alami,  hanya memiliki beberapa teman dekat yang sudah bersamanya selama bertahun-tahun. Sebenarnya Kanaya sangat dekat dengan teman-temannya, bahkan sudah menganggap teman dekatnya itu sebagai saudara sendiri.

Terkadang banyak orang sering menganggap bahwa introvert adalah sosok pemalu, tertutup, bahkan sering dicap sebagai sosok yang ansos alias anti sosial. Introvert memang memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengan ekstrovert. Namun perbedaan itu tidak lantas membuat Kanaya jadi orang yang ansos atau anti sosial. Dia masih tetap bergaul namun sebenarnya Kanaya lebih nyaman jika sendirian atau hanya bersama sahabat yang lama ia kenal. Gadis itu selalu menutup diri dari keramaian. Bagi Kanaya teman terbaiknya itu hanya lah Mas Faruknya dan Sasa teman semasa SMA, namun Kini mereka beda jurusan, dan harus terpisah. 

Dari itu Kanaya merasa heran ketika, ada yang datang menjenguknya. Kanaya keluar Kamar, dengan menyepil asal rambut hitamnya. Matanya membulat saat gadis itu menatap pria yang tengah duduk di ruang tamu.

"Hey, maaf mengganggu, bagaimana keadaanmu? tadi aku dengar kabar, jika kamu dirawat, di ruang kesehatan di kampus," ujar pria berkulit putih itu. Kanaya tersenyum menatap peia itu dengan perasaan canggung.

BAB 3

Ruang tamu terasa hening, Kanaya perlahan duduk di sebrang kakak tingkatnya yang merupakan asisten dosen.

"Gimana lukamu masih sakit?" tanya Panji, penuh keprihatinan, melihat kening adik tingkatnya yang benjol."Oh Alhamdulillah, udah mendingan. Kak Panji, tau dari siapa kabarnya...?" ucap Kanaya menatap malu pada Panji yang tampak peduli padanya."Tadi kebetulan, ke ruang kesehatan memintakan alkohol dan antiseptik untuk Pak Arka, jadi petugas kesehatan yang memberi tahu" ucap Panji sambil memperhatikan kening Kanaya yang benjol.

"Oh, makasih ya Kak, sudah peduli," ujar Kanaya dengan tulus. Panji mengangguk dengan bibir melengkung, membentuk senyuman hangat yang membuat Kanaya merasa lebih baik.

"Apa masih sakit?" tanya Panji sambil mengusap kening Kanaya dengan lembut menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol.

Kanaya menggeleng pelan, merasakan perih yang mulai berkurang. Kanaya pun terkesima menerima perhatian dari Panji. Al-Faruq yang tak sengaja melihat adegan itu, sontak berdehem, pria itu tampak tak rela ada pria lain yang menyentuh adiknya, dengan sembarangan.

"Sini biar Mas, saja," pinta Al-Faruq lalu mengambil kapas dari tangan Panji. Panji menelan ludahnya dengan tergagap.

"Oh, iya. Maaf" ucap Panji jadi merasa tak enak hati.

"Hem," sahut Faruq, sambil memberi jel yang Panji bawakan untuk Kanaya.

"Sudah malam, Kanaya harus beristirahat," ujar Al-Faruq secara tak langsung mengusir Panji untuk segera pulang. Kanaya melirik pada sang kakak. 

"Mas..." bisik Kanaya merasa tak enak pada Kakak tingkatnya itu.

"Gak papa Nay,. Aku juga mau pamit pulang," ujar Panji gegas. Kanaya menghela napas panjang, kemudian memandang kakaknya dengan bibir manyun. "Mas, kamu itu berlebihan deh. Kasihan Kan Kak Panjinya jadi ngerasa gak enakan," ujar Kanaya sambil memanyunkan bibirnya. Dia tahu kakaknya sangat overprotective terhadap dirinya, namun kali ini ia merasa Faruq terlalu keras pada Panji.

"Sapa suruh, dia berani-beraniya pegang pegang kamu, walau niatnya ngobatin lukamu, tapi tetap aja, Mas gak rela, adek Mas disentuh sembarang orang," ujar Faruq dengan tegas, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran dan kemarahan yang tertahan.

"Tapi Mas, kan cuma..." Kanaya mencoba memberikan penjelasan, namun Faruq langsung mengangkat tangan, menyela perkataan Kanaya."

"Gak ada tapi-tapian, Naya. Laki-laki itu punya sifat liar. Sekali dia bisa nyentuh kamu dengan mudah, besok dia akan mencoba hal baru," tegas Faruq, menatap mata adiknya dengan tajam.

Kanaya merasa terpojok, sekaligus bingung harus berkata apa. Di satu sisi, ia tahu bahwa Panji hanya ingin membantunya, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin melawan kakaknya yang sangat ia sayangi.

Andai Mas Faruq-nya ,tahu jika, Panji memang dikenal sebagai pria baik dan sopan di lingkungan sekitarnya. Ia mememang memiliki pribadi yang lembut, berbeda jauh dengan, Mas Faruq-nya, yang memiliki sikap tegas karena jiwa kepemimpinan yang ada dalam diri kakaknya itu. Kanaya menghela nafas panjang, lalu berdiri dan mengajak Al-Faruq untuk makan malam bersama."Sudah lah, lupakan soal Kak Panji. Aya, mau makan, Nay lapar," ucap Kanaya lalu menarik tangan Al-Faruq untuk makan malam bersama seperti biasa.

"Hem," kekeh Al-Faruq melihat tingkah sang adik.

Kanaya baru saja selesai makan malam bersama keluarganya. Dengan langkah ringan, ia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar rapat rapat. Ia merasa ingin menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan teman chatnya di aplikasi OMI yang selama ini menjadi teman curhatnya. Duduk di pinggir ranjang. Kanaya mengambil ponselnya dan mulai membuka aplikasi OMI. Ia menemukan kontak teman chatnya yang menggunakan gambar burung elang sebagai profilnya.

Gadis itu, yang biasa menggunakan nama samaran 'Yaya', langsung mengirimkan pesan ke temannya tersebut."Belum tidur?" tanya Kanaya melalui pesan singkatnya.Tak lama kemudian, balasan dari teman chatnya itu datang.

"Belum ngantuk," jawabnya.Kanaya tersenyum tipis, merasa senang karena temannya juga masih terjaga.

"Oh, sama, aku juga belum ngantuk," ujar Kanaya dalam balasan chatnya.

"Lagi sibuk apa sekarang?" tanya Kanaya ingin tahu, ingin mengetahui kegiatan teman chatnya tersebut."Seperti biasa, sibuk dengan kertas-kertas," jawab teman chat Kanaya, membuat gadis itu semakin penasaran dengan kehidupan temannya itu.

Kanaya ingin mengetahui profesi apa yang tengah ditekuni teman chatnya itu. Lalu teman chatnya pun mengirimkan satu buah foto, tangan seorang pria yang tengah memegang pena, di meja kerja, dengan jam tangan masih melingkar cantik di pergelangan tangannya. Kening Kanaya berkerut, menelisik jam tangan yang dikenakan teman chatnya itu.

"Wau, dia bukan pria sembarangan. Dilihat dari jam tangannya saja, dia jelas pria mapan dan berkelas," batin Kanaya.Jiwa materialismenya mulai bergejolak.

"Oh, masih kerja jam segini...?" tanya Kanaya heran.

"Hem, jika tak dikerjakan tugas akan semakin menumpuk," balasnya.

"Oh, sungguh pria bertanggung jawab," puji Kanaya dalam balasannya. Teman chatnya pun lalu memberi setiker senyuman.

"Ooo...dia sungguh manis," batik Kanaya terus tersenyum sepanjang membalas chat.

Mereka pun melanjutkan obrolan mereka, saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Kanaya merasa nyaman berbicara dengan teman chatnya itu, seolah-olah ia bisa menceritakan apapun yang ada di hatinya, tanpa perlu merasa khawatir akan dihakimi atau dicemooh. Malam itu, obrolan mereka terus berlanjut hingga larut malam, saling mengisi kekosongan yang ada di hati masing-masing.

Keesokan paginya, Kanaya terbangun dengan perasaan cemas. Ia tidak ingin kejadian seperti kemarin terulang lagi. Pagi itu, Al-Faruq mengantar Kanaya ke kampus pukul 06.30, ketika suasana kampus masih sepi. Namun, ternyata Arka, dosen killer yang ditakuti mahasiswa, sudah tiba di kampus lebih awal. Bahkan belum ada dosen lain yang terlihat selain Arkana Wibowo, di kampus itu.

"Tumben kamu datang pagi," ujar Arka dengan nada sinis, seolah mengejek Kanaya yang dianggapnya aneh. Wajah Arka terlihat sangat puas melihat Kanaya merasa terintimidasi, olehnya. Karena Arka masih kesal dengan kejadian beberapa bulan yang lalu, saat Kanaya menampar wajahnya, didepan mahasiswanya, gara-gara Arka membuang ulat bulu yang menempel di celana kanaya tepat di atas bokongnya. Saat itu Kanaya benar-benar memaki Arka habis-habisan di depan mahasiswanya yang lain. Namun akibat kesalah pahaman itu, Arka benar-benar tak ingin berurusan dengan mahasiswinya itu.

"Em, iya Pak," sahut Kanaya dengan suara yang berusaha tenang, namun jelas terdengar gemetar. Arka semakin menyipitkan matanya, menatap dahi Kanaya yang penuh keringat dingin."Bagaimana kepalamu? Apa masih sakit?" tanya Arka dengan nada ketus, namun tampak jelas ada rasa peduli dalam setiap kalimat yang Arka lontarkan.

"Alhamdulillah, sudah baikan, Pak," jawab Kanaya dengan suara mencicit. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa takutnya, namun jelas sekali bahwa ia masih terbayang-bayang kemarahan Arka padanya.

"Oh, baguslah. Semoga dengan benturan di keningmu itu, pikiranmu jadi waras,"ucap Arka.

Pria itu pun, tersenyum sinis, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang dosen, meninggalkan Kanaya yang berdiri terpaku di lorong kampus.

"Uh, dasar dosen Killer," gerutu Kanaya kesal.

Kanaya menghela napas lega, berharap hari ini ia tidak harus bertemu lagi dengan dosen yang super menyebalkan itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!