NovelToon NovelToon

Kisah Dari Sebuah Pernikahan Dini

Ketegangan yang Tak Diduga

Suara-suara orang berteriak itu semakin jelas mendekat ke arah kami. Ibu walas dan guru BK segera berdiri dan keluar dari ruangan mengamati ke luar apa yang terjadi. Bi Ranum pun permisi dan meninggalkan ruangan itu,hanya aku, Ibu ku, Feby Romansa, serta psikolog yang bernama Bu Risma itu yang tetap duduk dengan penuh keheranan, apa yang terjadi.

Tak lama ibu ku menelepon security yang dibawa dari rumah, rupanya ibu ku menyuruh security itu masuk ke dlama ruangan BK. Ia yang sedari tadi menunggu kami di luar akhirnya masuk. Mungkin ibu ku hendak menanyakan apa yang terjadi di luar sana. Aku sendiri juga penasaran dengan keramaian teriakan yang masih berbaur itu, sehingga tak jelas.

"Apa yang kau lihat di luar Bagas?" ibu ku melontarkan pertanyaan.

"Ada demo di halaman sekolah, Bu" jawab Pak Bagas.

"Hah, Demo," Ibu ku segera bergegas ke luar.

Aku menyusul langkah Ibu, security kami juga menyusul, yang tinggal di ruangan itu hanyalah Feby Romansa dan Psikolog yang mendampinginya.

Aku, Ibu dan Security sudah ada di dekat para pendemo, dari kejauhan aku melihat sudah ada walas dan guru BK menenangkan para pendemo. Kami yang penasaran berusaha mendekati arah demo itu.

Namun, tiba-tiba saja persendian ku terasa mau tanggal, yang di demo itu ternyata aku. Sekarang jelaslah sudah teriakan-teriakan yang bergemuruh itu.

"Tidak boleh ada pemerkosaan di lingkungan sekolah,,,,!!!!"

"Keluarkan!!!!"""

"Keluarkan!!!! si muka corona atau muka mesum dari sekolah ini,"

Para pendemo berteriak dengan lantangnya, seperti ribuan tawon yang menyengat telinga ku. Aku linglung dan menatap nanar pada ibu ku.

Ibu ku mukanya terlihat merah pada dan mata yang garang memandang ke arah pendemo.

"Jadi kamu yang didemo," kata ibu ku geram.

lantas ibu ku berjalan dengan cepat ke arah para pendemo itu.

"Apa yang kalian teriakan!!!! ucap ibu ku sesampai di hadapan mereka.

Ternyata mereka tak lain adalah para siswa dan masyarakat sekitar, apa yang membuat mereka sampai berdemo mengata-ngatai aku seperti ini.

"Anak saya bukan tukang perkosa," lanjut ibu saya lagi.

Mereka tetap tak menghiraukan teriakan ibu ku.Tak mempedulikan guru BK dan Walas kami yang berusaha menenangkan mereka.

Kepala Sekolah juga telah tiba di hadapan mereka, membuat teriakan-teriakan mereka semakin kencang tak menentu.

"Kami menuntut si pemerkosa dikeluarkan dari sekolah ini," teriakan mereka hampir berbarengan.

Aku jelas-jelas tak bisa menerima tuduhan itu, namunaku tak berkutik selain menatap dari kejauhan bersama security yang ibu bawa dari rumah.

"Kalian tak tahu apa-apa, ini semua fitnah pada anak saya," teriak ibu ku parau, namun aku masih mendengarnya.

Namun mereka kembali tak mempedulikan sanggahan ibu ku. Mereka barangkali juga tak mengenal ibu ku atau tak mengenal diri ku. Tapi hasut dan petaka begitu cepat menjadi tuan di hati manusia masing-masing, sehingga apa pun bisa terjadi. Hati mereka telah dirasuki pintu kebusukan, sehingga main tuduh atau main hakim sendiri.

Aku melihat Ibu ku terdiam beberapa saat, mungkin mulai putus asa ketika suara ibu-ku tak pernah didengar oleh mereka.

"Atau kalian butuh ini, ini puluhan juta uang," teriak ibu ku sambil merogoh tas yang masih berisi puluhan juta uang, sisa dari uang yang diberikan pada feby namun ditolak dan disumbangkan ke sekolah.

Aku jadi tertegun ketika ibu ku mengeluarkan uang itu dari dalam tas, ikatan yang membelit uang itu ibu lepas, lalu ibu ku menghambur-hamburkan uang itu ke arah para pendemo. Sebuah hal yang lucu pun terjadi, entah mata mereka hijau melihat uang ibu ku, mereka langsung memungut uang lembaran lima puluh ribu itu satu persatu. Berebut uang yang jatuh ke tanah, saling sikut, bahkan ada yang terjatuh ke tanah demi berebut lembar demi lembar uang tersebut.

Seketika aktivitas demo mereka berubah jadi aksi saling berebut uang. Spanduk yang bertuliskan tuntutan demo mereka juga terbiar begitu saja, bahkan terinjak-injak. Aku sedikit bertanya tanya dalam hati, rupanya mereka begitu mudah mereka terpedaya dengan uang. Jangan-jangan semua yang mereka lakukan karena dibayar dengan uang. Masa perekonomian yang sulit di tengah-tengah corona tentu akan membuat kehidupan masyarakat akan kesulitan, sehingga mereka butuh uang.

Ibu ku masih sibuk menghambur-hamburkan uang, dan ini saya pikir bongkahan uang yang terakhir. Ibu ku kembali menghamburkannya ke hadapan mereka. Hingga mereka sampai ada yang penuh sakunya karena cekatan dan ada pula yang memasukan uang itu ke dalam baju dan celana mereka.

Dalam situasi seperti ini aku ingat akan Feby, gadis yang aku sukai itu barangkali masih di ruang BK bersama dengan psikolog yang mendampinginya. Mungkin, dia tak ingin menyaksikan aksi demo ini atau barang kali mereka berdua sudah kembali ke rumah.

Tapi, bukankah permasalahan di ruang BK belum selesai ditutup, aku bahkan belum minta maaf padanya tentang kejadian itu, walau semua terjadi  di alam bawah sadar atau mimpi ku, aku harus minta maaf pada Feby.

"Kalian dengar hahhhh!" aku dikejutkan oleh suara menggema dari ibu ku.

Para pendemo pun terkejut, barangkali mereka baru sekali ini mendengar suara sekeras bentakan suara ibu ku.

"Kalian belum tahu siapa saya, Hah," ibu ku lanjut membentak.

Mereka kembali terdiam,

"Saya bisa laporkan fitnahan kalian pada polisi, saya orang terhormat dan terkaya di negeri ini bisa membuat kalian sengsara,"

Mereka hanya terdiam, lalu berbisik-bisik satu sama lain.

"Kalau kalian butuh uang, bukan dengan begitu caranya, karena saya yakin kalian dihasut menjatuhkan harga diri anak saya demi uang. Ayo siapa yang mau mengaku, maju ke depan.. Saya sudah menyiapkan puluhan juta rupiah bagi yang berani mengungkap dalang di balik aksi demo ini, hahhhh" kata ibu ku lebih keras lagi.

Tak ada yang menyahuti apa yang ibu ku katakan.

"Kalian butuh uang bukan! Hahhh" bentak ibu ku lagi.

Aku dan security mendekati ibu ku, begitu juga dengan yang kepala sekolah, Bu Walas kami, dan guru BK. Lalu ada seorang pendemo yang menuju pada ibu ku.

"Aku bersedia mengungkap dalang di balik demo ini, Bu," Kata pendemo yang mendekati ibu ku tersebut.

" Siapa dalangnya," tanya ibu ku penasaran.

"Ada sebuah yayasan lain yang iri dengan sekolah ini," jawabannya.

"Hah," Kepala sekolah ternganga mendengar pengakuan tersebut.

"Yayasan mana," tanya guru BK.

"Yayasan Titip Anak Hebat," jawabnya lagi.

Kepala sekolah mengangguk-angguk pertanda paham, lalu berbisik-bisik pada guru BK.

"Mereka punya mata-mata di sini, mencari kesempatan untuk menghancurkan sekolah ini," ungkap salah satu pendemo itu lagi.

"Memang yayasan itu sudah sejak lama berseberangan dengan kami, kata Kepsek kemudian.

"Sekarang masalah ini kita selesaikan di kantor saya. Bapak ikut ke kantor dan bubarkan masa yang ada," kata guru BK.

Lelaki itu rupanya yang memimpin demo tersebut, bergegas ia menghadapi masa yang berkerumun tadi, lalu memberika aba-aba bubar. Kemudian ia mengajak beberapa orang untuk kembali menghadap ibu ku dan kepsek, guru BK dan walas. kami semua meninggalkan lapangan sekolah menuju ruang Kepsek, dan para pendemo telah bubar dengan segepok uang yang mereka dapatkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bersambung,.......

Sebuah Kata yang tersirat

Lidah memang tidak bertulang, tapi lisan yang telah diucapkan seseorang mampu membuat hal-hal yang menakutkan itu terjadi. Maka berlakulah di sini apa yang dimaksud mulutmu harimaumu. Mungkin karena ulah Bi Ranum yang telah menyebarkan sesuatu yang sepertinya tidak sesuai dengan kenyataan. Kabar itu tentu akan dengan cepat berhembus dari mulut ke mulut, sehingga demo itupun terjadi.

Dari ruang BK aku dan Psikolog Bu Risma bisa menyaksikan apa yang terjadi di luar sana di harin kemarin. Aku tak berani langsung ke lokasi para pendemo seperti yang dilakukan oleh Si Tampan bersama Ibunya tersebut. Aku hanya mendengar teriakan-teriakan para pendemo diselingi oleh seruan Kepsek, guru BK dan Walas yang berusaha menenangkan para pendemo itu. Atau suara Ibunya Tampan yang lantang membentak para pendemo.

Pernah aku mencoba berdiri dari tempat duduk,  ingin berusaha mendekat tempat itu untuk membela diri, tapi semua dicegah oleh Bu Risma dan aku kembali terdiam.

Psikologku bergegas mengajakku pulang ketika tahu demo itu berhasil diredam oleh ibunya Tampan dengan uangnya yang bejibun. Aku pun menarik nafas lega waktu itu, berharap tak terjadi apapun jua dengan diriku. Dikeluarkan dari sekolah yang tak sembarang orang boleh masuk. Hanya orang-orang berada dan memiliki otak pintar yang mampu menembus sekolah tersebut. Masuk sekolah dengan jaminan uang seratus juta dan memiliki nilai rapor yang sempurna di SMP atau sederajat, maka SMA ini menjelma menjadi sekolah yang terkenal bagus dan berprestasi.

Hari ini aku tidak sekolah, aku tahu berita tentang kejadian yang ganjil bersama Tampan di ruang itu masih hangat-hangatnya dibicarakan oleh segenap warga sekolah. Psikolog menyarankan agar aku sekolah pada waktu yang tepat.

Psikolog juga menyarankan aku segera melupakan peristiwa yang telah terjadi, tidak didramatisir, dan mengalihkan pada hal-hal positif yang lain. Psikolog itu akan datang sebentar lagi, ingin mengajak ku jalan-jalan di lingkungan yang asri di sekitar sini.

Di Desa sebelah merupakan desa yang masih ada hamparan sawah, dan padi yang sedang menghijau akan membuat suasana hati akan sejuk dan rindang jika melihat hamparannya. Angin yang berhembus semilir semakin indah dengan kehadiran burung-burung kecil dengan aneka warna, dan urung pipit atau burung sawah lainnya.

Aku bergegas menyiapkan diri menyambut kedatangan Bu Risma, melangkah ke luar kamar menuju ruang tamu.

Benar saja, tak lama tiba-tiba bel pagar rumah berbunyi, aku yakin itu Bu Risma psikolog yang telah datang menjemputku.

Bu Sisil pembantu rumahku segera membuka pintu pagar, mobil Bu Risma masuk, dan aku juga melihat mobil lainnya juga masuk ke pagar rumah. Apakah Bu Risma tak datang sendirian, kalau dengan teman kenapa harus ada dua mobil segala, pikirku.

Aku terkejut buka alang kepalang, ternyata di mobil yang satu lagi ada Tampan dan ibunya. Tak lama setelah keluar dari mobil, Tampan lalu menyalami Bu Risma disusul oleh ibunya.

"Apakah Tampan dan Ibunya akan diajak serta ke sana, aku tidak setuju" aku berkata-kata dalam hati.

Terus terang saja walau rasa benci pada pemuda bernama Tampan itu telah reda, namun entah mengapa aku belum ingin juga melihat kehadiran dirinya di sekitarku.

"Kenapa ada Tampan Bu," tanyaku pada Bu Risma.

"Ini hanya kebetulan saja, saya juga kaget kita datang bersamaan," jawab Bu Risma.

"Apa yang harus saya perbuat, Bu," tanyaku lagi.

"Kita beri dia waktu,"

"Bukankah kita mau ke desa sebelah,"

"Kita tunda dulu, mungkin ada kabar penting yang disampaikan Tampan dan Ibunya,' jawab Bisma.

Mau atau tidak aku harus menyambut kedatangan Tampan dan Ibunya, aku takut dicap tidak menghormati tamu kalau misal aku tinggal begitu saja. Ayah dan Ibuku juga tidak berada di rumah untuk menerima mereka semuanya, tidak mungkin para asisten rumah tangga yang menjamu mereka.

Aku sudah melupakan Tampan Menawan sebagai cowok mesum, hanya saja aku tak ingin melihatnya lagi. Bahkan kalau sekolah telah tiba aku ingin pindah ke kelas lain, tidak sekelas dengan si Tampan.

"Orang tuanya ada," tanya Ibu Tampan padaku. Sebuah pertanyaan yang sangat lembut dan halus ibarat putri keraton yang menghadapi rajanya. Tentu saja aku terpukau dengan keelokan dan kelemah lembutan yang didukung bahasa tubuh yang sopan tersebut. Aku segenap melupakan kegarangan Ibunya Tampan waktu berada di sekolah.

"Mereka sedang di kantor," jawabku seadanya.

"Sayang sekali, mereka tidak ada, ada perihal penting yang hendak aku bicarakan," sesal ibunya Tampan.

"Semua bisa diwakilkan kepada saya selaku psikolog," jawab Bu Risma.

Apa yang hendak disampaikan Ibunya Tampan ini, sampai harus menemui orang tuaku segala.

"Mungkin lain kali saya bisa berkenalan dengan orang tua Feby Romansa," katanya kemudian.

Aku dan Bu Risma sama-sama mengangguk menanggapi ucapan Ibunya Tampan.

"Mudah-mudahan kita nanti berjodoh, ya," kata Ibu Tampan dengan lemah lembutnya, kemudian ia menatap anaknya dan kemudian menatapku bergantian.

Aku serasa merinding mendengar ucapan Ibunya Tampan, apa maksud-nya dari semua ini. Apakah kedatangannya ke sini hendak menjodohkan aku dengan anaknya yang bermuka jelek itu, tiba-tiba bulu kudukku merinding membayangkan kalau-kalau itu benar terjadi nanti. Bukankah orang tuanya Tampan kaya raya, apa pun bisa dibeli olehnya.

"Oh... tidak, apalagi ayahku sedang terbelit masalah keuangan, banyak pabrik yang dipimpinnya tutup imbas resesi ekonomi," aku bergumam sendiri dalam hati.

"Sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini untuk membicarakan masalah Bi Ranum," lanjut Ibunya tampan.

"Ada apa dengan Bi Ranum, Bu," Psikologku yang bertanya.

"Karena dia telah menyampaikan berita menyesatkan, aku meminta pihak sekolah memecatnya dari pekerjaan dan orang-orang yang terlibat dan diduga mata-mata sekolah seorang petuga kebersihan bernama Pak Tomo juga hengkang dari sekolah,"

Aku kaget mendengar pernyataan itu, kasihan Bi Ranum, sampai harus keluar karena masalah ini, tapi apa boleh buat. Lidah memang tidak bertulang, tapi lihatlah akibatnya sekarang.

"Tapi yang patut dihargai di sini adalah pihak sekolah tidak mengeluarkan Tampan dan feby, semua karena Tampan tidak bersalah pada Feby," kata Ibu Tampan kemudian.

Akupun menarik nafas lega dengan pernyataan itu, memang itu yang kau inginkan, tidak dikeluarkan dari sekolah. Karena kalau dikeluarkan berarti masyarakat akan menuduh kami bersalah.

"Baik terimakasih informasinya, Bu," balasku pelan.

"Walau Tampan tak bersalah, namun ia ke sini akan meminta maaf pada Feby atas kelakuannya di alam mimpi tersebut,"

"Tidak usah minta maaf," selaku cepat.

Aku menatap pada Tampan, ia dengan cepat menatapku juga, ada pancaran kelembutan di matanya. Mata itu kenapa begitu tulus, haruskah aku menolak permintaan maafnya seperti ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

bersambung....

Di Tepi Hamparan Sawah

Tampan Menawan kembali menatapku, bahasa mata itu seolah-olah ingin aku meralat ucapan yang sudah terlontar tadi. Bahwa aku harus menerima permintaan maafnya, bukan dengan menolaknya secara halus begitu. Hanya matanya yang terlihat di balik masker, selebihnya tertutup. Tapi tatapan mata itu lebih halus lagi, lebih lemah lagi, lebih lembut lagi. Seolah mata seorang kekasih yang sedang mengagumi pasangannya.

 "Dia tulus meminta maaf, terimalah..." bisik Bu Risma padaku.

Aku mengangguk pertanda setuju, aku akhirnya pasrah saja.

"Aku terima permintaan maaf Tampan," kataku kemudian.

"Maafkan aku," kata Tampan sambil mengukurkan tangan.

"Iya. Kamu tak bersalah," Aku membalas uluran tangan itu.

Genggaman itu walau sekejap namun terasa sangat mesra, mungkin permintaan maaf itu berasal dari hati yang begitu tulus.

"Terimakasih," jawabnya pelan.

"Terimakasih Feby," kata ibunya menyela.

"Sama-sama, Bu,"

"Kami pamit dulu,"

'Iya, Bu,"

Mereka berdua akhirnya melambaikan tangan, dan pulang, aku hanya terharu melihat ketulusan mereka berdua.

***

Di tepian hamparan sawah yang masih hijau, aku tak henti-hentinya memandang pesona keindahan pagi menjelang siang itu. Perputaran roda jaman membuat banyak yang berubah di permukaan Bumi ini. Walau masih tergolong pagi hari, hawa panas sudah mulai terasa, untunglah angin cukup semilir membelai tubuh ku dan Bu Risma yang menemaniku.

Nun jauh di sana Gunung Salak masih berdiri dengan kokohnya, puncaknya kelihatan mulai dilingkup oleh awan yang putih-putih menggumpal membentuk boneka. Setiap kali memandang awan berbentuk boneka, saat itu pula aku mulai melayangkan ingatan pada masa kecilku dulu. Aku mempunyai dua boneka hadiah ulang tahunku yang ke lima. Boneka itu sepasang, satu menyerupai boneka wanita satu lagi menyerupai pria. Boneka itu kiriman hadiah ulang tahunku dari Tanteku yang di jepang. kedua boneka itu berbaju putih menyerupai awan, dan boneka itu hilang begitu saja dari rumah, aku sudha mencari-carinya tapi tak bertemu.

"Apa yang kamu pikirkan, Feby,"

Pertanyaan Bu Risma menyentakkan lamunanku tentang boneka masa silam milikku.

"Aku memikirkan keindahan alam milik Sang Pencipta," jawabku berkelit.

Aku kembali mengamati para petani yang sibuk menyiangi sawah mereka, tak terbayangkan susahnya pekerjaan seperti itu. Apalagi mereka masih memakai cara yang manual. Tak terperikan besarnya jasa para petani tersebut. Beberapa petani mulai tampak memasang bebegik pengusir burung, walau padi masih hijau dan baru mengandung bulir-bulir.

"Semoga panen mereka melimpah dan bebas dari hama," kataku pada Bu Risma.

"Amin, jasa mereka sungguh mulia, tulus dan penuh keiklasan" jawabnya pelan.

Entah mengapa perkataan Bu Risma yang barusan membuat aku teringat akan Tampan Menawan, dia penuh dengan ketulusan dan keiklasan dengan permintaan maaf, berarti hatinya juga sungguh mulia, pikirku.

Terbersit keinginanku untuk menanyakan pada Bu Risma, bahasa tubuh Tampan selama dua kali berkunjung ke rumah, dan di tepian hamparan sawah ini aku baru menyadarinya.

"Bu. Setulus apa Tampan dan Ibunya meminta maaf padaku," tanyaku pada psikolog itu.

Bu Risma hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku, entah apa maksud senyuman itu. Iya kau tahu saat ini waktunya refreshing dan melupakan segalanya, tapi tatapan mata tampan yang sangat lembut itu tentu perlu juga kuutarakan pada Bu Risma, untuk mencari makna dan penjelasannya.

"Setulus cinta yang terpatri di hatinya," jawab Bu Risma kemudian.

"Apa?"

Aku hampir terhenyak saking tak percaya dengan jawaban Bu Risma ini. Aku tak sudi kalau harus dicintai oleh seorang Tampan Menawan, meski ia anak konglomerat sekalipun.

"Dia mulai mencintaimu, Si Tampan,"

"Sejak kapan,"

"Sejak kamu mulai hadir dalam setiap mimpinya,"

Sebenarnya aku tak ingin mendengar itu terlontar dari mulut Bu Risma, tapi...

"Ibu tahu dari mana,dan mengapa ini bisa terjadi,"

"Dari gerakan badan dan cara memandang dan bertutur," jawab Bu Risma.

Ohhh.. jadi ini arti semua bahasa tubuhnya... aku tak percaya.

"Ini menjengkelkan,"" kataku pelan.

"Bahkan ibunya juga tahu anaknya mencintaimu,"

"Gawat,"

"Semoga kita tak berjodoh ya, Bu," kataku kemudian, tiba-tiba ucapan Bu Risma kembali terngiang, dia membicarakan perjodohan pagi tadi di rumah, dan mencari ayah dan ibu, jangan-jangan dia ingin melamarku.

"Jangan takut, kamu boleh menolak cintanya, kalau tidak suka"

"Tentu aku tak akan pernah suka pada Tampan, Bu,"

"Ya, saya tahu itu,"

Hanya saja keluarga Tampan itu kaya raya dan konglomerat, aku hanya takut saja orang tuanya memaksakan kehendak pada kami.

"Bu. Risma," kataku pada Psikolog itu, aku seolah ragu untuk berucap.

"Ya. Katakan saja,"

"Aku jadi teringat jaman Siti Nurbaya, dia dijodohkan paksa dengan Datuk Maringgih pria tua yang rakus dan tamak, apa itu masih berlaku jaman sekarang,"

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu," tanya Bu Risma Penasaran.

"Latar belakang keluarga Tampan yang sepertinya priyayi jaman dulu, menak yang kaya raya, aku takut orang tuanya akan melobi orang tuaku yang sedang dilanda masalah keuangan perusahaan,"

"Tapi, bukankah karakter Datuk Maringgih dan Tampan Menawan berbeda, dia anak yang sholeh dan santun, mana mungkin dia mau berlaku seperti itu,"

Aku baru menyadari bahwa Bu Risma belum pernah melihat wajah Tampan Menawan yang selalu tersembunyi di balik masker yang ia kenakan, kalau saja wajah itu terlihat oleh Bu Risma, mungkin pandangannya kan berbeda.

"Dia sangat jelek, Bu," aku akhirnya menyampaikan hal itu.

"Saya sudah tahu, bukankah kamu pernah cerita, walau belum melihat secara langsung, tapi wajah bukan menghalangi seseorang untuk berjodoh, karena jodoh itu sudah tertulis semenjak manusia masih di alam rahim,"

"Oh.. begitukah, Bu,"  Aku hanya menganguk-angguk saja.

"Iya. Sekarang lupakan saja Tampan menawan kalau itu yang diinginkan oleh hatimu," kata Bu Risma.

Aku kembali mengarahkan pandangan ke hamparan sawah, sejauh mata memandang hanya nuansa hijau yang terlihat. Seperti permadani yang dibentangkan hingga ke kaki langit, aku juga tak tahu ujung sawah ini berakhir dimana? Aku hanya mengira dan menduga berakhir di sebuah perkampungan penduduk pada kaki Gunung Salak. Dari kejauhan juga terlihat petani yang saling bercengkrama satu sama lain di sela-sela istirahatnya sejenak lalu bekerja lagi. Di beberapa sisi lokasi yang lain, tampak petani laki-laki mengayunkan cangkulnya membersihkan pematang sawah yang mulai ditumbuhi rumput liar. Di lokasi yang lain, tampak pula para petani mulai keluar dari sawah dan pulang ke rumah.

"Terus terang aku suka dengan kegiatan sawah," kataku pada Bu Risma.

"Kamu boleh mencoba, menyemai, menanam padi, menyiangi, memanen padi suatu saat nanti," kata Bu Risma menanggapi.

"Aku ingin jodohku seorang petani saja, aku cinta hamparan sawah,"

"Tentu saja bisa dengan mudah kamu dapatkan. Pemuda desa banyak yang gagah-gagah, kamu tinggal menentukan pilihan hati," Bu Risma menanggapi dengan semangat.

"Apa ada yang mau denganku, Bu,"

"Tentu banyak, kamu cantik jelita," jawab Bu Risma, ini membuatku tersipu.

"Sepertinya pemuda desa itu polos-polos ya, Bu,"

"Iya, karena kehidupan desa sangat bertolak belakang dengan kehidupan kota, pergaulannya juga beda,"

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bersambung,.......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!