Hidup harus setulus Gula dalam Teh. Saat Teh terasa kurang manis, orang akan berkata: 'Gulanya kurang'. Namun saat rasanya pas, orang akan berkata: 'Tehnya enak'.
Tak penting bagi Gula, apakah ia akan diingat atau dilupakan, asalkan ia telah meredam rasa pahit pada Teh, terkadang itu saja sudah cukup.
Tapi ini bukan tentang Teh dan Gula, ini tentang jalan hidupku yang ternyata penuh dengan lika-liku kehidupan yang tajam dan menyedihkan, walau pada awal mulanya semua terlihat baik-baik saja.
Namaku Kidung Kinanti, orang sering memanggilku dengan sebutan Kiki, biar lebih mudah, kalau dibilang gadis buruk rupa, mungkin aku tidak termasuk didalamnya, tapi kalau dibilang gadis cantik nan rupawan, aku pun tidak termasuk dalam kategorinya, karena memang wajahku hanya pas-pasan saja, jelek ya enggak, cantik bak Bidadari pun enggak juga, namun tetap harus aku syukuri dan selalu berharap agar suatu saat nanti bisa menjadi Bidadari Surga, walau mungkin harapanku terlalu lebih, tapi sebagai manusia tidak ada yang salah jika kita selalu berharap.
Karena aku pernah membaca inti sari dari kisah Yusuf dan Zulaikha, kita belajar bahwa mencintai Sang Pencipta akan menanggalkan NAFSU terhadap RUPA.
Walau terkesan pembelaan diri dengan rupaku yang tak seberapa ini, tapi kisah itu memang sangat bermakna dan berharap suatu hari nanti aku bisa menjadi gadis yang beruntung itu.
"Dek Kiki, aku tidak punya banyak uang untuk meminangmu kelak, hantaran dan mas kawin pun aku tidak bisa memberikan nominal banyak dan juga barang-barang yang mewah, apa kamu tidak keberatan?" Ucap seorang pria yang selalu berhasil membuat wajah dan kedua mataku selalu berseri-seri saat berada dihadapannya.
"Nggak masalah Mas, aku pun bukan gadis bangsawan atau gadis rupawan yang harus diberikan mahar fantastis, jadi apapun pemberianmu akan aku terima dengan tangan terbuka dan dengan hati yang riang gembira."
Namanya juga cinta ya kan? Bahkan bau kotoran ayam pun bisa berubah menjadi harumnya kembang setaman, saat kehidupan asmara sedang anget-angetnya. Lagi pula aku juga berasal dari keluarga yang biasa, bukan milyader juga pikirku, jadi tidak perlu sesuatu yang mewah.
"Serius ini Dek Kiki?" Tanyanya kembali, sambil menggeser kursinya kearah tempat dudukku yang seketika mampu membuat jantungku seolah berbunyi dag dig dug ser.
Walau sebenarnya, jauh didalam angan-angan, pernah terbersit satu harapan bahwa suatu hari nanti aku akan dilamar oleh seorang pria kaya raya, yang memberikan hantaran berupa satu set emas permata dari ujung telinga sampai kaki dan juga mobil mewah yang pintunya bisa digeser, atau mungkin rumah gedongan beserta sertifikat tanah atas namaku, dengan taman asri beserta lampu warna-warni yang indah menghiasi halaman rumahnya.
Tapi sepertinya itu mustahil bagiku, bisa mendapatkan calon suami tampan sepertinya saja, sudah banyak yang mengira aku main dukun pelet, apalagi mendapatkan calon sodagar kaya raya, mungkin bisa satu kampung mengumpat diriku selama tujuh hari tujuh malam.
"Dua rius dong Mas, hehe." Ucapku sambil nyengir yang aku buat semanis mungkin.
Saat aku masih kecil, kedua orang tuaku hanya bekerja sebagai Petani, mengolah lahan sendiri dengan sepenuh hati, karena memang lahan pertanian keluarga kami cukup banyak, namun hanya mampu mengolah sedikit saja karena keterbatasan modal dan tenaga, walau begitu dulu Ayahku selalu mengajarkan kami untuk bersyukur, yang penting tidak kekurangan makan saja sudah Alhamdulilah.
Hingga akhirnya Ayah kandungku meninggalkan Ibuku dan juga aku yang kala itu masih hanya tahu bermain-main saja, untuk menghadap Sang Illahi, mulai sejak saat itu lah keluarga kami mengalami kesulitan ekonomi.
Ada yang bilang saat itu Ayahku sakit komplikasi, namun terdengar gosip simpang siur dari keluarga kami, kalau ayahku itu dulu meninggal karena Santet dan yang lebih mengejutkan lagi, santet itu berasal dari saudara sendiri, hanya karena masalah warisan tanah keluarga dari nenek tetua kami dulu.
Terdengar miris dan mengerikan sih, bahkan seolah antara percaya dan tidak percaya, namun memang begitulah adanya, kalau sudah menyangkut perihal Tanah dan juga batas tanah bagian antar saudara, hal seperti itu didaerahku dulu memang cukup disayangkan sekali, padahal sesungguhnya harta warisan dan tanah kan tidak dibawa mati.
Tapi begitulah manusia yang terkadang punya sifat serakah dan rela menghalalkan segala cara demi harta warisan yang luas dan banyak, tanpa perduli dengan karma yang sudah Allah siapkan.
Namun kini, pernikahan kedua dari Ibuku sudah membawa perubahan, meski tak banyak namun setidaknya kehidupan kami lebih baik dari yang sebelumnya hingga aku kini tumbuh dewasa.
"Terima kasih ya Dek, kamu memang selalu bisa mengerti dengan keadaanku, itu kenapa aku ingin segera menikah dengan kamu."
Dan percaya nggak percaya, sampai aku sedewasa ini, baru dialah sosok pacar pertamaku, bukan aku menutup diri dengan seorang pria, namun memang hanya dia lah yang seolah mau menyatakan keberaniannya denganku, jadi apapun kekurangannya selalu aku tutupi dengan wajah penuh dengan senyuman.
Kalau ditanya teman atau saudara, kenapa tidak punya pacar, aku sering berdalih dengan embel-embel 'nggak mau pacaran' karena hanya akan menimbulkan fitnah dan dosa, padahal sebenarnya memang aku nya saja yang belum laku.
Dan kini banyak sekali orang yang berkomentar, bahwa aku yang punya wajah pas-pasan begini begitu beruntung mendapatkan pacar pertama sekaligus calon suami setampan dia. Itu mengapa aku tidak mau buang-buang waktu, begitu dia memberikan sinyal keseriusan, aku langsung pepet aja dia terus, aku pegang dia erat-erat hingga akhirnya dia mengatakan ingin melamar diriku.
"Mbak, dipanggil Ibu dibelakang, katanya suruh bantuin masak, ini sudah hampir waktunya makan malam."
Lain dengan nasip yang aku terima, gadis yang memanggilku saat ini begitu cantik nan rupawan, bahkan sering disebut si Kembang Desa, dialah Adikku Irma Indira.
Irma adalah adikku, satu rahim denganku namun beda Ayah, karena setelah kepergian Ayahku dulu, tiga tahun kemudian Ibuku dipinang oleh seorang perjaka yang sudah tak lagi muda, hingga mereka berhasil mencetak Irma dan membawanya ke dunia ini.
"Dek, aku lagi ada tamu, bisa tolong kamu saja yang bantu Ibu masak?" Ucapku dengan wajah kesal.
"Aku nggak bisa masak, lagi pula itu kerjaanmu, tanganku juga baru selesai aku hias, nanti kalau kegores jadi jelek." Tuturnya sambil memamerkan kukunya yang sudah berwarna-warni.
Adikku memang hanya lulusan SMA, dan katanya malas untuk Kuliah, namun karena dia punya kelebihan kecantikan, jadi dia bisa menghasilkan lebih banyak uang dari media sosial daripada aku yang susah payah dan berkeringat bekerja di Kantoran.
"Irma, kan kamu bisa---"
Belum juga aku selesai bicara, namun adikku sudah langsung memotongnya begitu saja, apalagi adikku juga ikut membantu kebutuhan dirumah sehari-hari, bahkan dia yang berhasil merubah rumah kami yang awalnya hanya terbuat dari papan kini menjadi gedongan, jadi dia memang sedikit dimanjakan oleh orang tua kami, apalagi kecantikan adalah modal utamanya agar dia tetap terlihat beken di kanal media sosial miliknya.
"IBU! mbak Kiki malas nih, dia nggak mau bantuin Ibu, maunya asyik berduaan aja dia!"
Dan karena dia sudah merasa menjadi artis media sosial, jadi mulutnya memang sering tidak terkontrol, bahkan tidak perduli dengan yang lain, yang penting dirinya senang.
"Ssstt, jangan keras-keras ngomongnya, malu-maluin aja kamu ini, okey aku bantu Ibu masak sekarang!"
Aku langsung berlari kearahnya dan membungkam mulutnya yang selalu berwarna merah merona itu.
"Nah gitu dong, biasanya juga kamu juru masaknya, mentang-mentang ada cowoknya aja jadi manja, sana masak yang enak!"
Dia berjalan melenggak-lenggokkan tubuhnya, yang memang modis itu sambil mengibaskan rambutnya dihadapanku.
"Berisik deh!"
Andai calon imamku tidak ada disini, mungkin kami sudah bergaduh hingga membuat tensi darah ibuku naik, namun kali ini aku harus tetap terlihat tenang, agar nilai plus ku terlihat oleh calon imamku.
"Dek Kiki, aku pamit saja ya, besok kita bisa berjumpa lagi."
Pria yang bernama Kaisar Prihadi itu langsung menatapku, seolah meminta persetujuan dariku, karena sepertinya Mas Kaisar merasa tidak enak hati dan langsung bangkit dari tempat duduknya, bagaimana tidak, suara adikku benar-benar melengking di ruang tamu kami.
"Santai aja Bang, jangan buru-buru, aku bisa nemenin Abang kok, sampai Mbak Kiki nanti selesai masak." Irma dengan santainya malah sengaja duduk disamping Kaisar, bahkan sambil meluruskan kakinya yang memang mulus itu.
"Oh, nggak usah, takut nanti malah menggangu kamu." Kaisar bahkan sampai menundukkan pandangannya, entah karena malu, segan atau karena apa, aku pun tak tahu.
"Tidak, aku baru nungguin kutek ditanganku ini kering, daripada bengong sendiri kan lebih baik ngobrol sama Abang?"
Karena kelebihannya itu, Irma selalu percaya diri dalam segala hal bahkan saat berhadapan dengan siapa pun.
"Em---?" Kaisar melirik kearahku seolah minta persetujuan dariku.
"Ya sudah, aku bantu Ibu dulu ya, nanti Mas sekalian cobain masakan buatanku." Mau tidak mau aku menggangukkan kepalaku tanda setuju, karena menolak pun Irma pasti akan berulah.
"Kalau kamu repot, aku bisa pulang aja kok Dek." Lagi-lagi Kaisar merasa canggung, bahkan aku lihat keringatnya mulai membasahi keningnya, padahal yang ngajakin dia ngobrol baru adikku, belum ayah dan Ibuku.
"Jangan mas, apa kamu nggak mau cobain makanan buatanku? Jadi besok kalau sudah menikah nggak kaget lagi, ya kan?"
Sebenarnya memang aku juga belum rela untuk berpisah dengannya hari ini, karena dia belum lama datang, dan aku juga belum puas ngobrol sambil memandang wajah tampannya.
"Tapi aku--?"
"Nggak apa-apa, nggak lama kok Mas, nanti biar ditemani ngobrol sama Irma dulu." Aku mencoba menenangkan dirinya dan menyuruhnya kembali duduk.
"Iya biar aku temenin Bang, aku asyik kok orangnya, gimana kalau kita ngobrol sambil main catur, mau nggak?"
Irma memang sosok gadis yang ceria dan mudah bergaul dengan siapapun dan jarak umurku dengan dia terpaut cukup jauh, dia umur 20 tahun, sedangkan aku sudah berumur 26 tahun, jadi aku pikir kekasihku pun sudah menggangap Irma sebagai adiknya juga.
Didalam keseharianku aku selalu mencoba menanamkan rasa syukur dalam segala hal, namun siapa sangka berawal dari sini, ternyata Allah sudah menyiapkan kejutan yang sangat luar biasa dengan kisah hidupku, yang bahkan tidak pernah aku duga dan tidak pernah bisa aku tebak alur cerita sebelumnya.
Terkadang dalam sunyinya malam, aku menangis seorang diri sambil menahan rasa sesak didada, dan hanya bisa bertanya-tanya, dari sekian banyaknya makhuk ciptaan-Mu, kenapa harus aku yang mengalami kisah getir ini Tuhan? Apa salah dan dosaku begitu banyak, sampai seolah-olah aku harus menerima hukuman berat ini?
Namun sampai saat ini aku belum menemukan jawaban dari semuanya, walau aku pernah mendengar kajian dari seorang Ustad, jika sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hidup ini, Allah memang tidak menjanjikan hidup itu selalu mudah. Tapi dua kali Allah berjanji bahwa: "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan".
Harapanku selama ini tidak pernah muluk-muluk, asalkan semua rencana berjalan dengan lancar saja sudah 'Alhamdulilah' banget. Jadi saat kedua orang tuaku dan keluarga mas Kaisar akhirnya sudah setuju, pernikahan kami pun akan digelar secepatnya, mungkin karena umurku yang sudah tak lagi muda, dan sepertinya orang tuaku yang sudah tak tahan dengan kata 'nyinyiran' dari tetangga yang mengatakan aku adalah barisan dari calon perawan tua.
"Dek, kamu yakin mau menikah secepat itu?"
Hari ini kata orang jaman dulu 'wakuncar', walau terkesan lebay tapi aku suka, ketika malam mingguku kini tak sendiri lagi.
"Iya, emang kenapa mas? Apa mas keberatan?" Senyumku selalu mengembang jika menatap wajahnya, seolah rasa syukurku tak pernah putus-putus setelah aku mengenalnya.
"Bukan keberatan Dek, tapi persiapannya bagaimana kalau mendadak seperti itu?" Bahkan menurutku wajahnya terlihat bersinar, walau lampu teras kami tak begitu terang dan Bulan seolah menjadi saksi bisu betapa bahagianya aku malam ini karena kehadirannya.
"Pernikahan kita bukannya di gedung besar dan dihadiri puluhan ribu undangan mas, jadi aku tidak masalah, lagipula keluarga kita sudah sama-sama setuju kalau pernikahan kita digelar minggu depan, karena katanya juga tanggal baik dibulan ini hanya itu."
Ada banyak perhitungan tanggal ditempat kami jika ingin menikah, karena tidak boleh bertepatan dengan hari kematian dari anggota kedua keluarga besar kami.
Bukan bermaksud musyrik atau apapun itu, tidak percaya pun tidak masalah, namun apa salahnya kami mengikuti tradisi turun temurun dari keluarga kami, karena harapan kami pernikahan ini juga untuk kebaikan kami semua.
"Kamu yakin sudah siap?"
Dia seolah meragukan ketulusanku terhadapnya yang sesungguhnya tidak main-main.
"Yakin banget, eh.. gimana kalau kita bahas ini sambil jalan-jalan saja, itung-itung sambil ngedate diluar gitu mas, yuk?"
Keinginanku sebagai seorang gadis tak pernah aneh-aneh hanya ingin memadu kasih layaknya insan muda yang lainnya diluar sana.
"Dirumah aja Dek, lagian mas capek baru pulang kerja, dirumah kamu ini juga tempatnya nyaman kan?"
Berulang kali dia menoleh kearah pintu utama kami, namun pikiranku masih positif, tidak memikirkan jalan pemikirannya yang entah dibawa kemana.
"Iya, tapi kan--?" Namun aku sadar diri, bahwa tidak semua yang kita inginkan terpenuhi, karena begitulah yang dinamakan Takdir hidup.
"Oh ya, tadi mas beli kue, kamu bawa masuk dulu sana, kasih sama orang tuamu, katanya kemarin adikmu juga paling suka kue itu."
Dia menyodorkan satu paperbag yang aku terima tadi, sebenarnya aku tidak begitu suka makanan manis, lebih suka yang gurih-gurih, namun karena ini pemberian dari mas Kaisar, tentu aku terima dengan suka cita dan akan memakannya dengan riang gembira.
"Kue apa sih ini?" Aku sedikit mengintip isi didalamnya yang sudah mengeluarkan bau wangi.
"Mas mau numpang ke kamar mandi dulu boleh nggak Dek?" Tiba-tiba dia sudah berdiri dan hendak menuju pintu rumahku.
"Boleh dong, sekalian aku buatin minum yuk?" Bahkan aku seolah sudah tidak sabar untuk melayani makan dan minumnya, layaknya permaisuri dihatinya.
"Hm." Dia hanya menganggukkan kepalanya sekilas dan seolah terburu-buru pergi ke kamar mandi, tanpa menoleh kembali, padahal aku berharap dia mengedipkan matanya sedikit kearahku, biar aku bisa bilang 'so sweet' tapi ya sudahlah, mungkin harapanku terlalu lebih untuk hal yang sebenarnya sepele itu.
"Eh Bang Kaisar datang? Sudah dari tadi Bang?"
Sebenarnya aku senang jika keluargaku bisa mudah akrab dengan calon imamku, karena kita akan menjadi saudara nantinya, tapi entah kenapa berulang kali dadaku sedikit terasa sesak jika Irma terlalu mengumbar pesona dihadapan Mas Kaisar, mungkin karena dia lebih cantik daripada aku, namun aku selalu meyakinkan diri bahwa cantik saja tidak cukup untuk membina sebuah hubungan rumah tangga yang harmonis, contohnya para artis yang sudah tidak diragukan lagi tampangnya, ternyata banyak juga yang akhirnya bercerai diluar sana.
"Su-sudah Dek, eh maaf, em--"
Lagi-lagi Mas Kaisar kembali menundukkan pandangannya, membuat aku berharap bahwa calon imamku itu sedang berusaha menjaga pandangannya dari wanita lain, walau itu adikku sendiri.
"Panggil Irma aja, nggak usah sungkan." Ucap Adikku yang selalu memamerkan barisan giginya yang sudah berganti warna behelnya lagi.
"Iya sih Mas, lagi pula umur bocah ini masih kecil, santai aja kayak sama siapa aja." Aku yang sengaja menyimak obrolan mereka ikut menimpali dari arah ruang dapur.
"Enak aja, aku udah gede ya, eh.. itu kue apa Mbak?" Tanpa basa-basi ratu media sosial itu langsung menyambar paperbag berisi kue tadi.
"Kue rainbow dari mas Kaisar." Jawabku sambil meracik kopi hitam kesukaan mas Kaisar.
"Wow, kue kesukaan aku banget itu, mau dong." Dengan tanpa segan dia langsung membuka kotak itu dan menyantapnya sambil berdiri, sungguh tidak sopan sekali, tapi mau bagaimana lagi, tingkahnya memang seperti itu dalam kesehariannya.
"Hus, kamu ini nggak sopan banget, yang ngasih aja belum makan." Aku sendiri yang malu, namun Irma malah terkekeh saja, sambil terus mengunyah kue itu.
"Nggak papa, itu memang aku beli buat kalian, silahkan dinikmati." Dan begitulah sifat mas Kaisar, yang seolah tak pernah marah, idamanku banget pokoknya.
"Bang, nanti kita main catur lagi yuk, tapi kali ini aku mau sambil live dikanal media sosial, soalnya aku belum update juga hari ini." Celetuk Irma dengan kedua matanya yang tertuju kearah Kaisar, membuatku serasa ingin mencongkel saja kedua biji matanya itu.
"Boleh."
Dan sialnya, ternyata pangeran tampan idamanku itupun tak menampiknya, sepertinya hatinya memang terlalu lembut untuk menolak 'cegil' seperti adekku itu.
"Tapi nanti Abang ngalah ya, biar ratingku naik, hehe."
Kerjaannya memang begitu setiap harinya, namun hasil uangnya bahkan berlipat ganda dari hasil gajiku setiap bulannya.
"Siap."
"Mas, kita kan mau ngobrolin rencana pernikahan kita, kok malah jadi main catur sih?" Aku sedikit iri karenanya, menurutku persiapan pernikahan itu lebih penting bagi kami.
"Bentar aja mbak, pinjam Bang Kaisar buat live doang, aku kehabisan bahan nih, nanti kalau nggak update penghasilanku kurang, mau apa jatah dapur aku kurangin, mana harga beras lagi naik loh ini, sedangkan kita butuh beli beras banyak buat menjamu tamu di resepsi pernikahan kalian." Ucapannya terdengar sombong, walau sebenarnya itu kenyataan.
"Sebentar aja Dek, paling nggak nyampai dua jam juga kalau main catur kan?" Rasa hati mau membantah, tapi apa daya, wajah tampannya itu selalu saja melemahkanku.
"Tapi Mas?"
"Sudahlah, lagipula katamu pernikahan kita nggak mewah-mewah banget, jadi pasti masih banyak waktu lagi untuk membahas hal itu, okey?"
"Ck, ini gimana sih konsepnya?"
Kedua alisku seolah sudah menyatu, jawabannya seolah membuat moodku hancur, tapi aku tidak mau merengek dihadapannya, karena aku tidak mau meninggalkan kesan buruk dari diriku.
"Pinjam bentar Mbak, yaelah pelit amat jadi orang, sana bantuin Ibu bersih-bersih ruang belakang saja, besok keluarga besar kita mau datang, mau bantuin persiapan pernikahan kalian."
"Nggak papa kan Dek, atau kamu marah sama Mas karena hal ini?"
Entah mengapa calon imamku seolah membela adikku, atau mungkin ini hanya perasaanku saja.
"Tentu saja tidak, have fun main caturnya ya."
Sebenarnya itu membuatku kesal, aku ingin sekali merasakan dicintai pria secara ugal-ugalan, tapi mau gimana lagi, kita punya keinginan tapi semesta punya kenyataan, aku juga tidak mau menunjukkan kedua taringku ini dihadapan Kaisar, apalagi hari pernikahan kami tinggal menghitung hari saja, aku tidak mau ribut hanya karena hal kecil dan sepele.
Lagipula mereka hanya main catur untuk konten saja pikirku, itu juga sangat membantu kanal media sosial adikku, karena katanya Irma juga mau mengeluarkan uang dari tabungannya cukup banyak untuk membantu biaya pernikahan kami nanti.
Ibarat kata, jika terus diaduk maka akan semakin keruh dan hitam. Namun jika didiamkan ia akan jernih dengan sendirinya, intinya berusaha tetap tenang dan sabar saja, insyaallah akan menemukan hikmah tersembunyi suatu saat nanti.
Hari H pernikahan kami sudah semakin dekat, persiapan pernikahan kami pun sudah dimulai, dan hari ini rencananya akan ada pemasangan tenda dan dekorasi dirumah kami.
Karena kami menikah bukan didalam gedung dan tidak menggunakan wedding organizer, jadi semuanya aku dan keluargaku sendiri yang mengurusnya.
"Ki, Ibu sama Ayah mau ambil pesanan bahan makanan di Pasar, dan mulai hari ini kamu sudah dipingit ya, nggak boleh kemana-mana." Ucap Ibuku sambil membawa tas belanjaan yang cukup besar, karena nanti malam Ibuku sudah mengundang warga sekitar untuk membantu masak nasi kenduri nantinya.
"Masak pingitnya sampai tiga hari Bu?" Protesku dengan bibir manyun, seolah tidak terima ada ritual dari jaman dahulu kala.
"Emang biasa begitu adatnya, lagi pula nanti ada tukang Tenda, kasihan juga kalau nggak ada yang buatin minuman dan cemilan." Jawab Ibuku kembali sambil menenteng tas miliknya dilengan kirinya.
"Tapi Bu?"
Aku mulai resah karenanya, bukan masalah Tukang Tendanya, tapi karena bagiku terlalu sulit menahan rindu, sehari saja tak bertemu Mas Kaisar rasanya sudah seperti Sewindu.
"Apalagi Kidung Kinanti? kalau mau pernikahan kamu lancar, dengerin kata Ibu, kamu nggak boleh kemana-mana, ngerti?"
Dan jika Ibuku sudah memanggilku dengan nama yang lengkap, itu tandanya beliau sudah mulai menipis kesabarannya.
"Ya udah deh Bu."
Aku memang sering dengar kata Pingit sebelum hari pernikahan, terdengar gampang, namun ternyata jika kita sudah mengalaminya sendiri terasa sulit, karena saat menjelang hari H, ada saja persiapan sepasang calon pengantin yang ternyata belum terselesaikan sepenuhnya.
Kring
Ponselku seketika berdering dan tanda hati berwarna merah itu muncul dibelakang nama seseorang, yang selalu membuat kedua sudut bibirku tertarik dengan sempurna.
"Hallo Mas, lagi ngapain ini?" Sapaku dengan gaya manjaku, karena katanya cowok suka gadis yang suka bermanja-manjaan dengannya.
"Aku sudah dijalan depan Rumahmu Dek, motorku nggak bisa masuk, ada Truk Tenda yang menghalangiku ."
"Cie, menyala calon suamiku! Tapi kangennya bisa disimpen nanti aja nggak Mas, soalnya kata Ibu aku sudah dipingit."
Aku pikir kekasihku pun akan merasakan hal yang sama denganku, jadi aku percaya diri sekali mengatakan hal itu.
"Bukan soal kangen, tapi ini masalah baju, katanya baju pengantin yang kita pesan tiba-tiba hilang dan kita disuruh datang kesana lagi untuk memilih model dan ukuran baru."
Tapi ternyata bukan kata rindu, tapi masalah lagi yang datang, bahkan itu hal yang penting bagiku, karena baju pengantin biasanya menjadi topik utama yang dibahas dalam sebuah pernikahan.
"Hah, kok bisa sih Mas, ini kan sudah hampir hari H?"
Padahal masalah baju Pengantin sudah aku bereskan langsung setelah niatan Mas Kaisar untuk melamarku saat itu, tapi kenapa katanya tiba-tiba hilang, aneh sekali bukan?
"Makanya buruan, ayo kita kesana."
"Tapi---"
Aku sedikit ragu, karena kata Ibu aku sedang dipingit, dan kalau nekad pergi katanya bisa pamali atau banyak kejadian buruk yang tiba-tiba datang menerpa, namun itu hanya berlaku bagi orang yang percaya menurutku.
"Sebentar aja, setelah itu kita langsung pulang, okey?"
"Ya udah, tunggu sebentar."
Mau nggak mau aku terpaksa pergi, karena baju pengantin itu sangat penting untuk hari istimewa bagiku, karena bagiku moment itu hanya sekali seumur hidup, jadi harus sempurna walau hanya sederhana.
"Mau kemana Mbak, buru-buru banget?" Entah darimana datangnya, tiba-tiba Irma muncul dihadapanku, setiap harinya dia memang nggak bisa duduk diam didalam rumah, selalu saja kelayapan kemana-mana.
"Mau ke Salon pengantin, kamu jaga rumah ya, ada tukang Tenda tadi baru datang."
"Ikut Mbak, aku mau buat Vlog disana." Dia langsung mengeluarkan ponsel yang selalu dia bawa kemanapun ia pergi.
"Nggak, aku sedang buru-buru, itu sudah ditunggu Mas Kaisar!"
Aku tidak sempat meladeni rengekan dari Irma yang selalu heboh dalam hal apapun yang bisa dijadikan konten.
"Bang Kaisar, aku boleh ikut ya?" Namun sifat Irma jika sudah punya keinginan akan sulit untuk dihentikan.
"Boleh."
Dan yang selalu membuat aku heran, Mas Kaisar itu selalu saja mengiyakan apapun ucapan Irma, bahkan dengan senyuman.
"Wah motor Abang baru ya?"
Mata Irma langsung berbinar saat melihat motor gede yang Mas Kaisar naiki saat ini.
"Ini motor saudaraku." Jawab Kaisar dengan jujur, karena setahuku motor miliknya memang tidak sebagus itu, hanya motor matic biasa saja.
"Boleh coba nggak, aku pengen banget nge-vlog sambil naik motor ini." Irma mulai bertingkah, apalagi dengan sesuatu yang mewah.
"Nggak usah ribet Dek, kami sedang buru-buru ini." Ingin sekali aku jitak kepala adikku itu, namun aku sedang malas untuk ribut.
"Apa sih Mbak, demi konten ini, demi cuan juga." Lagi-lagi hanya itu saja alasannya.
"Ya sudah pakai aja Irma, motor kamu ada dirumah kan, biar aku sama Mbakmu naik yang itu saja." Jawab Mas Kaisar dengan santainya.
"Gimana aku mau ngonten kalau harus bawa motor segede ini? aku mau bonceng aja lah." Dengan tak tahu malunya Irma langsung nangkring diatas motor gede itu.
"Nggak usah ngaco deh Irma, jadi aku sama siapa? aku tuh belum punya SIM, dan aku masih takut naik motor dijalan raya sendirian."
Aku memang bisa naik motor, tapi belum begitu lancar, palingan cuma pergi ke Warung doang, belum pernah berani lewat jalan raya yang besar.
"Kalau begitu Mbak nggak usah ikut deh, lagian Mbak juga lagi dipingitkan?"
Dan itulah Irma, selalu mau menang sendiri, tak punya rasa malu, padahal pria yang ada didepannya itu adalah calon suamiku bukan calon suaminya.
"Gila kamu ya, aku tuh mau ukur baju di Salon, sudahlah kamu nggak usah ikut, bikin ribet aja." Kesabaranku mulai habis, aku tarik saja lengan Irma dengan sedikit kasar.
"Aku bilangin Ibu kamu ya!" Ancam Irma yang tidak mempan untukku, bodo amat pikirku.
"Sudahlah Dek, jangan kasar begitu, kalau memang kamu dipingit biar Irma aja yang ikut, lagian tubuh kalian ukurannya nggak jauh beda, nanti biar Irma saja yang cobain."
Lagi-lagi dadaku terasa sesak, ada apa dengan Mas Kaisar, kenapa dia selalu tidak memihakku jika ada Irma disana, terkadang terbersit satu hal, Dia atau Aku?
"Nggak mau, orang aku yang mau nikah kok!"
Tapi aku selalu kembali menepis segala prasangka burukku, karena jelas-jelas yang Mas Kaisar lamar adalah aku, lagi pula Irma masih terlalu dini, jadi wajar saja jika dia tidak mau mengalah pikirku.
"Hei, ada apa ini? Kidung Kinanti, kamu tahu nggak artinya dipingit itu apa?"
Tiba-tiba suara Ibuku sudah melengking dari arah jalan setapak dengan membawa barang belanjaan yang menumpuk.
"Tapi ini hal mendesak Bu, aku harus ke Salon buat ukur baju."
"Aku saja yang bantuin Bu, sekalian mau buat Vlog disana, tadi Mbak Kiki itu sudah aku bilangin, tapi ngeyel." Irma selalu pandai mencari pembelaan diri.
"Ya sudah, biar Irma saja yang pergi, nanti kamu bisa lihat dari ponsel, ayo cepat masuk, kamu itu belum boleh bertemu langsung dengan calon suamimu Ki dan nggak boleh pergi kemana-mana." Dan sudah bisa aku tebak, Ibu pasti akan meng-iyakan saja apapun kemauan dari Irma.
"Tapi Bu, aku kan--"
"Sudah kamu masuk sana, dan kalian berdua kalau sudah selesai cepat pulang ya, jangan mampir kemana-mana." Ibu seolah nggak mau tahu, dan kembali teralihkan dengan barang belanjaannya yang banyak, aku maklum, mungkin pikiran Ibuku pun sedang kalut, namanya juga mau hajatan yang pertama, jadi wajarlah.
"Argh, ini gimana lagi konsepnya!"
Emosiku benar-benar diuji saat ini, apa memang seperti ini lika-liku persiapan menjelang hari pernikahan, karena kata orang memang selalu saja ada ujian-ujian kecil yang akan menerpa sebelumnya,walau mungkin ujian kali ini tanpa acara kelulusan.
Brak
Tiba-tiba saat aku berjalan cepat menuju kedalam rumah, tiba-tiba tubuhku terbentur sesuatu.
Grep
Dan ternyata tubuhku kini jatuh kedalam pelukan seorang pria, karena dia menangkapku saat keseimbanganku mulai limbung dan akan jatuh.
"Astagfirullahal'azim, Mas kalau jalan lihat-lihat dong?" Saat melihat tatapan matanya aku tersadar, bahwa dia bukanlah muhrimku jadi aku segera bangkit dari pelukannya dan pura-pura risih, padahal nyaman juga tadi rasanya, merasakan pose layaknya drakor kapan lagi pikirku.
"Maaf mbak, tapi kayaknya kebalik deh." Jawabnya dengan senyum yang terlihat menyebalkan sekali, karena entah mengapa semua orang terlihat sangat menyebalkan dimataku saat ini.
"Apanya yang kebalik, bajuku udah bener kok, sandalku juga, lihat lah?" Dengan gilanya aku memamerkan sendal jepitku yang sudah buluk itu, karena tadi terlalu terburu-buru dan lupa ganti sendal.
"Mbaknya yang jalan nggak lihat-lihat, saya dari tadi berdiri disini megang-in tangga, kalau saya jalan-jalan bisa jatuh lampu dekorasi kami yang baru dipasang." Dia menunjuk rekannya yang sedang sibuk memasang lampu hias ditengah-tengah Tenda.
Kalau dipikir-pikir benar juga, aku tadi yang terlalu emosi dan tidak memperhatikan jalan.
"Ck, entahlah! Kenapa hari ini semua orang terasa menjengkelkan." Emosiku kembali meledak-ledak dan karena sudah malu, jadi aku memilih untuk berlari masuk kedalam rumah saja.
"Jangan marah-marah Mbak, nanti jodohnya jauh loh?" Teriak tukang Tenda tadi yang sengaja meledekku.
"Sembarangan aja kalau ngomong, udah pasang tenda yang bener, pakai pidato segala lagi, nggak tahu apa orang lagi kesal." Dan aku masih sempat kembali menoleh untuk meladeni omongannya.
"Yaelah, lagi PMS kayaknya tu mbaknya, atau mungkin dia jomblo akut yang kurang kasih sayang jadi bawaannya emosi." Terdengar samar-samar dia mulai mengutukku.
"Hus, anda ini Bos, dia itu calon pengantin wanitanya." Pria yang sedang memasang lampu itu turun dan memberitahunya, karena dia sudah tahu aku duluan dan bertemu saat sedang mengecek lokasi pemasangan Tenda.
"HAH?"
Pria nggak jelas itu sedikit tersentak, entah apa yang ada didalam pikirannya, apa yang salah jika aku yang jadi pengantinnya pikirku.
"Dih, makan tahu didepan Penghulu, malu nggak tuh!" Umpatku sebelum aku benar-benar masuk kedalam Rumah.
Ingin sekali rasanya aku lempar sendal saja itu mulut, yang asal saja kalau lagi ngebacot, ingin juga aku balas sumpah serapahnya, namun aku tidak mau membuat keributan dengannya, karena aku juga sangat membutuhkan jasanya sebagai Tukang Tenda, karena tanpanya acara pernikahanku bisa kacau juga, mana sekarang cuaca sedang tak menentu, kadang panas, kadang hujan, apa kabar tamu-tamuku nanti jika tanpa Tenda, jadi aku hanya bisa meredam emosiku dan kembali sabar.
Karena baik buruknya seseorang tidak bisa hanya dilihat dari sampulnya saja, yang paling penting jangan berhenti berusaha menjadi baik, karena kita tidak tahu persis, entah kebaikan yang mana yang akan menyelamatkan kita suatu hari nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!