Hari yang ditunggu-tunggu tiba, setelah satu bulan lamanya keputusan ini berhasil merisaukan dua keluarga, akhirnya, hari dimana ikatan pernikahan yang terjalin antara dua keluarga besar yang berpengaruh di kota, Keluarga Ixhander dengan Keluarga Zevandra telah tiba. Dua orang yang kini dikorbankan untuk menikah atas perjodohan paksa demi menunaikan janji yang telah lama diputuskan.
Sebuah janji yang telah terikat lama dan harus dilaksanakan, meskipun hati dan pikiran mereka terasa terikat dan terkurung dalam kebingungan dan kegelisahan. Mereka adalah pion-pion dalam permainan politik dan kekuasaan.
Namun di balik tekanan dan keterpaksaan, ada juga kilauan harapan. Harapan bahwa mungkin, di antara segala ketegangan dan beban yang mereka pikul, mungkin ada ruang bagi sebuah ikatan yang tulus. Ikatan yang tidak hanya mengikat dua keluarga besar, tetapi juga hati-hati yang terkunci dalam perjodohan ini.
"Sayang, hubungi mama jika terjadi sesuatu disana, ya?" ucap sang mama seraya mengusap lembut pipi putrinya, kedua matanya terlihat sendu, tampak rasa tak enak hati yang terlihat jelas dari wajahnya.
"Tapi tenang saja, Keluarga Ixhander itu menjunjung tinggi kehormatan, mereka tidak akan mungkin melakukan sesuatu yang tidak mengenakkan untuk calon menantunya," jelas sang mama melanjutkan ucapannya.
"Iya, ma.." kini, seorang gadis yang saat ini terduduk lemah diatas sofa hanya bisa tersenyum tipis menerima kenyataan. Berbagai perhiasan serta gaun putih yang ia kenakan, sudah cukup untuk membaca kondisinya saat ini.
Apa hanya perasaan ku saja? Sejak kapan mama jadi perhatian padaku? batin gadis yang menyandang gelar Zevandra, Ashela Luvenna Zevandra, gadis yang sebentar lagi akan menjadi perhatian publik atas pernikahan yang akan segera ia langsungkan dengan putra dari anak pertama keluarga Ixhander.
"Mama tinggal dulu, ya? Mama masih ada urusan untuk menyambut para tamu. Jika tiba saatnya nanti, bibi Leona yang akan menjemputmu untuk pergi ke atas pelaminan."
"Iya, ma. Pergilah, pasti para tamu sudah mulai berdatangan," ucap Ashela pelan.
Ashela adalah gadis pendiam dan penurut, pernikahan ini juga berlangsung sama sekali bukan karena keinginannya. Bahkan untuk bertemu atau melihat calon suaminya saja ia tidak pernah, baginya ini sungguh asing.
"Mama sampai sekhawatir itu padaku, apa mungkin memang akan terjadi sesuatu saat statusku telah berubah nanti?" Ashela tersenyum tipis. Ia tahu pasti, bahwa rumor yang beredar selama ini mengenai calon suaminya memang tidak mengenakkan.
Biar keluarga calon suaminya itu dikenal sebagai keluarga kaya raya dengan hartanya yang melimpah, fakta bahwa keturunan mereka yang kini telah menjabat sebagai CEO muda perusahaan IXH, dikenal sebagai pria yang anti-wanita. Bahkan tak sedikit yang berkata bahwa pria itu adalah seorang gay.
"Yah, mungkin itu juga sesuatu yang baik. Ia tidak mungkin melakukan hal aneh padaku, karena rasa ketertarikan nya hanya pada seorang pria, kan?" Ashela sedikit geli saat membayangkan pria yang akan menjadi suaminya itu adalah seorang gay. Tapi disisi lain, ia juga tak perlu pusing-pusing memikirkan bagaimana ia akan menjadi istri nantinya.
"Ashela!" suara yang tiba-tiba saja terdengar dari arah pintu membuat Ashela menoleh.
"Bibi Leona?"
"Sayang, ayo bersiap, sebentar lagi kau harus keluar untuk pergi ke pelaminan."
Deg..
"I-iya, bibi. Tunggu sebentar, aku akan merapihkan penampilanku," ucap Ashela ragu, ia bolak balik menarik dan membuang napasnya, berharap perasaan tak nyaman dari hatinya segera hilang.
Bibi Ashela, Leona, hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis. Ia menghampiri keponakan nya itu dan membantunya merapikan penampilan.
Rasanya aneh, aku yang hampir selalu tak pernah dipedulikan oleh keluargaku sendiri, kini rasanya berbeda... Apa.. itu karena aku rela mengorbankan diriku demi satu keluarga Zevandra?
Ashela tersenyum pahit, beberapa saat kemudian, barulah ia mulai berjalan keluar kamar riasnya untuk pergi ke pelaminan karena acara pernikahan akan segera berlangsung.
"Bibi, dimana pengantin pria nya?" Ashela mengernyitkan dahinya.
"Dia pasti akan segera datang, kau tunggu saja disini sebentar, ya?" ucap Leona mengarahkan Ashela menuju sofa di pelaminan.
Rasanya canggung, Ashela kini dilihat oleh banyak mata.
Kedua matanya melihat banyak sosok keluarga besar Zevandra yang hari ini juga datang. Wajar saja, mereka pasti menghormati Ashela, karena ia adalah wanita yang mau dinikahkan paksa dengan keluarga Ixhander.
"Mempelai pria memasuki ruangan,"
"Mempelai pria?" Ashela terdiam, apa itu berarti calon suaminya? Ia sungguh tak sabar melihat bagaimana rupa pria bernama Bastian Collin Ixhander itu, ia tampak tak fokus, hatinya tak tenang.
Tap.. Tap.. Tap...
Deg!
Kedatangan Bastian Collin Ixhander di tengah pesta pernikahan itu, disambut dengan bisikan-bisikan tak terucapkan dari para tamu yang memenuhi ruangan. Langkahnya yang mantap dan penuh keanggunan menarik perhatian semua yang hadir. Ashela yang sudah bersedia diatas pelaminan sedari tadi, merasa terpaku melihat sosok pria itu. Tatapan matanya terpaku pada wajah yang belum pernah ia lihat sebelumnya, mempertanyakan nasibnya yang terikat pada takdir perjodohan ini.
"Dia.. Calon suamiku?" Ashela bergumam seolah tak percaya.
"Baiklah, karena pengantin wanita dan pengantin pria sudah berada di atas pelaminan, maka acara pernikahan akan segera dilangsungkan."
Ashela terdiam seribu bahasa, jantungnya berdebar. Setelah kedatangan Bastian yang kini telah berada tepat di samping nya, gadis itu hanya bisa menunduk ke bawah.
"Ashela.. ya?"
Eh..
Ashela melirik sejenak ke arah Bastian, Apa aku tadi salah dengar saja?
Upacara pernikahan berlangsung dengan khidmat. Mulai dari sumpah pernikahan yang diucapkan dengan penuh kesungguhan oleh kedua mempelai, hingga momen haru bagi para tamu undangan saat pertukaran cincin yang melambangkan janji kesetiaan dan cinta abadi. Setiap detik terasa terisi oleh kehangatan dan keheningan yang hanyut dalam nuansa sakral.
Mereka menjadi saksi hidup atas ikatan suci yang terjalin antara dua keluarga berpengaruh ini. Sorak sorai bahagia pun memenuhi udara ketika pengumuman bahwa mereka resmi menjadi suami istri menggetarkan hati setiap orang yang hadir. Walau pada kenyataannya, semua ini hanyalah pion untuk menjaga pertahanan dua keluarga, dan kedua mempelai ibarat tameng yang berdiri kokoh diantaranya.
Di samping itu, tampak seorang wanita berkepala empat yang tak lain adalah Viona, mama Ashela yang sedari tadi tatapan matanya tak luput untuk memandang putrinya. Ada rasa bahagia sekaligus sedih dalam hatinya.
Ia terpaksa untuk menyerahkan putri satu-satunya kepada orang asing, ya, tentu saja keluarga Ixhander adalah orang asing bagi Ashela. Pernikahannya pun terjalin dengan paksaan untuk menunaikan janji yang terikat antara dua keluarga.
"Setelah kematian dua orang yang paling berpengaruh di dua keluarga ini, cucu mereka pun menikah, apa ini memang sudah takdir bahwa dua keluarga ini memang harus disatukan?" oceh salah seorang tamu yang tengah menyaksikan acara pernikahan Ashela dan Bastian.
Pernikahan ini terlangsung atas janji Kakek dari Bastian dan Kakek dari Ashela. Mereka yang dulunya ialah sahabat dekat, bahkan sudah seperti saudara, mengharapkan persatuan antar dua keluarga untuk mempererat tali persaudaraan. Dan wasiat terakhir nya adalah mereka ingin keturunannya bisa saling menikah, lalu dibuatlah surat perjanjian pernikahan antara Keluarga Zevandra dan Ixhander.
"Baiklah, di penghujung acara, agar acara lebih meriah lagi, kita saksikan prosesi pendekatan antara dua pengantin."
Hah.. Apa lagi? Bukankah semua prosedur sudah dilakukan? Ashela mengernyitkan dahinya. Ia melirik ke arah Bastian, tapi pria itu masih dengan wajah datar dan dinginnya menatap ke arah depan, bahkan sedari tadi pun sama, tak ada satu pun ekspresi yang pria itu tunjukkan.
"Yah, wajar sih, bagaimana pun ketertarikan nya kan pada seorang pria, bukan wanita," bisik Ashela menggerutu.
"Kita adakan sesi foto antara dua pengantin, tapi sebelum itu, coba pengantin wanita dan pengantin pria mencari posisi tepat untuk melakukan hal yang lebih dekat lagi,"
"Apa maksudnya 'hal yang lebih dekat'?" gumam Ashela dalam hati, bibirnya sedikit tertutup rapat. Pandangannya berpindah dari si pengatur sesi foto ke arah Bastian, suaminya yang baru saja menjadi bagian dalam hidupnya.
Ashela merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Mereka berdua baru saja menempuh perjalanan untuk sampai pada titik ini, titik di mana mereka dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan.
Keduanya lalu berdiri berdampingan, Jarak di antara mereka menyempit sedikit demi sedikit, hingga akhirnya mereka berdiri cukup dekat untuk merasakan napas satu sama lain. Ashela bisa merasakan hangatnya tubuh Bastian, getaran jantung pria yang kini tengah berhadapan dengannya membuat Ashela memejamkan mata perlahan.
"Ashela, Bastian, mari kita mulai dengan sedikit keakraban," ucap pengatur sesi foto dengan penuh semangat. Mereka berdua memandang ke arah kameramen yang siap memotret momen-momen berharga ini. Dalam diam, di antara jarak fisik yang semakin menyusut, Ashela merasakan keteguhan dalam hatinya bahwa meskipun awalnya perjodohan ini dipaksakan, mungkin, hanya mungkin, di antara mereka berdua ada benang-benang cinta yang akan tumbuh subur seiring berjalannya waktu.
Srett..
"Eh?" gadis itu mengerutkan dahi, entah sejak kapan wanita itu sudah berada dalam lengan suaminya.
"Aku malas membuang waktu," terdengar sedikit ucapan dari Bastian, suara serak dan terkesan dingin itu berhasil membuat Ashela menelan ludahnya kasar.
"Ma-maksudmu?"
Cekrik!!
Ashela terdiam. Ia berusaha mencerna apa yang barusan terjadi. Suara dari kamera yang berbunyi, serta adegan yang barusan ia pura pura lakukan.
"A.. Apa maksudnya semua ini.."
Ya, sesaat yang lalu, Bastian, suaminya itu menarik Ashela ke dalam pelukannya, tangannya terangkat dan mendekat pada bibir Ashela. Ia berposisi seakan-akan mereka melakukan sebuah ciuman, tapi nyatanya ada sedikit jarak yang membuat mereka tak bersentuhan sedikit pun.
Kembali, sorakan terdengar di bawah pelaminan, semua orang merayakan dengan kebahagiaan atas ikatan pernikahan ini. Para wartawan yang ikut menghadiri pun, sampai-sampai dibuat seakan semua yang terekam dalam kameranya hanyalah ilusi belaka.
Jantung Ashela berdegup kencang, ia tidak salah lihat kan? Bastian hampir saja menciumnya. Ashela, apa yang kau pikirkan? Semua yang terjadi disini hanyalah demi formalitas.
Dengan keteguhan hatinya, Ashela terdiam dalam sunyi. Berharap pada manusia hanya akan menyesatkan dirinya di kemudian hari. Ia tidak seharusnya berharap lebih atas pernikahan mudanya, disini, di tempat ini, diatas pelaminan, ia hanyalah figur yang dipasang untuk menjadi pion penting dua keluarga.
"Kalian sungguh tidak ingin menginap dulu disini?" tanya Viona yang sedari tadi tak pernah melepas senyuman dari wajahnya begitu melihat sepasang kekasih yang baru saja menikah ini.
Kini tampak Bastian dan Ashela yang sudah berdiri sejajar di dekat pintu keluar. Suasana gedung pernikahan sudah sepi karena acaranya selesai sejak 30 menit lalu. Ya, mereka memang menyewa gedung untuk pernikahannya, dan seharusnya, saat ini seluruh keluarga termasuk kedua pengantin menginap di kamar VVIP yang telah disediakan.
"Iya, toh kalian ini pengantin baru," ucap Ayah Ashela menambahkan.
Sementara itu, terlihat wanita yang memandang mereka dengan tatapan yang tak bisa diartikan, yang sudah dipastikan ibu dari Bastian. Wanita itu tak mengatakan apa-apa sejak tadi, tapi air mata yang menetes di pipinya sudah cukup menjelaskan isi hatinya saat itu.
Ashela menoleh ke arah Bastian, walau ditanya, pria itu masih menunjukkan ekspresi datar sehingga membuat Ashela pun bingung sendiri dibuatnya.
"Gimana? Kalian gak mau nginep dulu di hotel? Pasti cape banget kan kalau harus keluar kota dulu?" tawar Viona tersenyum. Ia tahu bahwa tempat tinggal Ashela ke depannya adalah diluar kota, tempat dimana Mansion Bastian berada. Tapi, untuk keluar kota pasti membutuhkan waktu lumayan lama.
"Tidak apa, ma. Daripada menunggu besok, lebih cepat lebih baik." Ashela tersenyum, melihat wajah Bastian yang kurang mood saat ditawarkan untuk satu kamar dengannya, tampaknya lebih baik jika mereka menghabiskan malam ke Mansion Bastian.
"Ya sudah kalau begitu," Viona mengangguk. Ia lalu mendekatkan diri pada putrinya, tangannya terangkat mengusap wajah putrinya itu.
"Baik-baik ya sayang," ucap Viona yang lalu disahut dengan anggukan kepala oleh Ashela.
"Tuan, kita bisa berangkat sekarang?" tanya seorang pria yang tak lain adalah orang yang memegang banyak kendali sebagai kepercayaan Bastian. Mulai dari supir, sekertaris di kantor, dan asisten di Mansion.
"Ya." Bastian mengangguk, ia dan Ashela pun akhirnya berlalu pergi menaiki mobil setelah berpamitan.
"Masuklah." Bastian membuka pintu yang tepat berada di hadapannya dan Ashela. Ashela terdiam sejenak, ia mengangguk dan memasuki mobil berwarna hitam pekat itu.
BRUMMM!!!
Mobil melaju dengan cepat, dari balik kaca, Ashela melambaikan tangannya pada sang mama untuk pertemuan terakhirnya itu.
Kira-kira perjalanan berapa lama, ya? Ashela membatin, kedua matanya begitu berat, ia sangat mengantuk karena berbagai susunan acara yang membuat energinya terkuras habis.
Diam-diam, Ashela melirik suaminya, Bastian. Jujur saja, wajah Bastian itu sangat tampan dan memikat, bahkan Ashela pun sampai terpana saat pertama kali melihatnya. Wajahnya bagai pahatan, tidak, bahkan seperti lukisan nyata. Begitu indah..
Jika Ashela mempunyai rasa pada Bastian, dan hubungan mereka tidak se canggung itu, pasti wanita itu akan terus memperhatikan wajah tampan nan rupawan suaminya itu.
Ashela tersenyum tipis, setelah dilihat, Bastian tak seburuk yang ia kira. Walau wanita itu tahu, Bastian bisa saja berpura-pura bersikap baik.
Mata Ashela beralih memperhatikan jalanan, langit malam yang begitu gelap, dengan penerangan lampu di jalan mengalihkan fokusnya. Tanpa sadar, wanita itu memejamkan matanya perlahan.
***
Mansion IXH
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, mobil itu akhirnya memperlambat laju dan berhenti di depan sebuah rumah besar dengan lampu-lampu kecil yang menyala di halaman depan.
"Silakan, Tuan.." seorang pengawal berseragam lengkap membungkuk menyambut kedatangan Bastian.
Bastian menoleh ke belakang, ia melihat pintu mobil yang berada di bagian Ashela tak kunjung terbuka.
"Tuan, sepertinya Nyonya Ashela tak kunjung bangun dari tidurnya, haruskah saya perintahkan seorang pengawal untuk membawanya?" tanya sekertaris Bastian, Leo.
Bastian membuka matanya lebar, ia lalu memijit pelipisnya sendiri. "Merepotkan sekali." gumam nya. "Tidak usah, bangunkan saja dia" Bastian berucap sebagai jawaban.
"Apa?" Leo membelalakkan matanya, "Tapi Tuan, Nyonya sepertinya sangat kelelahan karena acara pernikahan tadi, jika beliau dibangunkan..." Leo tak enak hati melihat Ashela yang kini telah mengambil status sebagai nyonya nya itu tengah tertidur lelap di mobil. Tapi disisi lain ia tak bisa menyanggah ucapan tuannya.
"Tuan duluan saja, saya akan memanggil pengawal, ah, tidak, saya akan membawa nyonya ke kamarnya." Leo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia bingung harus menjawab apa sekarang.
Mendengar pernyataan Leo barusan, sorot tajam dari mata Bastian kini membuat Leo bergidik, "A.. anu.."
Bastian menghela nafas kasar. Ia melangkahkan kakinya berjalan menuju ke arah mobil dan membuka pintu tepat dimana Ashela berada.
SRET..
"Eh.."
"Tu-tuan?" Leo tergagap, ia terkejut melihat Bastian yang tiba-tiba datang di hadapannya dengan kondisinya yang tengah menggendong istrinya dengan bridal style.
Bastian melangkah ringan menuju pintu depan rumah mereka, menuntun langkah dengan hati-hati agar tidak membangunkan sang Ashela.
"A-apa perlu saya bantu, Tuan?" tanya Leo gagap. Ia berjalan cepat mensejajarkan langkahnya dengan Bastian.
"Tidak usah, bawa saja aku ke kamar yang sudah di siapkan untuk nya. Oh, bawa juga satu pelayan yang akan melayani wanita ini nanti." jelas Bastian yang lagi-lagi membuat Leo terkejut bukan main.
Seorang CEO IXH, Bastian Collin Ixhander yang terkenal anti wanita itu menggendong istrinya dengan bridal style? Ah, sungguh tidak bisa dibayangkan.
Tak ingin pikir panjang, sesuai perintah Bastian, Leo segera mencari dan hendak membawa satu pelayan yang dikiranya cocok untuk melayani Nyonya barunya ini.
Sementara Bastian, pria itu masih sibuk membawa istrinya ke kamar yang sudah disediakan. Ya, kamar mereka memang dipisah, itu pun atas permintaan Bastian.
Wajar saja, mereka menikah tanpa cinta. Dengan Bastian yang mau bersentuhan kulit dengan Ashela pun merupakan pencapaian besar, jadi pisah kamar bukanlah masalah besar bagi mereka.
"Ringan sekali.." Bastian bergumam, ia memerhatikan Ashela sekilas, tubuhnya ringan, badannya ramping, wajahnya pun tirus, "Apa wanita ini tidak terurus di rumah nya?" pikir Bastian.
Bastian meletakkan Ashela perlahan saat sudah tiba di ranjang wanita itu. "Tuan, apa anda perlu sesuatu?" tanya Leo dan Bastian pun bergeleng.
"Beritahu saja pelayan yang kau pilih itu untuk melayaninya saat wanita ini bangun." ucap Bastian.
"Lalu.. Bagaimana dengan suratnya?" Leo bertanya ragu.
Bastian terdiam sejenak, ia lalu menoleh menatap sekertaris pribadi nya itu. "Besok saja, aku juga ingin istirahat dulu hari ini." jelas Bastian yang lalu di anggukkan kepala oleh Leo.
Bastian berbalik, ia melirik sekilas wajah Ashela yang masih tertidur pulas sesuai dugaannya. Bastian menghela nafas kasar, dan melangkah keluar dari kamar Ashela.
"Anna, ke depannya, kaulah yang harus melayani Nyonya sebagai istri Tuan Bastian. Kau pasti sudah tahu kan apa yang harus kau lakukan?" Leo menatap tajam ke arah Anna, pelayan yang dibawanya setelah kepergian Bastian dari kamar yang kini ditempati Ashela. Anna menunduk, wanita yang terlihat masih berusia muda itu lalu mengangguk kecil.
Leo menghela nafas panjang, ia berdoa agar pilihannya tak salah. Anna adalah pelayan muda yang dipekerjakan disini setelah dibuang oleh nyonya sebelumnya. Leo memilihnya karena ia sudah terbiasa melayani seorang nyonya, selain itu, satu-satunya harapan Anna adalah bekerja di Mansion ini, jadi Anna tidak bisa melanggar aturan dan seenaknya saja demi keberlangsungan hidupnya.
"Jangan bersikap main-main, anggaplah beliau sama dengan Tuan. Hormati dia seperti kau menghormati Tuan Bastian." tegas Leo menekankan ucapannya.
Anna menelan salivanya susah payah, kepalanya masih tertunduk. Ia tak punya keberanian untuk menatap Leo. Yah mungkin karena sifat dan sikap pria itu sebelas dua belas dengan tuannya. Dingin dan mungkin sedikit kejam? Anna bahkan sampai gemetar dibuatnya.
Leo berlalu pergi meninggalkan kamar Ashela, sementara Anna, gadis itu memilih untuk berada diluar kamar menunggu Nyonya nya bangun.
"Sepertinya Nyonya begitu kelelahan." gumam Anna. "Tapi melihat Tuan Bastian menggendongnya tadi, hatiku jadi merasa tenang. Entah kenapa, saat melihat mereka datang, aku merasa tatapan Tuan Bastian yang tak pernah sekalipun berubah, kini berubah. Tak biasanya juga ia berdekatan dengan seorang wanita, menyentuh, atau bahkan menggendongnya seperti tadi. Syukurlah beliau masih normal." Anna tersenyum tipis dan menghela nafas berat.
"Oke, Anna. Mulai sekarang hidupmu ada di tangan Nyonya, kau harus bekerja lebih baik dari sebelumnya." Anna mengepal tangannya kuat dan menyemangati dirinya.
"Bagaimana pun caranya, aku harus melakukan yang terbaik sehingga mendapat kepercayaan Nyonya!" lanjutnya dengan senyum yang masih terukir jelas di wajahnya.
Matahari yang baru naik muncul di balik cakrawala, memancarkan sinarnya yang hangat menembus jendela kamar. Cahayanya mengalir masuk ke dalam ruangan, memenuhi setiap sudut dengan kehangatan dan kehidupan baru.
Di atas permadani lembut, Ashela terbangun dari tidurnya dengan gerakan yang lambat. Matanya terbuka perlahan, disambut oleh panorama luar biasa dari sinar pagi yang mengelilingi kamarnya. Udara terasa segar dan sejuk, memberikan nuansa kesegaran yang menyegarkan setelah malam yang tenang.
"Ugh.." Ashela memijit pelipisnya, terasa rasa sakit di bagian kepala yang membuat dirinya sulit untuk bangun, matanya berkedip dengan perlahan.
"Argh.. Kepalaku.." Ashela memejamkan matanya, "Sakit.." tak hanya di bagian kepala, seluruh tubuhnya merasakan nyeri yang tidak biasa. Rasanya ia tidak bisa bergerak sedikit pun, benda tak berwujud yang begitu berat seakan menimpa tubuhnya.
"Keburukan macam apa lagi ini?" Ashela menggerutu. Ia mencoba membuka matanya yang terasa berat dengan perlahan, merenggangkan kedua tangannya dan sedikit memutar kepala. Pandangannya kini mengarah pada sekeliling, furnitur dan panorama yang begitu asing baginya. Dimana ia sekarang?
"Eh?" ia terdiam dalam kesunyian. Menatap ke segala arah, dan berakhir pada benda yang menempel pada tubuhnya, "Sejak kapan aku memakai piyama? Lalu.. tempat apa ini?" serunya, bingung.
Ia berusaha memutar otak, mengingat kejadian yang telah lalu, sehingga dirinya bisa mendapati kondisi saat ini, kondisi yang sangat membingungkan baginya, serta segala aspek yang membuat dirinya hanya bisa terdiam tak berkutik.
Ashela, sadarlah, sekarang kau sudah menjadi istri orang. Sepertinya ini tempat dimana Bastian tinggal, bukan?
Setelah beberapa lama, Ashela akhirnya mulai tersadar, kala suatu bisikan menghampiri ingatannya. Dengan keyakinan yang teguh, ia menghela napas panjang, semua ini bukanlah mimpi semata, tapi kenyataan yang sulit ia terima.
Tapi, seingatku, aku masih tertidur di mobil. Apa aku jalan dan memakai piyama diluar kesadaran?
Ashela membatin, rasanya ada yang mengganjal di hatinya, apa ia sempat lupa ingatan? Atau memang ada sesuatu yang terjadi tadi malam?
Tok.. Tok.. Tok..
Ketukan pintu yang terdengar dari arah luar, berhasil menghancurkan lamunan nya. Ashela menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, buru-buru ia merapikan rambut takut ada seseorang yang datang menghampiri.
"Nyonya, bolehkah saya masuk?" benar saja dugaannya, kini seseorang memanggilnya dari luar. Suara wanita, yang terkesan sedikit lembut namun tegas.
"Manusia mana yang datang pagi-pagi seperti ini?" Ashela berpikir dalam hening. "Masuk saja," sahutnya pelan. Dengan telaten, Ashela merapikan tempat tidurnya, bersiap dalam posisi sigap untuk melihat siapa yang datang.
"Selamat pagi, Nyonya.." sosok gadis yang kini datang menghampiri Ashela dengan ekspresi cerianya membuat wanita itu mengernyitkan dahi.
"Kamu... siapa?" Ashela bertanya di tengah kebingungan yang melanda dirinya, entahlah, rasanya ia juga tidak melihat hawa buruk dari sekeliling gadis muda di hadapannya ini.
"Saya Anna, Nyonya. Ke depannya, saya yang akan melayani Nyonya di Mansion ini," ucap Anna sedikit membungkukkan badannya.
"Maaf, seharusnya saya memperkenalkan diri sedari kemarin, namun nyonya sepertinya begitu kelelahan jadi saya tidak enak untuk membangunkan anda," Anna tersenyum kikuk, berpandangan dengan Ashela membuat dirinya sedikit ragu untuk mengangkat suara.
"Ah, begitu ya?" Ashela tersenyum canggung. Jika kemarin Anna melihatnya, pasti Ashela juga melihat sosok di hadapannya ini bukan? Kenapa rasanya ada ingatan yang terlupakan dari otaknya ini?
"Tolong kerja sama untuk ke depannya ya, Anna." ucap Ashela menjawab, ia akan bersikap ramah kepada orang yang ramah padanya, begitupun sebaliknya.
Di tengah keheningan, Ashela justru malah mengingat sesuatu. Kenapa di kamarnya hanya ada dia seorang? Dimana Bastian? Kalau boleh terus terang, Bastian sudah menyandang status sebagai suami sah nya sejak kemarin, seharusnya, pria itu juga ada disini sekarang.
Sepertinya aku yang terlalu berlebihan. Aku pikir, setelah menikah kita akan tinggal berdua saja. Untunglah..
Ashela menghela nafas panjang. Ia tidak mau berpikir panjang, wajar saja kalau Bastian menolak untuk satu kamar dengannya. Apa yang harus diharapkan dari perjodohan terpaksa ini?
"Nyonya, apa anda butuh sesuatu? Ah, bagaimana dengan pemandiannya? Nyonya ingin saya siapkan air hangat? Saya sudah menyiapkan banyak esensi untuk anda sejak lama," tanya Anna antusias.
"Terima kasih," Ashela tersenyum tipis, mengangguk kecil sebagai jawaban. "Tolong siapkan aku air hangat untuk mandi nanti, Anna. Dan satu lagi, untuk pewanginya, tolong jangan campurkan dengan aroma buah ataupun yang harumnya manis. Tolong siapkan saja aroma dedaunan atau semacamnya," jelas Ashela pada pelayan barunya itu.
"Rasa-rasanya tubuhku sakit, akan lebih baik mencium aroma dedaunan untuk menambah kebugaran," gumam Ashela.
"Baik, Nyonya. Silakan tunggu sebentar, saya akan kembali beberapa saat lagi," ucap Anna yang lalu disahut anggukan kepala oleh Ashela.
Ashela melangkah dengan langkah ringan menuju kaca rias di sudut kamar. Cahaya pagi menyoroti wajahnya dengan lembut saat ia berhenti di depan cermin. Dia memandang dirinya dengan tatapan penuh refleksi, netra matanya menangkap setiap detail yang tercermin di permukaan kaca. Wanita itu memerhatikan wajahnya dan mengusapnya pelan.
"Huft, wajahku kusut sekali." ucap Ashela, terlihat jelas seberapa lelahnya dirinya. Ia menyisir rambut hitamnya yang tergerai begitu saja, masih dengan ekspresi tidak senang karena wajahnya benar-benar kusut.
"Nyonya.." Anna tiba-tiba saja datang dari belakang dan memanggil Ashela. Wanita itu tersadar, berbalik dan mengikuti langkah Anna yang membawanya ke kamar mandi.
Setelah mandi dan sarapan, Ashela lalu mulai merapikan barang bawaannya yang menumpuk di koper biru tosca kesayangannya. Awalnya, Anna sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi Ashela berpikir bahwa lebih baik untuk nya yang merapikan barang bawaannya sendiri.
"Nyonya," Anna memanggil Ashela pelan, membuat fokus nya buyar dan menoleh ke belakang.
"Ya? Apa ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" tanya Ashela.
"Nyonya, Tuan Bastian berkata ingin berbincang dengan anda setelah anda sudah selesai merapikan barang bawaan." jelas Anna ragu.
"Hmm?" Ashela berdeham untuk beberapa saat. "Baiklah, sampaikan saja padanya aku akan segera kesana setelah— oh, tidak, sekarang saja." Ashela melipat sehelai kain berukuran sedang yang ada di tangannya. Ia menutup kopernya dan beranjak bangun.
"Ayo, dia ingin bertemu denganku sekarang, kan? Antar aku kesana, Anna," Ashela tersenyum tipis, membenarkan pakaiannya dan menguncir rambutnya yang tergerai. Walau ada perasaan tak nyaman di hatinya, tapi mau tak mau ia harus menurut.
"Anda serius? Tuan bilang, selesaikan saja dulu urusan anda, baru—"
"Tidak perlu, merapikan barang-barang ku hanyalah tugas mudah, lagipula, tinggal sedikit lagi yang perlu aku masukkan ke dalam lemari," jawab Ashela meyakinkan Anna.
"Ya sudah, ayo nyonya, ikuti saya!" Anna tidak menyanggah walau ekspresi wajahnya menunjukkan keraguan, dan langsung mengajak Ashela menemui Bastian.
Keduanya berjalan selaras keluar kamar menuju ruang pribadi Bastian, di tengah perjalanan, Anna menceritakan beberapa hal mengenai struktur dan bagian-bagian di sekitar Mansion. Ia juga memberi tahu Ashela bahwa tidak sedikit yang bekerja di dalam Mansion ini, dan mereka semua berada disini tak terkecuali karena telah lulus kualifikasi dan menjadi kepercayaan Bastian.
"Ini ruangannya, nyonya," Anna menghentikan langkahnya begitu pandangannya beradu dengan sosok pria di hadapan mereka, pintu yang menjulang tinggi bernuansa modern, kini terlihat jelas persis di depannya.
Ruangan bertema modern dengan nilai estetika yang klasik dan elegan, dikelilingi oleh dominasi warna hitam dan putih yang menciptakan kontras yang tajam namun harmonis. Dinding-dindingnya dilapisi dengan panel kayu hitam yang halus, memberikan sentuhan kemewahan.
Kini berdiri tegap sosok pria yang tidak asing, tepat di dekat jendela yang sedikit terbuka. Ekspresi wajahnya tampak serius dan tegang, cahaya matahari yang mengintip masuk ke dalam celah-celah jendela, tak mampu mengusir bayang-bayang keraguan dalam dirinya.
Di sebelahnya, terdapat kursi kerja ergonomis yang dilapisi kulit hitam berhadapan dengan meja, menawarkan kenyamanan optimal untuk Bastian saat ia bekerja. Di sekitar meja, terdapat rak-rak terbuka dengan koleksi buku-buku klasik dan patung-patung kecil yang memberikan nuansa intelektual.
"Tuan, Nyonya sudah menunggu di depan." ucap Leo pada Bastian yang kini tengah merapikan dasinya, sama seperti hal yang dialami Bastian, keraguan Leo justru lebih tiada tara dibanding tuannya itu.
Sekilas matanya melirik ke arah pintu yang masih tertutup, dan jika pintu itu dibuka, maka akan langsung terlihat sosok wanita yang kini telah resmi menjadi penghuni Mansion dan bersanding dengan Bastian.
"Suruh dia masuk." Bastian menoleh, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Baik," Leo mengangguk pelan sebagai jawaban, segera ia berbalik badan dan menyambut kedatangan Ashela untuk pertama kalinya di ruangan Bastian.
Tak perlu menunggu waktu yang lama, ketika suara pintu terbuka, Bastian mengalihkan pandangan. Kedatangan Ashela yang dilandasi sebagai suatu hal penting yang dibutuhkannya, sama sekali tidak mengambil ketertarikannya. Memang, keduanya menikah juga karena urusan politik, tanpa ada cinta yang mengikat hubungan. Jadi, Bastian akan bersikap selayaknya kepada orang lain biarpun Ashela sudah menyandang gelar istrinya.
"Berapa lama kamu ingin berdiri disana? Duduklah." ucapnya, menatap tajam Ashela yang kini terdiam tanpa suara.
Ashela tersenyum kikuk lalu mengangguk, menghela napas sesaat dan berjalan mendekat untuk duduk berhadapan dengan Bastian, walau diantara mereka, ada sebuah meja yang menjadi penghalang.
"Leo.." Bastian melirik ke arah asisten pribadi nya seakan memberi isyarat, pria yang berusia tak jauh dari tuannya itupun mengangguk paham.
"Baik,"
Leo, dengan sigap menyiapkan tumpukan kertas dan pena di atas meja Ashela, mengaduk perasaannya seperti layangan yang bergerak di angin. Ashela menatap dengan heran saat selembar kertas melayang di hadapannya.
"Apa ini?" tanyanya, mengernyitkan dahinya dengan kebingungan yang jelas terpancar dari wajahnya.
Bastian menjelaskan tanpa berbelit-belit, "Baca saja. Jika ada yang tidak sesuai dengan pendapatmu, katakan."
Ashela meraih kertas itu, matanya mengikuti setiap kata di atasnya dengan hati yang berdebar-debar. Judulnya menangkap perhatiannya dengan tajam, memunculkan gelombang pertanyaan di dalam benaknya. "Perjanjian... apa ini?" ucapnya pelan, suaranya terengah-engah saat mencerna isi yang tercantum di halaman pertama.
Mata Ashela membesar ketika dia menyadari isinya seolah mengingatkan pada sebuah perjanjian pra nikah. Dia menelan ludahnya, berusaha memahami inti dari apa yang baru saja ditemukannya di depannya. Namun, kebingungan dan ketakutan mulai merasuki pikirannya.
"Kenapa ini?" desisnya, suaranya bergetar sedikit. Dia menatap Bastian, berharap mendapat jawaban atas pertanyaan yang menyerang hatinya.
"Ini perjanjian pra nikah? Tapi.. untuk apa?" setelah menahan dalam waktu yang cukup lama, Ashela akhirnya mengeluarkan semua pertanyaan yang menempel di otaknya.
"Aku tidak peduli kau ingin menyebut nya sebagai perjanjian pra nikah atau surat kontrak. Tapi tolong dibaca poin-poin yang tertera disana." jelas Bastian dengan wajah datarnya. Kedua tangannya menyilang di depan dada.
"Tenang saja, semua yang ditulis di lembar itu sama sekali tidak mengarah pada hal negatif untuk anda, nyonya," ucap Leo melanjutkan balasan Bastian.
Nama: Bastian Collin Ixhander
Nama: Ashela Luvenna Zevandra
Dengan ini menyatakan bahwa:
Bastian Collin Ixhander, yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA (A), dengan Ashela Luvenna Zevandra, yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA (B).
Kedua belah pihak, dengan maksud yang baik, sepakat untuk menyetujui hal-hal dibawah ini:
Poin 1. Pihak pertama dan pihak kedua dengan ini sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing selama terjalinnya hubungan antara suami istri.
Poin 2. Pihak pertama dan pihak kedua harus bersandiwara sebagai pasangan sungguhan, terutama di hadapan dua keluarga (Ixhander dan Zevandra).
Poin 3. Pihak pertama maupun kedua tidak berhak untuk saling berhubungan sungguhan tanpa persetujuan.
Poin 4. Pihak pertama dan kedua harus saling menghormati dan menghargai atas keputusan dan hak yang mereka miliki.
Poin 5. Fasilitas yang tersedia di Mansion adalah milik bersama (pihak pertama dan kedua), namun tidak boleh mencampuri fasilitas pribadi masing-masing.
- Perjanjian ini berlaku sampai tujuan tercapai.
Dengan ini, tertanda:
Bastian Collin Ixhander
Ashela Luvenna Zevandra
"Sudah kubuat sesederhana mungkin agar mudah untuk kau pahami." Bastian menatap lekat wajah wanita yang kini telah resmi menyandang status istrinya itu.
Ashela mengangguk perlahan, masih mencerna kata-kata dalam perjanjian itu. Dia merasa sedikit terjebak dalam situasi ini, tetapi pada saat yang sama, ada bagian dari dirinya yang menginginkan kejelasan dan batasan yang ditetapkan. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri di tengah rasa campur aduk yang melanda hatinya.
Dengan tinta hitam yang tajam, nama-nama mereka terpatri dengan jelas di bagian bawah perjanjian itu, menandakan kesediaan dan komitmen mereka terhadap poin-poin yang harus disepakati keduanya.
"Tenang saja, saya akan menjaga poin-poin ini dengan baik," ucap Ashela yang lalu ikut bertanda tangan di bagian bawah, walaupun berat, tapi mau tidak mau ia harus merelakannya demi keberlangsungan hidup dirinya di masa mendatang.
"Ada lagi?" tanya Bastian yang lalu membuat Ashela mendongak dan menatap ke arah suaminya.
"Maksud nya?" Ashela tampak tidak mengerti, harusnya ia yang menanyakan hal yang barusan Bastian utarakan, bukan? Tapi kenapa malah Bastian yang balik bertanya?
"Jika ada hal yang ingin kau tambahkan, tulis saja di lembar itu." Bastian melirik ke arah Leo, Leo dengan tanggapnya menyediakan pulpen yang lebih jelas untuk digunakan Ashela.
Apa lagi yang harus ditambahkan? Toh, aku juga tidak menyangka pria ini sampai membuat perjanjian seperti ini.
Ashela menghela nafas panjang. Lagi-lagi, Bastian membuat dirinya bingung. Biasanya, yang tidak bisa ditebak itu wanita, tapi sekarang ia malah mendapati fakta bahwa suaminya memiliki kemampuan yang jauh dari perkiraannya.
Ohh... Suatu ingatan yang terlintas beberapa saat dalam benak Ashela, memberikan secuil ide yang membuatnya mengulas senyum di wajah manisnya itu.
Ashela menulis beberapa kata diatas kertas perjanjian, membacanya ulang untuk memastikan, dan dengan segera menyerahkannya pada Bastian.
"Pihak pertama maupun pihak kedua harus berjanji untuk tidak membawa pasangan ke dalam Mansion?" Bastian mengernyitkan dahinya setelah membaca poin yang Ashela tuliskan.
"Kamu punya seorang kekasih?" Bastian mendongak heran, entah kenapa setelah Ashela memerhatikan wajahnya, tampak wajah Bastian yang seakan menatapnya tidak suka.
"Tidak." tegas Ashela.
Justru aku buat poin ini untukmu, tahu! Setelah mendengar gosip yang beredar, bisa saja kau benar-benar punya kekasih pria, aku tidak mau mata suci ku ini ternodai, apalagi hubungan antara dua pria.. batin Ashela kesal.
"Lalu, untuk apa kau menulis ini?" tanya Bastian.
"Untuk anda." tegas Ashela penuh penekanan.
Bastian mengarahkan jari telunjuk nya pada dirinya sendiri. "Untukku?"
Ashela mengangguk, "Saya kurang bisa melihat adegan tak senonoh langsung di depan mata, jadi.. Kalau anda memang ingin berkencan dengan kekasih anda, tolong jangan di dalam Mansion, karena bagaimana pun sekarang saya juga sudah menetap di dalam sini," jelas Ashela ragu.
"Pfuttt.."
"Seorang pria yang anti romantis seperti Tuan Bastian, punya kekasih?" Leo tak bisa menahan tawanya begitu mendengar penjelasan Ashela. Sementara Ashela memasang wajah bingung begitu melihat reaksi Leo. Apa yang dikatakannya tidak salah tuh, mengapa Leo menganggap nya sebagai candaan?
Ashela mengernyitkan dahi, "Bukannya.."
"Jangan bilang, Nyonya berpikir bahwa Tuan mempunyai kekasih, dan..." Leo memotong kalimatnya, melihat Bastian sekilas lalu berbisik, "Jangan-jangan Nyonya berpikir juga bahwa Tuan adalah seorang gay?"
Leo tersenyum tipis setelah mengucapkan beberapa kata pada Ashela, lalu dengan pertanyaan Leo barusan, Ashela menyetujui nya dengan anggukan.
"Puftt.. Buahhahaha..." Leo akhirnya mengeluarkan gelak tawanya yang sudah ia tahan sedari tadi, apalagi dengan jawaban Ashela barusan, benar-benar membuat perutnya seperti di kelilingi kupu-kupu.
"Sepertinya aku harus mencari sekertaris dan asisten baru," dengan suara dingin dan tatapan menikam, Bastian mengancam Leo yang bersikap kurang ajar padanya. Ah,.. Jika saja Bastian tahu apa yang dipikirkan kedua manusia di hadapannya ini, apa dia tidak ikut tertawa? Begitu pikir Leo.
"Tu.. Tuan.. Saya tidak bermaksud... " Leo menutup mulutnya rapat dengan kedua tangannya. "Tapi, pernyataan Nyonya Ashela benar-benar membuat saya tak tahan untuk tertawa,"
Bastian memijit pelipisnya sendiri, ia melirik pelan ke arah Ashela, tampaknya wanita itu juga terlihat sedikit bingung dengan ekspresi dua pria di dekatnya ini.
"Darimana kau tahu aku mempunyai seorang kekasih, hmm?" tanya Bastian menginginkan penjelasan.
"Jadi, mengenai gosip itu.." Ashela mencoba membuka suara di tengah kebingungan diantara mereka.
"Puftt... Tuan, saya benar-benar tidak bisa menahannya,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!