NovelToon NovelToon

CERAI YUK

SUAMI PEMARAHKU (PENGENALAN TOKOH)

PENGENALAN TOKOH KARAKTER NOVEL, VERSI AI

RADITYA GUNAWAN - Ass. MANAGER

KALISTA VIONITA - IRT (SMART WOMAN)

BIANCA AYU PRASTIKA - DESAINER

DEMIAN BAMBANG NUGRAHA - CEO EKSPEDISI

SINTYA DESWITA - SAHABAT KALISTA

KEVIN - DIREKTUR HOTEL

...****************...

Hai perkenalkan, namaku Kalista. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Aku sudah memiliki dua orang putri. Anak pertamaku sekarang berusia 7 tahun, namanya Kinan Arum Gunawan. Sementara adiknya yang masih berusia 1,5 tahun, bernama Kaila Arum Gunawan.

Aku menikah di usia yang bisa di bilang cukup muda. 20 tahun. Dengan seorang pria yang ku kenal melalui jalan ta'aruf, bukan pacaran.

Aku pikir, jodoh yang dijemput dengan jalan yang baik, maka akan baik juga hasilnya. Tapi ternyata aku salah. Sampai suatu hari.....aku memutuskan untuk mengakhiri pernikahanku dengan suamiku. Raditya Gunawan, nama laki-laki itu.

"Cerai yuk?" kata ku.

"Kamu yakin? " tanyanya.

...****************...

Aku tersentak dan membuka mata. Astaga, sudah jam setengah tujuh pagi. Ba'da sholat subuh, aku merebahkan tubuh di atas sajadah, tak ku sangka, aku justru ketiduran dan sekarang kesiangan. Mati aku, mas Radit pasti akan marah-marah. Dia tentu sudah bersiap hendak pergi ke kantor sekarang. Sementara aku, belum keluar dari dalam kamar. Celaka!

Tak berselang lama pikiran burukku itu melintas, aku sudah mendengar suaranya.

Panjang umur ini orang pikir ku.

"KALISTAAAAA...! KALISTAAA..! " mas Radit berteriak kencang.

"Iya mas, aku disini. Kenapa sih harus teriak-teriak? Anak-anak masih tidur. Kalau mereka bangun gimana?" kata ku.

"Kaos kaki ku nggak ada di lemari sepatu. Capek di cariin nggak ketemu. Liatin." perintahnya. Dia berbicara dengan raut wajah jutek. Raut wajah yang nyaris setiap hari dia tunjukkan padaku, istrinya.

Aku lalu pergi ke lemari sepatu dan melihat kaos kaki mas Radit. Tak lama, aku pun kembali menghampirinya.

"Inikan kaos kaki." aku menyodorkan sepasang kaos kaki pada mas Radit.

"Tadi kok nggak ada? Aneh! " gumamnya.

"Makanya kalau nyari itu jangan pakek emosi."

"Siapa yang emosi? Pagi-pagi uda ngajak ribut aja."

"Lah, kan mas duluan yang bicaranya dengan nada emosi. Kok jadi aku yang disalahin."

"Nggak usah cari ribut deh, pusing." cetusnya.

"Aku nggak cari ribut mas, mas duluan kan yang teriak-teriak. Aku ini nggak budeg lo mas. Aku masih bisa dengar."

"Kan kamu ada di dalam kamar, gimana aku nggak teriak coba? Lagian kamu tidur kayak kebo. Uda jam 6 lewat, masih aja di dalam kamar?" mas Radit tetap saja menyalahkan aku.

"Mas, mas kan tau aku ini ibu menyusui. Aku semalaman kadang nggak tidur loh mas. Emangnya mas, yang tidur pules atau enak-enakkan main game online sampai pagi."

"Kamu ya.... " Mas Raditya mengacungkan jari telunjuknya di depan wajahku.

"Sekali lagi kamu bicara seperti itu, habis kamu." mas Radit mengancam ku.

Aku kesal dan berlalu pergi ke dapur meninggalkannya. Kalau di lanjutkan, pasti akan semakin panjang.

Begitulah hari-hari yang aku lalui, bahkan sejak hari pertama pernikahan kami. Aku memang tak mengenal karakter suamiku secara utuh sebelum menikah dengannya. Tapi orang-orang terdekatnya dulu bilang, jika aku ini beruntung mendapatkan seorang mas Raditya Gunawan. Tapi yang aku rasakan sekarang, sangat jauh berbeda dari apa yang mereka katakan. Aku menderita.

"Aku pergi ya.." ucap mas Radit dengan nada setengah berteriak. Sebab dia di teras sedang aku ada di dapur.

"Ya...." jawabku juga setengah berteriak dan ditambah ekspresi wajah masih kecewa.

Entah kapan terakhir kalinya sebelum dia pergi bekerja, memberikan tangannya padaku untuk ku kecup, aku sudah lupa. Tiap kali aku memintanya, dia selalu punya alasan untuk menolak. Katanya...

"Emang wajib ya, pergi kerja tangan harus dicium istri dan suami kecup kening istri? Enggak kan?" katanya.

"Nggak wajib sih, tapi kan itu yang Rasul contohkan, dan itu juga dihitung ibadah oleh Allah." jelas ku.

"Ibadah tinggal sholat aja kok repot." ucapnya lagi.

Dan tiap kali kami berdebat pun, aku selalu kalah dan salah. Tak pernah dia mengakui kesalahannya. Egonya begitu tinggi. Bahkan mungkin di atas rata-rata ego manusia normal. 

Jadi istri memang serba salah. Kita diam, kita semakin di injak, namun saat melawan, nanti katanya durhaka pada suami. Tidak bisa masuk surga. Dilempar ke dalam jahanam. Bla.. Bla.. Bla..

Aku juga sering berpikir, apakah dia memang tak ada rasa cinta menikah denganku? Jika benar, lantas mengapa dia mau menikah denganku? Apa karena tak ada rotan akar pun jadi? Mengingat, dia bisa semudah itu menerimaku. Padahal saat itu, dia punya banyak teman wanita yang sudah lebih dulu dia kenal dan sudah lama. Kenapa mau dengan ku?

Jika berbicara umur, jarak usia kami memang lumayan jauh. Aku kala itu masih 20 tahun dan Mas Raditya sudah 30 tahun. Dia jauh lebih tua dariku, namun pemikirannya masih seperti anak kecil. Suka ngambek dan sensitif. Aku bahkan sering geleng-geleng kepala tiap melihat sikapnya yang sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat itu.

Bayangin, hanya karena hal sepele saja dia bisa jadi meledak-ledak. Marah dan emosian. Seperti waktu itu, saat aku lupa menurunkan lampu indikator rice cooker dan dia akan makan siang. Dia marah sampai melempar piring ke wastafel dapur. Aku sampai terkejut dan anak-anak juga ikut terkejut.

Hanya karena rice cooker yang lupa aku turunkan lampunya, sehingga beras tidak berubah menjadi nasi, dia sampai melempar piring dengan begitu kerasnya. Pecah berkeping-keping. Di depan aku dan anak-anakku.

Padahal nasi bisa dibeli, tapi hancurnya hati seorang istri dan traumanya anak-anak, bagaimana dia bisa mengganti?

...****************...

"Sudah selesai..." kataku pada Kinan.

"Bunda ngikatnya pintar. Rambut Kinan jadi cantik." Kinan tersenyum sumringah melihat kepang rambut ikalnya di cermin.

"Siapa dulu dong, Bunda... Sini cium dulu." pintaku pada putri sulung ku itu.

Seperti biasa, aku mengantar Kinan ke sekolah naik motor. Kinan duduk dibelakang sementara Kaila aku gendong kodok di depan. Jarak sekolahnya memang tidak jauh, namun jika berjalan kaki, aku takut Kinan akan kelelahan dan sulit menerima pelajaran di kelas nanti.

"Kak Kinan belajar yang rajin ya?" kataku saat kami sudah di depan sekolahnya.

"Iya Bunda. Dada Kaila..." Kinan berjalan masuk ke sekolah sambil melambaikan tangan. Aku juga melambaikan tanganku.

Aku lalu kembali ke rumah bersama Kaila. Namun tidak ku duga, ternyata Mas Radit juga sudah pulang. Aku melihat mobilnya ada di depan rumah. Kok bisa dia pulang secepat ini? Padahal baru saja dia pergi tadi. Tanyaku dalam hati.

Aku lalu mengetuk pintu rumah, namun Mas Radit tak membukanya. Aku lalu mengambil kunci cadangan dan membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, ku lihat mas Radit sedang bermain game online. Apa dia tidak mendengar tadi saat aku mengetuk pintu. Padahal aku mengetuknya berkali-kali. Dasar tidak pengertian.

"Kok pulang mas?" tanyaku sambil membuka gendongan Kaila.

"Pertanyaan apa itu, harusnya kamu senang suamimu ada di rumah." mas Radit sensi lagi.

"Ya aku seneng mas, tapi aku penasaran kenapa kamu pulang. Emang salah aku nanya gitu? "

"Ya salah lah. Harusnya kamu nanya aku uda sarapan atau belum. Istri yang baik kayak gitu." Nada suaranya mulai meninggi.

Aku menarik nafas dalam. Dalam hati cuma bisa beristighfar. Dimana sih letak salahnya pertanyaanku? Heran!

Aku lalu mengambilkannya nasi goreng.

"Nih mas, makan dulu... " Kataku sambil meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja makan.

"Hmmm..." jawabnya singkat sambil terus bermain game online. 

Kaila tiba-tiba mendekatiku dan merengek. Sepertinya dia haus.

"Cup... Cup... Kenapa nak? Mau nenen ya?" tanyaku pada Kaila sambil menggendongnya. Namun baru saja aku menggendong Kaila, tiba-tiba mas Radit bicara.

"Bawa kemari dong nasinya..." pintanya.

"Makan di meja aja mas, aku mau kasih Kaila ASI dulu." kata ku dengan posisiku sudah berada di depan pintu kamar.

"Hei!" tiba-tiba saja mas Radit menggebrak meja ruang tamu.

"Aku maunya makan di sini. Bukan di sana." teriaknya padaku.

Aku terkejut bukan main. Kaila juga ikut terkejut sampai dia tersentak dan menangis histeris. Ayah macam apa yang tega berlaku demikian di depan anaknya bisik hatiku.

Namun aku tidak mau ribut berkepanjangan. Aku mengambil nasi goreng itu dengan sebelah tangan, karena tangan satunya menggendong Kaila, dan ku letakkan di meja ruang tamu. Aku juga meletakkan air minum supaya dia tidak teriak-teriak lagi nanti. Capek.

"Nih mas... " Kataku sambil meliriknya.

"Ya..." jawabnya singkat. Bahkan tak ada kata terimakasih yang keluar dari mulutnya.

Terkadang aku merasa, aku ini lebih mirip pembantu mas Raditya ketimbang istrinya. Lihat saja, perlakuannya padaku persis seperti majikan memperlakukan pembantunya. Bahkan lebih buruk dari itu.

Entah sampai kapan kesabaranku ini bisa bertahan. Kalau tak ingat anak-anak, sudah dari dulu aku memilih pergi darinya. Hanya saja aku tidak mau anak-anakku tumbuh dengan keadaan orang tua mereka yang bercerai. Sebab aku sudah merasakan bagaimana rasanya melihat orangtuaku berpisah, saat aku masih dibangku SMA dulu.

Aku cuma bisa berdoa pada Allah, semoga mas Radit bisa berubah. Jika pun dia tak bisa berubah, aku minta Allah menebalkan rasa sabar ku dalam menghadapinya. Yah, setidaknya sampai Kinan dan Kaila besar.

DI SAYANG MERTUA

Sudah pukul 12 lewat, sebentar lagi Kinan akan pulang, tapi Kaila masih tertidur. Kalau aku titip Kaila pada mas Radit, pasti mas Radit punya banyak alasan. Terus kalau aku minta dia untuk menjemput Kinan, pun dia pasti punya banyak alasan. Yang capek lah, yang ngantuk lah, tidak enak badan lah. Intinya menolak.

Aku mengambil gendongan kodok. Mengangkat Kaila secara perlahan.

"Cup cup cup... Jangan nangis ya anak baik. Kita jemput kak Kinan ya. " Kaila merengek pelan, aku menepuk-nepuk pantatnya agar dia tertidur lagi.

Aku terus berjalan menuju pintu depan. Ku lihat mas Radit sudah tertidur pulas. Piring nasi goreng masih di atas meja. HP nya juga masih menyala. Aku pun berlalu tanpa pamit lagi padanya.

Saat aku membuka pintu,

"Kejutan.... "

"Mama, Papa....? Kapan sampai? "

Ternyata Mama mertua dan Papa mertuaku sudah ada di depan pintu rumahku. Aku bahagia sekali saat melihat mereka datang ke rumah kami. Bagaimana tidak, Mama dan Papa mertuaku bagaikan malaikat penolong bagiku di setiap aku merasa sedih atas sikap Mas Radit padaku. Jarang sekali ada Mama mertua yang berpihak pada menantu perempuannya, bukan? Tapi itu ada, mertuaku salah satunya.

"Mau kemana kamu bawa Kaila panas-panas begini? tanya Mama.

"Aku mau menjemput Kinan Ma." jawabku

"Kenapa tidak suruh Raditya saja? Dia kerja? " Papa menimpali. Papa tahu kalau aku tidak bisa menyetir mobil. Jadi ke mana-mana aku hanya naik sepeda motor.

Sebenarnya aku sangat ingin bisa mengemudikan mobil, tapi Mas Radit tidak pernah mau mengajariku. Katanya tidak penting aku bisa menyetir, toh mobil juga selalu dia bawa. Padahal, apa salahnya dia mengajariku.

"Enggak Pa, mas Radit ada di dalam. Masuk yuk Ma, Pa." ajak ku.

Mereka akhirnya masuk dan melihat Radit tengah tergolek di kursi tamu tertidur pulas.

"Ya Allah... Tiduuurrr aja kerjaannya. Radit... Radit... " Mama menepuk-nepuk pipi Mas Radit. Mas Radit seketika terbangun dan mengucek-ngucek matanya.

"Mama? Papa? Kapan sampai?" tpanyanya dengan mata belum terbuka sempurna.

"Baru aja. Eh, kamu pergi jemput Kinan sana. Kasian Kaila harus dibawa-bawa Kalista panas-panasan begini." perintah Papa.

"Oke oke. Radit cuci muka dulu ya?" mas Radit pun langsung bangun dan menuju kamar mandi.

Mama mertua ku pun langsung mengambil Kaila dari gendonganku. Beliau memang mama mertua paling pengertian.

"Sini sama Oma sayang. Bobok ya?" sesekali Mama menepuk-nepuk punggung Kaila secara perlahan.

"Kalista bikinin minum dulu ya Ma?" aku lalu pamit ke belakang untuk membuat teh hangat untuk Mama dan Papa.

Namun saat aku di dapur, mas Radit datang menghampiriku. Aku terkejut saat melihat dia tiba-tiba sudah ada di belakangku.

"Astaghfirullah... Mas bikin aku kaget." gumamku.

"Heh, sini!" mas Radit menarik tanganku dengan kasar, sampai mendekati pintu kamar mandi belakang.

"Ada apa sih mas?" tanya ku seraya menahan sakit.

"Kamu yang telpon Mama Papa ya?" tanyanya dengan tatapan mata penuh kemarahan. Aku menggelengkan kepala cepat.

"Ngaku kamu?" tanyanya lagi, tak percaya pada jawaban ku.

"Sumpah mas, aku nggak telepon Mama Papa. Sumpah!" kata ku dengan suara bergetar.

Kami berbicara setengah berbisik, takut Mama Papa mendengarkan percakapan kami. Kalau Mama Papa tahu bagaimana perlakukan Mas Raditya padaku, sudah pasti dia akan di marahi habis-habisan.

Mas Raditya melepaskan genggaman tangannya di lengan tanganku. Lalu berlalu pergi meninggalkan aku begitu saja. Aku menahan air mata agar tidak jatuh. Aku tidak mau Mama Papa tahu bagaimana sikap Mas Radit yang sesungguhnya.

Sebenarnya mereka tahu bagaimana sifat Mas Raditya, tapi aku selalu menutupinya. Aku selalu bercerita yang baik-baik tentang suamiku. Tidak hanya pada orangtuanya, tapi juga pada orangtuaku.

Karena aku teringat akan nasihat seorang ustad. Bahwa suami itu adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami. Maksudnya, suami istri itu harus bisa saling menutupi aib pasangannya masing-masing. Jadi aku rasa, selama Mas Radit tidak selingkuh dan tidak lalai dalam memberikan nafkah lahir dan batinnya, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menyimpan semuanya sendiri.

Tak lama dari aku termangu sendiri di dapur, Mas Radit dan Kinan sudah sampai di rumah.

"Oma...." putri sulung ku itu berlari masuk ke dalam rumah.

"Cucu Oma sudah pulang sekolah. Sini sama Oma." panggil mama.

Aku menghampiri mereka sambil membawakan teh hangat.

"Ayok diminum dulu teh nya." ajak ku pura-pura tidak terjadi apa-apa tadi.

Mama memperhatikanku dengan seksama. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan.

"Kamu sehat Lis?" tanya Mama yang membuat aku terkejut.

Saking terkejutnya mendengar pertanyaan Mama, teh yang ingin aku suguhkan untuk Papa, gelasnya jatuh dari cipirnya dan teh pun tumpah semua.

"Astaghfirullah...Maaf ya Pa? Maaf..." aku cepat-cepat mengambil tissu.

"Uda Lis, nggak apa-apa. Biar nanti Mama bersihkan. Ini, kamu taruh Kaila dikamar aja dulu gih. Disini panas. Kasian dia." pinta mama.

Aku lalu mengambil Kaila dari tangan Mama dan membawanya ke kamar. Di kamar, perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku senang mertuaku datang ke sini. Namun dilain sisi, aku juga takut. Takut kalau aku keceplosan menceritakan semua perilaku buruk mas Radit. Aku tidak mau membuat mereka ribut hanya karena pengaduanku. Dan mas Radit juga, mana mungkin dia mau mengampuniku. Jika dia tahu aku mengadu.

Huft... capek kan?

...****************...

"Tadi kamu nggak kerja? " tanya Papa saat kami sedang menyantap makan malam dimeja makan.

"Enggak Pa, tadi Radit kurang enak badan. Jadi izin pulang." jawab mas Radit.

Apa katanya? Tidak enak badan? Tadi dia menggebrak meja sekuat itu masa sih dia sakit? Orang sakit mana bisa bertingkah laku sekuat Hulk begitu, bisikku.

"Mas demam? " tanyaku sambil memegang dahinya. Dia melirik sadis padaku. Aku tahu apa yang dia katakan di dalam hatinya. Pasti dia bilang, apa-apaan sih kamu Kalista? 

"Cuma lesu dikit aja kok sayang." mas Radit melempar senyum padaku. Senyum kepalsuan. Aku pun membalas senyumnya, dan sama palsunya. Jadilah kami sama-sama palsu.

"Papa rencananya mau buka cabang di sini. Yah, kamu tahu kan usaha Papa di sana sudah berkembang pesat. Sekarang aja uda ada tiga cabang. Gimana menurut kamu Lis? "

Aku tersentak. Kenapa Papa bertanya padaku? Padahal aku ini menantunya dan yang anaknya adalah Mas Radit.

"Kok Papa tanya Kalista, tanya Mas Radit dong Pa. Kalista ini kan cuma ibu rumah tangga, mana cocok kalau bicarakan bisnis sama Kalista." aku merendah seraya tertawa pelan.

"Kamu ini ya, selalu aja merendah. Mama itu kenal kamu udah lama. Udah hampir 10 tahun. Kamu itu kan cerdas, mandiri. Kamu juga dulu selalu juara di sekolah. Piagam kamu aja di rumah Ibu mu itu, kalau di jadiin wallpaper, uda penuh satu ruangan." Mama memujiku berlebihan.

"Mama berlebihan. Itu kan dulu ma, sekarang aku cuma ibu rumah tangga. Aktifitas ku hanya sumur, dapur, kasur."

"Orang cerdas, mau di taruh di tengah hutan sekalipun, tetap aja cerdas Lis. Ibarat emas, mau dilempar ke dalam lumpur hitam sekalipun, tetap aja dia emas. Nggak akan berubah menjadi batu kan? " Papa juga menambahi.

Aku hanya tersenyum mendengar mertuaku memujiku. Yah, aku mungkin memang tidak beruntung dalam mendapatkan suami, tapi aku beruntung dalam mendapatkan mertua. Allah itu emang Maha Adil.

"Beruntung lo kamu Dit, bisa dapetin Kalista. Perempuan dengan segudang prestasi yang jadi incaran banyak laki-laki di luar sana. Baik-baik kamu perlakukan dia." Mama memberi warning pada Mas Radit.

"Loh, emangnya selama ini Radit nggak perlakukan Kalista dengan baik?" Mas Radit sedikit emosi.

"Ya nggak perlu marah Mas kalau nggak ada." aku menimpalinya.

Tiba-tiba aku merasakan sentuhan kaki Mas Radit di bawah meja. Sebuah kode agar aku segera diam. Aku pun  tidak melanjutkan lagi. Papa Mama hanya tersenyum melihat kami.

Maaf ya Ma, Pa, Kalista harus rahasiakan semuanya dari Mama dan Papa. Kalista nggak mau Mama dan Papa kepikiran lalu sakit. Biarlah, biar Kalista saja yang menanggung ini semua. Biar Kalista saja yang tahu bagaimana egois dan emosiannya Mas Raditya, Mama Papa tidak perlu tahu itu.

Kami pun lalu melanjutkan makan malam bersama...

ADA APA SIH?

Setelah makan malam, aku lantas pamit pada Mama untuk masuk ke kamar memberikan Asi pada Kaila yang sejak tadi sudah merengek-rengek. Mama pun menyuruh ku langsung  istirahat, katanya biar piring kotor Mama yang cuci. Ah, ibu mertuaku memang sangat pengertian.

Aku meletakkan Kaila di atas ranjang dan bersiap akan memberikannya Asi. Sementara Kinan masih di depan televisi dengan Papa mertuaku. Biasanya kalau sudah duduk dengan Opanya didepan TV, Kinan pasti tertidur.

Tiba-tiba aku mendengar suara pesan masuk di HP mas Radit yang dia taruh di atas bantal tidurnya. Layar HP itu menyala saat ada notifikasi yang muncul.

Aku melihat ke pintu, mas Radit tidak datang. Ku lirik layar HP nya. Ternyata ada whatsapp yang masuk. Aku jelas bisa membaca pesan whatsapp itu di layar utama tanpa perlu membukanya.

Bianca : mas kamu dimana?  tulis di pesan itu.

Awalnya aku biasa saja, tidak menaruh curiga sama sekali. Barang kali dia teman kantor mas Radit. Namun saat ku lirik jam di dinding kamar, sudah pukul 22:00. Nama pengirimnya Bianca. Ada perlu apa wanita itu malam-malam begini menanyakan dimana suamiku?

Tak lama ku dengar suara gagang pintu kamar dibuka. Mas Radit ternyata datang dan mengambil HP- nya.

"Kamu cek Hp mas ya? " Tanyanya dengan nada sinis.

" Enggak kok, ngapain aku ngecek HP mas? Aku juga punya HP kali " Jawabku seolah cuek.

Dia lalu pergi keluar kamar. Aku menarik nafas dalam. Untung saja tidak ketahuan. Gumamku.

Setelah Kaila tidur, aku lalu pergi ke dapur. Ku lihat Mama sedang mencuci piring.

"Ma... Ngapain sih? Uda biar Kalistan aja besok yang cuci. " Aku jadi tidak enak dengan Mama mertuaku.

"Uda nggak apa-apa, di sana juga kan Mama biasa cuci piring sendiri." Jawab Mama.

Mama mertuaku memang wanita yang mandiri, padahal Mama kaya raya. Di rumah Mama juga ada dua asisten rumah tangga. Namun  tiap kali kami main ke sana, aku selalu melihat Mama banyak melakukan pekerjaan rumah sendiri. Seperti memasak dan mencuci piring. Mbok Yem yang tinggal bersama Mama hanya bantu bersih-bersih saja.

"Ma... " Panggil ku lirih.

"Iya ada apa? " Jawabnya lembut.

"Mas Radit punya mantan  nggak? "

Tiba-tiba Mama menghentikan tangannya dari memegang piring kotor.

"Kenapa kamu tiba-tiba nanyak gitu? " Mama malah balik bertanya.

"Yah... Secara kan mama tau sendiri, Mas Radit itu orangnya kayak gimana, dia kaku, dingin, emosian. Ya kalista penasaran aja. Apa ada yang pernah menjadi cintanya mas Radit? " Jelasku

"Dulu sih ada. Tapi Mama uda lupa namanya. Uda lah, jangan bahas masa lalu. Nanti dia denger, dia marah lagi sama kamu. " Mama mengingatkanku.

"Lagi bahas apa? " Tiba-tiba mas Raditya sudah berdiri dibelakang kami. Aku tersentak. Astaga, kaget aku. Bisik hatiku.

"E, ini mas. Lagi bahas liburan sekolah Kinan nanti enaknya kemana ya? " Kataku bohong sambil nyengir. Mama mengerlingkan matanya padaku dan menahan tawa.

Mas Radit mengambil air minum di dispenser. Lalu berlalu begitu saja meninggalkan dapur tanpa menjawab pertanyaan ku. Dasar kulkas dua pintu.

Aku kembali menghadap ke wastafel. Lalu membantu Mama memindahkan piring-piring yang sudah bersih ke lemari.

"Ma... " Panggilku lagi.

"Apa lagi? " Jawab Mama.

"Kok dulu mas Radit mau ya nikah sama Kalista. Padahal, mas Radit belum kenal Kalista, ngeliat Kalista aja cuma sekali sebelum akad." Tanyaku penasaran.

" Kamu ini, anak sudah dua. Nikah juga uda mau satu windu, sekarang baru nanya masalah itu. Kalista, Kalista...sudah jangan bahas yang aneh-aneh lagi. Kamu mau Radit dengar, trus dia tersinggung dengan pertanyaanmu? Kalau dia mau menikah denganmu, artinya ya memang dia suka sama kamu. " Jelas Mama.

"Udah tidur sana. Liat Kaila, kali aja dia bangun." Mama lalu pergi meninggalkanku yang masih bersandar di meja wastafel.

Kalau dipikir-pikir sih, Mama benar. Mana mungkin mas Radit mau menikah denganku jika dia tidak menyukaiku. Ah, mungkin aku terlalu banyak nonton drama indosiar.

...****************...

Sudah tiga hari mertuaku di rumah kami. Sekarang mereka akan kembali ke rumah dikampung. Aku dan Mas Radit mengantar Mama dan Papa mertua sampai ke teras rumah. Mereka akan pulang hari ini. Aku sedih, karena setelah mereka pulang, aku pasti akan melihat gelagat arogan Mas Raditya lagi. Sebenarnya aku sudah terbiasa, mendengar teriakan dan umpatan-umpatannya, namun bagaimana dengan anak-anakku? Apakah mereka juga bisa memaklumi watak buruk ayah mereka?

"Nanti kalau uda sampai, Mama kabari Kalista ya.. " Kataku sambil menyalim tangan Mama dan Papa.

"Iya, kamu baik-baik ya disini. Jaga anak-anak." Pesan Mama. Mama lalu menoleh ke Mas Radit.

"Dit, baik-baik sama istrimu. Awas aja kalau sampai Mama dengar, kamu suka marah-marah lagi." Mama memberikan warning lagi pada Mas Radit. Seorang ibu tentu tahu persis bagaimana anaknya.

"Tenang aja Ma. Kami bakalan baik-baik aja kok." Mas Radit tiba-tiba merangkulku dari belakang sambil tersenyum sumringah yang ku tahu itu adalah sandiwaranya.

Dasar, tukang bohong! Aku pun melempar senyum pada Mama.

"Oh ya, masalah cabang usaha yang Papa bilang kemarin, nanti akan segera Papa urus. Pokoknya nanti, Kalista yang bantu Papa ya? " Kata Papa sambil menepuk lengan atasku.

Aku pun tersenyum. Aku tak menduga bisa mendapatkan mertua sebaik mereka, yang sangat jauh sekali gennya dengan anaknya. Apa mungkin suamiku ini anak adopsi? Gumam ku dalam hati.

Mas Radit memasukkan tas serta koper Mama dan Papa ke dalam bagasi mobil. Aku yang sedari tadi menggendong Kaila terus melambai-lambaikan tangan pada mereka.

"Oma pulang ya Kaila... Salam cium dan peluk untuk kak Kinan ya? " Teriak mama dari dalam mobil.

"Dada Opa...dada Oma... " Kataku saat mobil Mama dan Papa sudah bergerak keluar pagar rumah dan kemudian melaju pergi meninggalkan kami.

Mas Radit menutup pintu pagar. Aku masih bermain-main dengan Kaila di kursi teras. Mas Radit menghampiri kami. Aku memejamkan mata agak lama. Bersiap untuk mendengarkan omelannya.

"Jangan lagi mas dengar kamu nanya-nanya masalah mantan mas sama Mama. Mas nggak suka. Paham kamu? " Katanya dengan  nada tegas dan marah.

Ya Allah, tenyata mas Radit dengar pembicaraan aku dan Mama kemarin. Matilah aku. Aku bergegas bangkit dan memegang lengannya. Mas Radit menatap ku tajam.

"Maaf ya mas... " Kataku lirih. Namun mas Radit tak berkata sepatah kata pun. Dia melepaskan pegangan tanganku dan berlalu begitu saja.

Aku lagi-lagi hanya bisa menarik nafas dalam. Emang salah ya aku tanya perihal mantannya? Kan biasa, kalau kita sudah menikah, terus bercerita tentang masa lalu. Ketawa-ketiwi, lucu-lucuan. Tapi sepertinya mas Radit sangat sensitif saat aku kepo tentang mantannya. Ada apa sih mas? Tanyaku dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!