Aku terbangun tengah malam. Ku tengkurapkan tubuhku, ku tutup kepalaku dengan bantal, ku sumbat telingaku dengan kedua tanganku. Namun suara itu benar-benar...
"Sudah.. "
"Sebentar lagi..."
"Sakit.."
"Dikit lagi.."
"Besok aja lagi.."
"Sekarang aja.. nanggung.."
"Sakit..sakit banget.."
"Tahan bentar..nanti nggak sakit lagi..."
Oh astoge.. Telingaku benar-benar tercemar, ternoda, kena polisi udara, eh kena polusi udara. Aku anak gadis yang baru berusia lima belas tahun ini harus mendengar suara meresahkan dari kamar sepasang pengantin baru yang lagi.. Lagi unboxing...
"Sial!"
Hanya itulah yang bisa aku katakan.
Beginilah nasib kalau bersebelahan kamar dengan pengantin baru. Kamar yang hanya di sekat dinding papan setinggi dua setengah meter. Boro-boro kamar kedap suara. Bahkan kalau aku mau, aku bisa mengintip dari celah-celah papan. Untung saja otakku masih waras dan polos, jadi nggak ada niat sama sekali buat ngintip...wk..wk..wk..
Padahal nggak bisa tidur gara-gara suara meresahkan dari sepasang pengantin baru di kamar sebelah. Nasib..oh, nasib..
Meskipun usiaku baru 15 tahun dan sekarang duduk di kelas sembilan, tapi aku memahami ilmu biologi yang di ajarkan guru di sekolah. Aku tahu mereka sedang melakukan.. melakukan kegiatan berkembang biak untuk mendapatkan keturunan.wk..wk wk..aku pinter, 'kan? he..he..he..
Aisshh.. memalukan.
Pernikahan kakak sepupuku ini benar-benar memberikan kesan. Kesan yang sangat teramat mendalam dan.. tidak terlupakan. He..he...he..
Bagaimana aku bisa lupa?
Kemarin kakak sepupuku yang bernama Seruni menikah. Hari yang paling bersejarah bagi Kak Seruni dan juga bagi aku. Kok, bisa?
Ya bisa. Saat hari pernikahan Kak Seruni, sehari semalam rumah penuh oleh saudara, para tamu undangan dan juga orang-orang yang mengurus pernikahan.
Allahhu Akbar..penguasa alam semesta pengendali bumi, neraka, surgaaa...malam sudah semakin larut, tapi aku masih mendengar suara musik yang di putar keras dan juga suara orang-orang yang mengobrol dan juga tertawa bersama.
Hufff...sabarkan, kuatkan dan tabahkan hati hamba-Mu ini, Ya Allah.. Aku nggak bisa belajar sama sekali. Walaupun aku mencoba belajar, tetep nggak bisa masuk otakku yang IQ-nya standar. Padahal besok aku ujian akhir sekolah. Jangankan belajar, tidur pun nggak bisa karena suara musik dan juga orang-orang yang mengobrol dan tertawa.
Entah gimana ujian akhir sekolah ku esok hari. Musik baru berhenti dan orang-orang sudah tidak mengobrol lagi saat waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi.
"In..in..bangun! Mau sekolah, enggak?" panggil nenekku yang membuat aku mau tak mau bangun. Padahal baru satu jam aku terlelap, namun harus bangun lagi, karena sudah harus bersiap berangkat sekolah.
"Sarapan dulu sana!" ucap nenekku setelah aku selesai mandi dan memakai seragam lengkap.
Usai sarapan, aku langsung berangkat sekolah. Jangan tanya bagaimana kondisiku, kepalaku pusing karena kurang tidur.
Ku goes sepeda jadul yang merupakan alat transportasiku satu-satunya.
Jangan tanya bagaimana kondisi sepedaku. Sepeda yang umurnya sudah tujuh tahun dan setiap hari dipakai. Penampakannya sudah... Ah nggak usah di jelaskan. Yang pasti sudah sangat bersyukur pakai banget karena sepeda ini masih enak di kendarai dan remnya masih pakem.
Mengingat aku juga melewati jalan raya besar yang ramai oleh kendaraan kecil maupun besar, rem ku memang harus pakem.
Meskipun aku was-was kalau ban sepedaku yang sedang hamil besar ini melahirkan di tengah jalan. Ban bisa hamil ? He..he..he..
Ceritanya ban sepedaku sudah sangat teramat tipis sampai ban dalamnya kelihatan. Miris. Tapi juga nggak bakal berubah meskipun aku menangis.
Banku sudah melendung dan setiap saat bisa meledak karena ban luarnya lebih mulus dari wajahku yang sering.. eh bukan sering, tapi selalu di cumbu.. tunggu! Pikiran jangan ngeres, ya! Bukan di cumbu laki-laki, tapi di cumbu matahari he..he.. he.. karena pulang pergi sekolah naik sepeda dan hampir tiap hari pergi ke sawah.
Meskipun begitu, harus tetap bersyukur bukan? Karena masih ada orang di luar sana yang keadaannya lebih menyedihkan dariku.
Sampai di sekolah masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi dan aku gunakan untuk belajar di depan teras kelas.
Bel berbunyi dan aku duduk di bangkuku sesuai nomor absen ku. Jam pertama adalah soal agama.
Satu soal..dua soal..tiga soal.. hingga soal yang ke lima belas, mataku semakin lama semakin berat. Tulisan di soal ujian semakin lama semakin terlihat buram.
Oh, astagaa..aku benar-benar super super duper mengantuk. Suasana hening di kelas karena semua siswa fokus mengerjakan soal ujian mereka masing-masing semakin mendukung rasa kantukku.
Alhasil aku kesulitan mengerjakan soal ujian karena mengantuk. Setengah jam saat lembar jawaban akan dikumpulkan aku baru bisa konsentrasi mengerjakan soal ujian setelah sempat tertidur.
Tertidur? Yap, benar. Aku sempat tertidur dan sepertinya pengawas ujian tidak menyadari. Tertidur saat mengerjakan soal ujian kenaikan kelas. wk..wk.wk..benar-benar kejadian yang sangat teramat membagongkan dan tidak terlupakan bukan? Tapi memang inilah kenyataannya.
Itulah kejadian kemarin dan tadi pagi. Dan sekarang... di kamar sebelah...
Huff... aku hanya bisa berharap besok tidak ketiduran lagi di kelas saat mengerjakan soal ujian, karena malam ini sepertinya aku akan kesulitan tidur seperti kemarin malam, sebab di kamar sebelah...ah, sudahlah..
Oh, ya, biar aku kenalkan dulu siapa aku. Namaku Indah Pratiwi. Tapi..aku tak tahu apakah perjalanan hidup ku akan seindah namaku. Akan aku ceritakan kisah hidupku dari awal. Kisah hidup yang rasanya sudah seperti nano nano, manis, asem, asin, rame rasanya he.he.. permen kali..
Aku anak ke tiga dari lima bersaudara. Sejak kecil aku sudah dipisahkan dari kedua orang tua ku. Aku bahkan tidak ingat bagaimana wajah kedua orang tua ku dan juga wajah saudara-saudara ku.
Lalu, kenapa aku dipisahkan dengan kedua orang tua ku?
"Hari lahir kamu sama dengan hari lahir bapak mu. Kalau kamu tinggal satu rumah dengan bapakmu, nanti bapak kamu umurnya akan menjadi pendek. Cepet mati," itulah kata nenekku yang masih percaya dengan mitos.
Darimana rumusnya? Alasan yang konyol bukan? Benar-benar diluar Nurul dan tidak masuk Haikal. Huff..
Alasan kedua kenapa aku dipisahkan dari orang tuaku adalah..
"Nanti kalau nenek kangen sama ibu kamu gimana? Kalau kamu tinggal sama nenek dan paman kamu, nenek bisa mengobati rindu nenek pada ibumu dengan melihat kamu," ini alasan nenek yang nomor dua.
Kalau alasan yang ini agak masuk akal, karena nyatanya wajahku memang mirip ibuku. Cuma kalau kulit ibu hitam manis, kalau aku putih kayak bapak.
Lalu apa alasan nomor tiganya?
"Pamanmu sudah menikah selama sepuluh tahun, tapi belum punya anak juga. Kamu mau nenek jadikan pancingan supaya pamanmu bisa cepat punya anak,"
Pancingan? Astogee.. emangnya aku ini pelet ikan apa? Duh..aku manusia, tapi di jadikan pancingan. Gini amat ya, hidup ku? Amat aja nggak gini.
Aku tinggal di pulau Jawa, sedangkan kedua orang tuaku serta kakak dan adik-adik ku tinggal di Bengkulu. Orang tuaku mengadu nasib di sana sebagai transmigran, mengikuti program pemerintah untuk pemerataan penduduk. Orang tuaku ikut transmigrasi dengan harapan agar bisa hidup lebih baik.
Kalian tahu, 'kan, apa itu transmigrasi? Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Beda dengan arti transmigrasi dalam novel yang artinya adalah perpindahan tubuh, atau juga roh / jiwa, si MC (main character) atau pemeran utama ke dunia lain. Perpindahan yang ada tidak melibatkan proses terlahirnya kembali si MC. Namun roh atau juga tubuhnya mengalami pembaruan di dunia baru.
Misalnya tidak sengaja rohnya memasuki tubuh orang lain di isekai. Tiba-tiba bangun di tengah hutan dengan tubuh yang kembali jadi muda. Dan seterusnya..
Okey, balik lagi ke topik utama. Ibuku adalah bungsu dari empat bersaudara. Nenekku adalah petani dan pedagang kecil-kecilan.
Sedangkan bapakku adalah anak ke tiga dari dua belas bersaudara. Yap, benar sekali, dua belas bersaudara, kalian tidak salah baca.
Paman Supri yang belum memiliki keturunan ini adalah kakak ibuku yang nomor tiga. Paman Supri dan Bik Samiah tinggal di rumah sebelah yang satu dinding dengan rumah nenek. Aku tinggal bersama nenek dan kakak sepupu ku, Kak Seruni.
Kak Seruni adalah anak kedua dari istri kedua paman dari pihak ibu yang nomor satu. Btw, pamanku yang nomor satu ini punya tiga orang istri dan tiga orang anak. Setiap istrinya memiliki satu anak. Istri pertama cerai karena tidak mau ikut pamanku setelah menikah. Istri ke dua meninggal setelah melahirkan Kak Seruni dan istri ke tiga sepertinya akan menjadi istri terakhirnya. Karena itulah Kak Seruni di urus oleh nenekku.
...🌟...
...Banyak hal tak terduga dalam kehidupan nyata yang merupakan realita. ...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Horee..
Bel tanda pulang sekolah akhirnya berbunyi juga. Semua siswa pasti senang, 'kan, saat bel tanda pulang berbunyi? Apalagi kalau pas pelajaran yang tidak kita sukai, atau yang mengajar guru yang tidak kita sukai. Pasti seneng pakai banget, 'kan? Termasuk aku. He..he..he..
Aku membereskan semua peralatan sekolahku. Aku tak langsung pulang. Aku memilih menyapu kelas karena besok adalah jadwal piket kelasku.
Aku memang selalu piket saat pulang sekolah. Kenapa? Pertama, agar besok pagi aku tidak perlu berangkat lebih awal. Kedua, saat pagi hari susah sekali mencari penyapu. Saat pagi hari, penyapu sudah seperti orang penting. Harus antri hanya untuk menunggu si penyapu selesai di gunakan.
Menunggu siswa lain menyapu sampai kelar? Hah, yang ada aku malah akan terlambat menyelesaikan piket kelas dan ujung-ujungnya dapat hukuman dari guru karena tidak menyelesaikan piket tepat waktu.
Meskipun setiap kelas memiliki penyapu masing-masing, bahkan di tulis nama kelas di gagang penyapu, namun entah mengapa setiap pagi si penyapu selalu lenyap, raib, menghilang tanpa jejak dari kelas.
Penyapunya udah kayak punya kaki, hingga bisa jalan-jalan ke kelas lain. Karena itulah aku memilih piket setelah pulang sekolah agar besok pagi tidak kalang kabut mencari penyapu.
Masih ada siswa yang belum pulang karena mengikuti ekskul. Jadi aku nggak khawatir bakal di kunci di sekolah karena pulang terlambat.
Usai piket kelas, aku pun bergegas pulang mengayuh sepeda butut ku. Matahari terasa sangat terik, cuaca terasa sangat panas dan aspal pun ikut panas. Untungnya hatiku nggak ikut panas he..he..he..
"Dor"
Oh, astaga..ini bukan suara balon meletus, apalagi suara tembakan, tapi.. suara ini adalah suara ban sepeda ku yang melahirkan, eh, salah, bukan melahirkan, tapi meledak karena ban ku yang sudah tipis dan melendung tidak kuat terkena aspal yang panas di siang bolong yang terik ini.
Nasib..nasib..
Sekarang.. bagaimana aku harus pulang? Sedangkan aku berada di tengah jalan yang jauh dari pemukiman penduduk dan sepi dari lalu lalang kendaraan. Karena saat ini aku melewati aspal di tengah persawahan. Teman -temanku sudah pada pulang semua karena aku tadi pulang belakangan sebab aku masih piket kelas tadi.
Huff..
Dengan memakai sepatu yang sudah kekecilan yang sakit saat di pakai berjalan, aku terpaksa menuntun sepedaku pulang di tengah teriknya sinar matahari dalam kondisi haus, lapar dan lelah. Ya, Allah..gini amat, ya, nasibku? Amat aja nggak gini.
Tapi aku tidak boleh mengeluh dan harus semangat empat lima seperti para pahlawan kemerdekaan yang berjuang mempertaruhkan nyawa mempertahankan ibu Pertiwi tercinta dari para penjajah meskipun hanya modal semangat membela bangsa dan negara serta bersenjatakan bambu runcing saja.
Sebenarnya kakiku terasa pegal dan sakit karena harus berjalan menggunakan sepatu yang kekecilan. Simalakama emang. Di lepas kakiku nggak kuat nahan panasnya aspal. Jalan di pinggir aspal pun penuh batu kerikil yang bakal sakit kalau diinjak dengan kaki telanjang, pakai sepatu pun harus menahan rasa sakit. Hanya satu kata yang bisa aku ucapkan..
"Nasib".
Huff...
Jalan yang aku lewati nggak lurus dan nggak sama. Ada yang melewati perumahan, ada yang melewati persawahan luas, ada pula jalan raya besar yang tak pernah sepi dari lalu lalang kendaraan.
Setelah hampir satu jam menempuh perjalanan dengan berjalan kaki sambil menuntun sepeda, akhirnya aku sampai juga di rumah.
"Alhamdulillah.." ucapku merasa lega.
Aku duduk selonjor meluruskan kakiku yang terasa pegal. Aku sudah berjalan di bawah terik matahari dan polisi, eh polusi udara serta suara akibat kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya yang tiada henti dan tak pernah sepi.
Aku tahu, tidak baik menekuk kaki setelah berolahraga. Ada tekanan karena jumlah darah cukup banyak di area kaki. Agar tidak mengalami varises, disarankan untuk tidak menekuk kaki sesaat setelah berolahraga. Selain itu, istirahatkan kaki jika sudah terlalu lama berolahraga. Jadi dianjurkan kalau setelah olahraga itu kakinya diluruskan.
Meskipun menekuk kaki setelah berolahraga termasuk olahraga lari tidaklah mutlak dapat menyebabkan varises, namun juga tidak disarankan untuk dilakukan karena dapat menyebabkan otot kaki menjadi kram dan kaku.
Tahu, 'kan, apa itu varises?
Varises adalah gangguan pada pembuluh darah vena yang membesar, bengkak, dan terpuntir yang sering tampak berwarna biru atau ungu tua, karena kelemahan pada dinding pembuluh darah tersebut. Kondisi ini terjadi ketika katup di pembuluh darah tidak bekerja dengan baik, dan darah tidak mengalir secara efektif.
Varises biasanya tidak membahayakan nyawa, namun dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang karena menganggu penampilan.
Namun, jika terjadi pembengkakan, nyeri, pecah, hingga memicu ketidaknyamanan dan rasa sakit ketika berjalan karena sudah berkembang menjadi borok, maka dapat diatasi dengan pengobatan.
Aku memang tidak berolahraga, tapi berjalan selama hampir satu jam sambil menuntun sepeda, bukankah sama saja seperti berolahraga? Ya, walaupun olahraga karena terpaksa he..he..he..
Kenapa aku tidak menambal banku di bengkel terdekat? Helo...banku meledak yang artinya harus ganti ban luar dalam. Aku nggak punya uang untuk mengganti ban. Jangankan mengganti ban luar dalam, untuk menambal ban saja aku nggak punya uang.
Nggak punya uang? Yap. Sebelum berangkat sekolah aku selalu sarapan, walaupun harus sarapan pakai kerupuk doang. Karena aku nggak pernah di kasih uang jajan serupiah pun. Yap. Serupiah pun tidak. Bukan karena nenekku pelit, tapi karena kondisi perekonomian kami yang sulit.
"Indah, cepetan ganti baju sana! Kita mau merumput padi," ucap Bik Samiah padaku.
"Iya," sahutku segera beranjak dari dudukku.
Huff.. belum hilang rasa lelahku, tapi sudah di suruh bantu merumput padi di sawah. Aku bergegas mengganti pakaianku, mencuci tangan dan kakiku, lalu makan siang.
Tumis tempe dan kacang panjang. Itulah laukku siang ini. Mungkin makanan sederhana bagi orang lain, tapi makanan istimewa bagiku. Sebab aku lebih sering makan pakai kerupuk dan sambal korek karena nenek tidak punya uang lebih untuk membeli lauk.
Sambal korek? Pasti ada yang nggak tahu apa itu sambal korek. Sambal korek di buat dengan bahan dasar cabai, sedikit bawang putih, garam, lalu di siram sama minyak panas. Itulah yang namanya sambal korek.
Meskipun aku di adopsi Paman Supri, tapi aku tetap tinggal, makan dan minum di rumah nenek. Hanya saat membantu Paman di sawah, aku baru berani makan di rumah Paman.
Kenapa? Ceritanya panjang kayak jalan tol, berliku-liku dan berkelok-kelok kayak jalanan di pegunungan, rumit kayak rumus kimia.
Huff...
Awalnya aku bahagia meski tidak tinggal bersama kedua orang tuaku, karena Paman Supri dan Bik Mina, istri pertama Paman Supri sangat menyayangi aku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tua kandung ku.
Meskipun aku diakui sebagai anak mereka, bahkan nama orang tua dalam akte kelahiran ku adalah nama mereka, tapi aku merasa lebih nyaman tinggal bersama nenek dan Kak Seruni.
Kebahagiaan ku tidak berlangsung lama. Waktu itu aku masih kelas dua SD, saat tiba-tiba Bik Mina kabur dari rumah dan tidak pernah kembali. Aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan Bik Mina kabur dari rumah.
Saat aku kelas lima SD, Paman Supri menikah dengan seorang gadis bernama Samiah yang dijodohkan oleh pamanku yang nomor satu, yang bernama Paman Kasman. Dari sinilah awal mula ceritaku yang sebenarnya di mulai.
"Orang mau buat beli pupuk malah di buat beli baju. Kalau mau menggunakan uang itu ngomong dulu sama aku," teriak Bik Samiah yang marah-marah karena Paman Supri membelikan aku satu stel baju.
Karena masalah baju satu stel ini Bik Samiah kabur ke rumah orang tuanya. Judulnya lagi ngambek gitu, deh.
...🌟...
...Tetaplah bersyukur dengan apa yang kita miliki, karena banyak orang di luar sana yang tidak seberuntung kita saat ini....
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Sejak Bik Samiah marah-marah karena Paman Supri membelikan aku baju, Paman Supri nggak pernah lagi beliin aku baju. Orang tua kandungku sendiri juga cuma sekali mengirim baju buat aku. Aku maklum, karena keadaan mereka di Bengkulu juga pas-pasan.
Aku tidak pernah menyangka kalau Paman Supri dan Bik Mina akhirnya bercerai. Padahal aku sudah menganggap mereka seperti orang tua kandung ku sendiri.
Waktu itu aku masih kelas dua SD, saat tiba-tiba Bik Mina kabur dari rumah dan tidak pernah kembali. Aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan Bik Mina kabur dari rumah.
Saat aku kelas lima SD, Paman Supri menikah dengan Bik Samiah yang dijodohkan oleh pamanku yang nomor satu, Paman Kasman.
Awalnya Bik Samiah baik sama aku dan aku pun positif thinking dia bakalan baik kayak Bik Mina. Tapi.. nyatanya reality tidak sesuai dan tidak seindah ekspektasi. Sifat Bik Samiah di luar dugaan ku dan diluar prediksiku, apalagi ekspektasi ku.
Semenjak dia menikah dengan Paman Supri, aku merasa seperti memiliki ibu tiri. Mirip kayak cerita yang aku tonton di televisi.
Bahkan semenjak menikah dengan Bik Samiah, aku merasa Paman Supri semakin jauh dariku. Meskipun dari gesture tubuh dan dari tatapan matanya aku masih merasakan kasih sayang yang terpancar darinya, tapi dia seperti enggan untuk mendekati aku.
Ah, haruskah aku menyesal karena sudah dipisahkan dari kedua orang tua ku dengan alasan ingin dijadikan sebagai pancingan agar pamanku bisa memiliki keturunan?
*
Hari ini sepedaku belum di perbaiki. Aku terpaksa harus mencegat temanku untuk pergi ke sekolah.
"Murni, nebeng, ya?" pintaku penuh harap saat Murni melintas.
"Boleh" sahut Murni membuat aku senang. Sebab nggak semua orang mau ditebengi. Alasannya bannya kurang angin, jadi kalau buat boncengan bakal berat saat mengayuhnya.
Karena nebeng, nggak mungkin, 'kan, aku minta di bonceng? Masalahnya ini sepeda, bukan motor. Jadi aku lah yang membonceng.
Perjalanan dari rumah ke sekolah sekitar tiga puluh menit jika di tempuh dengan sepeda. Pas berangkat sih, bensin masih full, tapi saat pulang...
Dalam kondisi perut kerongkongan, haus, dan panas harus membonceng orang lain. Belum pas ada kendaraan besar seperti bus dan truk. Kalau pas searah dengan kendaraan besar, rasanya sepedaku ikut tertarik maju, tapi kalau kendaraan besar itu berlawanan arah.. ya pastinya akan semakin berat untuk mengayuh sepeda. Belum lagi saat melewati jembatan. Duh.. bersepeda sendiri aja harus ekstra tenaga untuk melewati jembatan yang setinggi harapan, apalagi berboncengan.
Beginilah nasib orang tak punya. Aku harus menunggu nenek punya uang untuk membeli ban yang baru. Entah sampai kapan harus nebeng pulang pergi sekolah.
*
Matahari sudah hampir kembali ke peraduannya saat aku tiba di rumah setelah merumput di sawah. Suara azan magrib pun terdengar saat aku keluar dari kamar mandi. Aku menimba air menggunakan kerekan katrol.
Kerekan katrol untuk menimba air? Yap. Kami tidak punya cukup uang untuk membeli pompa air, jadi masih mengambil air dengan metode lama, yaitu secara manual. Cara manual yang lumayan bikin tangan kapalan. He..he..he..
Aku menuang air dari dalam timba ke dalam padasan. Padasan? Apa itu padasan?
Biar aku jelaskan. Sejatinya jauh sebelum menjadi imbauan pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19, kebiasaan mencuci tangan itu telah dilakukan masyarakat Jawa di zaman dahulu.
Masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal yang bernama padasan yakni sebuah gentong besar dari tanah liat yang di dalamnya berisi air untuk membasuh anggota tubuh seperti tangan, kaki, dan wajah sebelum masuk rumah.
Pada zaman dahulu, benda bulat tersebut biasanya diletakkan di bagian depan rumah. Tak hanya digunakan untuk mencuci, padasan yang menjadi tempat air itu juga bisa digunakan untuk bersuci atau wudhu bagi mereka yang beragama Islam sebelum menjalankan ibadah sholat.
Aku mengambil air wudhu, lalu melaksanakan sholat Maghrib. Usai sholat aku makan, lalu belajar untuk menghadapi ujian esok hari. Aku memang rutin belajar setiap malam. Habis makan malam sekitar pukul setengah tujuh sampai pukul delapan malam. Baik mengulangi pelajaran yang telah diajarkan di sekolah tadi ataupun mengerjakan PR. Usai belajar aku merefresh otakku dengan menonton televisi.
"Assalamualaikum..." ucap Kak Seruni dan suaminya saat aku sedang menonton televisi.
"Wa'alaikumsalam," sahut ku dan nenek bersamaan.
Ternyata mereka dari rumah Paman Kasman, ayah Kak Seruni. Duh, aku jadi ingat kejadian dua malam yang lalu. Kemarin malam mereka tidak menginap di sini, karena menginap di rumah Paman Kasman. Aku harap malam ini tidak ada suara-suara meresahkan lagi. Hanya bisa berharap..
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Aku masuk ke dalam kamar, sedangkan nenek, Kak Seruni dan Kak Fauzan masih nonton televisi.
Aku rebahkan tubuhku yang terasa penat setelah aktivitas seharian penuh. Di dipan reot dengan kasur usang tipis yang terbuat dari kapuk yang berasal dari belakang rumah ini, aku rebahkan tubuhku. Karena lelah badan dan lelah pikiran, tak lama setelah menempel di bantal aku pun terlelap.
Aku bermimpi berdiri di tengah pematang sawah dengan hamparan padi yang menghijau memanjakan mata. Angin bertiup lumayan kencang menimbulkan suara gemerisik. Sayup-sayup aku seperti mendengar suara dari arah belakang tempatku berdiri...
"Hah..hah.."
"Tunggu aku.."
"Hah..hah.."
"A..aku sudah mau sampai..."
"Hah..hah.."
"Tunggu sebentar lagi...ki..kita barengan.."
Aku mempertajam pendengaranku mendengar suara pria dan wanita yang rasanya aku kenal.
"Siapa yang main kejar-kejaran? Kenapa aku tidak mendengar suara langkah kaki mereka?" gumamku melihat ke arah sekelilingku, tapi tidak melihat siapapun di sekelilingku. Sepanjang mata memandang hanya ada hamparan padi yang menghijau menyejukkan mata. Sebenarnya suara-suara ini real or fake?
Untuk mengetahui ini real or fake, aku memejamkan mataku untuk mempertajam pendengaranku.
"Hah..hah.."
"Sebentar lagi...hah.."
"Aku sudah nggak kuat..."
Siapa sebenarnya yang lagi main kejar-kejaran? Suara itu masih terdengar dan aku masih berusaha menajamkan pendengaranku. Hingga saat suara itu terdengar semakin jelas, akhirnya aku membuka mataku.
Ya Allah, Ya Tuhanku...demi apapun. Aku sangat terkejut saat aku membuka mata. Pasalnya aku sedang berada di dalam kamarku. Ternyata apa yang aku alami tadi setengah mimpi setengah nyata. Suara gemerisik angin berasal dari luar rumahku. Dan...suara orang yang aku kira sedang main kejar-kejaran adalah...
"Astaghfirullahal adzim.." gumamku lirih.
Ini..ini suara dari kamar sebelah. Suara Kak Seruni dan Kak Fauzan. Mereka bukan sedang main kejar-kejaran, tapi... Ah, sudahlah! Tidak perlu dijelaskan.
Hufff..di malam yang dingin ini aku tutup seluruh tubuhku dengan selimut yang hanya berupa kain panjang yang disebut jarik oleh orang Jawa. Meskipun aku masih merasa kedinginan dengan berselimut jarik yang tentu tidak setebal dan sehangat selimut bulu, tapi masih mending daripada tidak memakai apa-apa bukan? Aku tutup kepalaku dengan bantal seperti dua hari yang lalu. Tapi sama seperti kemarin,.suara itu masih tetap terdengar.
Nasib.. nasib...gini amat, ya?
Setelah suara dari kamar sebelah tidak terdengar lagi, aku belum juga bisa tidur karena merasa kedinginan. Kasur tipis yang lebarnya satu meter dan kain panjang yang aku gunakan untuk menutupi seluruh tubuhku ini tidak bisa menghangatkan dan melindungi tubuhku dari dinginnya udara. Jujur, aku kesulitan tidur kalau udaranya dingin.
Hufff.. akhirnya malam berlalu juga.
Pagi menyapa dan aku memulai aktivitasku seperti biasa. Nggak bisa tidur nyenyak semalam membuat aku tidak berhenti menguap. Semoga saja hari ini aku nggak ketiduran saat mengerjakan soal ujian seperti dua hari yang lalu. Hanya bisa berharap dan berdoa semoga semuanya berjalan seperti yang aku inginkan.
...🌟...
...Lihatlah ke atas untuk memotivasi diri. Lihatlah ke bawah agar pandai bersyukur dengan apa yang Tuhan beri....
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!