Elena Adira Syafeera, atau kerap disapa Lena. Nasib malang menimpanya, sang ayah yang sungguh tega menjualnya pada seorang pengusaha kaya. Dengan nilai 1 milyar dan Elena resmi menjadi milik pengusaha itu. Elena ingin kabur tapi ia tidak bisa, karena penjagaan dari anak buah pengusaha kaya itu sangat ketat. Hanya bisa menangis dan juga pasrah yang kini bisa ia perbuat.
Ketakutan kedinginan karena ia hanya menggunakan baju tipis dan juga terbilang kurang bahan itu. Baju yang sama sekali tidak ia suka. Mimpi terburuknya terjadi, ia sudah putus asa akan nasibnya itu. Air mata Lena turun dan membuat riasan di wajah cantiknya itu sedikit luntur. Ia tetap terlihat cantik meski dengan maskara yang mulai luntur karena air matanya.
"Hey nona, jangan menangis bos besar tak akan suka hal itu."
Penjaga itu melempatkan tisu kearah Elena, Elena nampak mengusap air matanya.
"Nona, sebentar lagi bos besar akan datang jadi bersiaplah. Siapkanlah mental nona untuk menghadapi tuan."
"Katakan pada tuanmu, aku terpaksa aku tidak ingin melakukan hal ini."
"Semua juga begitu nona, tenang saja nona hanya belum terbiasa."
penjaga itu meninggalkan Elena, kini Elene sendirian ia berusaha mencari celah untuk bisa kabur. Tapi ruangan itu ternyata kedap suara dan juga tidak terdapat jendela atau pintu lainnya. Elena masuk ke dalam kamar mandi, ia juga tak menemukan celah disana. Elena kembali putus asa dan memilih berbaring di kasur.
Seorang penjaga mengagetkanya, karena masuk dengan tiba-tiba.
"Selamat nona bos besar tidak datang, dan digantikan sama bos muda. Dia baik dia tidak akan menyakiti nona."
Penjaga itu kembali keluar, dan mengunci Elena disana. Bos muda yang pasti itu adalah anak dari orang yang telah membelinya.
Seorang laki-laki tampan tiba-tiba masuk, dan membuat Elena terkejut. Laki-laki yang sepertinya baru berusia 20 tahunan lebih.
"Jadi kamu kekasih ayahku? Jadi kamu yang akan dinikahinya? Masih anak kecil bau kencur dasar bandot."
"Tidak, aku terpaksa. Aku dijual ayahku karena ayah kalah judi."
"Namamu siapa?"
"Elena."
"Berapa ayah membelimu?"
"Tidak tahu."
"Ikutlah dengaku, akan ku antarkan kamu pulang."
"Terimakasih Om,"
"kamu pikir aku ini om-om, aku ini masih muda dan belum menikah."
"Iya maaf Kak, nama kakak siapa?"
"Anggara Revano, panggil saja kak Revan."
Revan melepaskan jaketnya, dan memberikannya pada Elena.
"Pakai ini, di luar dingin."
Elena nampak kagum dengan sosok Revan, pasti beda dengan ayahnya. Revan dan Elana keluar dari hotel itu.
"Tuan sudah membeli gadis itu, kenapa diantarkan pulang. Bos besar pasti akan marah. Tuan boleh kok bersenang-senang dengan gadis itu."
"Dia itu masih kecil, dan seharusnya tidak ada disini. Biar ayah nanti ku urus."
Elena berjalan mengikuti Revan dari belakang, Revan nampak menggandeng Elena. Elena mengingatkan Revan pada adiknya Maya, Maya hilang ketika berumur 6 tahun. Dan pasti sudah sebesar Elena saat ini.
"Kenapa? kamu tidak suka bebas."
"Suka, tapi kalau pulang aku takut ayah akan menjualku lagi."
"Ibumu dimana?"
"Dia meninggalkanku, sejak aku masih kecil."
Revan nampak berfikir harus membawa Elena kemana, ke rumahnya pasti sang ayah akan bertidak macam-macam dengan Elena.
"Ya sudah Elena tinggal di panti asuha milik kakak mau? Nanti kamu juga bisa bersekolah kembali. Tapi ditempat yang berbeda."
"Mau kak, terimkasih kak."
Elena mencium tangan Revan, Elena masih berfikir jika Revan sudah menikah. Makanya Revan selembut ini padanya, seperti seorang ayah baginya.
"Karena sudah malam kita cari hotel saja, enggak enak datang malam-malam. Pasti pengurus panti juga sudah tidur."
"Kakak enggak akan macam-macam kan?"
"Halu deh kamu, kakak bukan fedofil dan juga enggak suka seperti itu."
"Fedofil? aku kan sudah 17 tahun kak."
"Beda 6 tahun,"
Sampailah mereka disebuah hotel, dan mereka akan menginap di kamar hotel yang sama.
Revan menyuruh Elena tidur di kasur dan ia akan tidur di sofa saja. Elena menolak dan memilih ia yang tidur di Sofa saja. Revan mau saja, kasur adalah tempat yang nyaman. Elena mulai berbaring di sofa begitu pula dengab Revan.
"Kenapa jadi kasihan sama Elena, padahal bianya ku biarkan saja ayah menodai gadis-gadis. Tapi melihat Elena aku jadi enggak tega." batin Revan.
Revan bangkit dari kasurnya dan memberikan selimut pada Elena.
"Terimkasih kak."
Revan baru ingat jika ia ada janji dengan Martha, dia adalah kekasih Revan. Martha itu seorang model, dan yang pasti sangat sibuk. Bahkan jarang sekali ada waktu hanya untuk sekedar ngopi sama Revan.
Revan pamit pada Elena jika ada urusan, dan ia akan kembali besok untuk menjemput Elena dan membawanya ke panti. Elena sedikit cemas, namun Revan berjanji membuatnya tenang. Elena menutuskan untuk segera tidur.
Amartha Laurenzo, kekasih Revan ternyata sudah tidak ada di cafe tempat mereka janjian. Padahal Revan hanya telat 15 menit saja, seorang pelayan memberikan secarik kertas dan itu dari Martha. Revan duduk sambil minum kopi di cafe itu.
"Revan sayang, maaf aku tak bisa menunggumu lama-lama kareba aku ada jadwal pemotretan. Lain waktu kita atur jadwal lagi."
-Amartha-
Bukan satu atau dua kali Martha meninggalkan pesan seperti ini untuk Revan. Revan bahkan pernah menyuruh Martha meninggalkan dunia modeling. Tapi martha tidak mau, meski Revan ingin segera menikahinya.
Amartha adalah tulang punggung keluarganya, jadi ia harus berkerja keras. Selama dirinya masih langsing, cantik dan laku menjadi model. Itu adalah prinsip keluarga Martha.
"Cinta itu emang gila, sudah berapa kali kamu seperti ini. Dan apa aku selalu memaafkanmu."
Revan kembali ke hotel, ia juga terlihat sangat mengantuk sekali. Sampai di kamar hotel ia lupa jika ia datang bersama dengan Elena. Elena yang tak menyadari kedatangan Revan juga tidak tahu jika Revan tidur di sampingnya. Malam semakin larut, mereka berdua terlelap dalam tidur mereka masaling-masing.
Pagi itu Elena terbangun dari tidurnya dan berteriak histeris ketika tau Revan tidur di sampingnya.
"Kenapa kakak tidur di sini? Apa yang telah kakak lakukan."
"Brisik masih pagi juga, jangan lebay. Aku lupa jika semalam aku datang denganmu."
Revan menarik selimutnya dan melanjutkan aktivitas tidurnya. Elena masih memeriksa keadaannya dan dia memang masih berpakai lengkap saat ini.
"Syukurlah."
Elena memilih untuk mandi, baju yang sangat ia tidak sukai harus ia pakai lagi karena ia tak memiliki baju yang lain lagi.
Revan nampaknya sudah bangun, dan sedang chatan dengan Matha. Namun tak berlangsung lama Martha sudah harus pergi mencari uang. Martha hanya pamit jika ia akan pergi ke Bandung dalam seminggu ini. Dan Martha tak ingin Revan cemas, jika Revan tak bisa menghubungi Martha nantinya.
Padahal Revan sudah janji dengan sang Ayah untuk mengenalkan Martha. Dan jika Revan dan Martha menikah, ayahnya akan mengalah dan tak akan menikah dengan wanita yang saat ini dekat dengan Ayahnya. Tentuhnya buka Elena, karena ternyata Elena adalah gadis yang dibeli ayahnya. Bahkan pasti ayahnya belum tahu seperti apa Elena itu.
"Amartha kenapa kamu selalu seperti ini." Batin Revan.
Elena selesai mandi, Revan nampak tak suka melihat Elena mengenakan pakaian yang terbuka. Karena usia Elena masih belasan tahun untuk berpenampilan seperti itu. Revan membelikan baju untuk Elena melalui temannya yang dengan siap sigap mengantarkan pesana Revan.
"Ganti pakaianmu."
Revan melemparakan tas belanjaan kepada Elena, Elena mengintip isi tas itu dan ternyata baju. Elena sangat senang karena ia juga tidak suka dengan baju yang ia kenakan saat ini.
"Terimakasih Kak."
Setelah mandi Revan mengantarkan Elena ke panti asuhan yang ia adalah donaturnya. Kehadiran Revan disambut oleh anak-anak panti. Karena Revan sering membawakan mainan untuk mereka. Tapi kali ini Revan tak sempat membeli mainan.
Revan langsung menemui pengurus panti dan menjelaskan maksud dari kedatanganya. Revan menitipkan Elena di panti. Tentu saja pengurus menerima dengan senang, karena Revan adalah donatur mereka. Tak lupa Revan memberikan sejumlah uang untuk pengurus panti.
Revan pamit dengan Elena karena ia harus pergi berkerja. Revan janji akan menjenguk Elena dan mendaftarkan Elena sekolah lusa.
"Sekali lagi terimakasih Kak,"
"Sama-sama."
Malam itu di ruang makan Revan dan sang ayah tengah makan malam.
"Kamu kemanakan gadis yang ayah beli."
"Ayah dia itu masih kecil, seumuran Maya. Jika Maya masih ada. Apa ayah tega."
"Ayah membelikan untukmu bersenang-senanglah. Martha kekasihmu itu pasti tak ada waktu untumu. Sama seperti ibu dulu."
"Jangan bawa-bawa ibu, Ibu adalah orang yang paling Revan sayang. Makanlah dengan calon istrimu Revan jadi tak selera makan."
"Jadi kamu sudah merestui ayah menikah lagi?"
"Hemm, "
"Ya sudah besok akan ayah undang dia kesini, dan bawa kekasihmu untuk makan malam bersama dengan ayah dan juga calon mama barumu."
Revan yang muak akhirnya meninggalkan sang Ayah. Esok pasti ia tak akan bisa membawa Martha karena martha masih di bandung. Dan Revan memiliki satu ide untuk mengajak Elena saja sebagai gantinya.
Ia ingin memberitahu Elena tapi ia lupa jika Elena tak memiliki ponsel. Pastinya Revan akan segera membelikan ponsel untuk Elena. Revan memilih untuk tidur saja, karena ia sedang tak ingin berdebat dengan sang ayah. Ia menunggu Martha menelfon namun sampai larut malam Martha belum juga menelfonya. Revan terlihat tidur pulas saat ini.
Sang fajar telah menampakan kilauan cahayanya. Revan bangun dari tidurna, ia beranjak mandi dan juga sarapan. Ia terlihat mengantuk karena jam 5 tadi ia sudah bangun untuk sholat subuh. Revan segera mandi dan juga sarapan. Ia melihat banyak makanan di meja makan.
"Tumben banyak makanan."
"Anak ayah sudah ganteng."
"Ada acara apa ini Yah?"
"Enggak ada calon mamamu yang masak."
"Ohhh,"
"Mana kekasihmu?"
"Nanti sore akan ku bawa kemari setelah aku pulang dari kantor."
"Sarapan dulu."
"Nanti dikantor aja, Revan jadi tak selera makan."
Revan pergi ke kantor, dan makan siang di salah satu kedai makan langganannya. Ia berencana nanti ketika makan siang akan mendatangi Elena dan membawa Elena kesalon. Revan akan memperkenalkan Elena sebagai kekasihnya.
Tepat jam makan siang Revan bertemu dengan Elena dan membawa Elena kebutik dan juga kesalon. Karena jam makan siang hampir habis Revan meninggalkan Elena di salon dan akan menjemputnya nanti ketika ia pulang kerja. Revan akam menjelakan pada Elena nanti ketika perjalanan menuju rumahnya saja. Elena pasti tak akan bisa menolak karena kebaikan Revan.
"Kekasihmu baik ya, memanjakanmu di salon."
"Ah mbak bisa aja, dia bukan pacarku. Lagian aku masih sekolah."
"Tapi dia tampankan, pasti hanya berbeda beberapa tahun dengan kamu."
"Beda 6 Tahun."
"Revankan namanya?"
"Kok mbak tahu?"
"Revan sering kesini dengan Amartha yang model itu lo."
"Jadi Amartha kekasih Revan?"
"Iya, tapi sudah hampir 6 bulan Revan tidak membawa Amartha kesini. Ku kira putus dan pacaran sama kamu. Dia itu pengusaha kaya loh."
Elena melakukan rangkai perawatan komplit disalon itu. Dan patah hatinya ketika tahu Revan memiliki kekasih, seorang model yang cantik pula. Elena ternyata jatuh cinta pada Revan. Padahal Elena juga memilik seorang kekasih bermana Raka. Teman sekolahnya, yang pasti saat ini sedang mencarinya.
Sore itu Elena terlihat cantik, Revan memuji kecantikan Elena.
"Sebenarnya mau kemana sih Kak? Jangan bilang kakak ingin menjualku."
Revan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan polos Elena.
"Atau kakak mau meniduriku, aku masih kecil kak."
Revan mengusap rambut Elena, dan berbisik.
"Kita akan menikah."
Elena semakin terkejut mendengar perkataan Revan itu.
"Aku bercanda, aku akan membawamu ke rumah. Kakak butuh batuanmu untuk menjadi kekasih pura-pura kakak."
"Lalu bagaimana dengan Amartha?"
"Darimana kamu tahu?"
"Pegawai salon."
"Dia sibuk, aku hanya ingin ayah membatalkan pernikahanya dengan wanita ******* itu. Jadi jangan bertanya lagi ayo kita pergi."
"Tapi kak, aku harus apa."
"Ya jadi kekasih kakak, pura-pura saja."
Elena mengangguk saja, mereka menuju rumah Revan. Sampai di rumah Revan, Elena nampak kagum melihat besarnya rumah Revan. Revan mengajak Elena masuk ke dalam kamarnya. Karena ia takut Elena akan ditanyai macam-macam oleh ayahnya. Karena Revan akan mandi terlebih dahulu.
Revan nampak sedang berdandan, di depan Elena. Mau pakai apapun Revan pasti akam selalu terlihat keren. Karena memang sudah tampan sejak lahir.
"Kenapa? Aku ganteng."
"Iya-iya kakak emang ganteng."
"Sudahlah sudah banyak yang bilang, ayo kita turun."
Selesai bersiap mereka turun ke meja makan untuk makan malam dan sudah ada mama baru Revan. Elena nampak terkejut karena wanita itu adalah ibu kandungnya sendiri. Revan mengenalkan Elena sebagai kekasihnya. Elena tak percaya jika sang ibu tak mengakui dirinya.
Elena menyantap hidangan bersama dengan ayah dan juga calon mama Revan. Dan yang tak lain adalah ibu kandungnya. Ibu yang telah meninggalkanya bersama dengan ayahnya. Elena menatap sang ibu dengan tatapan kosong. Sementara sang ibu seperti mengisyartkan untuk tidak bicara jika mereka saling mengenal satu sama lain. Amarah keduanya semakin terlihat jelas, rasa rindu berubah menjadi sirna seketika.
-Tbc-
Malam itu Revan memilih pergi ke bandung untuk menemui Amartha. Revan sangat rindu dengan Amartha dan ingin memberi kejutan pada gadisnya itu. Dengan menyusul ke Bandung tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Buket bunga mawar kesukaan Amartha tak lupa Revan bawa, dan juga kue cokelat kesukaan Amartha.
Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya Revan sampai di hotel penginapan Amartha tetapi hanya ada asisten Amrtha saja. Revan bertanya dan ternyata Amartha sedang di salah satu cafe hits di daerah Bandung. Revan memilih menyusul Amartha, berharap Amartha akan ada waktu untuknya.
Sampainya di cafe Revan memilih tempat duduk dan memesan muniman. Sementara matanya masih berkeliling mengintai setiap sudut Cafe. Dan sampailah pandanganya pada seorang yang ia cari. Dan yang kini tengah bermesraan dengan laki-laki paruh baya. Hancur hati Revan, ia tak mampu menahan amarah. Rasa sakit itu terasa sangat menyakitkan baginya. Sebuah penghiantan dari Amartha.
Elena memberi pesan pada Reven, namun Revan tak dapat menemani Elena. Namun Revan sudah berpesan pada Sekertarisnya untuk menemani Elena mencari sekolahan esok. Revan masih ingin disini, melihat kelakukan sang kekasih. Karena bagi Revan apapun akan ia maafkan kecuali perselingkuhan dan penghinatan.
Amartha terlah selesau dengan laki-laki paruh baya itu. Revan mengikuti Amartha, dan ternyata Amartha diantarkan ke hotel oleh laki-laki paruh baya. Tak lupa sebagai salam perpisahan mereka tampak berpelukan. Hancur sudah hati Revan, setelah laki-laki paruh baya itu pergi Amartha hendak masuk ke dalam hotel. Namun Revan memanggilnya, Amartha terkejut melihat Revan keluar dari mobil.
"Bagus ya? mulai saat ini kita putus. Kita enggak ada hubungan apa-apa lagi."
"Aku bisa jelaskan Sayang, ini tidak seperti apa yang kamu pikir."
"Jika aku tahu dari orang lain mungkin aku tak akan percaya namun, aku tahu dari mataku sendiri."
Revan masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan Amartha. Perasaannya sangat kacau sekali. Tanpa sadar Revan menerbas permbatas jalan, dan kecelakaan pun tak bisa terhindari.
Revan tak sadarkan diri, para warga berkerumun hendak menolong Revan. Beberapa saat kemudian polisi datang, Revan di bawa ke rumah sakit. Perasaan hancur yang membuat Revam bisa menabrak pembatas jalan dan Kecelakaan.
Sekertaris Revan yang mendapat kabar jika Revan kecelakaan langsung menemui Revan. Orang yang paling Revan percaya adalah sekertarisnya itu. Keadaan Revan masih kritis dan belum sadarkan diri.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Sepertinya pengemudi mengantuk, ini adalah kecelakaan tunggal."
Elena tidak tenang karena Revan tak kunjung membalas pesan darinya. Perasaan tidak enak menghampiri Elena. Elena takut jika Revan kenapa-napa.
Revan terbaring di sana, ditangani beberapa dokter dan ditunggu Lisa sekertaris Revan. Suasana menengangkan, Lisa terlihat cemas.
Amartha merasa tak berkutik lagi, selama ini Revan adalah gudang uangnya dan kini tak ada lagi. Amartha menyusun cara agar Revan memberi maaf padanya. Amartha tak ingin melayani pria hidung belang, tapi ini adalah resiko menjadi seorang model.
Revan nampak sudah melewati masa kristisnya, namun belum sadarkan diri. Lisa melihat keadaan Revan lalu pergi meninggalkan Revan.
Elena terlelap dalam tidurnya setelah menunggu lama dan Revan tak kunjung membalas pesan. Berharap Revan baik-baik saja.
"Aku mencintaimu dengan tulus, dan ini balasanmu padaku, dunia seakan tak adil."
Revan
-Tbc-
Sepulang sekolah sesuai janji sekertaris Revan telah menjemput Elena. Elena yang masih mengenakan segeram putih abu-abu langsung menuju rumah sakit. Perasaan cemas bercampur dibenak Elena. Ia hanya ingin Revan baik-baik saja.
"Apakah kak Revan sudah siuman?"
"Sudah, dia baik-baik saja tenanglah."
Sampai di rumah sakit, Elena langsung masuk ke ruangan tempat Revan dirawat. Karena tadi sekertaris Revan sudah dari sana jadi sudah tau tempatnya. Revan nampak tersenyum ketika melihat Elena.
"Bagaimana hari pertama sekolah? Lancar kan? temannya baik-baik kan?"
Elena tak dapat menjawab pertanyaan Revan bagaikan anak kecil Elena menangis dipelukan Revan. Revan hanya diam saja, ia tak ingin terlihat sakit dihadapan Elena.
"Katakan padaku kakak baik-baik saja kan? Apa yang sakit mana yang sakit kak."
"Kaki kakak patah? Mana yang sakit?
Elena langsung bangun dan melihat kaki Revan, ia nampak panik sedangkan Revan terlihat biasa-biasa saja.
"Hey tenanglah ini hanya patah, lumpuh sementara saja."
"Aku ingin merawat kakak."
"Sungguh?"
Revan menatap Elena dan memberi isyarat pada sekertarisnya untuk segera kembali ke kantor. Sekertaris Revan meninggalkan rumah sakit.
"Iya sebagai tanda terimkasih."
"Mulai hari ini kamu akan tinggal di rumah kakak, sepulang sekolah tugas kamu merawat kakak."
Elena mengangguk, kini Elena menyuapi makan Revan. Seperti sepasang kekasih, atau lebih mirip kakak beradik.
Amartha yang mendengar kabar kecelakaan Revan juga segera meninggalkan Bandung. Ia ingin memastikan Revan baik-baik saja. Ia mencintai Revan namun tak bisa meninggalkan pekerjaannya itu. Karena paksaan keluarga Amartha, ia tak bisa lari dari keluarga yang mengekaknya.
Di tempat lain Maira ibu Elena membayar orang untuk menghabisi Elena. Entah kenapa seorang ibu tega ingin menghabisi Alena. Hanya karena ambisi mendapatkan harta dan juga kenyamanan.
"Bunuh dia tanpa jejak."
"Siap bos."
"Sisanya nanti setelah selesai."
"Siap."
Sementara ayah Elena masih saja main judi dan juga mabuk-mabukan. Sering datang ke Maira untuk memeras Maira. Karena kini tak ada Elena yang menjadi ladang uangnya. Dulu Elena bekerja paruh waktu untuk kehidupan sehari-hari dan juga untuk ayahnya. Hidup Elena tak pernah bahagis sejak kecil.
Elena pamit ke toilet, dan Revan kini sendiri di ruangan tempat ia dirawat. Elena tak sengaja bertemu dengan Raka. Raka yang melihat Elena hendak kabur langsung dengan singgap menarik tangan Alena. Elena nampak kesakitan karena Raka menarik tangan Alena sangat kencang.
"Auu..Sakit lepasin."
"Elena, kemana saja kamu. Aku merindukanmu."
"Lupakan aku Rak, kamu tahukan bagaimana persaanku yang sebanarnya?"
"Tapi dengan sejalanya waktu kita pasti akam saling mencintai."
"Aku sudah mencobanya tapi tak bisa."
Raka menatap Elena, yang mengenakan seragam sekolah lain.
"Kamu pindah sekolah? untuk apa?"
"Keadaan yang memaksaku, aku tak bisa cerita sekarang."
Elena meninggalkan Raka, dan Raka hanya menatap kepergian Elena. Raka tak menyangka jika Elena secepat itu melupakan dirinya. Raka yang pernah berjuang mati-matian untuk Elena. Raka yang selalu membela Elena. Dan kini Elena malah tak mau menemuinya.
Mungkin karena dulu Raka memaksa Elena menjadi kekasihnya. Dan Elena tak dapat mencintai Raka seutuhya.
"Aku tak pernah memaksamu untuk segera mencintaiku, aku mampu menunggumu sampai kamu cinta. Namun kamu malah menghilang begitu saja dari padanganku."
-Raka-
-Tbc-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!