#1
Sorot mata Mama dan Anak itu saling bertabrakan, keduanya sama sama keras dan tak ingin mengalah. Yang satu ingin tetap mempertahankan hubungan, dan yang lain ingin agar hubungan tanpa kejelasan itu segera berakhir.
Adalah Mama Melinda Istri dari Mendiang Sergio Abimana, sekaligus Mama dari Sergio Nathan dan Sergio Rian.
“Mau kamu pertahankan berapa lama lagi?”
Nathan terdiam seribu bahasa, hubungannya dengan Luna memang sudah cukup lama tanpa ada kejelasan. Entah Nathan yang terlalu mencintai Luna, atau Luna yang belum mampu melupakan cinta pertamanya, hingga membuatnya ragu untuk segera melangkah ke jenjang selanjutnya bersama Nathan.
Nathan kembali menunduk dalam-dalam, sudah terlalu banyak kata yang ia ungkapkan untuk membuat Mama Melinda tetap bertahan dan bersabar menanti kesiapan Luna menjadi menantunya. Tapi Malam ini rasa sabar itu sudah mencapai batas maksimal.
“Tolong, Ma, bersabar sedikit lagi, kemarin Luna mengatakan bahwa besok akan menjadi keputusan final.” Mohon Nathan.
Tapi Mama Melinda berdiri, “Dan keputusan Mama tetap bulat, segera bersiap sekarang, Malam ini kita ke rumah Dokter Kevin.” Pungkasnya, tak ingin di bantah. Wanita yang pernah berprofesi sebagai Dokter tersebut, segera mengangkat ponsel dan menghubungi asisten kepercayaan nya.
“Bagaimana dengan persiapan pernikahan Rian?” Tanya Mama Melinda, memastikan persiapan pernikahan Rian, putra bungsunya. Mama Melinda memang sedang berada di Indonesia, karena beberapa hari lagi pernikahan Rian dan Tasya akan digelar. Dan sebenarnya Mama Melinda ingin pernikahan bisnis tersebut terjalin dengan Nathan sebagai mempelai pria, namun hingga detik akhir Nathan tak juga menyerah dengan hubungannya dengan sang kekasih. Padahal Mama Melinda sudah meminta mereka menikah sejak 4 tahun yang lalu.
Nathan menghela nafas, ia lelah dengan semua permintaan Mama Melinda, namun mempertahankan cinta sepihak selama bertahun-tahun juga cukup mengikis rasa sabarnya. “Apakah akan berakhir sampai disini saja, Luna? Aku sungguh mencintaimu, tapi sepertinya cintaku tak cukup kuat untuk merobohkan perasaanmu terhadap dia yang telah tiada.” Nathan membatin.
Setitik air mata lolos begitu saja, cinta memang bukan benda yang bisa diambil sesukanya, tapi cinta seperti makhluk tak kasat mata, tak nampak, namun sungguh terasa kehadirannya jika memang cinta itu benar-benar ada dalam diri Luna. Sudah bertahun-tahun ada di sisi Luna, menjadi kekasih sekaligus tunangan, namun Nathan tak pernah benar-benar melihat binar-binar cinta di kedua bola mata indah milik sang kekasih.
Dan kini ia tak sanggup lagi menolak keputusan mutlak Mama Melinda, Nathan pun pasrah, jika memang Mama Melinda ingin hubungannya berakhir.
.
.
Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding sebuah perpisahan, kedua mata biru Luna berkaca-kaca kala melihat sendiri betapa kukuh Mama Melinda dengan keputusannya. Di depan kedua orang tuanya Mama Melinda mengambil keputusan finalnya, mengakhiri pertunangan antara Luna dan Nathan.
Papa Kevin dan Mama Disya tak bisa berbuat apa-apa, memanglah kesalahan murni dari putri mereka yang selalu menunda pernikahan, jadi ketika Mama Melinda mengambil keputusan final, tak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah menerima keputusan.
Walau belum sepenuhnya mencintai Nathan, nyatanya Luna tetap merasa berat ketika cincin pertunangan ia lepas perlahan dari jari tangannya.
“Gak papa, Ma, Saya mengerti jika mama berpikir bahwa saya tak pernah siap melanjutkan hubungan kami. Saya menerima sepenuhnya keputusan Mama, saya pun tak ingin ada kepalsuan jika seandainya kami benar-benar menikah. Nathan terlalu baik, dia layak mendapatkan gadis yang tulus mencintai, bukannya gadis yang hanya bisa memberikan harapan palsu.”
Berurai air matanya, tapi itulah yang Luna rasakan, di matanya Nathan tetap lelaki baik, jika tak baik, maka mungkin sudah sejak lama Nathan pergi meninggalkannya.
Mama Disya menggenggam kedua tangan Luna yang kini terasa dingin usai meletakkan cincin pertunangannya di atas meja.
Tak hanya Luna, nyatanya Nathan pun menangis ketika mendengar keputusan Luna. Terlalu sayang jika hubungan ini berakhir begitu saja, tapi juga terlalu sadis jika Nathan tetap memaksakan cinta yang tak semestinya.
“Saya, selaku orang tua Luna, pun ingin meminta maaf, kepada anda, Nyonya, terkhusus pada Natahan.”
“Tidak, Pa, jangan meminta maaf,” Sahut Nathan serba salah, harusnya dirinya yang meminta maaf, bukannya Papa Kevin. “Nathan yang harusnya minta maaf.”
“Ya sudah, kita sama sama minta maaf,” Kembali Papa Kevin berucap, “Luna benar, kamu lelaki baik, Papa yakin di salah satu belahan bumi, Tuhan telah menyiapkan seorang gadis sebagai calon pendampingmu. Dan seorang laki-laki sebagai calon pendamping Luna, bukan kalian yang salah, kalian hanya tidak berjodoh, karena itulah pernikahan kalian belum juga terlaksana walau sudah bertunangan selama hampir 7 tahun.”
Setelah Papa Kevin berucap, seisi ruangan nampak bernafas lega, dua keluarga telah sama-sama ikhlas mengakhiri pertunangan anak-anak mereka. Dan semoga kelak mereka dipertemukan dengan jodoh yang semestinya.
.
.
Beberapa hari kemudian, satu hari sebelum pernikahan Rian.
Acara yang semula akan diadakan dua minggu lagi, kini dimajukan atas permintaan Luna, Event Organizernya pun tak keberatan asalkan ada tempat memadai, dan ready untuk dipakai agar acara tersebut tetap bisa terselenggara dengan nyaman tanpa hambatan berarti.
Maka disinilah Luna kini berada, memeriksa detail persiapan, Launching buku dongeng terbaru yang rencananya hanya terbit 100 ribu eksemplar saja di seluruh Indonesia. Selain Launching buku, nanti juga akan ada sesi mendongeng, meet n greet, serta penandatanganan buku secara langsung, jika ada yang ingin buku tersebut ditandatangani.
Ibu Peri adalah nama pena yang Luna gunakan, nama yang sangat di idolakan gadis kecil yang menyukai cerita Princess, karena sosoknya yang baik hati. Kecintaannya pada buku-buku fantasy sudah dimulai sejak ia mula mengenal buku. Seperti layaknya gadis kecil ia pun mengkhayalkan suatu saat akan bertemu dengan pangeran berkuda putih yang akan membawanya menjadi Ratu kerajaan.
Rasanya ingin tertawa geli jika ia ingat khayalannya yang tak masuk akal, namanya juga anak-anak, mudah sekali terpengaruh apa yang ia baca.
Tempat ini selalu indah dalam ingatan Luna, tempat ia menimba ilmu selama 6 tahun, melalui masa remaja yang indah, tentunya bersama 2 kakak laki-laki nya serta 2 adik sepupunya yang juga laki-laki. Entah dianggap untung atau buntung, karena diantara 7 cucu Alexander Geraldy, hanya dirinya yang berbeda gendernya.
Luna menghentikan langkahnya ketika tiba di lorong penghubung menuju Tribun milik International School Jakarta. Memorinya muncul begitu saja tanpa permisi, ketika tiba-tiba ada lelaki yang menunjukkan perasaannya tanpa basa-basi. Lelaki itu dengan berani memberikan Luna sebuah pengalaman tak terlupakan, First kiss.
Ciuman pertamanya, bukan ciuman pertama dengan Evan, melainkan pengalamannya berciuman untuk pertama kalinya.
Dan kini …
Semuanya telah berlalu, bersama kenangan yang nyatanya tak pernah benar-benar menghilang. Telah lama Evan pergi, namun rindu itu masih bertahan di hati, jadi wajar rasanya jika Nathan akhirnya menyerah.
Luna menyapu air matanya, ia kembali melanjutkan melangkahnya, melihat persiapan yang dilakukan pihak EO yang menghandle acaranya.
Tak lama Luna berada di sana, ia berbalik pergi ketika semua persiapan sudah berjalan lancar sesuai kehendaknya.
Langkahnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba mendahului langkahnya, pria itu berjalan dengan langkah lebar sembari melakukan panggilan, “Iya, katakan seperti itu padanya, aku sudah memastikannya sendiri.”
Deg
Deg
Deg
Nyaris saja Luna terkena serangan jantung, pria itu nyata, bahkan tahun-tahun panjang yang telah berlalu tak membuat Luna lupa akan suaranya. Suara yang dahulu kerap menggoda kesehariannya di Sekolah, bahkan malam-malam panjang menjelang akhir masa SMA banyak ia habiskan bersama suara itu.
“Evan …”
#2
Pria yang masih mengenakan setelan kerja lengkap itu, berjalan melewati Luna. Langkah kakinya yang lebar membuat jarak yang tercipta semakin jauh, namun tidak demikian dengan netra Luna yang seakan memindai sosok tubuh yang kian menjauh tersebut.
“Iya, katakan saja seperti itu, aku sudah memastikan sendiri.”
Deg
Deg
Deg
Nyaris saja Luna terkena serangan jantung, pria itu nyata, bahkan tahun-tahun panjang yang telah berlalu tak membuat Luna lupa akan suaranya. Suara yang dahulu kerap menggoda kesehariannya di Sekolah, bahkan malam-malam panjang menjelang akhir masa SMA banyak ia habiskan dengan berbicara dengan sang kekasih melalui panggilan seluler, hingga mereka berdua terlelap begitu saja.
“Evan …” gumam Luna tanpa sadar.
Pria itu terus berjalan, namun Luna seperti kehilangan tenaga. Tiba-tiba saja, Kakinya tak mampu bergerak. Hingga ketika hendak membuka pintu mobil, Luna bisa melihat wajah pria itu, senyum menawan terkembang lebar di wajahnya, pantulan cahaya senja membuat Luna seperti mengalami de javu.
Akhirnya dengan lutut gemetar, Luna melangkah mendekati pria yang sudah diberitakan meninggal 10 tahun yang lalu itu. Hendak bertanya dan memastikan apa yang terjadi, benarkah dia adalah Evan? dan kenapa tiba tiba saja berdiri di hadapannya dalam keadaan sehat walafiat?
Tanpa terasa air mata Luna mengalir, “Evan,” gumamnya lirih, kerinduannya bertahun-tahun seakan menemukan muara. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat, karena tak lama kemudian lelaki itu pergi menggunakan mobilnya.
Seperti baru saja kehilangan tangkapannya, Luna berlari tanpa sadar, ia hanya menuruti insting dan pandangan matanya, bahkan terlupa bahwa ia bisa mengejar lelaki itu dengan menggunakan mobilnya.
“Tidak, tunggu!!!” Seru Luna yang masih terus berlari. Kepanikan dan rasa takut jelas tergambar di wajah cantiknya, ia takut kehilangan lagi, satu kali saja sudah cukup.
“Kumohon, Tuhan, biarkan satu kali saja aku bertanya,” pinta Luna dalam hati. “Aku ingin tahu kemana dan dimana ia selama ini?”
Sekian tahun menangisi kepergian Evan, ia bahkan nyaris gh-ila jika saja tak ada keluarga dan Nathan disisinya, kini Luna mulai bertanya, Apakah cintanya salah alamat? hingga Evan dengan tega mengarang cerita demi meninggalkan dirinya.
Beragam tanya tersebut, terus bermunculan, hingga akhirnya ia tak mampu lagi berlari, karena mobil yang ia kejar melaju semakin kencang.
Luna terduduk di tempatnya berhenti saat ini, tak peduli banyak pasang mata menatap ke arahnya. “Evaaaaann,” untuk kesekian kalinya ia kembali menangisi kepergian Evan, rasanya belum lelah walau sudah bertahun-tahun ia menangisi kekasih hatinya tersebut. Benar kiranya perasaan Nathan, dirinya memang tak pernah benar-benar menempati hati Luna. Karena hingga detik ini nama Evan masih bertakhta di sana.
.
.
Luna benar-benar seperti orang linglung, ia berjalan tanpa alas kaki, kembali ke tempat mobilnya di parkir, entah berada dimana pikirannya saat ini.
“Darren… bisakah menjemputku?” Akhirnya Luna menghubungi Kakak kembarnya, meminta Darren datang menjemput.
“Kamu dimana?” Tanya Darren gusar, karena suara Luna terdengar aneh di telinganya.
“Di Sekolah.”
“Hmmm baiklah, aku segera datang.”
Tanpa banyak alasan apalagi basa-basi, Darren menyetujui permintaan Luna. Mau bagaimana lagi, adik perempuannya cuma satu, dan pada dasarnya ia pun sangat menyayangi Luna. Jika hanya perkara jemputan, Darren tak akan keberatan.
20 menit kemudian, Darren tiba di titik lokasi tempat Luna berada, pria itu memicingkan kedua matanya. Tak biasanya penampilan Luna terlihat lusuh dan kusut, yang lebih aneh lagi Luna membiarkan kakinya menyentuh dinginnya aspal. Padahal kedua tangannya menenteng Heels.
Karena Luna tak menyadari kedatangannya, Darren pun turun dari mobilnya. Pria itu sudah tak mengenakan jas, dasi sudah ia longgarkan dan lengan kemejanya pun ia gulung hingga ke siku. “Hei … What's wrong?” Sapa Darren.
Seketika Luna mendongak, kakak kembarnya kini berdiri dan menatap wajahnya dengan tatapan heran. Tak menunggu lama, Luna segera menghambur memeluk kakak kembarnya tersebut, menangis sejadi-jadinya, bukan tangis sesenggukan kecil, tapi tangisan keras yang menyesakkan dada. Hanya mendengarnya saja membuat dada Darren terasa sesak dan tersayat, Darren yang mengerti pun sengaja membiarkan Luna menghabiskan tangisnya.
Hanya satu tebakan Darren, dan hanya dia yang membuat adik kembarnya patah hati sehebat ini. Evander Gunadi.
.
.
Beberapa saat berlalu, entah berapa puluh menit Darren membiarkan tubuhnya jadi sandaran adik kembarnya. Patah hatinya dulu tak sehebat Luna, karena Tuhan masih berbaik hati memberinya kesempatan. Tapi yang dialami Luna lebih membuat hati pecah berkeping-keping karena rindu yang paling menyakitkan adalah rindu ketika tak bisa lagi menjumpai dia yang di cinta karena alam yang sudah berbeda.
Tak sedetik pun Darren menghentikan usapan lembutnya di punggung Luna, seiring dengan lidahnya yang tak mampu mengeluarkan kalimat penghiburan.
“Tunggulah di dalam, aku akan menitipkan mobilmu pada security,” Bisik Darren.
Darren membimbing langkah kaki saudarinya, ia perlakukan Luna seperti memperlakukan benda yang rapuh. Mulai dari membukakan pintu mobil, hingga memastikan Luna duduk dengan nyaman karena Darren sedikit menurunkan sandaran kursinya.
Tak butuh waktu lama bagi Darren untuk meminta bantuan pada Security, karena mereka pun masih mengenal Darren dengan baik.
Darren mengusap kepala Luna usai kembali ke kursi kemudi, “cobalah untuk tidur,” ujarnya, tak lupa memasangkan seat belt Luna.
Luna tak menjawab, sepanjang perjalanan ia diam dengan sisa isak tangisnya.
Satu jam kemudian, wajah Ryu yang pertama kali menyambut kedatangan Darren, “Papa gendong siapa?”
“Papa gendong Aunty,” Jawab Darren.
Aya pun segera beranjak, ketika Darren pulang bersama Luna dalam gendongannya.
“Luna kenapa?” Tanya Aya nyaris berbisik.
“Nanti aku ceritakan, tolong siapkan kamar Luna.” Titah Darren pada sang istri.
Aya berjalan cepat menuju kamar paling ujung yang memang menjadi persinggahan Luna jika sedang menginap.
Darren membaringkan tubuh Luna perlahan, sementara Aya mengatur suhu pendingin ruangan, Aya menarik selimut hingga menutupi dada Luna. Aya merasakan pergerakan Luna ketika ia hendak menarik tangannya menjauh, “jangan pergi, Ay,” kedua kelopak mata itu belum lagi terbuka, namun Luna seperti merasa ia hendak di tinggalkan.
Aya menoleh meminta persetujuan sang suami, merasa bahwa saat ini yang Luna perlukan adalah kehadiran Aya, Darren pun memberikan anggukan. Pria itu menggendong Ryu keluar kamar, agar Luna bisa beristirahat dengan tenang.
Aya mengusap air mata yang masih mengalir dari kelopak mata Luna, “Evan …” lirih Luna dalam tidurnya. Tak ada yang bisa Aya lakukan selain menepuk pelan punggung tangan Luna dari permukaan selimut, agar Luna merasa tenang tak merasa sendirian.
Tepat jam 11 malam Aya keluar dari kamar tempat Luna berada, “Apa dia sudah tenang?”
“Huum, aku rasa begitu, dia tak lagi mengigau,” jawab Aya. “Apa yang terjadi dengannya?” akhirnya Aya melontarkan pertanyaan.
Darren meletakkan teh hangatnya di meja, “mungkin ini yang disebut takdir.”
“ … ???” Wajah Aya penuh tanya.
“Sepertinya, tanpa sengaja Luna bertemu dengan Pak Mike.”
“Maksudmu, Michael Bimantara?”
Darren menganggukkan kepala guna menjawab pertanyaan sang istri. “Tepat seperti dugaan kita, aku rasa wajar jika Luna merespon demikian. Kita pun hampir pingsan ketika pertama kali bertemu dengannya kan??”
Aya membuang nafasnya perlahan, “jadi apakah sekarang saatnya kita bercerita?”
“Jangan dulu, biarkan semuanya mengalir apa adanya. Mungkin takdir sedang berjalan menghampirinya.”
#3
Seperti biasanya, usai menghabiskan seluruh tangis nya, Luna kembali tersenyum ceria seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan pagi ini ia sudah ceria karena hari ini ia dituntut untuk menunjukkan wajah ramah penuh senyuman.
Ibu Peri adalah nama fiktif, namun Luna sedemikian menyukai nama pena nya, hingga ia bahkan menggunakan topeng agar wajahnya nya tetap misterius. Sejatinya seorang penulis memang dikenal karena karyanya, bukan karena keelokan wajahnya. 😁✌
“Are you okay?” Tanya Aya ketika mereka sarapan bersama pagi ini.
Walau terasa getir, Luna tersenyum. Kepergian Evan sudah sangat lama, mungkin saja kemarin ia sedang berhalusinasi karena berada di tempat awal mula cintanya untuk Evan bersemi.
“Yeah, i'm okay, and ready for today,” Jawab Luna yakin.
“Ingat aku, kapanpun kamu membutuhkan teman bicara,” Aya menawarkan diri.
“Thank you so much, Ay,”
Aya tersenyum lega, lebih dari siapapun, Aya, Darren, dan Daniel lah yang paling tahu betapa hancurnya hati Luna kala mendengar berita kepergian Evan.
Dari arah kamar utama, Darren sudah rapi dengan setelan kerjanya, “Sudah siap? aku akan mengantarmu sekarang.”
“Pergilah dulu, acaraku agak siang,” Jawab Luna, ia tampak asyik menikmati sarapan paginya.
“Yakin??”
Luna mengangguk mantap, ia yakin sekali bisa datang ke lokasi acara seorang diri dengan menggunakan Taxi.
Tak lagi banyak bertanya, Darren pun pamit pada sang istri. Sementara Ryu sudah pergi ke Sekolah bersama Pak Joko.
.
.
Di tempat lain, sebuah mobil mewah melaju kencang di jalan bebas hambatan. Sang pengemudi terburu-buru mendatangi Hotel tempat terselenggaranya acara akad nikah yang akan dimulai 30 menit lagi, tak terhitung sudah berapa puluh kali ponselnya berdering, namun Rian mengabaikannya.
Rian kembali menambah kecepatan mobilnya, fokusnya teralih ketika kini berganti sang kekasih yang menghubunginya. “Apa sih, Sayang? Sudah gak sabar? Kan sebentar lagi halal,” Rian menyempatkan diri menggoda sang kekasih sekaligus calon istrinya.
“Gak usah banyak bercanda deh, kamu dimana? Sebentar lagi acara dimulai, dan Papa nanyain kamu terus,” Gerutu Tasya.
Rian membetulkan letak earphone nya yang sedikit bergeser, “Iya, aku tahu kok.”
Namun tiba-tiba benda berukuran seujung jari kelingking itu jatuh menggelinding di bawah kursi. “Ya… dia pake jatuh lagi,” Gumam Rian, setelah memastikan jalanan di depannya aman, Rian pun melirik ke bawah, earphonenya tergeletak persis di bawah pedal rem. Rian menundukkan tubuhnya, sementara pandangannya masih menatap ke arah depan. Namun tak semudah yang ia kira, karena benda mungil tersebut kembali lepas dari jemarinya.
Rian kembali mengulang apa yang ia lakukan sebelumnya walau sadar hal itu sangat berbahaya, namun ia tak ingin membuat sang kekasih resah menantikan kehadirannya di acara akad nikah yang akan digelar beberapa menit ke depan.
Tin
Tin
Tin
Tin
Tiiiiiiiiiiiinnnn
Braaaakk!!
Gelap, Rian merasa sekitarnya terasa berat diiringi dengan rasa sakit di kepala serta tubuhnya.
Rian tak lagi mendengar suasana sekitar karena ia sudah kehilangan kesadaran.
.
.
Di lokasi acara.
Mama Melinda masih mondar-mandir tak tenang, sementara Nathan kini semakin di buat kesal dengan ulah sang adik. Sudah lebih dari 30 kali panggilan ia lakukan, namun tak ada satupun yang Rian jawab, sementara pihak EO terus menanyakan keberadaan Rian mengingat acara akad yang harus segera dimulai. Karena sesudahnya akan langsung diselenggarakan resepsi besar-besaran yang melibatkan banyak orang penting.
Pagi tadi ia sudah memarahi Rian karena adik lelakinya tersebut nekat pergi mengambil pesanan bunga edelweiss yang akan jadi hand buket nya Tasya, karena Tasya suka sekali dengan bunga edelweiss.
“Bagaimana? Sudah ada kabar dari Rian?” Sekali lagi Mama Melinda bertanya, dan Nathan hanya sanggup menggeleng sebagai jawaban.
“Teleponku sama sekali gak di jawab, Ma.”
Tak lama setelah Nathan mengakhiri panggilan terakhirnya, ponselnya kembali berdering, “apa itu Rian?” buru-buru Mama Melinda bertanya.
Nathan mengerutkan keningnya, ia sendiri tak mengenali nomor asing yang kini menanti jawaban darinya. “Aku pun tak tahu, Mah.”
“Hallo …”
“Hallo, selamat pagi, Tuan Sergio Nathan, benar?”
“Iya, benar, Pak, dari mana ini?”
“Kami dari Kepolisian, Tuan.” Jawaban tegas itu cukup membuat detak jantung Nathan seolah berhenti sesaat.
“Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu?” Nathan berusaha bicara se normal mungkin.
“Benar anda adalah pemilik mobil dengan Plat Nomor BL 1744 ALX??”
Deg…
Kembali dada Nathan berdentum hebat, itu memang mobil barunya, mobil Sports seri terbaru yang Plat Nomornya sudah ia pesan secara khusus dengan inisial nama sang kekasih. Namun semua rencananya gagal total, karena Mama Melinda memintanya mengakhiri hubungannya dengan Luna. Karena Nathan tak ingin menjual mobil tersebut, maka ia pun memberikan mobil tersebut pada sang adik sebagai kado pernikahan.
Saking bahagianya menerima kado mobil mewah dari sang kakak, pagi tadi Nathan nekat keluar mengendarai mobil Sports tersebut untuk mengambil sendiri pesanan hand buket untuk Tasya. Karena sedang sangat bahagia, Rian tak peduli omelan sang Kakak. Ia nekat pergi dengan mengendarai mobil barunya, yakin bahwa akan kembali tepat sebelum acara dimulai.
“Iya, benar pak, itu mobil saya,” Jawab Nathan tegas, karena memang mobil tersebut belum dialihkan nama kepemilikannya.
“Baru saja, mobil anda, mengalami kecelakaan di jalan Tol …”
“LALU, PENGEMUDINYA BAGAIMANA, PAK?!!” Nathan langsung memotong ucapan Polisi tersebut.
“Dengan sangat menyesal, saya beritahukan bahwa, pengemudinya tewas di tempat.” Jawaban tegas itu membuat Nathan tanpa sadar menjatuhkan ponselnya.
Mama Melinda segera mendekat. “Nathan, ada apa? Katakan pada Mama?!!” Tanya Mama Melinda panik, karena wajah Nathan tiba-tiba pucat, dengan tubuh gemetar.
Mama Melinda segera menyambar ponsel Nathan yang tergeletak di lantai. “Halo, siapa ini? dan ada masalah apa?!!” Tanya Mama Melinda.
Beberapa saat kemudian, Mama Melinda mengalami hal yang sama dengan Nathan. Bahkan yang terburuk, wanita itu pingsan seketika.
“Ma … Mamaaaa!!!” Pekik Nathan, yang segera tersadar dan menangkap tubuh sang Mama yang hampir roboh ke lantai.
“Vanooo!!!” Jerit Nathan, memanggil asistennya.
“Iya, Tuan.” Jawab Vano yang segera berlari mendekat kala mendengar jeritan Nathan.
“Urus kecelakaan yang menimpa Rian, aku akan bicara pada keluarga Mahesa tentang … tentang … kecelakaan maut yang menimpa Rian,” Jawab Nathan tercekat, mengingat berita ini terlalu mengejutkan.
Tiba-tiba Mama Melinda membuka mata, “jadi berita itu benar?” Tanya Mama Melinda dengan bibir bergetar.
“Benar, Ma … tadi Mama dengar sendiri kan?”
Pintu yang masih terbuka membuat seseorang disana mendengar dengan jelas semua yang terjadi di dalam ruangan, “Tuan…”
Suara Vano membuat perhatian Nathan dan Mama Melinda beralih pada seseorang yang baru saja memasuki ruangan. “Jelaskan apa yang terjadi? apakah tadi aku tidak salah dengar?”
Nathan membantu Mama Melinda berdiri, wanita itu masih pucat dengan wajah bersimbah air mata. “Tuan, dengan sangat menyesal kami kabarkan bahwa baru saja Rian mengalami kecelakaan maut,”
Tuan Gibran Mahesa mundur beberapa langkah, tak terbayangkan olehnya, lelaki yang akan jadi calon menantunya tiba-tiba meregang nyawa akibat kecelakaan lalu lintas.
“Tapi pernikahan ini tak boleh batal,” ujarnya Tuan Gibran.
“Apa anda sedang bercanda?” Tanya Nathan terkejut, “Di saat kami berduka, anda masih mengatakan tak ingin acara pernikahan ini batal??”
“Iya, aku yakin sekali dan pernikahan ini tak akan ku batalkan. Karena ini bukan hanya menyangkut keluarga kita, tapi juga nama baik perusahaan yang susah payah aku besarkan, Perusahaan yang di bangun berdasarkan pemikiranku dan juga Almarhum Papamu.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!