Bugh!
Suara bedebum keras terdengar, seorang gadis dengan pakaian lusuh di tarik paksa dari dalam rumah hingga tersungkur di atas lantai depan pintu rumahnya. Penampilannya sungguh menyedihkan.
"Kemasi barang- barang mu, aku tak ingin melihat mu lagi! "
Lengkingan keras berupa titah yang tak dapat di bantah itu berasal dari wanita paruh baya dengan penampilan glamour yang sangat berbanding terbalik dengan penampilan gadis itu.
"Tapi bibi aku akan tinggal di mana setelah ini? " isak tangis itu keluar berasal gadis yang memiliki nasib malang.
"Aku tidak perduli! sekarang ayahmu yang penyakitan itu sudah tiada, rumah ini pun sudah di pindah alihkan atas nama ku, kau di sini hanya akan menjadi benalu saja! "
Alana anastaya nama gadis malang itu, tak dapat menahan air matanya lagi yang turun dengan sangat menderas serupa bendungan air yang selalu ia tahan sejak dulu, kini meluap sudah.
Baru seminggu setelah kepergian ayahnya, satu- satunya harapan hidupnya setelah ibunya tiada saat ia masih kecil dulu, kini ia malah terusir dari rumahnya sendiri oleh orang yang sangat ia percayai bisa melindunginya setelah ia sebatang kara.
Bibinya yang licik telah menipu ayahnya hingga sertifikat rumah ini berhasil dia dapatkan bahkan sampai berhasil memindah alihkan atas namanya.
Tak Alana sangka, selama ini ia tinggal bersama serigala berbulu domba. Jika almarhum ayahnya mengetahui ini, beliau pasti sangat sedih.
Sejak dulu, Alana selalu mendapatkan disk*riminasi, ia di kucilkan di rumahnya sendiri, ayahnya meninggal karena penyakit diabetes yang deritanya. Sehari- hari Alana harus membantu pekerjaan rumah yang mana keluarga bibinya menumpang di rumahnya. Ia bak pembantu di rumah sendiri, yang harus melayani keluarganya bibinya.
Alana tak punya pilihan lain. Sedari kecil ia selalu di didik dengan nilai-nilai dan budi pekerti yang baik, ayahnya selalu berpesan jika ia harus bersikap baik dengan keluarga bibinya saat wanita yang berstatus sebagai adik ayahnya itu menumpang tiga tahun lalu bersama kedua anaknya setelah mereka terusir dari kontrakan karna terus menunggak.
Selain karna hati nurani, Alana pun harus kuat menahan setiap bull**yan yang datang dari para sepupunya yang tak lain adalah dua putri sang bibi, yang selalu semena- mena padanya.
Jika di pikir- pikir Alana selalu bersikap baik seperti apa yang di katakan ayahnya bahkan untuk urusan listrik dan perut ia yang selalu menanggung dengan pekerjaannya sebagai pelayan kasir di sebuah cafe yang tak seberapa, bahkan saat bibinya dengan tega mengambil uang gajiannya secara diam-diam, ia pun tak marah dan mengungkitnya tapi kenapa balasan yang harus Alana terima seperti ini?
Alana mengusap air matanya kasar, merenungi nasib pun tiada guna. Ia bangkit, rasa sakit di kulitnya karna cakaran mita dan lita dua sepupunya tadi, tak di hiraukan nya lagi.
Beberapa menit lalu, sebelum ia di tarik untuk di seret paksa keluar dari rumahnya sendiri, ia dan bibinya memang tengah berdebat perihal warisan ayahnya sebenarnya tak seberapa.
Bibinya naik pitam ketika Alana mengungkit semua jasa dan kerja kerasnya selama ini untuk menghidupi keluarga karna kedua sepupunya tak mau bekerja hingga ia yang terus keluar biaya sedangkan bibinya pun hanya ongkang angking di rumah saja.
Bibinya merasa tersinggung dan mengungkit kembali perihal uang yang tak seberapa yang dia berikan kepada ayahnya untuk pengobatan dulu, itupun di awal- awal ketika keluarga mereka mengutarakan niat untuk menumpang di rumahnya.
Hingga terjadinya keributan, mita dan lita yang ikut emosi kemudian menarik bajunya, menjambak rambutnya bahkan tak segan- segan memberikan tamparan dan cakaran di pipi dan kulitnya.
"Ingat ya, sekarang ini statusmu itu sebatang kara, jika tidak ada kami kepada siapa kau akan bergantung! "
Itu yang di katakan mita, namun Alana sama sekali tak setuju semua itu. Ini adalah rumah ayahnya, peninggalan satu- satunya yang memiliki sejuta kenangan di dalamnya. Tak akan dia biarkan jatuh ke tangan mereka.
"Ini rumah ayah Alana, bibi. Seharusnya kalian lah yang pergi dari sini karna tidak punya hak sama sekali!"
Rusni yang mendengar itu dari mulut keponakannya yang ia anggap lemah dan tak berdaya selama ini, merasa terkejut.
Wajahnya memerah tersebab kemarahan yang kembali memuncak.
Plakk! Alana di gampar hingga badannnya jatuh kembali.
"Berani sekali mulut mu itu mengatakan hal yang kurang ajar seperti itu padaku!"
"Harusnya bibi yang intropeksi diri! bibi dan dua anak bibi yang selama ini menumpang dan menjadi benalu di rumah ku sendiri! "
"Kurang ajar sekali kau! "
Suara itu datang dari mita, ia bersama adiknya lita menjam*bak dan men*cakar Alana dengan kalap seperti orang kese*tanan.
Sementara Alana mengaduh dan menjerit kesakitan.
Rusni hanya menyaksikan itu semua dengan bibir tersungging sinis. Biarlah menyiksa Alana menjadi tugas kedua anaknya, ia tak perlu repot- repot mengotori tangan.
Setelah puas menyiksa Alana dengan tak berprikemanusiaan, mita dan lita menarik diri.
Alana terisak melindungi kepala dengan sekujur tubuh di penuhi luka lebam membiru, rambut acak- acakan dan bajunya yang koyak sana- sini.
"Tadinya aku mau mengusirmu dari rumah ini dengan cara baik- baik tapi tak ku sangka kau punya keberanian sebesar itu untuk melawan ku, jadi kau lebih baik pergi dari sini tanpa membawa apapun dari rumah ini. "
Rusni mendengus dengan seringai keji.
Mita dan lita tergelak puas.
"Semua barang- barang mu termasuk kamarmu sekarang adalah milik kami. bisa pergi dari rumah ini dengan pakaian yang masih utuh saja sudah termasuk keberuntungan untuk mu. "
Alana menggeleng. Melawan mereka Alana sungguh tak mampu.
Sekarang Alana tak punya siapa- siapa untuk bergantung.
Bahkan ia di usir paksa dari rumahnya sendiri.
"Pergi! tunggu apa lagi?! "
"Ini sudah malam, kumohon bibi beri belas kasihan pada ku!"
"Tidak ada belas kasihan untuk mu. Setelah merebut ka angga, laki-laki yang ku cintai, kau masih bisa bicara soal belas kasihan?"
Angga adalah pria yang tinggal tak jauh dari lingkungan mereka. Sejak dulu Alana memang menaruh kekaguman padanya. Mita mengatakan hal itu padahal ia bahkan tak tahu apakah angga juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
"Pergi! " Mita mengusir dengan suara menggelegar.
"Tapi barang- barangku?"
"Sudah ku bilang kau pergi tanpa membawa apapun dari rumah ini!"
"Setidaknya ku mohon ijinkan aku membawa bingkai foto keluarga ku. " Terisak Alana memohon, ia tak meminta apa- apa, tapi yang satu ini sangat penting untuknya.
Rusni dan kedua anaknya saling memandang, ia kemudian memerintahkan lita untuk mengambilnya.
Tak berselang lama, lita kembali dengan benda yang di maksud Alana.
"Foto jelek ini yang kau maksud? iiw, ambil sana, kami pun tidak ingin ada foto ini di rumah kami! "
Dengan teganya Lita melempar bingkai foto itu hingga terjatuh ke lantai, sontak saja Alana segera mengambilnya dengan hati- hati.
Bingkai foto berisi keluarga lengkapnya, ada ayah, ibunya dan dirinya saat berusia lima tahun di foto itu, tersenyum ceria tanpa ada beban sama sekali. Saat itu betapa bahagianya ia bersama keluarga kecilnya.
Alana mengusap lembut bingkai foto yang sebagian pinggirnya telah retak karena di lempar lita tadi.
Air matanya yang menetes terjatuh di kaca bingkai tepat di wajah ayah dan ibunya yang tengah tersenyum sambil memeluk dirinya.
"Ayah, ibu maafkan aku. Aku gagal melindungi rumah ini, aku gagal mempertahankan satu- satunya peninggalan berharga dari kalian. "
Batin Alana dengan dada yang di penuhi sesak. Ia kemudian memeluk bingkai itu dengan air mata yang terus mengalir.
Rusni dan kedua putrinya sama sekali tak merasa iba melihat itu, mereka justru tersenyum mengejek.
Lalu ketiganya berbalik tanpa mempedulikan Alana lagi, kemudian masuk kedalam rumah dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Alana sendiri di teras rumah dengan kesakitannya.
***
Alana kemudian bangkit berdiri, untuk terakhir kalinya ia menatap seluruh penjuru rumah, tempat masa kecilnya di habiskan saat ibunya masih ada dan ayahnya belum terserang penyakit me*matikan yang telah merenggut nyawanya.
Tersaruk Alana menapaki langkah, tertatih-tatih menahan perut yang keroncongan karna dari kemarin belum di isi makanan apapun juga menahan perih karna luka ca*karan dan memar di sekujur tubuhnya.
Kini Alana tak lagi punya tujuan hidup. Mau kemana dia di tengah malam seperti ini dengan hanya bingkai foto di pelukan.
Sejak dulu Alana tak pernah bergantung pada siapapun, teman pun ia tak terlalu akrab, ponselnya berada di dalam kamarnya, kini ia tak bisa menghubungi siapapun.
Pada siapa ia akan mengadu dengan nasibnya yang menyedihkan ini?
Tuhan, jika keajaiban mu sungguh ada, tolong tunjukkan lah padaku.
Doa Alana dalam hatinya di tengah langkanya seorang diri di pinggir jalan yang sepi di malam yang dingin ini.
Siapa yang akan menolongnya?
***
Bersambung...
Di rumah, Rusni dan kedua putrinya tertawa riang gembira, setelah sekian lama di olok dan di cap sebagai pengungsi rumah besar ini oleh para tetangga julit, akhirnya mereka bisa juga mengambil alih rumah ini bahkan bersama isi di dalam nya.
Tak ada lagi benalu seperti Alana dan ayahnya yang penyakitan itu, semua sudah mereka singkirkan.
"Akhirnya aku bisa mendekati kak angga tanpa ada pengganggu lagi, " kata mita tersenyum senang.
"Di rumah ini sekarang kita penguasa sepenuhnya, " timpal lita dengan kekehan.
"Bener.Gak akan ada lagi si lusuh dan pick me Alana itu. "
Mita menyandarkan bahu ke sofa, sambil otaknya memikirkan cara apa yang efektif untuk mendekati angga, seniornya di kampus sekaligus tetangga komplek rumahnya.
Pikiran nya jadi melanglang buana, mengingat saat pertama kali ia jatuh cinta pada angga Rahyadi, anak tunggal keluarga kaya raya Rahyadi utama itu memang sangat tampan dan ramah hingga tak ayal dia sangat populer di kampusnya.
Namun Mita juga tahu, angga justru menaruh hati pada Alana, si gadis cupu yang bahkan tak pantas untuk berada di sampingnya.
Mita bisa mengetahui itu semua mulai dari tatapan dan perhatian yang di berikan angga, di kampus Mita selalu mengawasi kedekatan angga dan Alana yang mana cafe tempat Alana bekerja itu dekat dengan kampus mereka, angga selalu berkunjung ke cafe itu bahkan di waktu libur, angga selalu menemani Alana bahkan di saat cafe itu sepi pengunjung.
Mita merasa sangat cemburu,sakit hati dan iri dengki menjadi satu. Baginya laki-laki seperfect angga sama sekali tidak cocok untuk gadis seperti Alana. sama sekali tidak.
Tok! tok!
Suara pintu yang di ketuk berhasil membuyarkan lamunan mita seketika.
"Siapa yang malam- malam bertamu? "
"Apa mungkin si Alana masih ada di sini?"
Ibunya dan Lita saling bertanya, kebingungan. kemudian mita pun bangkit.
"Biar aku periksa, " katanya, sejurus kemudian ia pergi untuk memeriksa.
Saat pintu di buka, alangkah terkejutnya mita mendapati ternyata angga yang ada di hadapannya saat ini.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Baru saja memikirkannya, ternyata pria itu kini sudah ada di depan mata. Mita semakin yakin jika Angga adalah pria yang memang di takdirkan untuknya.
"Kak angga kenapa malam- malam kesini? " tanya Mita dengan suara lembut yang mendayu-dayu, sangat berbeda dengan suaranya saat berteriak dan memaki Alana beberapa jam lalu.
"Ekhem, maaf jika mengganggu. Apa Alana nya ada? aku baru mendapatkan kabar jika ayahnya meninggal, dia pasti sangat sedih."
Mata berbinar Mita seketika redup berubah datar.
"Alana lagi, Alana lagi, kenapa semua orang begitu peduli padanya?"
Batin Mita kesal.
"Tidak ada. Alana sudah tidak ada di sini."
"Kenapa? bukankah kalian sepupu?" dahi angga berkerut bingung, melihat Mita yang nampak malas menatapnya ia kemudian berdeham lagi.
"Aku tahu memang aku datang di waktu yang tidak tepat, tapi aku sangat ingin melihatnya. "
"Sudah kubilang Alana sudah tidak tinggal lagi di sini, dia sudah pergi!"
Mata angga menyipit curiga, ada yang tak beres sepertinya. Sejak dulu ia memang sudah mengetahui perangai buruk keluarga Mita terhadap Alana, karena Alana selalu menceritakan kelakuan mereka padanya.
Angga kemudian menerobos masuk, ia tak bodoh itu sebabnya ia tidak tinggal diam saja.
"Kak angga! apa yang kakak lakukan?! "
Tindakan tiba-tiba angga sontak membuat Mita terkejut sekaligus bingung.
"Di mana Alana? pasti kalian melakukan sesuatu yang buruk padanya! "
Kedatangan angga tiba-tiba ke dalam sontak membuat rusni dan lita berdiri dari duduk mereka.
"Mita siapa dia? kenapa tiba-tiba lancang masuk ke dalam."
"Dia kak angga bu, cowok yang selalu aku ceritakan, " jawab Mita pada ibunya.
"Kau kesini mencari Alana? " tanya lita.
"Ya, di mana Alana?"
"Sudah telat, baru saja kami mengusirnya, benalu kaya dia cuma nambah beban di sini, " jawab lita dengan entengnya sementara itu Mita melototkan mata pada adiknya itu.
"Apa?! " mendengarnya angga sontak kaget setengah tak percaya.
"Kalian benar-benar tak punya hati nurani! "
"Harusnya aku yang protes ke kakak. Ka angga tidak punya sopan santun dan main nyelonong aja masuk ke rumahku. "
"Rumah mu katamu? apa maksud mu rumah Alana yang di rebut paksa dengan cara curang oleh keluarga mu! "
"Jaga ucapan mu anak muda! " rusni mulai terpancing emosi, meski dia adalah laki-laki yang di sukai putrinya, tapi Kata-kata yang keluar dari lelaki ini sungguh menyinggung nya.
"Kak angga pergi dari sini, aku gak ingin liat kakak di sini! "
Mengingat sekelebat bayangan kebersamaan angga dengan Alana membuat Mita cemburu dan marah kepada lelaki itu.
Sementara angga tak mengindahkan sama sekali omongan Mita, matanya menatap nyalak penuh kemarahan.
"Jika terjadi sesuatu pada Alana, aku tak akan segan untuk melaporkan kalian semua ke polisi. "
Angga kemudian lekas pergi dari sana. Tujuannya hanya satu yakni mencari keberadaan Alana.
\*\*\*
Alana berjalan terseok-seok di tengah gelapnya malam di sepanjang jalanan yang sepi, awan mendung nampak menggelayut di atas langit, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Alana tak punya tujuan, ke mana ia akan pergi?
"Tuhan jika keajaiban mu sungguh ada, tolong tunjukkan lah padaku. "
Lisannya terus menggumamkan Kata-kata itu, sembari sebelah tangannya memeluk bingkai foto keluarga nya dan sebelahnya lagi menahan kepalanya yang terasa berdenyut.
Tak lama hujan pun turun dengan lebatnya, seketika mengguyur tubuh ringkih Alana, gadis itu dengan cepat mencari tempat untuk berteduh.
Sekonyong-konyong ia melangkah, Alana melihat sebuah cahaya lampu dari kejauhan. Saat ia melihat dengan benar, itu cahaya sebuah mobil.
Alana tersenyum, kakinya berhenti melangkah tepat di depan mobil yang terus melaju.
Seolah memang sengaja untuk menabrakkan dirinya sendiri.
Mungkin inilah jawaban yang di berikan Tuhan.
"Mungkin lebih baik jika aku ma*ti, aku bisa bertemu dengan kedua orang tuaku di sana. "
"Terimakasih Tuhan, berkat mu akan tak akan merasakan sakit lagi, aku akan terbebas dari penderitaan ini. "
Alana menutup mata, bibirnya tertarik membentuk senyum dengan air mata yang mengalir kemudian menyatu dengan derasnya hujan.
Sementara yang berada di dalam mobil, dua orang berpakaian hitam di depan, sedangkan satunya lagi berada di kursi penumpang.
"Siapa di depan sana? "
"Sepertinya seorang gadis. "
Dua pria di kursi kemudi bertanya- tanya.
"Ada apa? "
Suara bariton terdengar berat dari belakang mereka.
"Tuan sepertinya ada seorang wanita di depan sana, dia sama sekali tak menepi padahal supir sudah menekan klakson. "
Pria itu mengangkat wajah, terlihat lah dengan jelas wajah tampan dengan tampilan dingin tak tersentuh.
Alexander jaiden nama pria itu.
"Apakah ini taktik baru dari mereka? "
"Sepertinya tuan, " jawab pria di samping supir, yang merupakan sang asisten setia pria dingin itu.
"Beberapa minggu lalu pun sudah ada dua kejadian serupa, apakah kali ini tuan ingin menyelesaikannya dengan cepat? "
"Aku tak ingin membuang waktu berharga ku, jadi kau urus. "
"Baik tuan. "
"Bagaimana pak Hans? "
"Sesuai perintah tuan, tabrak saja pak. "
"Yang benar pak Hans? bagaimana jika dia meninggal? "
"Memang itu tujuannya, agar tidak menganggu perjalanan tuan."
"Tapi--"
Pria bernama Hans- asisten Alexander itu menoleh dengan ratapan tajam.
"Turuti perintah tuan. "
"B- baik Pak. "
Sang supir yang tak punya pilihan lain pun langsung menancap gas.
Deg!
Tiba-tiba dada Alex berdetak dua kali lebih hebat.
"Berhenti."
Alex segera memberi perintah untuk menghentikan mobil.
Sementara tinggal sejengkal lagi mobil akan menabrak gadis di depan sana.
Mobil pun berhenti mendadak.
"Tuan Alexander, tuan kenapa? " Hans segera melihat kondisi sang tuan.
Alex merasa denyutan keras menyerang dadanya.
"Gadis itu bagaimana dengan gadis itu?"
"Apa maksud tuan? "
"Gadis itu benar-benar menghambat waktu ku. "
"Saya akan membereskannya. " Hans hendak pergi keluar setelah mengantongi pi*stol di sakunya. Namun Alex segera menahan.
"Tidak. Biar aku saja. "
"Tapi tuan--"
Tak mengindahkan ucapan asisten setianya itu, Alex mengambil payung lalu keluar dari mobil.
Yang pria itu lihat, adalah seorang gadis dengan pakaian lusuh, memeluk sebuah bingkai kayu di tangannya.
Yang lebih aneh gadis itu menutup matanya sambil tersenyum, seolah memang sudah siap untuk mati.
Memang gi*la, inikah trik mu*rahan baru para wanita yang tidak tahu malu ingin menarik perhatian nya.
Seperti yang sudah- sudah, Alex tak ingin di repotkan dengan masalah konyol seperti ini.
Jika gadis itu memang ingin ma*ti dengan sengaja berdiri di tengah jalan. Maka dia akan mengabulkannya dengan cara lain.
Membu*nuh orang bukan hal yang sulit untuknya.
Alex mengambil pi*stol yang tersembunyi di sakunya, lalu kemudian mendekati gadis itu.
Baru beberapa langkah mendekat, gadis itu sudah terjatuh pingsan.
Alex kaget untuk sesaat.
"Merepotkan."
Harusnya ia pergi meninggalkanya, ini tidak penting sama sekali.
Tapi kenapa langkahnya malah semakin mendekat ke gadis itu?
Alex berjongkok lalu membuang payung yang di pegangnya hingga kini tubuhnya pun mulai di guyur hujan.
"Wanita gi*la. " pikirnya. Kemudian Alex mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongan.
****
Bersambung
"Buka pintunya hans! " Titah Alex lalu dengan segera asisten pribadinya itu membuka pintu mobil belakang.
"Tuan kenapa tuan malah membawa gadis asing ini? "
Hans tidak habis pikir, bukankah harusnya tuannya itu membunuh gadis itu seperti yang sudah- sudah.
Alex masuk ke dalam mobil setelah memastikan gadis asing yang pingsan itu terlentang nyaman di jok.
"Jangan banyak bicara, jalankan saja mobilnya. "
"Baik tuan. " hans segera mengangguk patuh.
"Jalan pak, " katanya pada supir.
Mobil pun mulai melaju kembali.
Hujan mulai mereda, di tempat lain Angga terus berusaha mencari keberadaan Alana, tak peduli malam yang semakin larut dan jalanan yang becek bekas di genangi air hujan.
"Alana di mana kamu? " gumam pria itu frustasi.
Angga sudah mencari di tempat-tempat yang pernah Alana singgahi, tapi nihil, jejak gadis itu tak di temukan sama sekali. Sepengetahuan angga, Alana adalah sosok gadis penyendiri, jadi ia tidak tahu harus bertanya pada siapa untuk mencari keberadaannya.
Angga mulai menyesal, harusnya sejak dulu ia menyatakan cintanya pada Alana, menjadikannya kekasih dan melindunginya.
Dia tahu tentang perlakuan buruk yang di terima Alana dari sepupunya Mita, perempuan itu kerap kali merundungnya, dan angga selalu siap sedia untuk membelanya tapi semenjak ayahnya tahu tentang kedekatannya dengan Alana, dan menentangnya, angga jadi terpaksa harus menjaga jarak dengan gadis itu agar ayahnya tidak berbuat jahat padanya.
Andai dia bukanlah lelaki yang pengecut, Angga sudah sejak dulu memperjuangkan cinta untuk Alana.
"Alana ku mohon, berikan aku satu kesempatan untuk melindungi mu. "
______
"Ini aneh, sakit di dada ku benar-benar menghilang setelah menyentuh nya. "
Alex merenung dengan segala macam pikiran yang berkecamuk di otaknya.
Sebelumnya rasa sakit di dadanya itu semakin menjadi- jadi, Alex pun tidak mengerti dengan kehendak hatinya yang mendorong nya untuk pergi keluar menemui gadis itu sendiri.
Ternyata inilah alasannya, rasa sakit dadanya yang begitu hebat tadi ternyata bisa menghilang dengan cepat dengan hanya berhadapan dengan gadis itu.
"Tuan apakah sakit di dada anda semakin parah? saya khawatir itu akan semakin parah karna anda belum meminum penawarnya, " kata Hansen menatap cemas Alex dari kaca spion tengah.
Hansen sangat mengkhawatirkan tuannya itu, sejak dulu ia sudah sangat hafal riwayat penyakit aneh Alex yang belum di temukan obatnya sama sekali. Sakit di dada Alex yang bisa kapan saja kambuh hanya akan hilang setelah ia meminum obat penawar sementara yang khusus di resepkan dokter ternama. Jika tak kunjung meminumnya sakit di dada Alex hanya akan semakin parah.
"Aku sudah baik- baik saja, " ucap Alex.
Sontak membuat Hansen terkejut.
"Tapi tuan--"
Sadar jika bukan hanya ada mereka berdua di dalam mobil Hansen segera menutup mulut.
"Tambah saja kecepatan mobilnya, aku ingin segera ke mansion dan membersihkan diri."
"Baik tuan. "
Setelah perjalanan panjang mereka pun tiba di mansion Alexander.
Alex keluar dari mobil kemudian di susul Hansen.
"Tuan apa benar anda sudah baik- baik saja? "
"Ya, berapa kali ku katakan? perlukah aku mengulangnya seribu kali."
Hans segera menunduk.
"Maaf tuan, saya hanya mencemaskan anda. "
Alex berdecak.
"Lupakan, sekarang aku ingin berendam air panas dan berganti baju."
"Baik tuan, saya akan segera memanggil pelayan."
"Lalu bagaimana dengan gadis itu tuan? " Hans bertanya sambil melirik ke arah mobil.
Alex terdiam sejenak.
"Bawa masuk dan suruh pelayan membersihkan tubuhnya. "
"Baik, sesuai perintah anda tuan. "
🌷🌷🌷🌷🌷
Malam semakin larut, Alana terbangun setelah merasa telah tertidur panjang.
Kepalanya terasa berdenyut, samar- samar ia bisa melihat jelas dia sedang berada di tempat yang asing.
"Dimana ini? "
"Nona, anda sudah bangun? "
Alana tersentak dengan suara tiba-tiba di kupingnya ia segera bangun dan terduduk dengan linglung.
"Di mana aku? siapa kalian?! "
"Tenang lah nona, anda berada di tempat yang aman. "
"Tidak, ini bukan rumah ku, kalian siapa?! " Alana panik setengah mati. Terakhir yang ia ingat Alana di usir dari rumahnya sendiri oleh bibinya yang jahat, kenapa dia bisa berakhir di sini?
"Nona tenanglah. " seorang wanita berpakaian maid menyentuh lengannya, Alana sontak menyentak dengan wajah ketakutan.
Bagaimana jika mereka semua adalah orang jahat?
"Tuan adalah orang baik, nona beruntung di temukan oleh nya."
Tuan siapa yang mereka maksud?
Maid wanita itu mengangguk berusaha meyakinkan Alana.
"Anda sekarang baik- baik saja. "
Di tempat lain, Alex yang habis membersihkan diri hanya memakai handuk kimono di badannya yang kekar. Ia nampak sibuk mengecek dokumen laporan yang di kirimkan bawahannya tadi siang. Hari ini dia benar-benar sibuk.
"Hans."
"Ya tuan. "
Hans yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan menyahut.
"Bagaimana keadaan gadis itu? "
"Dia sudah siuman, tapi dia terus mengamuk dan mengoceh. "
"Apa yang dia ocehkan? "
"Dia bilang bahwa dia telah di jebak, dan ingin kembali ke rumahnya. "
Bibir Alex tertarik ke samping.
"Benar, dia memang wanita gi*la."
Sementara itu Alana terus berusaha memberontak, ia ingin pergi dari sini, ia sangat takut.
Para maid yang di tugaskan untuk merawat nya bahkan kewalahan untuk menenangkannya.
Alex dengan pakaian santai, tiba-tiba datang. Sontak kedatangannya membuat para maid menunduk takut.
"Kalian semua keluar! "
Para maid mengangguk lalu keluar dari kamar itu.
"Siapa kau, apa yang kau inginkan dariku? "
Alex menyeringai. "Apa yang kuinginkan dari mu? "
Dia mulai mendekat, Alana sontak memundurkan langkah.
"Kau gi*la, kenapa membawa ku kesini hah? "
"Jika aku tidak membawa mu, apa bisa menjamin kau akan tetap hidup?"
Brak! langkah mereka berdua otomatis berhenti ketika tubuh Alana terpojok membentur dinding.
"Bagaimana jika ku katakan yang ku inginkan darimu adalah tubuh mu. "
Bermain sedikit dengan wanita ini, tidak seburuk itu. Pikir Alex.
Alex menyentuh wajah Alana dengan jemarinya, gadis itu segera membuang muka ke samping.
Alex tersenyum, egonya sedikit tergores karna baru kali ini ada wanita yang menolak sentuhannya.
"Lebih baik aku matti di luar sana, daripada di bawah kemari oleh mu! "
Menarik! mainan barunya ini benar-benar menarik.
Grepp! Tangan Alex segera berpindah ke leher Alana dan mencengkram nya dengan erat sontak membuat Alana mendelik kaget.
"Apa kau ingin matti?!" hardik Alex.
Tangan mungil Alana mencoba menyentuh tangan besar Alex yang tengah mencekik lehernya.
Kristal bening mengalir di sudut mata Alana.
"Sejak awal aku memang ingin matti, aku sebatang kara dan tak memiliki apa- apa lagi, tapi jika kau menginginkan nyawa ku yang tak berharga ini, kau bisa mengambilnya. "
Raut wajah Alex menunjukkan ketidakpercayaan, bisa- bisanya ada orang yang sukarela menyerahkan nyawanya.
Cengkraman tangan Alex terlepas, Alana terduduk sambil memegang lehernya dengan nafas yang terdengar ngos- ngosan.
"Lupakan, aku masih ingin bermain main dengan mu. "
Alex berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan Alana.
"Ingat, kau bisa tetap hidup berkat aku. "
"Sekarang kau adalah milikku, dan tak akan ku biarkan orang lain mengambil mu dari ku, paham? "
Alana menatap penuh kebencian, sementara Alex tersenyum menyeringai.
Alex kemudian pergi meninggalkan Alana lalu mengunci kamarnya dari luar.
"Hans!"
Tergopoh- gopoh Hans menghampiri setelah namanya di panggil.
"Ya tuan. "
"Aku ada tugas baru untuk mu, besok, dandani gadis itu secantik mungkin. Aku tak ingin ada kesalahan. "
"Laksanakan tuan. "
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!