Nathan merasakan lemas di sekujur tubuhnya secara tiba-tiba. "Sial!! Kenapa penyakit aneh ini harus muncul lagi," desisnya tajam sambil menggigit bibirnya menahan sakit. Tubuhnya mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar kencang seolah ingin meledak, dan otot-ototnya terasa seperti kehilangan kekuatan.
Penyakit yang dideritanya memang sangat langka, bahkan mungkin dia satu-satunya di dunia yang mengalaminya. Penyakit itu membuatnya bergantung pada ASI untuk menjaga kestabilan tubuhnya. Tanpa ASI, tubuhnya mulai melemah, dan setiap kali penyakitnya kambuh, Nathan merasakan penderitaan yang luar biasa.
Dia meraba-raba mencari sesuatu untuk bersandar, berusaha menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa pusing yang mulai menguasai kepalanya. Keringat dingin mengalir di dahinya, menambah perasaan tak berdaya yang merayapi dirinya. Nathan tahu, dia harus segera mendapatkan ASI atau keadaannya akan semakin memburuk.
Nathan benar-benar tersiksa. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan yang tak berujung. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia mencoba bergerak, berharap ada seseorang yang bisa membantunya atau memberinya ASI yang sangat dia butuhkan.
"Sial," bisiknya lemah, dia benar-benar mengutuk penyakit anehnya.
Nathan duduk di ujung tempat tidurnya, wajah tampannya terlihat pucat dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Setiap detik terasa seperti ancaman yang menghampiri, mengingatkan akan penyakit langka yang mempengaruhi kehidupannya. Dengan napas tersengal-sengal, ia mencoba mengumpulkan kekuatannya untuk memanggil Max, asisten pribadinya yang setia.
"Max," desis Nathan dengan suara rendah dan rapuh, "cepat siapkan ASI untukku. Aku sudah tidak kuat lagi."
"Maaf, Tuan Muda," jawab Max dengan nada penuh sesal, "stok ASI yang Anda butuhkan sudah habis. Kami telah berusaha mencarinya, tapi tidak ada yang dapat ditemukan dengan kualitas premium seperti yang Anda butuhkan."
Nathan menatap Max dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan yang tak terbendung. Dia merasakan dunia kecilnya runtuh di hadapannya, diperparah oleh ketidaksanggupan tubuhnya untuk bertahan tanpa perawatan khusus ini.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Max?" bentaknya emosi, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kau tahu betapa pentingnya ASI itu bagiku. Ini bukan hal yang bisa ditunda!"
Max menarik napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan dengan penuh rasa hormat namun tetap jujur. "Tuan Muda, saya benar-benar memahami betapa pentingnya ASI bagi Anda. Namun, ini di luar kendali kami. Pemasok utama kita mengalami masalah produksi dan pasokan."
Nathan merasa putus asa. Dia meraih ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mencoba mencari solusi lain. "Tidak ada pilihan lain?" tanyanya dengan suara parau.
Max menggeleng lembut. "Saya takut tidak, Tuan."
Dalam keheningan yang hampa, Nathan merasa tubuhnya semakin melemah. Setiap denyut jantungnya terasa seperti belitan waktu yang semakin sempit. Dia tahu betul bahwa tanpa ASI, kemungkinan untuk bertahan hidup terasa semakin tipis.
"Coba kontak mereka lagi," ucap Nathan, suaranya begitu rendah.
Max menatap Nathan dengan penuh keprihatinan. "Saya akan mencobanya, Tuan Muda," ujarnya dengan suara yang penuh komitmen.
Setelah Max pergi, pintu kamar Nathan diketuk tiga kali sebelum terbuka. Seorang wanita cantik yang belum pernah dia lihat sebelumnya masuk ke kamar mewah itu.
"Permisi, Tuan Muda, saya mengantarkan buah dan jus untuk Anda," ucap gadis itu, Vivian, pelayan baru di kediaman Nathan. Ini adalah hari pertama Vivian bekerja di rumahnya.
Nathan yang terjebak dalam keputusasaan tiba-tiba merasakan dorongan yang tak terkendali. Matanya tertuju pada Vivian, seolah melihat harapan terakhirnya. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati Vivian dengan cepat.
Vivian terkejut saat Nathan tiba-tiba meraih bahunya dan mendorongnya hingga dia jatuh ke atas tempat tidurr Nathan. "Tuan, apa yang Anda lakukan?" tanyanya panik.
Namun, Nathan tidak menjawab. Dia membuka pakaiian bagian atass Vivian dengan gerakan cepat. Vivian menggeleng,
"Tu...Tuan, jangan..." Vivian menangis ketakutan, merasa tak berdaya. Mata Nathan membulat sempurna, saat dia menyentuh kulitnya, sebuah keajaiban terjadi. ASII keluar dari biji anggur Vivian, meski ia masih perawann dan itu sungguh tidak biasa.
Nathan menutup matanya dan terus menghiisapnya dengan rasa bersalah yang mendalam namun kebutuhan yang tak terbantahkan. Air mata Vivian mengalir semakin deras, dan setelah beberapa saat, Nathan berhenti, melepaskan Vivian yang terisak.
"Keluar dari sini sekarang," pinta Nathan dengan memalingkan muka. Dia tidak mau menatap Vivian, gadis itu terus terisak.
Nathan duduk kembali di tepi ranjang, memegang kepalanya dengan kedua tangan. Perasaan bersalah menghantuinya. Ia menyesali tindakannya yang tidak pantas terhadap Vivian. "Sial!! Apa yang telah kulakukan..." Nathan bergumam pada dirinya sendiri. Yang dia lakukan benar-benar di luar dugaan.
Sementara itu, Vivian meninggalkan kamar Nathan dengan perasaan campur aduk. Ini hari pertamanya bekerja, tapi dia sudah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari majikannya. Air mata masih mengalir di pipinya saat dia berjalan menyusuri koridor, mencoba menenangkan dirinya.
Vivian merasa bingung dan ketakutan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa pekerjaan ini akan membawanya pada situasi seperti itu. Di satu sisi, dia merasakan simpati terhadap Nathan yang jelas-jelas menderita. Namun di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan rasa takut dan ketidaknyamanan yang dia rasakan setelah insiden tadi.
Sesampainya di kamarnya, Vivian mengunci pintu dan duduk di tepi tempat tidur. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan. Dia tahu bahwa dia butuh pekerjaan ini, tapi dia juga sadar bahwa dia tidak bisa terus bekerja di bawah ancaman perlakuan yang tidak pantas.
Vivian memutuskan untuk memberi dirinya waktu untuk berpikir jernih sebelum mengambil keputusan. Dengan napas yang masih tersengal, dia berbaring, berharap bahwa jawaban atas kebimbangannya akan datang seiring berjalannya waktu. Satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan kejadian ini mendefinisikan dirinya atau melemahkan keinginannya untuk bertahan karena Vivian sangat membutuhkan pekerjaan ini.
***
Nathan menatap senja. Pikirannya terus berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Wajah Vivian yang berlinang air mata terus membayangi dirinya, menimbulkan rasa bersalah yang semakin menghimpit hatinya. Cahaya matahari yang perlahan menghilang di cakrawala seakan mencerminkan perasaan suram di dalam dirinya.
Nathan menghela napas berat, mencoba meredakan gejolak emosinya. "Apa yang telah kulakukan..." gumamnya, suara penuh penyesalan. Dia merasa dirinya telah melewati batas yang tidak seharusnya dilalui, merusak kepercayaan dan kenyamanan seseorang yang tak bersalah.
Tatapan Nathan tak lepas dari warna jingga di langit, berharap bahwa malam yang akan datang bisa membawa ketenangan dan, mungkin, sebuah solusi. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meminta maaf kepada Vivian dan memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya.
Senja semakin gelap, membawa harapan akan fajar yang baru. Nathan berharap suatu saat nanti akan ada keajaiban, dia terbebas dari penyakit aneh dan langkah yang selama ini membelenggunya.
***
Bersambung
"Vivian, Tuan Muda mencarimu. Dia ingin kau datang menemuinya."
Deg...
Tubuh Vivian seketika membeku setelah mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Max. Insiden yang terjadi pagi tadi masih begitu membekas di ingatannya. Ketakutan terlihat jelas di sepasang matanya yang indah.
"Apa yang sedang kau lamunkan? Apakah kau tidak mendengar apa yang aku katakan?" Suara Max kembali terdengar di telinganya.
Vivian mengangguk dengan cepat, kemudian dia beranjak dari hadapan Max dan pergi begitu saja. Jantungnya berdebar kencang saat dia melangkah menuju kamar Nathan. Langkahnya terasa berat, seakan-akan ada beban tak terlihat yang menghambatnya.
Sesampainya di depan pintu kamar Nathan, Vivian berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia mengetuk pintu pelan, lalu mendengar suara Nathan dari dalam kamar yang mempersilakannya masuk.
"Masuk," ujar Nathan dengan nada dingin, meski ada sedikit kekakuan dalam suaranya.
Vivian membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Nathan duduk di tepi tempat tidurnya, menatap keluar jendela seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat dalam. Saat dia melihat Vivian masuk, Nathan mengalihkan pandangannya dan mengisyaratkan agar dia mendekat.
"Vivian, duduk," kata Nathan tegas. "Aku tidak suka bertele-tele, jadi dengarkan baik-baik."
Dia mengambil selembar kertas dari meja di sampingnya dan menyerahkannya kepada Vivian. "Ini adalah kontrak pernikahan," katanya tanpa basa-basi. "Aku ingin menikahimu secara kontrak. Dengan cara ini, aku bisa memastikan kau mendapatkan perlindungan dan kompensasi yang layak."
Vivian menatap kertas itu dengan bingung. "Pernikahan kontrak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"
Nathan menunduk, suaranya tetap dingin. "Aku membutuhkan ASI untuk bertahan hidup," katanya tanpa keraguan. "Setelah kejadian tadi pagi, ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan kau tetap aman dan terhindar dari situasi yang sama di masa depan. Dengan pernikahan ini, kau akan memiliki perlindungan hukum dan finansial."
Vivian menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tuan Muda, ini... ini gila. Saya tidak bisa... saya tidak bisa menikah dengan Anda hanya karena alasan ini."
Nathan menatapnya tajam. "Aku tidak meminta pendapatmu. Ini bukan permintaan. Pertimbangkan ini sebagai perintah," ujarnya tegas. "Ini adalah solusi terbaik bagi kita berdua. Aku tidak ingin insiden pagi tadi terulang. Jangan terlalu lama mengambil keputusan. Waktu adalah uang dan itu sangat berharga."
"Maaf, Tuan Muda, beri saya waktu untuk memikirkannya," Dengan perasaan campur aduk, Vivian meninggalkan kamar Nathan. Dia berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah yang berat, pikirannya penuh dengan kebingungan dan ketakutan.
Di satu sisi, dia merasa simpati terhadap penderitaan Nathan. Namun di sisi lain, dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah diharapkannya.
Di kamarnya, Vivian duduk di tepi tempat tidur, menatap kertas kontrak di tangannya. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan. Dia tahu bahwa keputusan yang akan diambilnya akan mengubah hidupnya selamanya. Satu hal yang pasti, dia harus membuat keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
.
.
Nathan menghela napas panjang, menatap senja yang semakin memudar di cakrawala. Beban pikirannya terasa semakin berat setelah pertemuannya dengan Vivian. Tiba-tiba, Max masuk ke dalam kamar dan menghampirinya dengan langkah sigap.
"Tuan Muda, Anda memanggil saya?" tanya Max dengan nada penuh hormat.
Nathan menoleh, menatap Max sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Max, aku ingin supaya kau menyelidiki tentang Vivian," katanya dengan suara tegas. "Cari tahu semua tentang dia, termasuk latar belakang keluarganya."
Max mengangguk, menerima perintah tersebut tanpa banyak bertanya. "Baik, Tuan Muda. Apakah ada hal khusus yang perlu saya fokuskan?"
Nathan menghela napas lagi, kali ini dengan nada frustrasi yang samar. "Cari tahu apakah ada hal lain yang perlu aku ketahui. Apa pun yang mungkin relevan dengan situasi ini."
Max memahami keseriusan dalam nada bicara Nathan. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan segera mengurusnya."
"Pastikan semua dilakukan dengan hati-hati. Aku tidak ingin dia tahu tentang penyelidikan ini," lanjut Nathan, tatapannya kembali mengarah ke jendela.
Max mengangguk sekali lagi sebelum berbalik dan meninggalkan kamar, meninggalkan Nathan dalam kesunyian yang penuh dengan pikiran dan kekhawatiran. Nathan menghela napas untuk kesekian kalinya. Dia tahu bahwa dia perlu memahami lebih banyak tentang Vivian dan situasinya sebelum mengambil langkah lebih lanjut.
Di dalam kamar yang semakin gelap, Nathan merenung. Dia tidak suka harus mengandalkan orang lain, apalagi dengan cara seperti ini. Namun, keadaan memaksa dirinya untuk melakukan segala yang diperlukan demi kesehatannya.
"Vivian," gumam Nathan pelan, seolah-olah nama itu adalah sebuah misteri yang harus dipecahkan. Dia tahu bahwa keputusan ini akan membawa perubahan besar, baik bagi dirinya maupun bagi Vivian. Tapi demi menjaga kehormatannya, Nathan mengambil tindakan tersebut.
***
Di dapur yang sibuk, Vivian dan beberapa pelayan lainnya sedang sibuk menyiapkan makan malam. Meski hanya ada satu orang yang harus mereka layani, berbagai hidangan selalu tersaji di atas meja setiap harinya, mencerminkan standar tinggi yang dijaga di rumah besar itu.
Vivian, sebagai orang baru, merasa canggung di tengah para pelayan yang sudah lebih berpengalaman. Suara beradu peralatan dapur dan aroma harum masakan mengisi udara, membuat suasana dapur terasa hidup dan dinamis.
"Sini, Vivian, bantu aku potong sayuran ini," kata Martha, salah satu pelayan senior yang ramah. Martha tahu betapa sulitnya menjadi orang baru di lingkungan yang serba formal ini.
Vivian mengangguk dan mendekat. "Baik, Martha," jawabnya sambil mengambil pisau dan mulai memotong sayuran dengan hati-hati. Dia ingin memastikan semua tugasnya dikerjakan dengan baik.
"Jangan terlalu tegang, Vivian. Kami semua pernah menjadi orang baru di sini," kata Jake, pelayan lain yang lebih tua, sambil tersenyum pada Vivian. "Kau akan terbiasa seiring berjalannya waktu."
Vivian tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Jake. Aku hanya tidak ingin membuat kesalahan," katanya pelan.
Martha menepuk bahu Vivian dengan lembut. "Tidak apa-apa. Yang penting kau mau belajar dan bekerja keras. Kita semua di sini untuk saling membantu."
Saat mereka sibuk bekerja, Vivian merasakan sedikit beban di pundaknya berkurang. Meski masih canggung, keramahan dari para pelayan senior membuatnya merasa sedikit lebih nyaman.
Setelah beberapa saat, pintu dapur terbuka dan Nathan masuk, mengejutkan semua orang. Kehadiran Nathan di dapur adalah hal yang jarang terjadi, membuat semua pelayan berhenti sejenak dari kegiatan mereka.
"Tuan Muda," kata Martha dengan nada hormat, sambil sedikit membungkukkan badan.
Nathan mengangguk sebagai tanda sapaan. "Aku hanya ingin memastikan makan malam siap tepat waktu," katanya singkat.
"Semua akan siap sesuai jadwal, Tuan," jawab Martha cepat.
Nathan mengalihkan pandangannya ke arah Vivian yang masih sibuk dengan potongan sayuran. Vivian bisa merasakan tatapan Nathan, tetapi dia mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Kemudian Nathan berbalik dan pergi begitu saja.
***
Bersambung
Nathan sedang sibuk memeriksa dokumen di ruangannya ketika Max datang. Dia membawa informasi yang Nathan butuhkan tentang Vivian. Max mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan, memegang sebuah map berisi berkas-berkas penting.
"Tuan Muda, saya membawa informasi yang Anda minta tentang Vivian," kata Max dengan nada serius.
Nathan meletakkan dokumen yang sedang diperiksanya dan mengalihkan perhatian ke Max. "Hm. Apa yang kau temukan?"
Max berjalan mendekat dan menyerahkan map tersebut kepada Nathan. "Vivian, adalah tulang punggung keluarganya, Tuan. Ibunya sudah meninggal dan ayahnya lumpuh karena kecelakaan sehingga dia tidak lagi bekerja. Adiknya masih sekolah dan membutuhkan biaya."
Nathan membuka map itu dan membaca informasi dengan seksama. Ekspresinya tetap dingin, meski ada kilatan pengertian di matanya. "Jadi, dia bekerja di sini untuk menopang keluarganya," gumam Nathan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Ya, Tuan Muda. Vivian, mengambil pekerjaan ini untuk memastikan keluarganya tetap bertahan. Dia adalah satu-satunya sumber pendapatan mereka," lanjut Max, memperjelas situasi.
Nathan menutup map dan meletakkannya di atas meja, lalu bersandar di kursinya sambil merenung. "Aku mengerti. Kau boleh kembali ke tugasmu."
Max mengangguk dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Nathan dengan pikirannya. Nathan menyandarkan dirinya ke kursi, menatap map yang berisi rincian tentang kehidupan pribadi Vivian.
Nathan menatap jendela yang memperlihatkan langit senja yang mulai gelap. Di balik eksteriornya yang dingin dan arogan, Nathan menyadari bahwa dia harus bertindak adil, bukan hanya sebagai atasan tetapi juga sebagai manusia. Dia memutuskan bahwa dia akan berbicara dengan Vivian lagi, kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam tentang situasinya.
***
Vivian berdiri di belakang Nathan yang sedang menyantap makan malamnya. Suasana di antara mereka begitu hening, tak ada obrolan, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang saling bersentuhan dengan piring. Para pelayan lainnya mengintip dengan penuh penasaran dari dapur, menyaksikan interaksi yang jarang sekali terjadi antara majikan mereka dan seorang pelayan.
Tiba-tiba, Nathan berhenti makan dan menatap ke arah Vivian. "Vivian, duduklah disini dan temani aku makan," katanya dengan nada tegas namun tenang.
Vivian terkejut dan merasa tidak nyaman dengan permintaan tersebut. "Maaf, Tuan Muda, tapi saya tidak bisa. Ini tidak pantas," jawabnya dengan suara pelan, berusaha menjaga kesopanannya.
Nathan menatapnya dengan tajam. "Aku tidak mengulangi perintah dua kali, Vivian. Duduk dan temani aku makan."
Para pelayan lainnya saling berpandangan, terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat majikannya mengajak seorang pelayan untuk makan satu meja dengannya.
Vivian merasa semakin terdesak, namun dia tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Nathan. Dengan hati-hati, dia menarik kursi dan duduk di seberang Nathan, merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa.
Nathan melanjutkan makannya, sementara Vivian duduk diam, merasa semua mata tertuju padanya. Setelah beberapa saat, Nathan meletakkan garpu dan pisau, menatap langsung ke arah Vivian.
"Vivian, aku ingin kau merasa nyaman di sini. Aku tahu kau masih baru dan mungkin merasa canggung, tapi kau harus tau bahwa posisimu penting," kata Nathan, suaranya lebih lembut namun tetap penuh otoritas.
Vivian mengangguk pelan, masih merasa tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Baik, Tuan Muda. Saya mengerti,"
Nathan mengangguk, kemudian kembali melanjutkan makannya. "Bagus. Aku berharap kau bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Jika ada masalah, jangan ragu untuk memberitahuku atau Max."
Vivian hanya mengangguk mendengar kata-kata Nathan, meski perasaan canggung itu masih ada. Dia tahu bahwa hidupnya di rumah ini tidak akan mudah, tapi setidaknya Nathan menunjukkan bahwa dia bisa berbicara langsung jika ada masalah.
Para pelayan lainnya kembali ke dapur, berbisik-bisik tentang apa yang baru saja mereka saksikan. Martha, yang selalu ramah kepada Vivian, menatapnya dengan tatapan penuh pengertian dan sedikit bangga.
"Mungkin tidak akan mudah, tapi kau akan baik-baik saja, Vivian," bisik Martha saat dia lewat di dekat Vivian. Vivian tersenyum tipis. Dia tidak tau harus bereaksi bagaimana.
Namun, di tengah suasana yang hening dan penuh tanya, ada satu pelayan yang tidak suka melihat perhatian Nathan terhadap Vivian. Dia adalah Monica, seorang pelayan yang sudah lama bekerja di rumah itu. Rasa iri dan kesal menyelimuti hatinya setiap kali dia melihat Nathan memperlakukan Vivian dengan baik, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan selama bertahun-tahun bekerja di sana.
Monica berdiri di sudut dapur, menyaksikan kejadian di ruang makan dengan mata yang penuh dengan kebencian. "Apa yang membuat gadis baru itu begitu istimewa?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar di tengah hiruk-pikuk dapur.
Martha, yang memperhatikan perubahan ekspresi Monica, mendekatinya dengan hati-hati. "Monica, ada apa? Kau kelihatan tidak senang," tanyanya lembut.
Monica menghela napas, menatap Martha dengan mata yang menyala. "Tidak adil, Martha. Aku sudah bekerja di sini selama bertahun-tahun, melakukan semua yang diperintahkan dengan sempurna. Tapi Tuan Muda tidak pernah memperlakukan aku dengan cara yang sama. Kenapa Vivian yang baru saja datang mendapatkan perhatian seperti itu?"
Martha menepuk bahu Monica dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Monica, kita tidak tahu apa yang ada di pikiran Tuan Muda. Mungkin ada alasan di balik semua ini. Kita harus fokus pada pekerjaan kita dan tidak membiarkan rasa iri menguasai hati kita."
Monica mendengus, tapi tetap mendengarkan nasihat Martha. "Mungkin kau benar. Tapi rasanya sulit untuk tidak merasa iri."
Sementara itu, di ruang makan, Nathan selesai dengan makannya dan menatap Vivian sekali lagi. "Kau boleh kembali ke tugasmu sekarang," katanya dengan nada datar.
Vivian mengangguk, merasa lega bisa meninggalkan meja makan. "Terima kasih, Tuan," jawabnya singkat sebelum berdiri dan berjalan kembali ke dapur. Saat dia masuk, dia merasakan suasana yang sedikit tegang, terutama ketika dia melihat Monica menatapnya dengan tatapan yang tidak ramah.
Vivian mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu dan melanjutkan tugasnya. Dia tahu bahwa tidak semua orang di rumah ini akan menerima kehadirannya dengan baik, terutama setelah kejadian tadi.
Monica terus memperhatikan Vivian dari kejauhan, perasaan iri masih mengganjal di hatinya. Tapi dia juga tahu bahwa Martha benar. Dia tidak bisa membiarkan perasaan negatif itu mengganggu pekerjaannya. Meski sulit, Monica berusaha untuk fokus pada tugasnya, mencoba mengesampingkan rasa tidak suka yang semakin tumbuh terhadap Vivian.
Hari itu berlalu dengan suasana yang campur aduk. Vivian terus bekerja dengan tekun, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Sementara itu, Monica dan para pelayan lainnya tetap mengamati, sebagian besar dengan rasa penasaran, bagaimana hubungan antara Nathan dan Vivian akan berkembang di hari-hari mendatang.
***
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!