"Dadaku terasa sesak, asap sudah mulai memenuhi ruangan, kepalaku juga sakit tertimpa sesuatu, lalu ada tangan kecil menarikku keluar dari asap itu....", aku terbangun dari mimpiku.
"Pagi pak Evan".
"Pagi", sapaku kembali kepada resepsionis yang berada tepat di pintu masuk kantorku.
Aku berjalan ke ruang meeting kantor ini, jadwalku hari ini hanya akan dipenuhi oleh pertemuan saja. Ayahku pemilik perusahaan ini, namun tidak ada yang mengetahuinya kecuali kepala HRD. Bagi yang lain aku hanyalah staff biasa yang baru masuk 1 tahun ini.
Aku suka pulang kantor saat sudah malam, biasanya aku akan pergi ke rooftop kantor ini untuk melihat perubahan langit di sore hari menuju malam hari sambil merokok. Setelah langit gelap, baru aku akan pulang ke rumah. Aku malas pulang ke rumah, disana tidak ada kehangatan keluarga seperti yang ada di film ataupun drama. Semua anggota keluarga memiliki kesibukan masing-masing. Aku adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kakak pertamaku, Axel, telah menjadi direktur disalah satu anak perusahaan keluarga. Ia telah memiliki keluarga sendiri dan tinggal terpisah dengan kami. Kakakku Dira memiliki cafe dan resto, pacarnya adalah manajer di anak perusahaan adik papaku yang lain.
Orangtuaku sibuk dan sering tidak berada di rumah. Ada kalanya kami berkumpul dan makan bersama, namun pembicaraan hanya sekitar berapa persentase angka yang telah dihasilkan oleh Dira dan aku dalam kontribusi pada penjualan. Semua pembicaraan hanya berkisar pada bisnis dan berakhir pada angka yang dihasilkan.
Dalam 1 gedung tempatku berpijak saat ini terdapat 4 perusahaan. Papaku dan kedua adiknya masing-masing menjadi direktur dari PT yang berbeda. Kakakku, memulai bisnisnya sendiri dan tentu saja dengan dukungan keluarga dibelakangnya.
Mataku menatap langit yang mulai berubah warna, sambil berpikir mengenai pekerjaan hari itu.
Saat langit gelap dan aku hendak pulang, aku melihat seorang gadis di sisi yang berlawanan denganku tadi. Aku baru melihatnya pertama kali, apa dia pegawai baru, atau aku yang baru melihatnya, ia cantik, hanya itu yang terlintas dalam otakku saat melihatnya. Aku berlalu menuju pintu dan pulang meninggalkan tempat itu.
"Pagi", sapaku pada 2 orang resepsionis yang sudah duduk rapi menyapa pekerja yang baru datang.
"Pagi pak", sapa mereka sambil tersenyum.
Pagi ini aku menuju ke ruang public relation kantor kami untuk menerangkan program undian berhadiah produk dari perusahaanku, lalu aku melihat gadis rooftop itu duduk disalah satu kursi staff diruangan ini.
Aku melihat ke arahnya, kemudian kepala divisi menerangkan padaku bahwa ia pegawai baru di divisi ini.
"Perkenalkan nama saya Natalie, pak", katanya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Kuraih tangannya untuk menyapanya kembali,
"Nama saya Evan", kataku sambil tersenyum.
Lalu aku memulai pertemuan, dengan menjelaskan secara detail bagaimana program undian berhadiah akan berlangsung.
"Apa ada pertanyaan lagi", tanyaku sambil melihat para peserta di ruangan ini.
"Saat ini sudah cukup jelas pak Evan", jawab kepala divisi.
"Baik, terima kasih untuk kerjasamanya", kataku sambil pamit undur diri dari ruangan itu.
"Van, ada cewek baru dikantor, tadi lo kan keruangan public relation, apa sudah berkenalan dengan cewek itu?", tanya salah satu temanku saat makan siang dikantin gedung ini.
"Udah, namanya Natalie", jawabku singkat.
"Natalie... menurutmu apa dia jomblo Van?".
"Mana gue tau, lo kira gue kesana buat kenalan apa".
"Ya sapa tau, lo liat dia pake cincin apa ga, gitu loh Van".
"Entahlah ga perhatiin juga", kataku sambil melihat kearah Natalie.
Ia sedang tertawa dengan teman-teman semejanya. Ia memang terlihat menarik, cantik dan sepertinya ramah, diam diam aku memperhatikannya, ia sering tersenyum menanggapi temannya berbicara. Aku suka senyumnya, ia sungguh menarik dimataku.
Saat jam kerja berakhir, para rekan kerjaku mulai pamit pulang, aku berjalan menuju ke arah rooftop untuk merokok.
Aku melihat sekeliling rooftop namun tidak ada siapapun kali ini. Aku mulai menatap gedung-gedung lain sambil menghisap vape.
Kemudian pandanganku beralih ke arah pintu, kulihat Natalie sedang berdiri tidak jauh dari pintu sambil menelepon. Aku terus memerhatikannya, tidak lama ia menutup teleponnya dan pergi meninggalkan rooftop. Kurasa sore ini bukan keberuntunganku untuk bisa mengajaknya berbicara.
Kini mencari Natalie setiap aku ke rooftop adalah kebiasaan baruku, namun sudah 3 hari ini aku tidak melihatnya di rooftop. Aku hanya bisa diam-diam memperhatikannya saat jam makan siang di kantin.
"Van, jalan yuk kita minum sambil nonton pertandingan bola", ajak salah satu temanku.
"Ok, kita langsungan aja dari kantor sambil nunggu yang lain selesai", jawabku.
Kali ini aku merokok di luar lobby bawah bersama teman-temanku, dan aku melihat Natalie keluar dari lobby.
"Dia jomblo kok Van", kata temanku.
"Hah...apa?", jawabku sambil masih memperhatikan Natalie.
"Natalie.....dia jomblo", ulang temanku.
"Oooo... hehehe, dia menarik bukan?", kataku sambil tersenyum pada temanku, sedikit malu tau sedang memperhatikan Natalie.
"Ya lumayan, bukan hanya lo yang memperhatikannya, jomblowan lainnya juga membicarakan Natalie".
Ya, bisa kubayangkan Natalie menjadi perbincangan saat sesi istirahat atau merokok seperti sekarang. Setiap pekerja wanita yang baru datang ke kantor ini, jika ia jomblo maka sudah pasti akan menjadi topik hangat selama beberapa minggu ke depan, hingga akhirnya ada gossip baru yang menggantikan gossip lama.
Sudah hampir 2 minggu aku keluar kota mengurus beberapa event perusahaan. Malam ini pertama kalinya aku menginjak rooftop lagi. Mataku langsung melihat sekeliling mencari Natalie, tapi dia tidak berada disana. Aku pun melanjutkan merokok, menikmati perubahan langit menuju malam.
Saat aku hendak meninggalkan rooftop, kulihat Natalie sedang berdiri dibalik dinding pintu sambil minum minuman softdrink.
"Hai Natalie", sapaku ramah.
"Hai kak, panggil aku Nat aja", balas Natalie sambil tersenyum.
"Kakak? Panggil aku Evan saja".
"Sebenarnya aku sudah beberapa kali melihatmu di rooftop, cuma baru kali ini aku sempat menyapamu Nat".
"Oh ya... aku tidak memperhatikan sekelilingku, aku pikir aku satu satunya yang suka ke rooftop".
"Apa yang membuatmu suka ke rooftop Nat?".
"Aku suka keheningan, sambil melihat gedung-gedung lain juga langit. Kalau kamu Van?".
"Ya, alasan yang sama, ditambah merokok. Apa kamu merokok Nat?".
"Tidak, hanya minum", jawab Nat sambil menunjukkan kaleng softdrink nya.
"Apa kamu keberatan punya cowok yang suka merokok?", candaku sambil tersenyum.
"Hmm... usaha yang bagus Van", jawab Natalie sambil tersenyum.
"Sudah mulai gelap, aku harus pulang, sampai nanti Van".
Kami berpisah setelah turun tangga dari rooftop menuju ruangan kami masing-masing.
Selama perjalanan pulang menuju rumah, aku menyetir sambil mengulang kejadian di rooftop saat bersama Natalie tadi, aku suka senyumnya, aku suka caranya menanggapi obrolan kami, aku menyukainya.
Keesokannya aku mulai mencari cara mendekati Natalie. Aku mendekatinya saat jam makan siang di kantin kantor.
"Hai Nat".
"Ooo...hai Evan".
"Aku dengar ada beberapa masalah mengenai program undian produkku, apa sejauh ini timmu bisa mengatasinya?", tanyaku mencari alasan agar bisa mendapatkan no pribadi Natalie.
"Ya benar sih, tapi belum ada masalah berarti yang harus tim kami laporkan kepada tim mu Van".
"Aku butuh beberapa detail kasusnya untuk bahan pembelajaran kami di program marketing berikutnya, apa kamu bisa menolongku Nat?".
"Ya, tidak masalah Van, datang saja ke ruangan tim kami nanti".
"Mmm... cuma kalau aku datang ke tim mu, aku takut mengganggu kerja yang lainnya. Lagipula saat ini hanya untuk pembelajaran pribadiku Nat. Apa bisa kita bertemu diluar jam kerja?".
"Hmmm... diluar jam kerja ya....", jawab Natalie sambil berpikir.
"Kita bisa bertemu di kantin, di rooftop atau tempat lainnya. Atau kalau boleh melalui WA juga tidak masalah Nat. Aku hanya butuh sedikit informasi saja", kataku sambil berharap mendapat respon positif dari Natalie.
"Kalau melalui WA saja bagaimana? Aku tidak mau menjadi bahan gossip hanya karena kita mengobrol berdua", jawab Natalie.
"Ya, tidak masalah Nat. Terima kasih banyak ya Nat", jawabku sambil tersenyum.
"Sampai nanti Nat".
Usahaku berhasil, meskipun ia menolak untuk bertemu denganku secara pribadi, setidaknya aku mendapatkan nomor pribadinya.
"Malam Nat, apa aku menganggu?", sapaku melalui WA.
"Hai Van, tidak kok. Van apa keberatan kalau kita teleponan saja? jadi aku bisa menjawabmu sambil beberes".
"Ok Nat", lalu aku langsung menelepon Natalie.
"Hai Van, maaf ya aku loudspeaker".
"Ga apa apa Nat, tapi apa tidak menganggu orangtuamu atau penghuni rumahmu yang lain?".
"Aku tinggal sendiri di apartemen Van, jadi tidak ada yang terganggu. Kamu mau tanya apa Van".
"Apa kamu baru pulang Nat? Aku jadi tidak enak kamu sambil beberes gitu. Pertanyaanku tidak butuh cepat kok, bisa besok lagi Nat".
"Mmm.... sebenarnya tidak apa apa juga sih Van".
"Bagaimana dengan besok, apa besok kamu lebih senggang?".
"Sebenarnya akhir-akhir ini memang jam pulangku memang lebih malam dari biasanya Van".
"Apa kamu lembur dikantor Nat?".
"Ah... bukan lembur, itu urusan pribadi kok".
"Bagaimana dengan hari Sabtu siang saja aku meneleponmu, apa kamu berkencan di Sabtu siang?", tanyaku.
"Tidak ada kencan Van", jawab Natalie sambil terkekeh sedikit.
"Baiklah sampai Sabtu siang Nat. Selamat beristirahat Nat".
"Ya Van".
Beberapa hari berikutnya, aku selalu mencari Natalie di rooftop namun ia tidak pernah ke rooftop lagi. Aku hanya bisa menyapanya sesekali kalau aku melihatnya di kantin. Sebenarnya aku ingin memberinya pesan singkat melalui WA, tapi aku takut terlalu agresif, lagipula kita sudah berjanji akan mengobrol dihari Sabtu siang.
"Siang Nat", sapaku melalui WA. Aku telah menunggu momen ini dari beberapa hari yang lalu.
"Hai Van, apa yang bisa aku bantu?".
"Bisa kamu ceritakan beberapa kasus mengenai program undian itu, jadi aku bisa mengadakan program undian yang lebih baik ke depannya".
"Ok Van....."
Aku dan Natalie kemudian membahas mengenai program undian itu.
"Van, apa kamu keberatan kalau kita pindah ke telepon saja, aku mau sambil makan siang", tanya Natalie.
"Ga apa apa Nat, biar aku yang telepon", jawabku.
"Maaf Nat aku mengganggumu, apa kamu mau udahan saja, kita bisa lanjut besok".
Aku memulai pembicaraan telepon dengan meminta maaf, bisa kudengar Natalie juga menggunakan loudspeaker saat ini.
"Aku sih santai aja Van, atau kamu yang mau lanjut lain kali?".
"Kalau aku sih kalau bisa mau ngobrol selama mungkin sama kamu Nat", candaku pada Natalie. Bisa kudengar dia juga tertawa kecil menanggapi perkataanku.
"Apa kamu tidak pergi berkencan Van?"
"Tidak, hari ini kencanku adalah mengobrol sama kamu", kudengar Natalie tertawa lagi mendengar candaku.
"Nat, kamu tidak pernah ke rooftop lagi akhir-akhir ini, apa kamu menghindariku?".
"Wow haruskah aku ge-er mendengar kamu mencariku di rooftop", tanya Natalie sambil tertawa.
"Ya, selama aku kerja, hanya kamu yang aku lihat di rooftop, selain petugas kebersihan atau teknisi, jadi aku penasaran sama kamu Nat", jawabku berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan aku menyukainya, karena aku takut ia akan menghindariku nanti.
"Ya dulu aku suka memandang langit bersama mama, itu sebabnya aku suka ke rooftop. Bagaimana denganmu, apa ada alasan khusus juga?".
"Aku mencari keheningan Nat, aku juga malas pulang cepat ke rumah, jadi aku terbiasa merokok di rooftop".
Tidak terasa siang itu kami mengobrol hampir sekitar 2 jam.
"Van aku harus pergi, kita lanjut kapan kapan lagi ya", pamit Natalie.
"Baiklah Nat, semoga sisa harimu menyenangkan, hati-hati Nat".
Aku menutup telepon dengan tersenyum, setidaknya aku tau dia tidak menghindariku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
aku menemukanmu
diantara banyak orang
waktu seakan berhenti
mataku terpaku
menatap senyummu
semudah itu
aku jatuh cinta denganmu
-Caroline-
Semenjak hari Sabtu itu, aku sering memberi pesan singkat pada Natalie, hanya untuk sekedar menyapa atau mengobrol basa basi sebentar.
Aku juga selalu mencarinya setiap sore setelah jam kantor usai di rooftop, namun keberuntungan belum berpihak kepadaku, aku hanya bisa memperhatikannya saat makan siang di kantin.
Suatu sore di hari Jumat, aku pergi ke rooftop agak telat daripada biasanya, karena aku mengobrol dengan rekan-rekan kerjaku dulu, lalu aku melihatnya sedang menelepon seseorang, aku menyapanya melambaikan tanganku, lalu pamit menjauh. Sambil merokok, aku memperhatikannya dari jauh, ia sungguh manis, aku bisa betah berjam jam hanya untuk melihatnya, lalu berpikir aku ingin mengajaknya bertemu saat weekend ini.
Ia sudah menutup teleponnya dan berjalan ke arahku, aku segera mematikan rokokku.
"Hai Van", sapa Natalie sambil melihatku membuang rokokku.
"Nat, senang melihatmu di rooftop lagi", kataku sambil tersenyum.
"Ah...iya kebetulan", jawabnya singkat.
"Van aku pulang dulu ya".
"Loh Nat baru aku mau mengobrol denganmu, kamu sudah mau pulang saja".
"Sudah mulai malam Van, kita bisa mengobrol melalui WA", jawabnya sambil tersenyum.
"Baiklah.... Nat apa besok aku boleh mentraktirmu makan siang? Aku belum mengucapkan terima kasih atas bantuanmu untuk informasi tentang program undianku".
"Terima kasih Van, tapi tidak perlu Van, lagipula memang itu sudah tugas divisiku", tolak Natalie.
"Ahh.... baiklah, apa aku boleh mengantarmu pulang?", tanyaku tidak mau menyerah begitu saja.
"Terima kasih Van, tapi aku tidak mau ada gossip Van", tolaknya lagi.
Aku mengangguk, berusaha memahaminya, lalu menyerah dan berkata,
"Hati-hati Nat".
"Sampai nanti Van".
Ya, sudah 2 kali Natalie berkata padaku kalau ia tidak mau menjadi bahan gossip. Kurasa aku butuh waktu untuk menyatakan perasaanku padanya.
"Pagi Nat, apa rencana kamu hari ini?", bunyi WA ku di hari Sabtu pagi.
Aku menunggu balasan, namun Natalie baru membalasku saat sudah sore hari.
"Hai Van, maaf baru balas, tadi aku lupa ga bawa powerbank".
"Apa kamu sudah di apartemenmu sekarang? Apa waktunya tidak tepat untuk mengobrol Nat?".
"Ya aku sudah di apartemen, sedang makan cemilan kok Van".
"Boleh aku melakukan video call?".
"Ok", jawabnya singkat.
Aku langsung melakukan panggilan video, kulihat ia baru saja mandi, rambutnya masih belum benar-benar kering, mukanya polos tanpa make up, ia juga memakai baju rumah tanpa lengan. Baru kali ini aku melihatnya menggunakan model baju seperti ini, karena biasanya aku hanya melihat penampilannya berpenampilan rapi di kantor. Meski demikian ia terlihat sangat cantik di mataku. Kepolosannya membuatnya semakin menarik.
Aku mengobrol santai dengannya, hingga ia berbalik untuk mengambil minum, aku melihat dibagian atas lengan kirinya terdapat luka bakar berukuran kecil.
"Nat apa itu bekas luka di lenganmu?".
"Oh ini...iya tapi aku juga tidak terlalu mengingat kejadiannya", katanya sambil menunjukkan bekas lukanya.
"Van tunggu ya, aku mau turun sebentar mengambil pesanan makananku".
"Nat, kamu makan saja dulu, nanti malam aku telepon lagi boleh ya?"
"Ok Van".
Setelah aku mengakhiri teleponku, aku jadi memikirkan bekas luka Natalie. Aku teringat mimpiku kurang lebih sebulan yang lalu, mimpi itu adalah kenangan masa kecilku saat berumur 12 tahun. Dulu saat aku tinggal bersama oma, aku pernah mengalami kecelakaan kecil. Aku ingin membantu oma memanaskan makanan, lalu aku tinggal bermain video game. Hingga tiba-tiba ada banyak asap keluar dari dapur. Kebetulan saat itu aku sedang sendiri di rumah. Aku berusaha memadamkan apinya namun tidak berhasil. Aku mulai merasa sesak nafas, pandanganku pun mulai kabur, hingga ada tangan kecil yang berusaha menarikku keluar ruangan. Karena ia bertubuh lebih kecil dariku, saat berusaha membantuku keluar ruangan, kami menabrak beberapa barang dapur, salah satunya melukai lengan penolongku. Beruntung letak dapur berbatasan langsung dengan taman luar dan pintu keluar dari samping. Tidak lama para tetangga datang menolong, dan pemadam kebakaran memadamkan apinya. Bagian belakang rumah oma habis terbakar karena ulahku.
Aku berusaha mengingat nama gadis kecil itu. Aku sering bermain dengannya setiap aku menginap di rumah oma. Nata....ya kalau tidak salah aku memanggilnya Nata.
Aku harus menanyakannya nanti malam.
"Malam Nat"
Namun lama tidak ada balasan dari Natalie.
"Apa kamu sudah tidur Nat?".
Sama seperti sebelumnya, tidak ada balasan dari Natalie. Kupikir aku akan mencobanya besok lagi.
Keesokan harinya aku bangun agak siang, begitu bangun aku langsung menyapa Natalie, kali ini ia langsung membalasku.
"Hai Van, maaf kemarin aku ketiduran".
"Tidak apa apa Nat, apa kamu ada acara hari ini?".
"Sebenarnya saat ini aku sedang bersiap pergi keluar Van".
"Ok baiklah, hati-hati Nat".
Pembicaraan kami terputus hingga malam tidak ada obrolan bersama Nat di hari Minggu itu.
Senin pagi aku putuskan untuk menanyakan soal Natalie ke pimpinan HRD. Aku memberinya pesan singkat menanyakan latar belakang Natalie, dan meminta beliau tidak memberitahukannya kepada papaku. Namun aku tidak mendapatkan banyak informasi, beliau hanya mengatakan Natalie hanya memiliki seorang ibu, tapi sudah lama tinggal terpisah dengan ibunya.
Aku berharap bisa menanyakan langsung kepada Natalie, begitu jam kantor usai aku langsung menuju rooftop, namun aku tidak menemukannya di rooftop beberapa hari ini.
Hingga weekend datang lagi. Namun aku juga tidak banyak mengobrol dengannya, karena weekend itu Natalie ada keperluan pribadi.
Akhirnya Minggu malam aku memberinya pesan singkat pada Natalie meminta bertemu.
"Hai Nat, apa kamu sudah pulang?".
"Ya aku sudah di rumah Van".
"Nat, ada hal penting yang harus aku tanyakan padamu, apa kita bisa bertemu langsung? hanya sebentar saja Nat, mungkin sepulang kerja kita bisa mampir ke cafe atau mungkin aku mengantarmu pulang, bagaimana Nat?"
"Mmm....hanya sebentar kan Van, bagiamana kalau di rooftop saja?".
"Terima kasih Nat, aku akan menunggumu di rooftop besok sore ya Nat".
"Ok Van".
Aku menunggunya di rooftop sore itu, saat langit mulai gelap aku melihatnya keluar dari pintu menuju rooftop, aku segera mematikan rokokku.
"Hai Van, sudah lama menunggu ya? Maaf tadi aku harus menyelesaikan beberapa hal dulu".
"Tidak apa apa Nat, aku juga baru sampai kok", kataku berbohong.
"Jadi ada hal penting apa Van?".
"Nat...mmm... maaf aku mau bertanya soal bekas luka di lenganmu", sambil menunjuk lengan Natalie.
"Ini...? Ini hanya cerita waktu aku kecil, aku juga tidak begitu ingat sih Van. Memang kenapa?".
"Apa kamu waktu kecil tinggal di daerah Serpong Utara Nat?".
"Ya, apa kamu juga tinggal disitu?", tanya Natalie kaget.
"Oma ku dulu tinggal disitu, dan aku sering menginap di rumahnya. Dulu aku pernah menyebabkan kebakaran di rumah oma, lalu ada teman kecilku yang membantuku keluar dari rumah saat kebakaran itu terjadi, aku ingat memanggilnya Nata. Apa orang itu adalah kamu Nat?".
Natalie terlihat kaget dengan pertanyaanku.
"Kamu kakak yang tinggal sama oma Rita?".
"Ya itu nama omaku".
"Ya ampun ternyata dunia ini hanya selebar daun kelor itu ada benarnya ya", kata Natalie sambil tertawa.
"Bagaimana kabar oma Rita?".
"Ia sudah meninggal saat aku SMU", jawabku.
"Ooo maaf... semoga oma Rita tenang dan damai disana ya".
"Terima kasih Nat".
"Bagimana dengan lukamu, maaf itu membekas hingga hari ini".
"Ini, anggap saja sebagai kenangan akan kenakalan masa kecil", katanya sambil tersenyum.
Kami hanya mengobrol sebentar lalu Natalie pamit pulang karena sudah malam.
Aku menawarkan mengantarnya pulang, namun ia menolakku.
Semenjak pertemuan di rooftop, aku berharap bahwa kenyataan aku adalah teman kecilnya bisa membawaku lebih dekat dengan Natalie, namun Natalie masih menjaga jarak denganku, sehingga kenyataan itu tidak membawa perubahan sedikitpun.
Sebaliknya, aku semakin menyukai Natalie, aku semakin merindukan untuk bisa mengobrol dengannya, namun di sisi yang lain jika aku memakai kartu teman kecil secara agresif, aku takut Natalie merasa terganggu dan menghindariku. Aku memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa lebih dekat dengannya.
Aku rasa kata cinta adalah kata yang tepat untuk perasaanku saat ini, ya, entah sejak kapan aku jatuh cinta padanya. Apa itu dimulai semenjak pertama aku melihatnya di rooftop? Entahlah, sebaiknya aku menyatakan perasaanku padanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!