"Asik, akhirnya bekal makan siang Brian sudah selesai. Dia pasti senang jika aku mengantarkannya ke kantor, akhir-akhir ini Brian jarang pulang. Sesibuk itu kah proyek yang sedang dia tangani?" Laura terus berdialog dengan dirinya sendiri.
Laura sudah tiga tahun menjadi istri dari Brian Regan, seorang menejer eksekutif di perusahaan besar ibu kota. Laura yang saat ini sedang hamil muda memaksakan diri untuk membawakan bekal untuk sang suami. Dia sempat dilarang oleh ibu mertua dan adik iparnya, tapi Laura bersikeras dan akhirnya keduanya membiarkan Laura.
"Apa tidak sebaiknya kamu istirahat saja di rumah, sedang hamil begitu kasihan anakmu loh," ucap Brenda, ibu mertuanya.
"Tau nih kakak ipar, Brian juga pasti tidak enak hati kamu yang sedang hamil ini pergi ke sana ke mari," sambung Luke, adik iparnya.
"Ah, jangan begitu. Aku bosan tidur-tiduran terus. Sepertinya, anak ini juga rindu ayahnya. Tidak apa-apa, hanya sebentar saja, kok."
Laura yang berhasil membujuk mertua dan iparnya itu pun segera bergegas keluar rumah, dia tidak ingin nanti dicegah lagi. Entah kenapa kerinduannya pada sang suami lebih besar dari biasanya.
Padahal bukan sekali dua kali Brian tidak pulang ke rumah, saat pekerjaannya menumpuk. Maklum, jarak antara kantor dan rumah mereka cukup jauh. Dan karena Brian sedang menabung untuk membeli rumah, apa lagi sekarang harus memikirkan keperluan melahirkan dan biaya lainnya, mereka masih tinggal bersama orang tua Brian.
Laura menyetop taksi yang kosong, hatinya gusar sejak tadi. Dokter memang mengatakan kalau ibu hamil mengalami perubahan suasana hati dengan cepat itu bukan suatu hal yang aneh, selagi semuanya masih dalam batas normal.
Taksi terus melaju membelah lalu lintas yang mulai padat, jam makan siang sehingga jalanan itu kembali dirayapi kendaraan-kendaraan besi tersebut.
"Kita sudah sampai," ucap sang supir taksi, membuyarkan lamunan Laura.
"Terimakasih, Pak."
Laura membayar harga taksi seusai yang tertera di board depan samping supir. Perempuan itu kemudian melangkah menuju pintu depan perusahaan di mana suaminya bekerja.
"Berapa kali pun aku kesini, aku selalu takjub dengan kemegahan gedung ini," celoteh Laura.
Laura melangkahkan kakinya ke arah resepsionis untuk melaporkan kedatangannya pada Brian. Namun sayangnya, ketika dihubungi Brian tidak menjawab telpon kantornya.
"Kalau begitu bisakah saya ke ruangan Pak Brian saja?" tanya Laura ketika dua orang yang berjaga di bagian resepsionis itu saling melirik dan berbisik.
"Sudah biarkan saja, paling juga orangnya udah pergi."
Laura tidak yakin dengan apa yang dia dengar. Tidak lama kemudian, keduanya mengizinkan Laura untuk ke ruangan Brian.
"Terimakasih banyak," katanya tanpa ada rasa curiga sama sekali.
Debaran di hati Laura makin kencang, lagi-lagi firasat buruk itu menghampirinya.
Pintu ruang kerja Brian diketuknya dengan sedikit kuat, rekan kerja Brian mengatakan bahwa Brian sedang berbincang dengan klien. Hampir lima menit lamanya Laura menunggu di luar ruangan tersebut.
Hingga akhirnya pintu ruangan itu terbuka dan keluarlah Brian dengan ekspresi wajah bingung dan kesal.
"Kenapa kamu datang tiba-tiba tanpa memberitahuku dulu," cecar Brian tanpa peduli saat itu banyak anak buahnya yang sedang melihat ke arah mereka.
"Maaf, Bri. Aku dan anak kita kangen, makanya aku datang. Kamu marah?" Laura yang perasaannya mudah sensitif itu hampir saja menangis.
"Ck ... Merepotkan saja," gumam Brian.
Di saat bersamaan Brian mengatakan hal itu, seorang perempuan cantik dengan style busana yang menggoda keluar dari ruangan Brian.
"Baiklah, Brian. Karena kamu sepertinya sedang sibuk, jadi aku pergi dulu. Kita akan bahas proyek ini di lain waktu," bisiknya.
Perempuan itu melirik sekilas ke arah Laura, berdecak dan akhirnya meninggalkan Laura dan Brian.
Laura mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti kenapa sang suami justru uring-uringan saat dia menanyakan perihal perempuan yang baru saja keluar dari ruangan suaminya itu.
"Kamu kenapa? Apa aku salah?" Laura sungguh gadis polos yang tidak bisa menebak hanya dengan ekspresi ketidaksukaan Brian saat itu.
Dia selalu beranggapan bahwa Brian memang tulus mencintainya, ya dulu mungkin demikian. Namun, sepertinya cinta sang suami mulai terbagi, atau bisa jadi memudar sedikit demi sedikit.
"Brian, maafkan aku. Aku mungkin salah karena tidak mengabari terlebih dahulu bahwa aku akan datang, tapi bukankah aku juga pernah ke sini tanpa memberitahumu?" Laura meraih lengan suaminya. Namun, Brian justru menepis lengan kurus Laura.
"Heh, mikir dong. Kamu kan punya otak, masa gini saja harus aku kasih tahu? Kamu kan sudah aku bilangin kalau aku sedang mengurus proyek besar? Gimana kalau klien tadi tidak suka urusannya diganggu?"
Laura tersentak, untuk pertama kalinya dia melihat suaminya marah sedemikian rupa, rasa takut mulai menggerogoti hatinya.
"M-maaf, Brian. Aku bodoh karena tidak berpikir sampai sejauh itu, jadi wanita tadi adalah klien yang kamu maksud?" Laura lagi-lagi menanyakan identitas dari perempuan tersebut.
"Iya! Kenapa? Kamu tidak percaya? Kamu pikir aku siang malam kerja itu untuk main-main? Kamu ini sudahlah tidak kerja, tidak membantu ekonomi, tapi justru mencurigaiku terus! Aku capek, Laura!" seru Brian.
"M-maaf, Brian. A-aku datang hanya untuk mengantar makan siangmu saja, aku lupa kalau kamu sibuk," jawab Laura. Dia tidak berani memandang wajah sang suami.
"Makanan? Ini maksudmu?" Brian mengambil kotak makanan yang baru saja dikeluarkan oleh istrinya. Tanpa melihat hidangan apa yang disediakan sepenuh hati oleh sang istri, Brian membuang kotak makan itu ke tong sampah yang ada di dekat meja kerjanya.
"B-Brian...." suara Laura tersekat, dia tidak menyangka suami yang dulu begitu penyayang kini melakukan hal itu padanya.
"Aku tidak butuh sampah darimu. Keluar kamu dari ruanganku. Wanita sialan!"
Brian memunggungi Laura yang kini mulai terisak, bukannya menenangkan hati sang istri, lelaki itu justru meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
Dari suara yang samar-samar terdengar, Brian sedang berbincang dengan seorang perempuan.
"Apa wanita tadi?" tanya Laura dengan suara rendah. Dia berusaha mengusir kegundahan yang mulai menyergap.
Dengan perasaan hancur, Laura mengambil kotak makan yang dibuang suaminya itu. Netra Laura tertuju pada sesuatu yang ada di dalam tong sampah.
"I-ini kan?"
Jantung Laura berdegup dengan kencang, ritmenya bahkan tidak beraturan. Debaran yang jauh berbeda ketika dia pertama kali menerima pernyataan cinta dan lamaran sang suami.
"Heh! Ngapain kamu masih di sini! Mau kupanggil satpam untuk menyeretmu keluar, hah!" sentak Brian.
Laura mengalihkan pandangannya dari tong sampah ke wajah sang suami, padahal beberapa saat yang lalu suaminya itu tertawa lepas ketika dia masih bercengkrama dengan perempuan di telepon. Kini, wajah suaminya berubah drastis. Merah padam menahan emosi padanya.
"B-Brian, ada yang ingin aku tanyakan..."
Laura tidak tahu harus memulai percakapan dari mana, dia bingung apakah dia berhak menanyakan benda yang dia temukan atau tidak.
"Dasar wanita dungu! Sudah kubilang pergi ya pergi! Masih banyak tanya kamu, hah!"
Bak orang kesetanan, Brian meraih lengan Laura dan menyeretnya ke arah pintu ruangannya.
"Pulang sana! Istri tidak berguna sepertimu, bukannya membantu justru mempersulit hidupku saja!"
Laura jatuh terduduk ketika Brian mendorongnya dengan kuat, beruntung dia tidak jatuh tersungkur. Laura yang kaget akan perlakuan sang suami, dia langsung memeriksa perutnya. Usia kandungannya masih sangat rentan. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi padanya dan janinnya.
"Syukurlah, kamu tidak apa-apa, Nak. Maafkan ayahmu, mungkin dia sedang kelelahan. Kita pulang saja, yuk," ucap Laura pada calon anaknya itu.
Ada beberapa karyawan yang menyaksikan kejadian itu, tapi tidak ada satupun yang mau membantu Laura. Entah karena memang mereka takut akan kena getahnya, atau memang rasa empati terhadap perempuan hamil tidak ada sama sekali.
Akhirnya Laura memutuskan untuk pulang, rasa sakit atas dorongan suaminya tidak lagi dirasa. Sakitnya fisik mungkin bisa Laura abaikan, tapi tidak dengan sakit hati yang dia alami saat ini.
Banyak pertanyaan yang bersemayam di benaknyaz identitas perempuan yang dia temui, perubahan sikap sang suami, dan benda yang dia temukan.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang kamu sembunyikan dari, Brian?"
Langkah kaki Laura gontai, pandangannya entah tertuju ke mana. Pikirannya berantakan.
Laura sampai di rumah hampir sore hari, dia bahkan mengabaikan rasa lapar yang melandanya. Niat hati dia ingin makan siang dengan sang suami pun gagal total. Rasa sakit atas perbuatan suaminya yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya masih membekas dalam ingatan Laura.
"Ma, Laura sudah kembali," bisik Luke saat dia melihat Laura melintas di ruang tamu.
"Kenapa wajahmu ditekuk begitu?" Brenda menghampiri Laura. Bukan dia tidak tahu apa yang terjadi.
Anak pertamanya itu sudah mengirim pesan atas apa saja yang terjadi di kantornya saat Laura datang, hingga Laura pulang.
"Mama..."
Laura memeluk tubuh mertunya, tangis yang dia coba tahan sepanjang jalan itu kini tumpah tanpa bisa dia minta.
"Hei, apa yang terjadi? Bukannya kamu menemui Brian? Kenapa menangis begini?" Brenda masih berpura-pura bahwa dirinya tidak tahu menahu akan situasi yang sebenarnya.
"Ma.... B-Brian... Brian selingkuh dariku," ucap Laura setelah bersusah payah menahan isak tangisnya.
"Selingkuh?Tidak mungkin. Masa kamu masih meragukan cinta Brian untukmu? Kalian sudah menikah selama tiga tahun, Laura," sahut Brenda atas kalimat Laura.
"T-tidak, Ma. S-saya menemukan dua kond*m yang telah terpakai di tong sampah kantor Brian," sanggah Laura.
Iya, benda yang dilihat Laura saat itu adalah dua benda yang tidak asing baginya. Namun, Laura hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat kala itu. Bukankah kond*m digunakan saat berhubungan intim?
Tidak mungkin Brian melakukan hal tidak senonoh itu di ruang kerjanya, di kantor yang bisa saja ada orang yang memergokinya. Lalu, apakah perempuan yang baru keluar dari dalam ruangan itu lah partner se* suaminya?
Tangis Laura kembali terdengar seiring makin dalamnya pikiran yang dia miliki akan hubungan terlarang suaminya itu.
"Haish! Dasar wanita cengeng menyebalkan! Maksudmu apa menuduh Brian selingkuh? Hei! Dengar ya, wajar jika seorang pria ingin melepaskan hasratnya. Apa lagi ketika dia memiliki pasangan yang tidak mau memberikan kesenangan itu."
Luke yang dari tadi hanya menjadi pendengar maju mendekati Laura, "Laura gadis dungu. Kamu pikir kamu ini siapa sampai kakakku harus menunggu hingga kamu melahirkan untuk bercinta?"
Jantung Laura terasa berhenti melakukan tugasnya, netra Laura melebar tatkala dia mendengar apa yang Luke katakan dari tadi.
"A-apa maksudmu, Luke? Tidak mungkin Brian melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji itu!"
Laura yang dari ruangan Brian berusaha menahan diri agar tidak marah itu, kini emosi yang calon ibu muda itu rasakan mulai meledak.
"Brian itu sudah bosan denganmu, j*lang!" pekik Luke di telinga Laura.
Apa yang Luke lakukan membuat Laura menjerit sejadi-jadinya. Dia tidak percaya akan apa yang dia dengar.
"Ma, katakan apa yang Luke katakan itu bohong, Ma."
Laura meraih lengan ibu mertuanya, tapi lagi dan lagi hal yang mengejutkan Laura terima.
Brenda menepis kasar tangan Laura, hingga Laura hampir jatuh membentur ujung sofa.
"M-ma.... Kenapa Mama lakukan hal yang dengan Brian." Laura tidak lagi menyangkal bahwa suaminya memang bermain hati di luar sana.
"Laura, sayang. Seharusnya kamu ini tetap seperti sebelumnya, istri yang be*o dan tidak perlu menyaksikan apa yang tidak seharusnya kamu saksikan," tutur Brenda.
Derai air mata berurai dan mengalir di pipi Laura yang berkulit putih tulang.
"T-tidak! Tidak mungkin!" pekik Laura.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!