Pagi itu Zahra terlihat tengah bersiap-siap untuk berangkat ke kampusnya. Ia mengenakan hijabnya dengan terburu-buru karena dirinya yakin saat ini sudah terlambat berangkat ke kampus, setelah selesai Zahra langsung turun ke bawa untuk berpamitan pada Umi dan Abinya
Pada saat turun, Zahra di kejutkan dengan kehadiran tamu yang nampaknya sebuah keluarga. mereka terdiri dari dua orang lelaki yang tampak mirip satu sama lain, kemungkinan mereka berdua adalah dua orang saudara dan juga sepasang wanita dan pria paruh baya yang saat ini duduk di ruang keluarga mereka
"Abi, Umi. Zahra mau berangkat ke kampus" pamitnya pada kedua orangtuanya saat menghampiri mereka beserta para tamu tersebut
"Duduk dulu nak" perintah Abinya yang tidak langsung di indahkan oleh Zahra
"Maaf kalau Zahra tidak sopan, tapi Zahra sudah hampir terlambat Abi" tolaknya tetap dengan sopan
"Duduklah sebentar saja Zahra, Abimu ingin berbicara padamu" ucap Uminya kemudian yang membuat Zahra mau tidak mau menurutinya
Zahra duduk di samping Uminya dengan memangku buku yang di bawanya, pandangannya teralihkan pada keluarga yang saat ini duduk berhadapan dengannya dan sepasang suami istri yang ada di depannya melemparkan senyum pada Zahra membuatnya membalas senyuman mereka
"Zahra perkenalkan nak, ini sahabat Abi. Paman Syabani dan istrinya Aidah" kata Abi Zahra memperkenalkan sabahatnya "Lalu ini kedua anak laki-laki mereka Daffa dan Rafif" lanjut Abinya sembari memperkenalkan kedua pemuda itu pada Zahra yang hanya di tanggapi dengan senyuman oleh Zahra walau hatinya saat ini sangat was was karena takut terlambat
"Kenapa Abi lama sekali, aku bisa terlambat jika seperti ini" batinnya mengeluh
"Zahra sudah besar yah sekarang, seingat tante dulu Zahra masih sangat kecil dan lucu. Tapi sekarang dia sudah menjadi seorang gadis cantik dan dewasa" puji Aidah, istri dari sahabat Abinya Zahra
"Jadi langsung Abi jelaskan saja karena sepertinya kau sudah terburu-buru" ucap Abinya yang langsung di sambut anggukan kepala antusias oleh Zahra mengingat ia harus segera berangkat ke kampus, melihat tingkah Zahra ternyata bisa membuat Rafif, salah satu pemuda yang duduk di hadapannya tersenyum "Begini Zahra, keluarga Pak Syabani ini baru saja pulang dari Arab dan mereka akan menetap di Indonesia. Pak Syabani dan istrinya sedang mencarikan seorang gadis untuk anak sulung mereka Daffa dan keluarga mereka memilih mu nak. Mereka ingin melakukan proses Ta'aruf antara kau dan Daffa, apa kau bersedia?" tanya Abinya yang langsung membuat Zahra bungkam karena terkejut
"Ta'aruf Abi?" tanya Zahra setelah diam beberapa saat tidak mempercayai pendengarannya
"Iya Zahra, Abi pun sudah setuju jika Daffa menjadi Imammu nak" Zahra sangat terkejut dengan pernyataan Abinya yang sepertinya sudah memberi lampu hijau pada keluarga om Syabani
"Tapi Zahra masih kuliah Abi, Zahra juga belum memikirkan masalah pernikahan. Umur Zahra masih sangat muda" ucap Zahra mencari alasan pada Abinya
"Umurmu saat ini sudah pantas untuk menikah nak, Umi merasa tenang jika kau sudah menikah. Setidaknya ada yang bisa menjaga mu, lagipula kau masih bisa melanjutkan kuliahmu setelah menikah nanti" kali ini Uminya yang terlihat penuh harap agar Zahra menerima Ta'aruf ini
"Abi, Umi. Zahra.. " ucapan Zahra terhenti tidak tau harus mengatakan apalagi, ia menundukkan pandangannya berusaha mencari alasan tapi tidak menemukan satupun. Zahra merasa begitu terkejut hingga tidak bisa berkata-kata lagi, melihat Zahra yang kebingungan tante Aida pun segera membuka suara untuk menenangkan Zahra. Setidaknya ia harus memberikan Zahra waktu untuk memikirkan ini semua, pikirnya
"Kau pikirkan saja dulu nak, Om dan tante akan menunggu jawabanmu. Iyakan Daffa?" tanyanya pada anak sulungnya yang terlihat berusaha menganggukkan kepalanya
Zahra memberanikan diri menatap Daffa yang duduk berhadapan dengannya. Ia melihat reaksi Daffa seperti terpaksa menganggukkan kepalanya, Zahra yakin Daffa pun melakukan ini karena paksaan dari orangtuanya
"Kau dengarkan Zahra? mereka memberi waktu untukmu memikirkan ini semua" ucap Uminya dengan sangat senang
"Biar Zahra pikirkan Umi. Apa Zahra boleh berangkat sekarang?" tanyanya pada kedua orangtuanya yang terlihat senang ketika Zahra memutuskan untuk memikirkannya karena menganggap masih ada peluang untuk menikahkan anak mereka satu-satunya dengan anak sahabatnya
"Iya sayang, berangkatlah. Apa perlu Abi mengantarmu?"
"Tidak usah Abi, kan Abi sedang ada tamu"
"Biar Zahra saya yang antarkan Abi, Umi. Kebetulan saya juga sudah harus berangkat kerja" ucap Rafif menawarkan tumpangan pada Zahra tetapi tetap meminta izin dari orangtuanya
"Kebetulan sekali kalau begitu, kau bisa ikut dengan Rafif sayang. Kampusmu dan kantornya Rafif kebetulan satu arah" kata tante Aidah dengan begitu antusiasnya, mau tidak mau Zahra menuruti perkataan mereka karena ia berpikir dengan menolak tawarannya hanya akan menahannya disana dan pada akhirnya ia pun tetap menerima tawaran tersebut
Dengan langkah berat dan pikiran yang penuh sepagi ini, ia pun beranjak meninggalkan pertemuan keluarga itu setelah menyalami Abi dan Uminya juga kedua orangtua Daffa dan Rafif.
***
Saat ini Rafif sedang fokus mengemudikan mobilnya, sesekali ia melirik ke arah Zahra yang duduk di sampingnya yang kini sedang melamun dengan berbagai macam pikiran di kepalanya. Rafif yakin saat ini Zahra sedang memikirkan masalah tadi di rumahnya
"Kenapa melamun Zahra?" tanya Rafif membuyarkan lamunannya
"Tidak kak, aku hanya sedang memikirkan bahan presentasiku nanti" jawabnya menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya
"Ohiya Zahra, namaku Rafif. Tadi aku tidak memperkenalkan diriku dengan baik padamu karena Abimu sudah lebih dulu memperkenalkan keluragaku padamu" ucapnya dengan penuh keramahan
"Iya kak, tidak apa-apa" jawabnya dengan begitu datar, rasanya sangat susah untuk tersenyum saat ini. Tapi setidaknya ia masih tetap sopan pada orang di sebelahnya yang asing baginya
"Kau sudah semester berapa?" tanyanya pada Zahra
"Aku sudah semester tujuh Kak, rencananya aku masih ingin melanjutkan S2 ku" jawab Zahra, inilah alasan sebenarnya kenapa Zahra belum ingin menikah
"Wah kau hebat sekali Zahra, sangat jarang ada gadis seperti mu yang semangat dalam pendidikan" ucapnya memuji Zahra merasa benar-benar kagum pada gadis itu
Zahra hanya tersenyum menanggapi pujian dari Rafif, senyum yang sangat kecil dan terkesan sangat di paksakan lalu wajahnya kembali menjadi datar. Bagaimana tidak, ia bahkan sudah mulai ragu akan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya karena Abi dan Uminya sepertinya sudah sangat berharap agar ia mau menerima lamaran dari keluarga om Syabani
Suasana dalam mobil kembali hening setelah percakapan mereka berdua selesai. Tidak ada satupun dari keduanya yang mengeluarkan suara, mereka kini sedang sibuk pada pikirannya masing-masing hingga tidak lama kemudian Zahra tiba di tujuannya. Mobil Rafif berhenti tepat di depan gerbang kampus Zahra. Gadis itu kemudian turun dari mobil Rafif setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang di berikan olehnya
Setelah mobil Rafif sudah hilang dari jangkauan matanya, Zahra pun berbalik dan kemudian masuk ke dalam gedung kampusnya.
"Zahra.. Zahra" panggil dosennya secara berulang tapi tak mendapatkan jawaban dari Zahra
"Zahra, kau dengar saya?" kali ini dosennya memanggilnya dengan suara yang meninggi dan berhasil membuyarkan lamunannya
"I-iya Bu, maaf saya melamun bu" jawabnya merasa bersalah karena melamun di tengah kegiatan konsultasinya dengan dosen pembimbing untuk skripsinya
"Apa kau sedang ada masalah?" tanya dosennya yang heran melihat Zahra seperti orang kebingungan tidak seperti biasanya
"Hanya ada sedikit masalah kecil Bu, maakan kelakuan saya tadi Bu. Permisi" jawabnya sembari mengambil berkas skripsinya yang terdapat banyak coretan untuk revisi disana. Ia lalu beranjak dari sana setelah meminta maaf atas ketidaksopanannya pada dosennya tadi
Zahra berjalan keluar dari kantor fakultas menuju ke perpustakaan kampus untuk mengembalikan buku yang di pinjamnya untuk di tukarkan dengan buku lain yang ingin di pinjamnya lagi sebagai bahan referensinya.
Setelah mengembalikan buku lama yang pinjamnya di meja pengembalian, iapun melangkah masuk menuju rak buku yang di carinya. Ia lalu memilah buku yang tersusun rapi disana sambil sesekali memikirkan masalah pagi tadi
"Apa yang harus ku lakukan? aku tidak bisa menerima kak Daffa. Aku tidak tau kak Daffa orang yang seperti apa. Lalu bagaimana aku harus memberitahu Alwi masalah ini? Ah nanti saja ku pikirkan" batinnya seraya menarik keluar satu buku yang ingin di pinjamnya
Setelah mengambil beberapa buku, ia pun berniat untuk pergi dari sana. Sebelum beranjak dari perpustakaan, Zahra terlebih dahulu melaporkan buku pinjamannya di tempat peminjaman buku. Begitu semua urusannya selesai, Zahra lalu keluar meninggalkan tempat itu
***
Zahra kini duduk salah satu kursi panjang di taman belakang kampus, tempat para mahasiswa biasa beristirahat setelah kuliah. Ia mengeluarkan ponsel yang di ambil dari dalam tasnya dan mulai menggulir layar sentuh dari benda pipih tersebut. Setelah menemukan kontak yang di carinya, ia mulai mengetikkan pesan pada seseorang
"Alwi, aku ingin berbicara denganmu. Apa kau ada waktu?, aku di taman belakang kampus sekarang
Zahra"
Ia lalu mengirim pesan tersebut dan tidak mengunggu waktu yang lama, ia sudah mendapatkan balasannya
"Tentu saja, sepuluh menit lagi aku akan sampai di sana
Alwi"
Begitulah isi balasan pesan dari seseorang bernama Alwi. Zahra kemudian kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas sembari menunggu orang tersebut
Sepuluh menit kemudian sesuai dengan janjinya, lelaki yang bernama Alwi kini terlihat menghampiri Zahra yang masih setia menunggunya disana. Seulas senyum Zahra berikan kepada lelaki tersebut saat Alwi sudah berada di hadapannya dan mulai duduk di sampingnya
"Ada apa Zahra?" tanyanya langsung pada intinya
"Kau darimana, kenapa cepat sekali?" Zahra tidak langsung menjawab pertanyaannya, ia masih ingin sekedar berbasa basi dengan lelaki itu
"Kebetulan aku juga memang di kampus hari ini, ada janji temu dengan dosenku tadi. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya lagi yang ingin langsung mengetahui maksud Zahra memanggilnya. Alwi memang tipe orang yang tidak bisa berbasa basi dan tidak sabaran dengan apa yang ingin di ketahuinya
"Jadi begini, hari ini kami kedatangan tamu. Beliau sahabatnya Abi" Zahra mulai berbicara dan di dengarkan baik oleh Alwi "Sahabatnya Abi baru saja kembali dari Arab dan katanya akan menetap disini, mereka memiliki dua orang putra dan.. " Zahra tidak melanjutkan kata-katanya, ia masih bingung bagaimana cara memberitahukan pada Alwi masalah ini
"Bicaralah yang jelas Zahra, sebenarnya ada apa? aku sama sekali tidak menangkap inti dari pembicaraanmu" kata Alwi dengan tutur kata yang lembut karena melihat Zahra sedang kebingungan. Mendesaknya hanya akan membuatnya semakin susah untuk membicarakan maksudnya, itulah yang di pikirkan oleh Alwi
"Abi dan Umi ingin menjodohkan ku dengan anak sulung sahabat mereka" ucap Zahra kemudian dengan lesu lalu menundukkan pandangannya tidak berani menatap Alwi yang kini terdiam mendengar perkataan Zahra, dadanya terasa sesak mendengar ucapan gadis yang saat ini duduk di sampingnya
Lelaki itu terkejut mendengar Zahra yang ingin di jodohkan oleh orang lain, bagaimana tidak? Alwi telah meminta Zahra untuk menunggunya dan Zahra pun mengiyakan permintaan Alwi karena Zahra pun juga memiliki ketertatikan pada lelaki tersebut. Mereka saling suka tapi tidak ingin membuat sebuah hubungan yang bisa menjerumuskan mereka ke ladang dosa. Alwi dan Zahra sepakat untuk saling ikhtiar, menunggu keputusan Allah apakah mereka di takdirkan bersama atau sebaliknya tidak sama sekali.
"Kau di jodohkan?" tanya Alwi setelah terdiam beberapa saat, Zahra hanya menganggukkan kepalanya yang masih tertunduk tidak berani melihat wajah Alwi saat ini "Dan jawabanmu pada orangtuamu?" lanjutnya lagi membuat Zahra kali ini mengangkat dagunya dan melihat raut wajah kecewa Alwi
"Aku memberitahu Abi dan Umi bahwa aku akan memikirkannya terlebih dahulu" jawabnya membuat hati Alwi semakin sesak mendengarnya
"Jadi kau memberi kesempatan pada lelaki itu" ucap Alwi dengan senyum kecil di wajahnya, senyum yang sangat yang melambangkan rasa sakitnya saat ini
"Aku tidak memberinya kesempatan, aku hanya mengatakan akan memikirkannya dulu" kata Zahra merasa tidak setuju dengan yang dikatakan oleh Alwi
"Itu artinya kau memberikan kesempatan Zahra" Dengan tidak langsung menolak perjodohan dan malah ingin memikirkannya lebih dahulu tentu saja itu artinya Ia memberikan kesempatan pada orang itu, pikir Alwi "Aku tidak tau harus berbuat apa sekarang, ingin marah tapi aku bukan kekasihmu. Pura-pura bahagia mendengarnya? mana mungkin, nyatanya aku sangat terpukul sekarang"
"Alwi..."
"Kau pikirkanlah dengan baik permintaan kedua orangtua mu" Ucapnya kemudian yang justru membuat Zahra tidak suka mendengarnya
"Kenapa kau terdengar seperti mendukung permintaan orangtua ku?" tanyanya dengan kesal
"Mana mungkin aku mendukungnya Zahra, mana mungkin aku rela melihat gadis yang ku suka akan menikah dengan orang lain" ucap Alwi yang juga ikut meninggikan suaranya
"Siapa bilang aku akan menikah, aku hanya bilang akan memikirkannya Alwi. Justru aku bingung melihatmu, aku menjadi ragu apakah kau benar-benar menyukai ku. Kalau kau memang menyukaiku, mendengar ini kau harusnya tau apa yang bisa kau lakukan. Setidaknya perjuangkanlah aku kalau kau memang menyukaiku" serunya merasa ragu dengan Alwi
"Kau pikir aku tidak mau? aku kan bilang, biar kita ikhitiar saja dulu. Kita masih berstatus mahasiswa, aku memintamu untuk bisa menungguku"
"Aku sudah menunggumu selama dua tahun Alwi, akupun sama denganmu. Aku masih ingin melanjutkan pendidikanku selagi menunggumu siap, tapi kau hanya berjalan di tempat seperti itu. Kalau kau memang serius denganku kau pasti sudah menemui Abi dan Umiku meminta mereka untuk mengertikan keadaanmu saat ini"
"Lalu apa yang akan di katakan Abi dan Umimu? mereka pasti akan langsung menolakku Zahra. Saat ini aku belum menjadi apa-apa"
"Kau sangat memikirkan masa depanmu, kau terlalu ambisius untuk bisa memiliki kehidupan yang mewah di masa depan. Kau pikir Abi dan Umiku gila akan hal itu?" mendengar ucapan Zahra seketika membuat Alwi merasa tersinggung
"Aku melakukan itu semua untukmu Zahra, untuk masa depan kita. Kenapa kau.. "
"Untukmu bukan untukku Alwi, kau sangat ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain mengenai keberhasilan hidupmu" sekali lagi ucapan Zahra yang tajam membuat Alwi semakin memanas, Alwi merasa kesal pada Zahra yang berpikir demikian karena ia berpikir apa yang dilakukannya saat ini semata untuk kebahagiaan mereka berdua di masa depan
"Zahra kau.. " Alwi seakan kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Zahra "Sudahlah, kau pikirkan saja mengenai masalah perjodohanmu, Aku yakin orang yang di jodohkan denganmu adalah orang yang hebat, tidak seperti diriku yang sekarang. Lagipula dari awal ikhtiar, kita sepakat tidak akan merasa berat melepas satu sama lain jika memang tidak di takdirkan. Semoga ke depannya kau bahagia" ucap Alwi kemudian dengan perasaan yang begitu kecewa. Ia beranjak berdiri dan pergi dari sana meninggalkan Zahra yang masih menatapnya merasa frustasi dengan keadaan saat ini. Ia juga tidak habis pikir, lelaki yang ia temani berikhtiar dan sudah dua tahun menunggunya malah akan melepasnya semudah ini bukannya berusaha memperjuangkannya
"Zahra kau.. " Alwi seakan kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Zahra "Sudahlah, kau pikirkan saja mengenai masalah perjodohanmu, Aku yakin orang yang di jodohkan denganmu adalah orang yang hebat, tidak seperti diriku yang sekarang. Lagipula dari awal ikhtiar, kita sepakat tidak akan merasa berat melepas satu sama lain jika memang tidak di takdirkan. Semoga ke depannya kau bahagia" ucap Alwi kemudian dengan perasaan yang begitu kecewa. Ia beranjak berdiri dan pergi dari sana meninggalkan Zahra yang masih menatapnya merasa frustasi dengan keadaan saat ini. Ia juga tidak habis pikir, lelaki yang ia temani berikhtiar dan sudah dua tahun menunggunya malah akan melepasnya semudah ini bukannya berusaha memperjuangkannya
Zahra masih duduk termenung di tempatnya tidak berniat untuk memindah posisinya dari sana. Dirinya di liputi berbagai macam pikiran sehingga rasa kesal yang memupuk di dalam dirinya sejak pagi kini semakin bertumbuh hingga tidak bisa ia bendung, air matanya keluar begitu saja saat di hadapkan dengan berbagai keadaan maupun kenyataan yang tidak di sangkanya. Gadis itu bahkan tidak percaya, orang yang mengajaknya ikhtiar selama hampir lebih dua tahun itu kini melepasnya dengan mudah, bukannya berusaha untuk memberinya saran ataupun mempertahankannya.
"Setiap hari aku berdoa agar ihktiar kita bisa berbuah manis Alwi, tapi hanya karena hal yang belum pasti ini kau menyerah begitu saja. Lalu untuk apa aku menunggu mu selama dua tahun ini" ucapnya seraya menyeka air mata yang mengalir membasahi wajahnya
***
Siang harinya di kantor milik Rafif, lelaki itu terlihat sedang mengerjakan beberapa berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Ia terlihat begitu serius memindai dan membaca berkas-berkas tersebut, suara ketukan pintu dari luar tidak menghentikan aktivitasnya. Rafif mempersilahkan siapapun yang mengetuk pintu tersebut untuk masuk ke dalam ruangannya, setelah pintu terbuka nampaklah kakaknya Daffa yang kini melangkah masuk menghampirinya
"Kak Dafa, senang melihatmu datang datang ke kantorku" sapa Rafif yang kini menghentikan aktivitasnya dan menyambut sang kakak yang kini sudah duduk di sofa dalam ruangan tersebut tanpa di suruh oleh yang punya
"Aku tidak punya tujuan lain Rafif, aku sangat pusing sekarang ini" ucapnya dengan wajah yang tertekuk murung
"Kau ada masalah apa kak?" tanya Rafif yang kini sudah duduk di sofa lain yang berhadapan dengan kakaknya dan meninggalkan pekerjaannya yang masih terlihat menumpuk itu
"Aku hanya masih memikirkan masalah ta'aruf itu" jawab Dafa dengan wajah lesu
"Kau bisa mencobanya terlebih dahulu kak, jika tidak cocok kalian bisa membatalkannya. Ku lihat Zahra juga gadis yang baik, kenapa tidak kau jalani saja dulu?" usul Rafif memberi saran pada kakaknya yang baru pulang dari Luar Negeri bersama kedua orangtuanya
"Kau sendiri kenapa tidak mencari pendamping lebih awal? atau kau juga menunggu di jodohkan sepertiku?" ledek Daffa berusaha menakuti adik kandungnya itu
"Aku terlalu sibuk sekarang untuk hal itu kak, aku masih ingin mengembangkan perusahaanku" jawabnya dengan begitu santai seakan benar-benar malas untuk memikirkan masalah pernikahan
"Dasar kau ini selalu saja masalah bisnis, bahkan orangtua dan kakakmu baru pulang dari luar Negeri kau masih sibuk di kantor bukannya menebus waktu yang terbuang saat berpisah dengan kami beberapa tahun" ucap Daffa mengeluhkan waktu Rafif yang tidak pernah senggang semenjak ia dan kedua orangtuanya kembali ke negara asalnya, Rafif hanya tersenyum menanggapi keluhan dari sang kakak
Setidaknya Daffa sedikit tenang bisa berbagi cerita dan keluh kesahnya dengan adiknya. Sebenarnya ia pun berpikir Zahra gadis yang baik, tapi ia memiliki masalah lain yang tidak memungkinkannya menikah dengan gadis itu.
***
Zahra yang baru saja pulang dari kampusnya menjelang sore itu terlihat begitu murung tidak seperti biasanya. Ia melempar tasnya ke sembarang arah di atas tempat tidur dan mulai membaringkan tubuhnya tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu
Suara ketukan pintu dari luar kamarnya yang tak ia hiraukan kini terbuka dengan sendirinya, begitu pintu dibuka terlihat sosok Uminya yang baru saja masuk tanpa izin dari Zahra. Uminya menghampiri Zahra yang tidak berniat memindah posisinya
"Zahra.. "Panggil Uminya dengan lembut pada putri kesayangannya itu sembari duduk di tepi tempat tidurnya
"Ada apa Umi?" jawab Zahra malas-malasan menanggapi panggilan Uminya
"Apa kau sudah memutuskan masalah yang tadi pagi sayang?" tanya Uminya yang membuat Zahra langsung memindah posisinya dengan duduk di hadapan Uminya
"Umi, keputusan besar seperti itu tidak bisa di pikirkan hanya dalam sehari Umi. Zahra masih ragu dengan hal ini, Zahra juga belum mengenal kak Daffa dengan baik"
"Itulah kenapa ada ta'aruf nak, kau bisa saling mengenal dulu dengan nak Daffa. Latar belakang keluarga mereka sangat baik sayang, Abi dan Umi merasa aman dan lega jika harus melepasmu pada keluarga om Syabani nak" kata Uminya penuh harap
"Beri waktu tiga hari lagi untuk Zahra Umi, biar Zahra pikirkan dengan baik dan meminta petunjuk pada Allah" pintanya agar Uminya berhenti mendesaknya
"Baiklah sayang, Umi tinggal dulu yah. Jangan melewatkan waktu makan malam nanti" ucap Uminya sembari tersenyum dan mengelus pelan kepala putrinya yang masih terbalut dengan hijab
"Iya Umi" Umi Zahra pun beranjak keluar dari kamar putrinya, meninggalkan Zahra yang semakin kalut akan hal ini
***
Malam harinya di tempat yang berbeda, terlihat Daffa sedang sibuk memeriksa laporan keuangan untuk salah satu cabang anak perusahaan Papanya yang ada Indonesia. Ia dengan teliti memeriksa semua data-data yang sudah di berikan oleh sekretaris Papanya sore tadi setelah pulang dari kantor adiknya
Daffa dan Rafif sama-sama terjun ke dunia bisnis mengikuti jejak orangtuanya, mereka berdua belajar memulai bisnisnya di perusahaan orangtuanya dan perlahan-lahan mulai berjalan di jalannya masing-masing seiring dengan perputaran waktu. Daffa tidak memiliki pilihan lain selain terus bekerja untuk perusahaan orangtuanya karena ia merupakan putra sulung yang juga calon pengganti untuk posisi Papanya kelak, sedangkan Rafif ia lebih memilih untuk membangun perusahaannya sendiri dari nol dan hasilnya sangatlah memuaskan. Perusahaannya kini juga sudah bersaing dengan perusahaan besar lainnya tetapi tetap bekerja sama dengan perusahaan Papanya sebagai salah satu penanam saham di perusahaannya. Itulah mengapa keduanya terpisah cukup lama saat kedua orangtuanya harus menetap di Arab beberapa tahun lamanya bersama Daffa karena tuntutan pekerjaan sedangkan Rafif tetap di Indonesia dengan pekerjaannya sendiri
Di tengah kesibukan Daffa, satu notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Ia segera membuka pesan itu dan mulai membacanya
"Daffa, Aku baru saja tiba di Indonesia. Aku merindukanmu, aku harap kau bisa menemuiku secepatnya. Ada hal penting yang harus ku katakan padamu
Zeline"
Fokus Daffa seketika terganggu setelah membaca pesan singkat dari wanita bernama Zeline itu. Ia lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerjanya yang di duduki saat ini lalu memijat kasar keningnya berusaha menghilangkan rasa frustasinya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!