NovelToon NovelToon

[Bukan] Muhalil

BAB 1. MENYESAL

Assalamualaikum, selamat datang di karya baru author. 🤗 Semoga semua yang mampir bisa konsisten baca ya, mohon dukungannya dan baca setiap kali update. Yok retensi naik yok naik. 🤭🙈🙈

Happy reading...❤️❤️❤️

.

.

.

Kiara percaya, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata, bermodalkan cinta saja tidaklah cukup. Cinta yang dia miliki untuk sang suami, rupanya tak mampu menyelamatkan bahtera rumah tangganya.

Pernikahannya yang baru berjalan 1 tahun atas dasar perjodohan itu, harus berakhir begitu saja setelah Erick, menjatuhkan talak untuk yang ketiga kalinya.

Alasannya selalu sama, hanya karena merasa tidak diperhatikan. Padahal, sebelum memutuskan menikah, mereka sudah sepakat akan saling memahami profesi dan kesibukan masing-masing.

Kiara hanya bisa pasrah menerima kenyataan itu. Saat talak pertama dan kedua dia masih memberikan kesempatan dengan harapan Erick bisa berubah dan bisa memaklumi kesibukannya sebagai dokter, seperti dia yang selalu memahami kesibukan Erick sebagai pebisnis yang sering bepergian keluar kota. Tapi kesempatan itu tidak dipergunakan dengan baik oleh Erick. Lagi dan lagi, karena emosi sesaat Erick kembali menjatuhkan talak.

Waktu terus berjalan, tanpa terasa tiga bulan telah berlalu pasca perceraian itu.

.

.

.

"Ma, Pa, aku berangkat ya." Pamit Kiara yang baru saja selesai sarapan. Setelah berpisah dengan Erick, dia memutuskan untuk kembali tinggal bersama orangtuanya. Apartemen yang dulu ditempatinya sebelum menikah dengan Erick, disewakan daripada kosong tak terurus.

"Hati-hati di jalan, Sayang." Ucap mama Flora sambil tersenyum, tapi senyumnya itu tak mampu menutupi mendung dimatanya. Sampai detik ini dia masih merasa bersalah, karena telah memilihkan laki-laki yang tidak tepat untuk putrinya. Hanya karena bermodal keyakinan Erick adalah laki-laki yang cocok untuk Kiara, dia dengan begitu antusiasnya menjodohkan tanpa berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan itu, tanpa memikirkan untuk membiarkan keduanya lebih mengenal dekat sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

"Ma," Kiara menggelengkan kepalanya, dia tahu saat ini mamanya pasti ingin menangis. Selalu saja begitu, padahal dia tidak pernah menyalahkan siapapun atas perceraiannya dengan Erick. Mungkin saja ini adalah takdir yang sudah digariskan untuknya, dan juga menjadi pelajaran untuk kedepannya.

"Sudahlah, Ma, mungkin ini juga menjadi teguran untuk kita yang kesannya tidak percaya bahwa jodoh, rejeki dan maut sudah ada yang mengatur. Untuk kedepannya biarkan Kiara yang memilih untuk masa depannya sendiri." Ucap papa Rangga sambil mengelus punggung tangan sang istri mencoba untuk menenangkan, padahal hatinya juga sedang tak baik-baik saja. Ayah mana yang tak bersedih melihat rumah tangga putrinya berantakan.

Kiara hanya dapat tersenyum tipis mendengar ucapan papanya, untuk saat ini dia belum kepikiran untuk mencari pengganti. Toh, selama ini pacaran pun tidak pernah. Biarlah takdir yang nanti akan membawa sendiri kisah selanjutnya.

Tak ingin berlama-lama dalam suasana yang selalu membuatnya sesak, Kiara pun gegas pergi setelah mencium punggung tangan kedua orangtuanya. Hari ini jadwalnya akan cukup padat di rumah sakit, beberapa saat lalu suster Maria mengirim pesan bahwa telah banyak ibu hamil yang mendaftar untuk periksa kandungan, belum lagi ada beberapa pasien sehabis melahirkan dirawat inap yang harus dia kontrol.

Sesampainya di rumah sakit, Kiara langsung menuju ruangannya dan benar saja, di depan ruangannya telah ramai. Dia berjalan sambil tersenyum menyapa para pasiennya tersebut.

Suster Maria yang telah menunggu, langsung membukakan pintu ruangan dokter Kiara.

Saat masuk ke ruangannya, pandangan Kiara langsung tertuju pada buket bunga di atas mejanya. Kepalanya menggeleng pelan, selama tiga bulan ini hampir setiap hari dia mendapatkan kiriman bunga yang entah dari siapa, tidak ada nama atau ucapan apapun. Suster Maria yang menerima buket tersebut selalu menanyakan siapa pengirimnya pada kurir yang mengantarkan, dan selalu dijawab dari seseorang yang mengagumi dokter Kiara.

Kiara sempat mengira, bahwa buket bunga itu adalah kiriman dari Erick. Mungkin seperti sebelumnya, kali ini Erick juga menyesali dan berkeinginan untuk rujuk. Tapi setelah dia pikir sepertinya bukan, untuk apa Erick mengirimkan buket tanpa nama seperti itu. Lagipula, dia sudah dijatuhi talak tiga, tidak mungkin lagi untuk rujuk kembali.

"Sus, tolong dibuang saja." Ucap Kiara seraya duduk di kursinya. Menurutnya untuk apa menyimpan pemberian dari orang yang tidak dikenalnya, entah apa tujuannya mengirimkan buket bunga tanpa menyertakan nama pengirimnya.

Suster Maria pun mengambil buket bunga itu, setiap kali diperintahkan untuk membuang buket bunga itu sebenarnya dia tidak membuangnya melainkan menyimpan di dalam gudang. Sayang saja menurutnya kalau buket secantik itu harus berakhir mengenaskan di tempat sampah.

Setelah suster Maria kembali, Kiara pun memerintahkan untuk memanggil satu persatu para pasiennya sesuai nomor antrian hingga selesai, setelah itu Kiara memeriksa beberapa pasiennya yang sehabis melahirkan.

Begitu pekerjaannya selesai, Kiara kembali ke ruangannya untuk melepas penat. Namun, baru membuka pintu, seseorang yang duduk di kursi depan mejanya membuat langkah kakinya terhenti. Tubuhnya mematung, bibirnya terbuka tanpa kata. Setelah 3 bulan berlalu, hari ini adalah pertama kalinya dia melihat kembali sang mantan suami.

Erick menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka, melihat Kiara datang gegas ia beranjak dari tempat duduknya. Melangkah menghampiri sang mantan istri sambil memegangi perut.

Sejenak, pandangan keduanya bertemu namun, lidahnya terasa keluh hanya sekedar untuk menanyakan kabar. Hanya sebuah pertanyaan yang ada di benak Kiara, untuk apa Erick datang menemuinya?

"Kia, maaf aku sudah lancang masuk ke ruangan mu tanpa izin." Ucap Erick setelah beberapa saat terdiam.

"Lain kali jangan diulangi lagi. Kita bukan suami istri lagi, aku tidak mau akan timbul fitnah nantinya." Ucap Kiara memperingati dengan nada datar. Perbuatan Erick memang lancang, tapi dia bukan tipe wanita yang suka meluapkan emosi secara bar-bar.

Erick mengangguk paham dengan raut wajah yang nampak bersalah, "Lain kali aku tidak akan mengulanginya lagi." Ujarnya.

Keduanya kembali terdiam, Kiara merasa bimbang antara ingin menyuruh Erick kembali duduk atau menyuruhnya pergi. Jujur saja, dia rindu tapi sudah tidak pantas lagi untuk berduaan.

"Bagaimana kabar kamu, Kia?" Tanya Erick kemudian. Sebenarnya tanpa Kiara menjawab, dapat dia dilihat mantan istrinya itu nampak baik-baik saja tanpa dirinya. Yah, jelas saja, sebelum menikah dengannya, Kiara adalah wanita yang mandiri.

"Aku baik. Em, kalau kabar Mas Erick sendiri bagaimana?" Tanya Kiara balik.

Erick tersenyum tipis mendengar panggilan itu, dia pikir Kiara telah melupakan panggilan yang disematkan padanya setelah mereka resmi menjadi suami-istri kala itu.

Sebelum menjawab pertanyaan Kiara, Erick nampak menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, "Seperti yang kamu lihat sendiri," ujarnya lalu kembali terdiam beberapa saat. "Kia, ada yang ingin aku bicarakan." Ucapnya kemudian.

Melihat raut wajah Erick yang nampak serius, Kiara pun mempersilahkan Erick untuk duduk kembali di tempat sebelumnya. Begitupun Kiara yang juga duduk di kursinya, kini keduanya duduk saling berhadapan. Meski rindu, tapi jujur saja Kiara merasa canggung. Khawatir keberadaan Erick di ruangannya akan menjadi cibiran oleh teman-teman sejawatnya.

"Apa yang ingin Mas bicarakan?" Tanya Kiara.

Kembali Erick menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, "Kia, aku ingin kita rujuk kembali. Aku menyesal, Kia, dan aku janji akan lebih bisa mengontrol emosiku. Dan yang lebih penting, aku akan memaklumi kesibukanmu sebagai Dokter, aku tidak akan mempermasalahkan itu lagi. Aku janji!" Ucap Erick dengan nada penuh permohonan.

Kiara tercengang mendengar apa yang Erick katakan, "Rujuk? Itu tidak mungkin lagi, Mas!" Ucap Kiara dengan tegas.

"Bisa Kia," Erick meraih kedua tangan Kiara dan menggenggamnya erat.

Kiara menggelengkan kepalanya, "Itu mustahil, Mas. Ingat, Mas Erick sudah menjatuhi aku talak 3!" Pungkasnya memperingati seraya menarik tangannya dari genggaman Erick.

"Kita masih bisa rujuk kembali, Kia!" Ucap Erick dengan tatapan penuh permohonan.

Kiara membuang nafas berat seraya menundukkan pandangannya. Dia dan Erick memang bisa rujuk kembali, tapi tidak semudah seperti talak pertama dan kedua. Dia harus menikah lebih dulu dengan laki-laki lain yang disebut sebagai muhalil, kemudian bercerai.

"Aku sungguh menyesal, Kia. Aku mohon, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi!"

Kiara hanya diam mendengar kalimat permohonan itu.

"Aku sendiri yang akan mencarikan laki-laki yang akan menikahi kamu," ucap Erick yang spontan saja membuat Kiara mengangkat kembali pandangannya, menatap sang mantan suami dengan tatapan tak percaya.

BAB 2. 5 SYARAT

"Tidak, Kia. Papa tidak setuju!" Tegas papa Rangga. Nafasnya seketika saja memburu mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh putri sulungnya itu.

Bagaimana bisa Kiara berpikir untuk kembali rujuk dengan Erick setelah tiga kali dijatuhi talak. Dan lebih gilanya lagi, Kiara setuju untuk melakukan pernikahan muhalil.

Tidak, dia tidak akan membiarkan putrinya lagi dan lagi termakan dengan mulut manis Erick. Cukup sudah dia menyesali tindakan perjodohan itu, tak akan lagi menyerahkan putrinya pada laki-laki yang tidak bisa menghargai sebuah ikatan yang sakral.

"Pernikahan seperti itu tidak sah dalam agama kita, Kia. pernikahan muhalil adalah dosa besar dan diharamkan oleh Allah, dan bisa mendatangkan laknat bagi para pelakunya." Jelas mama Flora. Bagaimana mungkin dia membiarkan putrinya terjerumus dalam ikatan pernikahan yang tidak sah demi kembali pada Erick. Terlepas dari larangan itu, dia pun lebih tidak setuju Kiara kembali pada Erick.

Kiara hanya bisa menunduk, menghela nafas pasrah mendengar tentangan itu. Dia sudah menduga, kedua orangtuanya pasti tidak akan setuju. Namun, hatinya tersentak mendengar ucapan mama Flora, jujur saja dia tidak begitu banyak tahu tentang apa itu muhalil. Yang dia tahu, syarat rujuk setelah talak tiga, yakni istri harus menikah dulu dengan laki-laki lain.

"Jangan temui Erick lagi, Kia. Kalaupun Erick yang mendatangi kamu, jangan berikan celah untuk mendekat. Apalagi yang kamu harapkan dari dia? Sudah jelas dia bukan laki-laki yang baik untuk kamu, ingat berapa kali Erick melontarkan kalimat perceraian? Tidak menutup kemungkinan dia akan mengucapkannya lagi nanti. Sudah cukup, Kia, jangan buat Papa dan Mama semakin menyesal karena membiarkan kamu kembali padanya." Tukas papa Rangga, kedua tangannya terkepal erat menahan emosi. Andai saja Erick ada dihadapannya saat ini, dia akan membalas kalimat talak yang dijatuhkan pada putrinya dengan kalimat yang lebih tajam. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menghajar mantan menantunya itu yang dengan berani datang menemui Kiara untuk rujuk kembali, dan dengan gilanya Erick sendiri yang akan mencarikan laki-laki untuk menjadi suami muhalil Kiara.

"Tenang, Pa," mama Flora mengusap punggung tangan suaminya yang terkepal.

"Gimana Papa bisa tenang? Erick benar-benar sudah keterlaluan, dia sudah tidak menghargai kita lagi!" Tukas papa Rangga dengan nada suara yang cukup tinggi.

"Kia, istirahatlah, Nak." Titah mama Flora.

Kiara mengangguk, lalu beranjak menuju kamarnya dengan langkah gontai. Jujur saja, dia masih berharap kembali namun, sepertinya harapan itu sudah tak ada lagi.

Sesampainya di kamar, Kiara membuka laci lalu mengeluarkan sebuah pigura kecil yang berisi foto pernikahannya dengan Erick. Satu-satunya benda yang tersisa untuk mengenang waktu satu tahun menjalani bahtera rumah tangga yang sebenarnya tidak berjalan seperti ekspektasinya. Hanya saja, karena cinta dia tetap bertahan hingga sampai pada titik, dimana Erick sendiri yang memutuskan tali pernikahan mereka.

Erick adalah laki-laki pertama yang mengisi hatinya, cinta pertamanya. Benar kata orang, jika sudah terlanjur mencintai, akan sulit untuk melupakan walau ada luka di dalamnya. Dia menerima semua keputusan yang dibuat Erick, termasuk menunda memiliki anak yang entah apa alasannya. Pernah dia menanyakan kenapa? Dan Erick hanya menjawab, ingin menikmati waktu berkualitas berdua sebelum direpotkan dengan adanya anak diantara mereka.

Cukup lama memandangi foto pernikahannya, Kiara memasukkan kembali pigura itu kedalam laci lalu beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

.

.

.

"Bang Denis, tunggu." Teriak Erick dari jendela mobil memanggil seseorang yang baru saja duduk di atas motor.

Erick gegas turun dari mobil, dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang terlihat menatap malas kearahnya.

"Abang sudah mau pulang?" Tanya Erick pada laki-laki yang bernama Denis.

"Ya," jawab Denis singkat. Pertanyaan Erick terlalu basa-basi menurutnya, sekarang sudah sore, bengkel sudah tutup tapi masih saja bertanya.

"Boleh aku minta waktu Abang? Sebentar saja," pinta Erick dengan nada memohon.

Denis terdiam beberapa saat sambil memandangi Erick, tanpa menjawab dia turun dari motornya lalu berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di depan bengkel dan duduk di sana.

Erick pun menyusul, duduk di samping Denis dengan gelagat yang nampak gelisah.

"Rick, kalau ada keperluan cepat katakan. Aku mau pulang, Mamaku sudah menungguku." Ucap Denis terdengar sedikit kesal.

Erick menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, "Bang Denis, aku butuh bantuan Abang. Tolong, nikahi mantan istriku, aku ingin kembali rujuk dengannya."

Sontak saja Denis tertawa pelan mendengarnya, "Apa kamu sudah gila?"

"Anggap saja begitu, aku memang sudah gila. Ingin rujuk setelah menalaknya 3 kali. Please Bang, tolong nikahi Kia!" Pinta Erick lagi memohon.

"Rick, kamu tahu tidak syarat rujuk setelah talak 3 itu, apa saja?" Tanya Denis, menatap Erick dengan serius.

Erick mengangguk cepat, "Tahu, Kiara harus menikah dulu dengan laki-laki lain." Jawabnya.

"Hanya itu saja yang kamu tahu?" Tanyanya Denis lagi.

Erick mengangguk, hanya seperti itu yang dia tahu.

Denis terkekeh pelan, "Ada 5 syarat kalau kamu ingin kembali rujuk dengan mantan istrimu."

"Apa saja syaratnya, Bang?" Tanya Erick antusias, "Aku akan memenuhi semua syarat itu demi kembali rujuk dengan Kia."

"Dengar baik-baik Erick. Yang pertama, sang istri sudah habis masa iddah darimu,"

Erick mengangguk, jelas saja masa iddahnya sudah habis, dia dan Kiara bercerai sudah tiga bulan lamanya.

Kemudian, Denis kembali melanjutkan, "Yang kedua, sang istri harus dinikahi lebih dulu oleh laki-laki lain yang disebut sebagai muhalil. Dan yang ketiga, si istri pernah bersenggama dan muhalil benar-benar penetras! kepadanya,

Glek. Erick menelan ludah susah payah mendengar syarat yang ketiga. Pengetahuannya yang kurang, membuatnya benar-benar tidak tahu akan syarat-syarat itu. "Apa harus berhubungan, Bang? Itu kan cuma sebagai syarat untuk rujuk, aku rasa tidak perlu sampai melakukan hubungan suami-istri. Cukup Abang nikahi saja lalu ceraikan."

Denis menggeleng, "Aku tidak mau melakukan pernikahan yang tidak sah. Cari saja laki-laki lain." Denis beranjak dari tempat duduknya.

"Tunggu dulu, Bang." Erick menahan tangan Denis yang hendak pergi.

Denis mengulum senyum, dia tahu Erick pasti akan menahannya pergi.

"Baiklah, Bang. Aku setuju dengan syarat itu." Ucap Erick dengan berat hati. Mau mencari laki-laki lain jatuhnya tetap sama, lebih baik Denis yang dia kenal dan bisa mengaturnya kapan untuk menceraikan Kiara. "Lalu, apalagi syarat selanjutnya, Bang?" Tanyanya.

"Si istri sudah berstatus talak ba’in dari suami muhalilnya, dan masa iddah si istri dari muhalil telah habis." Jawab Denis.

Erick menarik nafas dalam seraya berdiri di samping Denis, "Bang, tolong nikahi Kia."

"Kalau kamu tidak keberatan dengan syarat yang ketiga?" Ucap Denis. Dia berbalik badan lalu tersenyum simpul.

"Jujur saja aku keberatan, Bang. Tapi jika syarat itu benar-benar harus dipenuhi, maka aku harus berlapang dada." Tutur Erick terdengar parau. Dia menghela nafas berat membayangkan Kiara harus disentuh oleh laki-laki lain.

"Baiklah," ucap Denis lalu melangkah menuju motornya. Sebelum menyalakan motor, terlebih dahulu dia mengirim pesan pada sang mama untuk memberitahu akan pulang telat. Setelahnya, Denis pun melajukan motornya menuju suatu tempat.

BAB 3. JANJI

"Ma, Papa kemana? Kok gak ikut makan malam?" Tanya Kiara yang baru saja datang ke ruang makan, melihat mama Flora hanya duduk seorang diri sambil bermain ponsel, nampaknya sedang berbalas pesan. Tidak biasanya mama Flora tak bersama papa Rangga.

"Papa lagi keluar, ketemu sama temannya. Mungkin sekalian makan malam di luar," jawab mama Flora seraya meletakkan ponselnya di atas meja makan. "Yuk, makan," ajaknya.

Kiara mengangguk lalu duduk di samping mamanya, "Ada urusan apa Papa sama temannya? Tumben banget Papa mau diajak ketemuan di luar," rupanya hal tersebut membuat Kiara penasaran, karena semenjak pensiun dari dunia bisnis, papa Rangga lebih suka menghabiskan waktu di rumah bersama istri tercinta. Jika ada undangan, papa Rangga tidak akan pergi bila tak bersama mama Flora.

"Kok heran gitu sih? Papa kamu itu mantan pebisnis yang hebat loh, rekan kerjanya banyak. Emang salah, kalau sekarang Papa kamu keluar ketemu temannya?" Tanya mama Flora.

Kiara menggeleng, "Ye enggak sih, cuma aku heran aja, Ma. Soalnya Papa kan paling malas keluar kalau gak sama Mama."

"Tadi Papa ngajakin Mama kok, cuma Mama gak mau ikut. Soalnya teman Papa laki-laki semua. Tahu sendiri Papa kamu itu gimana?" Mama Flora terkekeh pelan.

Kiara pun tersenyum. Begitulah papanya, katanya malas keluar kalau gak sama istri tercinta, tapi saat pulang pasti dengan wajah masam. Usut punya usut, papa Rangga kesal dengan mantan rekan-rekan kerjanya yang kesannya selalu ngeliatin mama Flora, cemburu katanya. Mama Flora gak boleh dilirik laki-laki selain dirinya, duh prosesi banget.

Mam Flora dan Kiara pun memulai makan, tak ada lagi obrolan diantara keduanya selain hanya dentingan sendok beradu dengan piring yang terdengar di ruangan itu.

Derap langkah kaki yang terdengar menuju ruang makan mengalihkan perhatian mama Flora dan Kiara. Kedua wanita berbeda generasi itu lantas tersenyum melihat kedatangan papa Rangga.

"Bentar banget pulangnya, Pa? Gak nyaman ya pergi sendirian gak bawa gandengan?" Kiara mengedipkan sebelah matanya menggoda papanya.

Papa Rangga menanggapinya dengan senyuman. Dia menarik kursi, duduk lalu membalikkan piring di hadapannya.

"Loh, Papa gak makan di luar sama teman Papa?" Tanya Kiara.

"Enggak," jawab papa Rangga singkat. "Selesai makan nanti, kita ngobrol di ruang keluarga. Ada yang mau Papa bicarakan denganmu," ujarnya.

Meski penasaran, Kiara memilih untuk tidak bertanya. Dia pun kembali melanjutkan makan, sementara mama Flora menyajikan makanan ke dalam piring suaminya.

Usai makan, kini mereka berkumpul di ruang keluarga.

Papa Rangga tampak beberapa kali menarik nafas kemudian akhirnya membuka suara, "Bilang pada Erick, segera bawa laki-laki yang akan menjadi suami muhalil kamu untuk bertemu Papa dan Mama."

Tatapan Kiara seketika terpaku pada papanya. Apa dia tidak salah dengar? Baru sore tadi papanya menentang keras rencana rujuknya bersama Erick, tapi malam ini papa Rangga justru ingin bertemu dengan laki-laki yang akan menjadi suami muhalilnya.

"Kia, apa kamu dengar Papa?"

Kiara tersentak, "I-ya, Pa, aku dengar." Jawabnya sedikit terbata. Rasanya tidak percaya kalau papanya bisa merubah keputusannya dalam waktu yang singkat.

"Baiklah, kalau bisa, besok bawa laki-laki itu ke sini. Papa tunggu," setelah mengatakan itu Papa Rangga beranjak dari tempat duduknya, begitupun dengan mama Flora. Sepasang suami istri itu melangkah bersama menuju kamar mereka dengan tangan saling bergandengan.

Kiara menatap kepergian kedua orangtuanya tanpa kedip. Masih antara percaya dan tidak, tapi sejatinya dia sangat merasa senang saat ini.

Bak anak gadis yang lagi kasmaran, Kiara berlari pelan menuju kamarnya sambil tersenyum. Tak sabar rasanya untuk menyampaikan kabar baik itu pada Erick.

"Mas, Papa setuju. Besok Papa ingin bertemu dengan laki-laki itu," ucap Kiara begitu sambungan teleponnya terhubung dengan Erick.

[Serius, Kia?] Tanya Erick memastikan.

"Serius, Mas." Jawab Kiara antusias. "Tapi, apa Mas Erick sudah menemukan laki-laki yang mau menikahi aku?" Tanyanya kemudian seiring senyumnya yang memudar.

[Kamu tenang saja, aku sudah mendapatkan laki-laki yang akan menjadi suami muhalil kamu. Besok kita bertiga bertemu di cafe dekat kantorku, baru setelah itu ke rumahmu.]

"Baiklah, Mas, kita ketemu besok." Kiara lalu memutuskan sambungan telponnya. Setelah menyimpan ponselnya di atas nakas, ia pun merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Memejamkan mata, tak sabar menunggu malam berganti pagi.

.

.

.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika motor Denis terparkir di depan sebuah rumah minimalis. Setelah turun dari motor dan melepas helm, dia pun berjalan menuju pintu rumah itu sambil membawa bungkusan berisi makanan.

Beberapa kali mengetuk, tak lama kemudian pintu rumah itupun terbuka, "Bang Denis," ucap seorang wanita terdengar parau. Matanya nampak sayu menatap Denis.

"Nih, Abang belikan Martabak kesukaan kamu." Ujar Denis seraya menyerahkan bungkusan yang dia bawa.

Wanita yang bernama Liana itupun mengambilnya, "Terima kasih, Bang." Ujarnya. Dia pun membuka pintu lebar-lebar agar Denis masuk.

"Shanum sudah tidur?" Tanya Denis sambil melangkah masuk.

"Sudah, Bang." Jawab Liana yang ikut melangkah di samping Denis.

Denis duduk di ruang tamu, sementara Liana ke dapur membuatkan minum untuk Denis. Tak lama kedua dia kembali dengan secangkir teh hangat beserta martabak pandan toping keju yang dibeli Denis.

Bertepatan dengan Denis yang tengah menyeruput teh hangat, terdengar ponselnya berdering. Dia pun meletakkan cangkir teh nya kembali merogoh saku jaketnya mengambil ponsel.

"Erick," gumamnya yang masih dapat didengar oleh Liana.

"Ada apa, Rick?" Tanyanya begitu menjawab panggilan itu. Bahkan dia sengaja menghidupkan speaker agar Liana juga dapat mendengarnya.

[Bang, besok jam 9 kita ketemu di cafe dekat kantorku, sama Kia juga. Setelah itu Abang harus menemui orang tua Kia.] Ujar Erick.

"Buru-buru sekali," ucap Denis sambil melirik Liana yang ekspresi wajahnya langsung berubah setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Erick.

[Lebih cepat kan lebih bagus, Bang.]

"Hem, ya sudah besok kita ketemu."

[Terima kasih, karena Abang sudah mau membantuku menikahi Kiara. Berapapun yang Abang minta akan aku berikan,] ucap Erick.

Denis hanya menjawabnya dengan deheman, lalu mengakhiri panggilan itu. Dia menyimpan kembali ponselnya lalu meraih sebelah tangan Liana dan menggenggamnya erat.

"Abang janji, ini hanya sebentar. Setelah itu Shanum akan kembali berkumpul bersama Mama dan Papanya."

Liana hanya tersenyum tipis mendengarnya. Godaan terbesar seorang laki-laki adalah wanita, dia harus menyiapkan mental sekuat baja untuk menghadapi itu. Bahkan mungkin kata mengikhlaskan harus dia kedepankan lantaran skenario yang akan terjadi selanjutnya didukung penuh oleh kedua mertuanya. Dia bisa apa untuk itu?

"Abang mau lihat Shanum dulu," setelah melepas tangan Liana, Denis beranjak menuju kamar Liana. Kedua matanya berkaca-kaca saat membuka pintu kamar, melihat Shanum, gadis kecil berusia 5 tahun itu tidur seorang diri.

Dengan langkah pelan Denis berjalan menuju tempat tidur, dia duduk di tepi ranjang sambil memandangi Shanum.

"Shanum kangen Papa ya?" Gumam Denis sambil mencium pelan kening Shanum. "Sabar ya Sayang, sebentar lagi keluarga Shanum akan kembali utuh."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!