Sepulang kerja, Maura merasa sangat lelah dan ingin segera pulang. Namun, ketika melewati sebuah toko buku, entah mengapa dia memutuskan untuk masuk dan melihat-lihat.
Pandangan matanya tertuju pada sebuah novel berjudul "Ruby" dengan sampul yang menarik. Tanpa berpikir panjang, Maura langsung membawanya ke kasir dan membeli novel itu.
Sesampainya di rumah, Maura buru-buru membersihkan diri lalu bergegas ke kasur untuk membaca novel yang baru saja dibelinya. Dia membaca deskripsi novel itu, yang menceritakan tentang seorang gadis biasa yang tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang adalah pemeran utama. Mereka bertabrakan saat dia berjalan, dan dari situlah kisah mereka bermula.
Maura membaca dengan serius, tetapi banyak sekali keluhan yang keluar dari mulutnya.
"Ih, bagaimana sih ini novel? Kok tiba-tiba mereka sudah jadian saja. Dan ini antagonisnya kenapa? Kan dia ganteng, seharusnya bisa dapat yang lebih dari Ruby. Arya juga, kenapa malah selingkuh dengan Ruby padahal sudah punya pacar. Nggak habis pikir deh," gerutu Maura.
Saat cerita berlanjut, Maura terkejut dan terharu ketika seorang karakter perempuan yang tidak bersalah mati karena menyelamatkan Ruby.
"Hiks, hiks, kenapa kasian banget cewek ini? Cuma muncul pas mau mati aja," tangis Maura.
Dia melanjutkan bacaannya hingga akhir, dan merasa sangat kesal karena karakter antagonis laki-laki menghilang dan pacar Arya, Raina, menyerah dan membiarkan Arya bahagia dengan Ruby.
"Ini tidak adil bagi Raina. Padahal dia selalu ada untuk Arya, tapi malah dibuang begitu saja," kata Maura dengan kesal, merasa Raina tidak mendapatkan akhir yang bahagia.
Penuh dengan rasa jengkel, Maura melempar novel itu ke sudut ruangan dan akhirnya tertidur karena kelelahan.
******
Pagi itu, sinar matahari yang cerah menembus celah-celah gorden, membangunkan Maura dari tidurnya. Seperti biasa, dia bersiap-siap untuk bekerja.
Maura bekerja di sebuah kantor, dan telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selama kuliah, dia bekerja keras karena merupakan penerima beasiswa dan ingin memastikan masa depannya terjamin, meski dia hanya sebatang kara.
Hari itu berjalan seperti biasanya, tanpa hambatan. Ketika sore menjelang, Maura merapikan meja kerjanya dan bersiap untuk pulang. Dia berencana membeli makan malam di restoran cepat saji di seberang kantor.
Maura berjalan menuju trotoar dan menunggu lampu merah untuk menyeberang. Namun, dari arah kanan, sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.
Awalnya, Maura tidak menyadari bahaya yang mengintai dan terus berjalan. Hanya beberapa detik kemudian, mobil tersebut menabraknya dengan keras, membuat tubuhnya terlempar dan terguling-guling di jalan.
Suasana yang tadinya tenang seketika berubah menjadi hiruk-pikuk dengan jeritan orang-orang di sekitar.
Maura terbaring di jalan, menatap langit sore yang cantik. Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Darah mengalir dari kepalanya, dan dia menyadari bahwa harapan untuk selamat sangat tipis. Tidak ada yang menunggunya di rumah, jadi mungkin ini saatnya untuk pergi.
Dengan pelan, Maura menutup matanya dan menghembuskan napas terakhirnya. Maura Ayu meninggalkan dunia ini dalam kesendiriannya.
Di tempat lain, seorang gadis tiba-tiba merasakan pusing di kepalanya. Ketika membuka matanya, pandangannya masih berkunang-kunang dan kabur. Setelah sepenuhnya pulih, dia melihat sekelilingnya dan terkejut menemukan dirinya berada di sebuah kamar yang mewah.
"Di mana aku?" tanyanya bingung.
---
Maura merasakan pusing yang amat sangat. Dia berusaha menyesuaikan cahaya di ruangan dan menatap sekelilingnya. Setelah penglihatannya kembali jelas, ia menyadari dirinya berada di sebuah kamar yang mewah.
"Di mana ini?" gumam Maura, kebingungan melihat sekelilingnya.
Dia merasakan ada kain basah di dahinya—tanda bahwa dia mungkin demam. Dengan susah payah, Maura melepaskan kain itu dan mencoba duduk meski rasa pusing masih menyelimuti kepalanya.
"Aku di mana? Bukankah tadi aku kecelakaan?" bisiknya pelan, mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya gelap. "Apa aku koma dan kemudian dibawa pergi, atau... diculik?" spekulasi Maura semakin liar. "Tapi siapa juga yang gabut menculikku?"
Maura pun bangkit berdiri dengan hati-hati, ingin melihat penampilannya di cermin. Saat dia berdiri di depan cermin, bayangan seorang perempuan cantik menatapnya. Wajah itu memiliki fitur yang menawan: kulit halus, mata besar yang memikat, hidung mancung, dan bibir tipis yang membentuk senyuman lembut dengan rambut
"Siapa dia?" Maura menunjuk cermin, merasa asing dengan wajah cantik yang terpantul di sana.
"Benar-benar cantik," pikir Maura kagum, belum pernah melihat wanita secantik ini. Namun, perasaan aneh melintas saat gadis cantik di cermin terus mengikuti setiap gerakannya.
Maura mencubit pipinya, dan rasa sakit yang muncul membuatnya sadar. "Ini tubuhku?" Serunya, terkejut. Jadi, Maura menyimpulkan bahwa dia masih hidup, tetapi dalam tubuh orang lain.
"Aaaa! Bagaimana ini bisa terjadi? Aku di mana sekarang, dan ini siapa?" Maura mulai frustasi dengan situasi yang tak masuk akal ini.
Dengan pusing yang tak kunjung hilang, Maura mulai mencari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk tentang identitas tubuh ini. Dia beralih ke meja belajar yang tertata rapi di dekatnya. Saat mencari, Maura menemukan sebuah nametag dengan nama "Arabella Paramita Darpa."
Nama itu sama sekali tidak dikenal olehnya. Kepala Maura yang masih pusing semakin berat, dan dengan enggan, dia kembali merebahkan diri di atas kasur, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi..
...****...
Saat tertidur, tiba-tiba Maura merasakan ada yang menyentuh dahinya dengan lembut. Sentuhan itu membuatnya terbangun. Di hadapannya berdiri seorang wanita dewasa yang masih terlihat cantik dan anggun, menatapnya dengan penuh perhatian.
"Ara sayang, bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah merasa lebih baik atau masih merasa tidak nyaman?" tanya wanita itu dengan suara lembut dan penuh kekhawatiran.
"Aku merasa sedikit lebih baik, meski kepala masih terasa pusing," jawab Maura, bingung menatap wanita yang sepertinya sangat mengenalnya.
"Baiklah, sekarang duduk dulu ya, sayang. Kita makan dulu. Biar Mami yang suapi," kata wanita itu, membantu Maura—atau lebih tepatnya Arabella—duduk dengan hati-hati. Tampak jelas betapa pedulinya wanita ini terhadap gadis yang dia panggil 'Ara'.
"Eum," Maura hanya bisa menggumam sambil berusaha menyesuaikan diri dengan situasi ini. Dia menerima bantuan dari wanita yang mengaku sebagai 'Mami' dengan tatapan kebingungan.
"Mmm, aaaa," suara lembut 'Mami' terdengar saat dia menyuapi Maura yang kini berada dalam tubuh Arabella.
Dengan telaten dan penuh perhatian, Mami terus menyuapi Arabella sambil tersenyum lembut, tampak gemas melihat putrinya yang menurut dan makan dengan lahap. Sesekali, wanita itu mencium pipi Arabella yang tampak mengembung karena penuh makanan, dengan bunyi kecupan lembut, "Mwah."
"Kamu kalau sakit gini kenapa jadi lucu banget, Ara. Biasanya kan kamu badas, tapi Mami suka lihat kamu begini," ujar Mami sambil tertawa kecil. Wajahnya tampak penuh kasih sayang dan kebahagiaan, melihat 'Ara' yang sekarang terlihat bingung dan terdiam. Maura, yang berada dalam tubuh Arabella, belum pernah merasakan kasih sayang ibu seperti ini sebelumnya.
Setelah selesai makan, Mami dengan lembut membantu Arabella minum obat. Dia memastikan bahwa putrinya mendapatkan perawatan terbaik.
"Baiklah, sekarang tidurlah kembali, sayang. Biar cepat sembuh," kata Mami sambil membelai lembut rambut Arabella. Rasa kantuk segera menyerang Maura, dan dia pun tertidur kembali, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran wanita itu.
Setelah memastikan Arabella tertidur dengan nyaman, Mami membenarkan selimut dan mencium keningnya dengan lembut. Dia memandangi putrinya dengan penuh cinta sebelum akhirnya keluar dari kamar, meninggalkan Arabella untuk beristirahat dengan tenang.
Cahaya matahari menyelinap melalui celah gorden kamar Arabella, perlahan membangunkannya dari tidur. Pusing yang ia rasakan kemarin sudah jauh berkurang; mungkin sebentar lagi ia akan sepenuhnya sembuh.
Saat Arabella duduk dan bersandar di tempat tidurnya, pintu kamar terbuka, menampakkan ibunya yang membawa nampan berisi makanan.
“Selamat pagi, sayang,” sapa Mami dengan lembut sambil meletakkan nampan di samping tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Ia membuka gorden dan jendela, membiarkan udara segar mengalir ke dalam kamar putrinya.
“Pagi juga, Mami,” jawab Arabella dengan suara serak.
“Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik, kan?” tanya Mami, duduk di tepi tempat tidur dan menatap Arabella dengan perhatian.
“Jauh lebih baik dari kemarin, Mami,” kata Arabella sambil tersenyum tipis.
“Baiklah, sekarang kamu sarapan dulu, atau mau cuci muka dulu?” tanya Mami lagi, penuh perhatian.
“Aku mau ke kamar mandi dulu, Mami,” jawab Arabella.
“Baiklah, Mami bantu, ya,” kata Mami, lalu membantu Arabella berdiri dan menuntunnya ke kamar mandi.
Setelah Arabella mencuci muka dan menggosok gigi, ia kembali ke tempat tidur dan mulai disuapi oleh Mami. Dengan penuh kasih sayang, Mami menyuapi Arabella dengan telaten.
“Kalau kamu sembuh hari ini, besok kamu bisa kembali ke sekolah,” kata Mami. “Kamu kan kemarin terus merengek ingin tetap masuk sekolah meski sedang sakit begini.”
“Iya, Mami,” jawab Arabella sambil mengunyah perlahan.
Setelah selesai menyuapi dan memberi Arabella obat, Mami menyarankan agar Arabella berjemur di balkon kamarnya. Mami kemudian meninggalkan kamar untuk menuju dapur, sementara Arabella duduk di balkon, menikmati sinar matahari pagi yang hangat.
Sambil menikmati cahaya matahari yang menyinari wajahnya, Arabella merenung tentang kehidupannya. Tentang bagaimana ia menjalani hidup di tubuh orang lain tanpa mengenal siapa pun.
Setelah beberapa saat, Arabella bangkit dari duduknya untuk mencari telepon genggam yang belum ia lihat sejak kemarin. Setelah menemukannya, ia kembali duduk di balkon dan membuka aplikasi WhatsApp. Di sana, ia hanya menemukan tiga kontak: Daddy, Mami, dan Saskia. Sangat membosankan, pikir Arabella.
Tak ada yang menarik dari isi telepon genggam itu, sehingga ia meletakkannya di sampingnya dan memejamkan mata, menikmati sinar matahari.
Tiba-tiba, ia merasakan ciuman lembut di keningnya. Secara refleks, Arabella membuka mata dan menjauh.
“Oh, sayang, apa Daddy mengagetkanmu?” tanya seorang pria dewasa yang menyebut dirinya Daddy.
“Maaf ya, pasti kaget. Daddy cuma khawatir sama kamu karena sakit. Maaf ya kemarin Daddy ada urusan di luar kota jadi nggak bisa menemani putri Daddy,” ujar Daddy dengan nada penuh penyesalan.
“Iya, Daddy, tidak apa-apa. Aku ngerti kok,” jawab Arabella setelah mengatasi keterkejutannya.
“Boleh Daddy duduk di sini?” tanya Daddy meminta izin duduk di samping Arabella.
“Iya, boleh,” jawab Arabella.
Daddy pun duduk di samping Arabella dan langsung menyentuh dahinya. Setelah merasa tidak ada panas lagi, ia bernapas lega.
“Syukurlah, tidak panas lagi. Kamu tahu, Daddy sangat khawatir dan terus memikirkan kamu yang sedang sakit, tapi Daddy malah jauh dari kamu,” kata Daddy dengan nada menyesal.
Daddy kemudian membimbing kepala Arabella untuk bersandar di dadanya.
Arabella merasa terharu karena di sini ia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Tanpa terasa, ia pun menangis.
Melihat putrinya menangis, Daddy memeluk Arabella erat-erat dan mencoba menenangkannya.
“Cup, cup, cup, tidak apa-apa sayang. Daddy ada di sini. Kamu pasti takut ya kemarin, karena Daddy nggak ada di samping kamu,” kata Daddy sambil menenangkan.
Arabella menangis lama sampai akhirnya tidak ada suara. Ketika dilihat, ternyata ia tertidur. Daddy pun dengan hati-hati mengangkat Arabella dan membaringkannya di tempat tidur, membetulkan selimutnya, lalu mencium keningnya.
“Daddy sayang Ara,” bisik Daddy pelan.
Setelah menutup pintu kamar Arabella, Mami menghampiri Daddy.
“Sudah tidur?” tanya Mami.
“Iya, sudah. Kelelahan habis menangis,” jawab Daddy.
“Kenapa malah dibikin nangis sih kamu?” tanya Mami sedikit kesal.
“Iya, maaf ya. Mungkin Ara kesal karena kemarin aku nggak ada,” jawab Daddy dengan nada penuh penyesalan.
“Ya sudah, biarkan Ara istirahat dulu,” kata Mami sambil menggandeng Daddy untuk meninggalkan kamar.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!