"Mari berpisah!" tegas wanita bernama Shayna Melinda, 28 tahun. Pernyataan Shayna diiringi suara petir yang saling menyapa di langit membuat suaminya sangat terkejut mendengarnya.
Azzam Alexander, 32 tahun, tak menyangka istrinya secara terang-terangan ingin berpisah darinya. Tak ada pertengkaran di antara mereka tapi mengapa Shayna berani berkata seperti itu.
"Aku sudah lelah dengan pernikahan ini, Zam!" kata Shayna tampak matanya berkaca-kaca.
"Shayna, kita baru menikah lima bulan tapi kamu bilang bercerai. Sebelumnya kita menjalin hubungan lebih dari tiga tahun, kamu tak pernah mengatakan putus," ucap Azzam belum percaya dengan ucapan istrinya. Ia yakin Shayna memiliki masalah sehingga emosinya meledak.
"Aku rasa pernikahan ini tak perlu dilanjutkan lagi!" kata Shayna lagi dan memilih membelakangi suaminya.
"Kenapa kamu ingin kita bercerai? Apa kamu sudah tidak mencintai aku? Atau kamu memiliki pria yang lebih dariku?" cecar Azzam maju satu langkah mendekati istrinya.
"Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan pria lain, aku merasa jenuh dan bosan. Kita berdua sangat sibuk, tak ada waktu bersama!" jelas Shayna lantas membalikkan badannya.
"Kamu 'kan tahu jika usahaku sedang naik," kata Azzam. "Kamu harusnya mengerti dan paham," lanjutnya.
"Karena aku paham makanya meminta kamu untuk segera menceraikan aku!" ucap Shayna dengan suara lantang.
"Begini saja, kita hidup berpisah sementara waktu. Kita sama-sama merenung, apakah pernikahan ini dapat dilanjutkan atau tidak," Azzam memberikan saran, ia tak ingin gegabah menceraikan Shayna.
"Aku tak mau, keputusan aku sudah bulat. Pernikahan tidak dapat dilanjutkan, aku sibuk begitu juga kamu. Buat apa tinggal bersama tapi kita tak pernah mengobrol," ujar Shayna menjelaskan jika hubungan pernikahannya sangat hampa meskipun harta dia dan Azzam berlimpah.
"Apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak perlu meminta cerai?" Azzam menatap wanita cantik itu dengan penuh kelembutan.
"Akhir pekan kamu harus ada di rumah, aku juga akan mengusahakannya," ucap Shayna.
"Aku tidak bisa, Shayna. Akhir pekan restoran sangat ramai, aku harus berada di sana mengawasi karyawan. Senin hingga Jumat aku di toko mobil," jelas Azzam agar istrinya mengerti dengan pekerjaannya.
"Kamu saja tidak dapat meluangkan waktu," kesal Shayna.
"Malam 'kan kita sering bertemu, Shayna." Azzam mencoba memberikan jalan alternatif.
"Kamu pulang, aku sudah tidur!" kata Shayna. "Kita saling bertatapan wajah hanya di pagi hari itu pun di meja makan, kamu juga sering buru-buru pergi ke kantor dengan alasan takut terjebak macet!" tambahnya.
Azzam sedikit menunduk dan berpikir. Usaha otomotif dan kulinernya sudah dibangunnya dari 5 tahun lalu tapi baru di tahun ini melesat naik. Tak mungkin ditinggalkan begitu saja dan melepaskan orang lain buat mengurusnya.
"Bagaimana? Apa kamu bersedia menceraikan aku dan menyisihkan waktu untuk kita bicara?" tanya Shayna.
"Maaf, Shayna. Aku tidak bisa, bisnisku membutuhkan aku untuk menjalaninya," jawab Azzam menolak keinginan istrinya buat meluangkan waktu.
"Jadi, kamu bersedia kita berpisah?" tanya Shayna lagi.
Azzam tak segera menjawab.
"Apa lagi yang ditunggu? Kita memang lebih baik hidup masing-masing tanpa ada ikatan," ujar Shayna sebenarnya tak rela berpisah namun hatinya sangat hampa padahal sebelum menikah mereka masih menyisihkan waktu bersama sekedar makan atau nonton di bioskop.
"Apa tidak ada solusi lainnya?" pinta Azzam.
Shayna menggelengkan kepalanya, ia juga tidak memiliki opsi lain dari masalah yang dihadapinya.
"Bagaimana jika kita bertemu orang tua kita untuk meminta pendapat dari mereka?" usul Azzam.
"Aku tidak mau melibatkan mereka, pasti orang tuamu dan aku tak setuju," Shayna menolak usulan suaminya.
"Beri waktu aku dua hari berpikir," ucap Azzam.
"Kelamaan, Zam. Sebelumnya aku juga sudah meminta kamu untuk berpikir, masa harus berpikir lagi. Aku sangat lelah dan bosan!" kata Shayna bersikeras. Dua minggu lalu, Shayna juga sudah membicarakan hubungan mereka yang hanya berjalan di tempat. Shayna berusaha tak tidur lebih awal hanya menunggu agar dapat berbicara dengan suaminya. Azzam juga meminta waktu buat merenung dan mencari jalan terbaik tapi Azzam tak memberikan jawaban.
"Pilihan kamu sangat sulit, aku tidak mungkin menceraikanmu," kata Azzam beralasan.
"Jika kamu tidak dapat mengorbankan waktu buat aku lebih baik tinggalkan aku," ucap Shayna. Karena ia sangat capek, suaminya tak pernah memanjakannya bahkan mengajaknya sekedar makan malam pun enggan dilakukan selama menikah padahal Azzam mempunyai restoran.
"Shayna...aku benar-benar tidak ingin berpisah denganmu," kata Azzam.
"Kamu tidak mau berpisah dariku tapi menyiksa hatiku, jangan bersikap egois!" geram Shayna karena suaminya terus saja mengulur waktu dan memperlama obrolan mereka.
Hati Azzam benar-benar kalut, mengakhiri hubungan pernikahan bukan solusi terbaik. Mereka tak pernah berselisih paham, entah kenapa Shayna yang sangat sibuk dengan bisnis fashion dan penginapan merasa bosan. Bukankah menyibukkan diri menghilangkan rasa jenuh?
"Malam ini aku akan tidur di apartemen," kata Shayna hendak beranjak pergi.
"Aku saja yang tidur di sana, ini rumah aku belikan buat kamu," Azzam menahan lengan tangan istrinya.
"Sebentar lagi kita bercerai, rumah ini akan menjadi milikmu," kata Shayna karena ia tak mau merebutkan harta gono-gini sungguh sangat merepotkan.
"Aku belum memutuskan kita bercerai atau tidak," ucap Azzam melepaskan genggamannya.
"Jangan terlalu lama memberikan keputusan, karena aku yakin kamu menginginkan kebebasan agar tak ada lagi yang melarang kamu melakukan apapun," kata Shayna.
"Baiklah, kita berpisah. Aku menceraikanmu!" ucap Azzam terpaksa.
Deg....
Seketika denyut jantung Shayna berhenti. Talak terucap dari bibir suaminya, jujur dirinya sangat membenci perpisahan tapi sikap suaminya yang lebih memilih pekerjaan darinya membuat hatinya semakin sakit dan perih.
Azzam pun berlalu meninggalkan Shayna, ia melangkah ke kamar mengambil pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper.
Shayna yang tak sanggup membalikkan badannya menghadap jendela kaca. Tanpa terasa air matanya menetes, perpisahan itu kini terjadi. "Aku membencimu, Azzam!" batinnya kesal.
Azzam menyeret koper dari dalam kamar tanpa permisi ia meninggalkan Shayna yang tak tahu apakah sedang menangis atau bahagia karena sudah ia ceraikan.
Begitu di lantai bawah, Azzam memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Beruntung hujan yang sempat membasahi bumi berhenti. Udara terasa dingin namun hati Azzam terasa panas. Ucapan seharusnya tak terucap kini terpaksa dilontarkan. Ia sangat mencintai Shayna tapi permintaan istrinya meluangkan waktu tidak dapat ia kabulkan.
Azzam berharap Shayna mengejarnya dan memohon agar tak bercerai selama sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan. "Ayo kejar aku, Shayna!" gumamnya. Ia lalu mendongakkan kepalanya menatap dari kejauhan wanita pujaan hatinya yang masih berdiri melihatnya dari kaca jendela.
"Aku pikir kamu sangat mencintaiku, ternyata selama ini aku salah menilaimu. Kamu lebih memilih bisnis daripada pernikahan kita," lirih Shayna dengan mata berair.
Tak menunggu lama Shayna dan Azzam telah resmi berpisah. Meskipun sudah melakukan mediasi, keduanya tetap bersikeras dengan keegoisannya. Azzam tidak bersedia meluangkan waktu di akhir pekan dan memilih pekerjaannya daripada rumah tangganya.
Shayna juga di suruh untuk memilih salah satu bisnis yang harus ditekuninya dan fokus menghabiskan separuh waktu menjadi ibu rumah tangga namun Shayna menolaknya. Bagi Shayna dunia fashion adalah jiwanya. Usaha penginapan baru dirintisnya beberapa bulan ini jadi ia harus bolak-balik ke luar kota buat memantau perkembangannya.
Shayna kembali ke rumah orang tuanya dan Azzam menetap di apartemen yang ia beli 2 tahun lalu. Sementara rumah tempat dirinya dan Shayna tinggal ia biarkan saja. Hanya ada 2 orang ART tetap di sana buat bersih-bersih.
"Mau ke mana, Shayna?"
Pertanyaan dari sang mama menghentikan langkah Shayna yang sudah di ujung pintu hendak membukanya.
"Kamu baru bercerai, sudah mau pergi saja. Apa kamu tidak dapat diam di rumah selama beberapa hari?" tanya wanita berusia 52 tahun bernama Riska melangkah menghampiri putrinya.
"Aku ada rapat, Ma. Tidak mungkin dapat di tinggal, ini proyek besar. Desain pakaian aku akan digunakan pejabat dari luar negeri," jawab Shayna membalikkan badannya dan menatap sang mama.
"Kamu 'kan punya asisten, mereka bisa mewakilkan," ucap Riska.
"Ma, aku yang harus turun langsung melayaninya tak mungkin aku wakilkan dengan mereka walaupun sebenarnya para karyawan aku tidak diragukan kemampuannya," ujar Shayna.
"Mama tidak mengizinkan kamu pergi, seharusnya kamu di rumah itu kurang lebih tiga bulan. Azzam juga masih memberikan kamu uang nafkah," ucap Riska.
"Aku tidak membutuhkan uang dia, Ma. Aku juga mampu membiayai diriku sendiri," kata Shayna masih sangat kesal dengan mantan suaminya itu.
"Shayna, turunkan ego kamu. Seharusnya sebagai seorang istri kamu harus mengalah. Azzam mencari uang juga buat kamu," jelas Riska.
"Mama bilang aku terlalu ego, dia juga tidak mau meluangkan waktu akhir pekan padahal dua hari itu aku berada di rumah," ujar Shayna karena Mama Riska selalu menyalahkannya.
"Mama hanya mengingatkan kamu, apa saja yang harus kamu lakukan menjadi seorang istri," kata Riska agar putrinya mau menerima nasehatnya padahal ia sudah sangat lelah memberikan arahan tapi tetap saja Shayna keras kepala.
"Percuma Mama katakan, kami juga sudah bercerai!" ucap Shayna.
"Mama bukan hanya sekali menasehati kamu, tapi berulang kali. Jika suatu hari nanti kamu menikah kembali, kejadian seperti ini tak terulang lagi," kata Riska.
"Semoga saja suamiku kelak tak seperti Azzam yang sangat egois!" ucap Shayna masih kesal dengan sikap Azzam enggan memperjuangkan dan mempertahankan rumah tangganya.
"Tapi, kamu harus berubah juga. Jangan berharap suamimu saja," kata Riska.
"Aku berangkat, Ma. Nanti malam lagi kita lanjut mengobrol!" Shayna membuka pintu dan keluar. Ia sampai berlari kecil menuju mobilnya.
Riska melihat putrinya berangkat kerja hanya menghela napas panjang. Ia tak percaya Shayna mendapatkan ujian berat dibalik kesuksesannya. Ia pikir Azzam adalah pria penyayang yang mengerti Shayna tapi ternyata keduanya sama-sama egois.
Riska sudah membayangkan memiliki seorang cucu tapi pernikahan putrinya malah kandas di tengah jalan. Padahal Azzam saat meminta Shayna menjadi istrinya datang dengan sungguh-sungguh penuh harap tapi semua telah berlalu.
-
Shayna mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, ia sangat buru-buru karena rapat akan segera dimulai.
Berniat ingin sampai tepat waktu, Shayna malah terlibat kecelakaan. Mobil yang dikendarainya menyenggol sebuah mobil orang lain.
Shayna yang merasa bersalah tak berhati-hati lantas turun, ia mendekati mobil tersebut dan hendak mengetuk kaca jendelanya namun pintunya malah terbuka.
Seorang pria keluar dari dalam, "Shayna!"
"Azzam?" Shayna tak menyangka ia menyenggol mobil mantan suaminya.
"Apa begini cara kamu berkendara? Sangat buruk!" sinis Azzam.
"Maaf, jika aku merusak mobil kamu. Aku akan mentransfer sejumlah uang untuk biaya perbaikannya!" kata Shayna kemudian membalikkan badannya.
Azzam menarik lengan mantan istrinya, "Sejak kapan kamu mulai menyetir sendiri?" tanyanya. Seingat dirinya ketika masih mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, Shayna takut mengendarai mobil sendiri. Jadi, kemanapun mantan istrinya itu akan pergi ditemani sopir kadang ia yang mengantarkannya.
"Sejak kita menikah," jawab Shayna menurunkan tangan mantan suaminya.
"Kenapa aku tidak mengetahuinya?" tanya Azzam lagi.
"Karena kamu terlalu sibuk sehingga lupa melihat mantan istrimu ke mana-mana selalu sendiri!" jawab Shayna menyindir.
Azzam pun terdiam, ia begitu sangat sibuk sampai tak pernah tahu apa kegiatan Shayna selama mereka sudah menikah.
Shayna gegas masuk ke mobilnya, ia mempercepat laju kendaraannya agar tiba di butik tepat waktu.
Azzam melihat dari kejauhan mobil Shayna, "Siapa yang mengajari dia menyetir?" gumamnya.
Azzam masuk ke mobilnya sembari terus menggerutu, "Sejak kapan dia menyetir? Kenapa aku tidak pernah mengetahuinya? Apa aku terlalu sibuk hingga aku tak sadar mantan istriku begitu mandiri? Tapi, mengapa dia tidak memberitahu aku jika ingin belajar menyetir? Apa selama ini aku tidak dihargainya?"
Sepanjang perjalanan menuju showroom mobil, pertanyaan itu selalu muncul di kepalanya. Azzam juga yakin jika Shayna memiliki pria idaman lain sehingga bersikeras ingin bercerai.
"Pasti dia belajar menyetir bersama kekasih gelapnya!" terka Azzam.
"Aku tahu sekali bagaimana Shayna sangat ketakutan jika aku menyetir dengan kecepatan tinggi!" gumamnya.
Azzam pun berniat ingin bertemu dengan Shayna untuk mempertanyakan alasan Shayna belajar menyetir.
Mobil yang dikendarai Azzam berhenti di usaha miliknya. Azzam gegas ke lantai atas menuju ruang kerjanya. Lagi-lagi pikiran negatif tentang Shayna muncul. Entah mengapa dia tidak begitu rela dan ikhlas Shayna dapat menyetir. Sebenarnya bukan karena itu juga, tapi mengapa Shayna tak meminta izin kepadanya terlebih dahulu.
Azzam meraih botol air mineral dan meneguknya hingga kandas. Pertemuan tak sengaja dengan mantan istrinya membuatnya tidak berkonsentrasi.
Azzam beranjak dari kursinya dan melangkah keluar ruangan. Dengan berjalan terburu-buru ia memasuki mobilnya. Hal itu mengundang perhatian para karyawannya karena tak biasanya Azzam pergi di saat jam kerja.
Azzam mengendarai mobilnya menuju butik mantan istrinya. Sesampainya di sana ia harus menunggu karena Shayna sedang melaksanakan rapat.
Selang 30 menit kemudian, Shayna selesai melakukan rapat. Ia lalu menghampiri Azzam yang sedari tadi sudah menunggu. Informasi tersebut diberitahu karyawannya. "Ada apa?"
"Apa kamu memiliki waktu sebentar saja? Aku ingin berbicara denganmu," kata Azzam dengan ragu.
"Kenapa setelah berpisah kamu dapat meluangkan waktu ke sini?" singgung Shayna. Ketika menikah mantan suaminya itu tak pernah mau datang berkunjung apalagi sekedar menjemputnya sehingga ia memutuskan belajar menyetir.
Azzam terdiam, ia tak dapat berkutik. Ia pun baru sadar jika dirinya sekarang rela ke butik Shayna hanya untuk mencari jawaban dari isi kepalanya yang banyak dipenuhi pertanyaan.
"Mari ke ruangan!" ajak Shayna dengan datar. Ia melangkah lebih dahulu dan disusul oleh Azzam.
Begitu memasuki ruang kerja mantan istrinya, Azzam memperhatikan sekelilingnya tampak banyak berubah. Terakhir ia datang ke tempat itu sekitar 1 tahun lalu.
"Silahkan duduk!" ucap Shayna.
Azzam duduk di sofa saling berhadapan dengan Shayna. Azzam belum mulai berbicara membuat Shayna mengernyitkan keningnya.
"Mau bicara apa?" tanya Shayna membuka percakapan.
"Sejak kapan kamu belajar menyetir? Kenapa kamu tidak pernah memberitahu aku?" Azzam mulai bertanya.
Mendengar pertanyaan terlontar dari mulut mantan suaminya seketika Shayna tertawa sinis.
"Aku suami kamu, kenapa kamu tidak pernah jujur," kata Azzam.
"Suami?" Shayna menautkan alisnya.
"Maksudnya mantan suami," Azzam meralat perkataannya.
"Bukankah sebelumnya aku sudah memberitahu kamu jika aku mau belajar menyetir?" Shayna pernah meminta izin tepat sebulan mereka menikah, waktu itu Shayna jarang sekali diantar jemput suaminya ketika bekerja meskipun sopir telah disediakan oleh Azzam.
"Kamu pasti berbohong, kapan kamu berkata seperti itu?" tanya Azzam yang benar-benar tidak ingat apapun.
"Jangan berpura-pura lupa," jawab Shayna dengan datar.
"Aku memang tidak ingat," ucap Azzam.
"Karena aku memang tidak terlalu penting bagi kamu makanya sesuatu yang keluar dari mulutku semua sia-sia," cetus Shayna.
"Bukan begitu, Shayna. Aku....."
Obrolan keduanya terjeda karena ponsel Shayna berdering, gegas wanita itu menjawabnya, "Sebentar lagi aku akan turun, tunggu saja."
Shayna mengakhiri percakapannya di telepon lalu menatap mantan suaminya, "Aku harus pergi!" Shayna lantas berdiri.
"Aku belum selesai bicara," kata Azzam juga beranjak dari tempat duduknya.
"Hubungan kita sudah berakhir satu bulan lalu tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," Shayna meraih tasnya dan berlalu.
Azzam mengejar mantan istrinya, langkahnya berhenti ketika melihat Shayna melempar senyuman kepada seorang pria yang ada di depan pintu butik.
"Kamu tidak terlalu lama menunggu aku, 'kan?" tanya Shayna kepada pria bernama Mario dengan senyuman dan sembari melirik mantan suaminya.
"Tidak, kamu tenang saja!" jawab Mario balas memberikan senyuman.
"Ayo kita pergi!" ajak Shayna gegas keluar dari butiknya.
"Siapa dia? Kenapa Shayna begitu sangat akrab dengannya?" batin Azzam cemburu melihat kedekatan mantan istrinya bersama pria lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!