"Jam berapa jadwal saya bertemu Pak Moris?" Seorang wanita cantik bertanya pada sang sekretaris sambil melangkah melewati lobi kantor. Sepatunya yang berwarna merah menyala dengan heels setinggi lima sentimeter bersuara 'tak tak tak' setiap kali kakinya melangkah. Sementara itu di belakangnya, seorang wanita berpakaian rapi dengan kacamata bulat berjalan mengikutinya.
"Untuk jadwal rapat dengan Pak Moris pukul 12 siang di restoran prancis bu," wanita berkacamata yang adalah sekretaris si wanita cantik menjawab sambil melihat layar tablet di tangannya.
"Oke, berarti masih ada waktu untuk wawancara karyawan baru," wanita cantik itu melirik jam tangannya sebelum ia masuk ke dalam lift. Sekretarisnya dengan sigap menekan tombol lantai yang mereka tuju.
Pintu lift terbuka di lantai 8, dan para karyawan langsung menunduk hormat.
"Selamat pagi Bu Tina," sapa para karyawan yang dibalas anggukan singkat dari sang wanita cantik bernama Tina itu.
"Pagi," sapa Tina.
Athena Dewi Sarayu, atau Tina, adalah seorang pemilik perusahaan Athena Beauty yang memproduksi produk kecantikan seperti skincare dan makeup. Meskipun usia perusahaan itu baru lima tahun, tapi nama Athena Beauty sudah mampu menyaingi produk kecantikan terdahulu. Maka tak heran, nama pemiliknya juga ikut dikenal oleh publik. Apalagi Tina juga memiliki wajah dan proporsi tubuh yang sempurna, membuat semua orang merasa kagum dengannya.
Tak hanya wajah dan kesuksesan, Tina juga memiliki keberuntungan karena lahir di keluarga Irawan yang juga memiliki pengaruh besar pada bidang teknologi. Tina bisa saja membawa nama keluarganya untuk memudahkan jalan kariernya, namun ia memilih untuk membangun Athena Beauty dari nol dengan kerja keras dan dedikasinya sendiri. Hal ini membuat banyak orang menghormati dan mengagumi integritas serta ketekunannya.
Sayang❤
Hai sayang, lagi sibuk ya?
Tina menghentikan langkahnya sejenak untuk membaca pesan singkat dari pacarnya itu. Satu lagi keberuntungan gadis itu yang membuat iri banyak orang, yaitu pacarnya adalah Andra Pangastu, seorang pengusaha muda yang juga merambah menjadi politisi. Andra Pangastu terkenal karena wajah tampannya dan sikapnya yang sangat rendah hati. Benar-benar pasangan yang cocok untuk Tina.
^^^Tina^^^
^^^Iya sayang. Aku mau wawancara calon karyawan baru. Nanti kita ketemu ya😘^^^
Tina kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang wawancara setelah membalas pesan dari sang kekasih. Langkahnya yang mantap dan tegap membuat pandangan orang-orang kembali tertuju padanya.
Tina masuk ke dalam ruangan, dan orang-orang yang ada di sana sudah berdiri untuk menyambut. Sekretaris Tina dengan sigap mengarahkan kursi tempat duduk Tina dan memastikan bosnya itu duduk dengan nyaman.
"Silahkan dimulai," ucap Tina kemudian. Para calon karyawan pun dipanggil satu persatu.
Sebenarnya, wawancara hari ini hanya untuk merekrut karyawan magang yang akan membantu proyek pengembangan produk baru Athena Beauty. Meskipun posisi magang, Tina yang memiliki sifat perfeksionis memiliki standar yang tinggi, karena ia percaya setiap orang yang bergabung dengan perusahaannya harus memiliki kualitas terbaik. Maka tak heran saat ini dia bersedia turun tangan hanya untuk mewawancarai para calon karyawan.
Beberapa kandidat masuk dan Tina memperhatikan dengan seksama latar belakang pendidikan mereka. Para kandidat juga berusaha untuk menunjukkan kemampuan mereka, tapi setiap kali Tina menemukan satu kesalahan kecil, Tina langsung mencoret nama mereka dari daftar.
"Next," Lanjut Tina sambil memutar-mutar pena di tangannya. Sejauh ini baru ada beberapa kandidat yang sesuai dengan kriterianya.
"Maaf bu, sepertinya sudah tidak ada lagi," ucap karyawan yang bertugas memanggil para kandidat.
"Oh ya? Baguslah, berarti masih ada waktu untuk bersiap-siap sebelum bertemu Pak Moris. Yena, kamu tolong pergi dulu ke restoran untuk memastikan semua persiapannya aman, nanti saya akan menyusul ke sana sendiri,"
"Baik Bu," Yena, sang sekretaris berkacamata bulat menganggukkan kepala dan langsung melangkah keluar dari ruangan. Tina pun sudah hampir berdiri dari kursinya sebelum seorang pria tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu.
"Permisi," ucap laki-laki dengan pakaian acak-acakan itu. "Apa benar ini ruang wawancara perekrutan office boy Athena Beauty?"
Suara lelaki itu terdengar sangat jelas karena saat ini posisi semua orang sedang diam. Pandangan semua orang pun langsung tertuju ke arah sang lelaki. Karyawan yang berdiri di dekat pintu segera menarik sang lelaki dan berkata setengah berbisik.
"Bukan, kamu salah ruangan," ucap sang karyawan sambil melambaikan tangannya menyuruh lelaki itu pergi.
"Oh, bukan ya? Habisnya saya bingung, gedungnya besar sekali," lelaki itu tampak cengengesan.
"Tunggu," Tina membuka suara, membuat pandangan orang-orang kembali beralih padanya. "Perekrutan office boy? Kenapa saya nggak tahu soal hal itu ya?"
"Ah, be-begini Bu Tina," Seorang lelaki berkepala setengah botak menjelaskan dengan tergagap. Pria itu adalah kepala HRD perusahaan ini. "Sebenarnya, kemarin ada satu office boy yang mengundurkan diri, lalu saya menyebar pengumuman dari mulut ke mulut untuk mencari penggantinya,"
"Kenapa harus dari mulut ke mulut? Kenapa tidak diumumkan secara resmi saja?" nada Tina terdengar menginterogasi.
"Itu karena menurut saya akan membuang waktu dan tenaga Bu. Lagipula kita hanya memerlukan satu office boy saja," kepala HRD menjawab sambil menundukkan kepala. Wajahnya sudah terlihat pucat.
"Jadi kamu membuat keputusan hanya menurut pikiran kamu sendiri? Kamu sudah serasa bos di perusahaan ini?"
Kepala HRD semakin menundukkan kepalanya.
"Saya kan sudah pernah bilang kepada kalian semua. Untuk urusan perekrutan karyawan, sekecil apapun, harus lapor kepada saya. Karena saya harus memastikan semua orang yang bekerja di perusahaan ini, meskipun hanya office boy, harus sesuai dengan kriteria saya!"
Tina kemudian mengalihkan pandangannya pada pria di depannya. "Kamu! Siapa nama kamu?"
"Nama saya Bejo, biasa dipanggil Jo," lelaki yang bernama Jo itu menjawab sambil tersenyum.
"Saya nggak suka nama kamu, jadi kamu ditolak. Silahkan pergi," ucap Tina yang membuat Jo terbelalak.
"Ta-tapi Bu, saya kan belum menunjukkan kemampuan saya," Jo berusaha membela diri, tapi karyawan yang berdiri di dekatnya sudah menariknya dan memaksanya keluar dari ruangan. Sementara itu Tina segera berdiri dari duduknya dengan wajah kesal.
"Besok kita akan melakukan pemilihan kepala HRD yang baru. Jadi jangan sampai ada yang absen," ucap Tina sebelum ia melangkah keluar dari ruangan. Ucapan Tina sontak membuat wajah sang Kepala HRD langsung terlihat sedih.
Tina tak peduli jika keputusannya menyakiti hati seseorang. Dia adalah bosnya di sini, jadi dia harus tegas dalam mengambil keputusan demi perusahaan. Tina terus melangkahkan kakinya menuju lift khusus untuk dirinya dan bersiap turun ke lantai satu. Tepat sebelum pintu lift tertutup, sebuah tangan tiba-tiba menahan pintu lift.
"Tunggu sebentar!" Ternyata itu adalah Jo. Tanpa meminta persetujuan Tina, Jo langsung ikut masuk ke dalam lift. "Fiuh, untung masih sempat. Kalau nggak aku harus naik tangga lagi karena nggak bisa naik lift. Eh, permisi ya mbak," Jo bergumam sendiri, kemudian ia menoleh ke arah Tina.
"Loh, mbak galak yang tadi?" Jo menunjuk Tina terang-terangan. "Hai mbak," sapa Jo sok ramah.
Tina tak menjawab sapaan Jo. Wajahnya tetap datar sambil memandang ke depan. Jo yang merasa dicueki memilih untuk membungkam mulutnya sendiri.
Lift perlahan turun melewati lantai 8. Awalnya Tina berusaha cuek-cuek saja dengan kehadiran Jo di tempat itu. Tapi, beberapa saat kemudian, ia melihat gelagat aneh yang ditunjukkan Jo dari bayangan dinding lift yang berada di depannya. Dalam penglihatannya, Jo seperti sedang mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
Apa itu pistol? Tina mulai berpikir macam-macam. Apa lelaki ini berniat mengancamku karena sudah menolaknya bekerja di sini?
Tiba-tiba, Tina jadi merasa takut luar biasa. Astaga, bisa-bisanya dia kehilangan kewaspadaan dan membiarkan seorang laki-laki asing naik lift bersamanya? Bagaimana kalau ternyata laki-laki ini adalah orang jahat? Apalagi saat ini Tina sedang sendirian.
Tina mulai merogoh-rogoh isi tasnya. Tangannya mencari-cari benda yang bisa dijadikan alat pembela diri. Tepat saat Jo mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, Tina berbalik dan langsung menyemprot cairan lada ke arah Jo.
"Aw! Aduh! Kenapa saya disemprot, mbak?" Jo merintih kesakitan karena matanya terasa perih terkena cairan itu.
"Kamu pasti mau ngapa-ngapain saya kan?" Tuduh Tina masih sambil mengacungkan semprotan itu ke arah Jo.
"Hah? Siapa yang mau ngapa-ngapain mbak?"
"Itu, tadi kamu keluarin pistol!" Tina menunjuk benda yang dipegang Jo. Tapi ternyata benda itu bukan pistol, melainkan pisang.
"Ini? Ini bukan pistol mbak, ini pisang!" Jo masih terus mengucek matanya. "Saya mau makan pisang karena laper belum sarapan!"
"Pi-pisang? Tapi kenapa kamu—"
Belum sempat Tina menyelesaikan ucapannya, lampu lift tiba-tiba padam. Tak cukup sampai di situ, tiba-tiba lift berguncang hebat.
"Arghhhh!" Tina dan Jo berjongkok karena lantai tempat mereka berpijak terus berguncang. Tina yang tak sempat berpegangan hampir terpelanting, tapi Jo dengan sigap melindungi Tina.
"Awas mbak!" Jo memeluk Tina dan tubuhnya membentur dinding lift. Setelah itu, tidak ada suara lagi karena mereka berdua tak sadarkan diri. Bersamaan dengan itu, sebuah cahaya terang bersinar memenuhi ruangan itu.
Beberapa jam yang lalu di kawasan kos-kosan murah yang kumuh.
"WOY! JO! BANGUN WOY!"
Teriakan cempreng seorang wanita dan gedoran pintu yang keras tak juga membuat laki-laki yang sedang tidur itu terbangun. Yang ada, laki-laki bernama Bejo yang kerap dipanggil Jo itu malah semakin larut dalam mimpi indahnya. Di alam mimpi, Jo sedang bersama dengan seorang wanita cantik.
"Ih, Mas Jo, jangan pegang-pegang, nakal deh kamu," wanita cantik itu memukul dada Jo dengan manja, sementara itu Jo hanya mesem-mesem kesenangan.
"Boleh aku cium kamu?" ucap Jo malu-malu kucing yang dijawab dengan anggukan oleh sang wanita. Jo pun merasa bersemangat dan langsung memajukan bibirnya.
Tapi, tepat saat bibir Jo hampir menyentuh sang wanita, tiba-tiba wajah wanita itu berubah menjadi wajah ibu kostan yang galak dan berbadan gempal.
"JO! BAYAR UANG KOSAN!"
"BUSET!!!" sontak, Jo langsung terbangun dari tidurnya. "Serem banget mimpinya!" ucap Jo dengan napas terengah-engah. Padahal sudah berada di dalam mimpi, tapi masih saja dia bertemu dengan ibu pemilik kos yang super cerewet itu.
"JO!" terdengar gedoran pintu dari luar.
"Gila! Bahkan suaranya masih kedengeran sampai sekarang!" Jo langsung merasa bulu kuduknya merinding.
"Jo! Gue tau Lo ada di dalem!"
Teriakan cempreng itu membuat Jo tersadar kalau saat ini dirinya tidak berada di alam mimpi. Jo berdecak kesal. Sudah mimpinya bertemu ibu pemilik kos, bangun tidur pun langsung disambut dengan suara cempreng ibu pemilik kos.
Benar-benar sial.
"Jo!" Ibu pemilik kos masih terus menggedor pintu dengan brutal, tidak peduli jika akan rusak, lagipula kosan itu sejak awal adalah miliknya. "Bangun Lo!"
"Iya iya Bu... Sabar ngapa," Jo membuka pintu dengan santai seperti tidak punya salah apa-apa. "Kenapa sih, Bu? Ganggu orang tidur aja..."
"Heh, mana bayaran uang sewa Lo? Udah dua bulan Lo nunggak terus!" omel ibu-ibu berbadan gempal itu sambil mendelik galak. Ia berkacak pinggang sambil mendongakkan kepalanya karena tubuh Jo yang tinggi.
"Yah, sabar lah Bu. Kan ibu tahu sendiri saya nggak punya kerjaan, kemarin aja saya baru dipecat jadi tukang kebunnya Pak Jatmono," Jo berkata memelas.
"Ya itu bukan urusan Gue. Lagian Lo itu dikasih kerjaan nggak pernah becus! Disuruh motong rumput malah kecabut sampe akar-akarnya! Pantesan nganggur terus!"
"Hush! Bu, jangan ngomong gitu dong. Ibu nggak tau kalau omongan adalah doa?"
"Gue nggak tahu. Yang gue tahu, kalau hari ini Lo nggak nyicil bayar ke Gue, Gue bakalan usir Lo dari kosan ini!" ancam Ibu pemilik kos.
"Yah, jangan dong Bu.."
"Bodoamat! Kalau Lo nggak mau pindah, siapin uangnya! Masih banyak orang yang mau ngekos di sini!" setelah mengucapkan kalimat keramat itu, ibu pemilik kos lantas pergi dari sana sambil menghentak-hentakkan kaki. Jo hanya bisa memandang kepergian Ibu pemilik Kos sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Hadeh, gimana nih?"
"Woy Jo!" teriakan seorang pria membuat Jo menoleh. "Loh, kok belum siap-siap? Bukannya hari ini Lu mau ngelamar kerjaan jadi OB?"
"Astaga, iya! Aku lupa! Makasih Pak Sar!" Jo bergegas masuk lagi ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap. Karena terlalu buru-buru, ujung kaki Jo sampai terantuk kaki meja.
"Aw! Aduduh!"
Sambil berjalan pincang, Jo segera menyambar handuk dan berlari keluar untuk mandi. Kos-kosan itu memang memiliki kamar mandi yang berada di luar. Hanya ada dua untuk dua puluh penghuni yang ada di sana.
"Alah, pake ngantri pula," Jo mengeluh. Kalau mau menunggu, sudah dipastikan dia akan terlambat. Pada akhirnya, Jo memilih untuk mencuci muka dan menyikat gigi saja. Ia menuju keran yang berada di luar kamar mandi dan memutarnya. Tapi keran yang ia pegang tiba-tiba patah dan air menyembur ke mana-mana.
"JOOOO! ITU KERAN MASIH BARUUUU!" terdengar suara merdu lengkingan dari ibu pemilik kos.
"Maaf Bu! nanti aku ganti!" teriak Jo sambil berusaha memperbaikinya keran itu.
"HALAH! dari kemarin bilangnya mau ganti, tapi nggak pernah diganti! Lo udah ngerusak keran sepuluh kali! Lo harus ganti sepuluh biji!"
"Iya Bu!" Teriak Jo masih sambil memperbaiki keran air tersebut, diiringi teriakan ibu pemilik kos yang memekakkan telinga.
Setelah beberapa lama, akhirnya Jo berhasil memperbaiki keran itu dan menyelesaikan ritual bersih-bersih singkat. Kemudian, ia bergegas kembali ke kamar dan keluar dalam beberapa menit dengan sudah memakai kemeja putih dan celana hitam. Rambut juga sudah disisir rapi, sampai...
PLUK!
Sebuah benda hangat jatuh menimpa kepala Jo.
Jo memegang benda yang berada di kepalanya itu dan langsung menghela napas panjang. "Burung sialan!" umpatnya sambil bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tangan dan rambutnya dari tahi burung.
Yah, itulah tadi gambaran kehidupan sehari-hari Bejo Fajar Santoso, seorang perjaka di usia 25 tahun yang selalu mendapatkan kesialan seumur hidup. Saat usianya enam bulan, Jo sudah ditinggalkan orangtuanya di panti asuhan. Tapi, seolah memang pembawa sial, di hari kedatangan Jo, panti asuhan itu kebakaran. Tidak hanya itu, sejak kedatangan Jo, panti asuhan dan orang-orang yang berada di sana juga kerap kali terkena sial. Saking sialnya, anak-anak di panti asuhan itu memanggil Jo anak setan.
Ah, sebenarnya ada satu keberuntungan yang pernah menimpa Jo dalam hidupnya. Yaitu hadirnya Pak Santoso, pemilik panti asuhan yang tak pernah mengusir Jo meskipun selama ini dialah penyebab panti asuhan itu selalu terkena bencana. Pak Santoso menganggap Jo sama dengan anak-anak yang lain, dan bahkan menyematkan namanya di belakang nama Jo. Jo baru keluar dari panti itu di usianya yang ke delapan belas tahun setelah ia lulus sekolah karena ingin mengadu nasib di ibukota. Tapi tentu saja kehidupan di ibukota tak seindah bayangannya.
Selama berada di Ibukota, Jo sudah melakukan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari kuli bangunan, tukang angkut di pasar, pencuci piring di restoran, sampai penjaga hewan peliharaan. Tapi tak ada satupun pekerjaan yang bertahan lebih dari dua bulan. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena kesialan yang selalu setia menemani Jo. Selalu ada saja masalah dalam pekerjaannya. Misalnya saja proyek bangunan tempat ia bekerja tiba-tiba ambruk tanpa sebab, pasar digusur pemerintah, restoran menjadi bangkrut, bahkan kucing dan anjing yang ia jaga kabur entah kemana. Kalau sudah seperti itu, biasanya Jo hanya berusaha tetap bersabar dan kembali mencari pekerjaan lain. Suatu hal yang sulit karena ia hanya lulusan SMA.
Maka, hari ini, saat ada tawaran pekerjaan sebagai office boy di perusahaan Athena Beauty, Jo sangat bersemangat. Ia berharap kali ini keberuntungan berpihak padanya. Tapi, harapan memang tinggal harapan. Jo malah langsung diusir setelah menyebutkan namanya pada wanita cantik yang sepertinya adalah bos perusahaan ini.
"Saya nggak suka nama kamu. Jadi kamu ditolak. Silahkan keluar,"
Ucapan ketus wanita itu membuat Jo menjadi lemas. Astaga, bahkan namanya yang berarti 'keberuntungan' pun tidak menjadikan dirinya mendapatkan keberuntungan itu. Setelah diusir dari ruangan wawancara, Jo pun melangkah keluar dari gedung kantor.
Tapi lagi-lagi sial, Jo malah tersesat dan kebetulan ia melihat seorang wanita masuk ke dalam lift. Jo pun mengikuti wanita itu dan ternyata wanita itu adalah bos yang mengusirnya tadi.
"Hai Mbak," sapa Jo berusaha ramah, tapi wanita itu mengabaikan ucapan Jo. Jo yang tidak ingin memancing masalah akhirnya memutuskan untuk membungkam mulutnya.
Krucuk... Jo bisa merasakan perutnya berbunyi.
Duh, laper lagi, keluh Jo. Lalu Jo teringat kalau dia sempat membawa pisang, jadi ia merogoh kantong untuk mengambilnya. Jo sudah membayangkan memakan pisang itu untuk mengganjal perut, tapi baru saja ia mengeluarkan buah itu dari sakunya, tiba-tiba wanita di depannya menyemprotkan sesuatu ke arahnya.
"Aw! Aduh! Kenapa saya disemprot, mbak?" Jo merintih kesakitan karena matanya terasa perih terkena cairan itu.
"Kamu pasti mau ngapa-ngapain saya kan?" Tuduh wanita itu masih sambil mengacungkan semprotan itu ke arah Jo.
"Hah? Siapa yang mau ngapa-ngapain mbak?"
"Itu, tadi kamu keluarin pistol!" Wanita itu menunjuk benda yang dipegang Jo.
"Ini? Ini bukan pistol mbak, ini pisang!" Jo berseru kesal. "Saya mau makan pisang karena laper belum sarapan!"
"Pi-pisang? Tapi kenapa kamu—"
Belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya, lampu lift tiba-tiba padam. Tak cukup sampai di situ, tiba-tiba lift berguncang hebat.
Jo dengan sigap langsung berpegangan pada besi yang ada di dalam lift. Tapi berbeda dengan Jo, wanita itu belum sempat meraih apapun dan tubuhnya hampir terpelanting ke arah tembok.
"Awas mbak!" Jo loncat dan meraih sang wanita ke dalam pelukannya. Ia tak peduli jika harus mengorbankan tubuhnya untuk melindungi wanita itu.
BRAK!
Punggung Jo membentur dinding lift dengan sangat keras. Setelah itu Jo tidak mengingat apapun lagi karena semuanya menjadi gelap.
Tina mengerjapkan matanya perlahan saat ia mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Saat membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit rumah sakit yang berwarna putih. Ia mengalihkan pandangannya ke samping dan terlihat ada Yena di sana.
"Tina!" Yena langsung histeris saat melihat Tina membuka mata. "Kamu udah sadar? Dokter! Dokter!" Yena kemudian berlari keluar ruangan mencari dokter. Sementara itu Tina masih mencerna apa yang terjadi pada dirinya saat ini.
Ah ya, Tina ingat sekarang. Tadi dia sedang berada di lift untuk pergi ke restoran prancis. Tapi lift yang ia tumpangi tiba-tiba saja rusak. Hal terakhir yang Tina ingat sebelum pingsan adalah saat pria yang satu lift dengannya itu memeluknya.
Loh, tunggu. Restoran Prancis? Mata bulat Tina langsung terbelalak saat ia menyadari sesuatu. Wanita itu sontak bangkit dari kasur dan bersiap untuk turun dari ranjang.
"Hei, hei, Tina, kamu mau kemana?" Yena yang kembali masuk bersama seorang dokter mencegah Tina. "Kamu masih sakit loh,"
"Yena! Nggak ada waktu lagi! Kita kan harus ketemu Pak Moris secepatnya!" Tina tetap bersikeras ingin pergi.
Yena menggelengkan kepalanya lemah. "Udah telat. Sekarang udah jam dua siang,"
"Hah?" wajah Tina terlihat syok. "Terus gimana? Lo udah sempat ketemu Pak Moris kan?'
Yena terdiam sejenak sebelum kembali menggelengkan kepalanya. "Aku dapet kabar kalau kamu kecelakaan jam setengah dua belas, terus aku langsung lari ke sini. Aku lupa ngabarin sekretarisnya Pak Moris, jadi beliau nunggu sekitar setengah jam,"
"WHAT?!" suara Tina melengking. "Kok bisa sih?! Lo nggak tau Pak Moris itu gimana? Dia itu perfeksionis, nggak suka membuang-buang waktu! Kita bahkan butuh waktu setahun buat ketemu dia, Yena! Bisa-bisanya Lo anggurin dia begitu aja?!"
"Ya gimana? Aku udah keburu panik, Tina. Aku khawatir banget saat nerima kabar kamu kecelakaan sampai pingsan di lift. Saat itu fokus aku cuma pengen lihat keadaan kamu," Yena berkata penuh sesal. "Tapi aku udah telepon sekretarisnya Pak Moris dan menjelaskan semua kejadiannya kok. Katanya beliau mengerti dan bersedia untuk reschedule,"
"Sial," Tina mengacak-acak rambutnya kesal. Rencananya yang sudah sangat sempurna itu terpaksa hancur karena insiden lift yang rusak. "Kalau gitu, gue harus nemuin Pak Moris sekarang. Lo tahu kan hotel tempat beliau menginap?" Tina lagi-lagi berusaha turun dari kasur, tapi Yena buru-buru mencegah.
"Udah Tina, jangan dipaksain, kamu kan masih sakit. Lagian kamu tau sendiri kalau Pak Moris paling nggak suka diganggu privasinya," Yena kemudian membimbing tubuh Tina agar kembali berbaring ke atas ranjang. "Nanti aku bakal konfirmasi ke sekretarisnya Pak Moris. Katanya sih, ada waktu sekitar dua atau tiga hari lagi sebelum beliau kembali ke Prancis,"
Tina memejamkan matanya sembari menghela napas panjang. Kerjasama dengan Pak Moris merupakan proyek yang sangat penting demi kemajuan Athena Beauty. Pasalnya, Pak Moris adalah owner sebuah merk kosmetik dari Prancis yang sangat terkenal, dan Tina ingin bekerjasama dengan melakukan kolaborasi produk. Dengan begitu, Athena Beauty tidak hanya terkenal di Indonesia saja, tapi juga seluruh dunia.
Tapi, gara-gara kejadian hari, bisa-bisa semuanya hancur!
Sial banget! rutuk Tina di dalam hati.
"Sekarang aku pengen kamu fokus buat kesembuhan kamu dulu ya. Please, dengerin kata dokter," ucap Yena setengah memohon. Tina hanya melirik sahabat sekaligus sekretarisnya itu, kemudian mengangguk pasrah. Yah, ucapan Yena memang benar. Dia butuh istirahat sekarang.
"Baik, kalau begitu, pasien sudah bisa saya periksa?" Dokter pria yang tadi masuk bersama Yena akhirnya bersuara. Sebelumnya, dokter itu hanya berdiri sambil memandangi Tina dan Yena dengan kebingungan. Apalagi mendengar suara Tina yang marah-marah kepada Yena membuat nyali seorang dokter juga ikutan ciut. Setelah mendapat anggukan singkat dari Tina, dokter akhirnya memeriksa keadaan wanita itu.
"Tidak ada luka yang serius. Tapi saya sarankan agar beristirahat dulu selama dua hari penuh dan meminum obat yang saya resepkan dengan rutin. Kalau dalam dua hari ada keluhan lain, silahkan kembali ke sini," ucap dokter itu setelah memeriksa Tina. Yena pun mengucapkan terimakasih, kemudian ia mengantarkan Tina pulang ke rumah.
Awalnya, Tina tak ingin mengabari orang tua nya tentang kecelakaan yang menimpanya. Dia tak mau orang tua nya yang sedang liburan keliling dunia itu menjadi khawatir. Tapi, tanpa Tina beritahu pun, bawahan papanya itu sudah mengabari mereka lebih dulu.
"Tinaaa!" terdengar teriakan dramatis mamanya dari seberang telepon. Wajah wanita berusia lima puluh tahun itu terlihat banjir oleh air mata. "Katanya kamu kecelakaan? Apa benar?"
"Iyaaa..." Tina menjawab malas. "Liftnya rusak,"
"Kamu baik-baik saja kan, Nak?"
"It's Okay Ma, buktinya sekarang aku bisa nelepon Mama kan?"
"Ya Tuhan, syukurlah. Mama sama Papa khawatir banget. Mama bahkan sudah kepikiran mau pulang ke Indonesia sekarang juga. Ya ampun, kamu harus pecat teknisi di gedung kantor kamu. Bisa-bisanya mereka nggak ngecek dulu? Kalau ada apa-apa sama kamu gimana?"
"Iya Ma, ini juga pertama kalinya ada kejadian kaya gini. Soalnya aku tahu betul teknisi di gedung aku selalu mengecek secara berkala. Tapi yah, namanya musibah nggak ada yang tahu. Mungkin hari ini hari sialnya aku Ma,"
"Hush! Jangan bicara sembarangan kamu! Nggak ada yang namanya hari sial, semua hari itu baik!" tegur sang Mama. "Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu ya. Sekarang Mama sudah lega. Kalau ada apa-apa langsung hubungi kami ya Nak,"
"Iya Ma. Udah, Mama sama Papa tenang aja. Nikmati liburan kalian berdua. Bye! Have fun Mama, Papa!"
"Bye, sayang!"
Telepon pun ditutup. Tina langsung merebahkan badannya kembali ke atas kasur. Badannya terasa capek sekali. Ia kemudian memejamkan matanya dan memilih untuk tidur. Siapa tahu, besok pagi saat bangun, tubuhnya sudah terasa segar kembali.
Sayang, esok paginya, bukannya badannya terasa segar, Tina malah merasakan leher sebelah kanannya terasa kaku sampai ia tak bisa menoleh.
"Aw!" Tina menyentuh leher sebelah kanannya. "Kayanya Gue salah bantal deh,"
Tina kemudian beranjak turun dari ranjang dan berniat pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Belum sampai langkahnya memasuki dapur, kakinya tiba-tiba terasa menginjak sesuatu yang licin dan membuatnya terpeleset.
"Ahhh!" Tina berteriak sambil jatuh terjengkang. Ia menatap ke bawah dan melihat genangan air yang ternyata berasal dari dispenser yang bocor. Punggungnya terasa sakit akibat jatuh dengan posisi yang tidak tepat.
"Aduduh..." Dengan susah payah, Tina berusaha bangkit dan mencari kain pel untuk membersihkan air yang tergenang. Sambil mengelap lantai, pikirannya dipenuhi kekhawatiran mengenai proyek dengan Pak Moris. Bagaimana jika kesempatan itu benar-benar hilang?
Setelah selesai membersihkan, Tina melangkah menuju meja makan untuk duduk sejenak dan menenangkan diri. Namun, malang, saat ia menarik kursi, salah satu kakinya patah dan kursi itu roboh membuat Tina jatuh lagi.
"Astaga, Gue lagi kenapa sih hari ini?" keluh Tina dengan frustrasi. Ia merasa seolah hari-hari belakangan ini tidak memberikan sedikit pun keberuntungan padanya.
Tina akhirnya menyerah dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Dia mencoba menghubungi Yena melalui telepon untuk mencari tahu jadwal meeting dengan Pak Moris. Namun, sinyal telepon di kamarnya tiba-tiba hilang, membuatnya tidak bisa menghubungi siapapun.
"Duh, ada apa lagi sih ini?!" Tina mulai merasa benar-benar kesal. Ia berjalan ke arah jendela untuk mencoba mencari sinyal. Tapi saat membuka tirai, ia melihat burung merpati hinggap di luar jendelanya dan tiba-tiba terbang masuk ke dalam kamar, membuat kekacauan dengan kotorannya yang berceceran di lantai.
"Ini benar-benar nggak masuk akal!" teriak Tina, panik dan mencoba mengusir burung itu keluar. Setelah beberapa menit perjuangan, akhirnya burung itu terbang keluar kembali, meninggalkan Tina yang kelelahan dan putus asa.
"Wah, gila..." Tina sampai tidak bisa berkata-kata. "BENAR-BENAR SIALAN!!!" teriaknya kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!