NovelToon NovelToon

Kesetiaan Cinta Gavin

BAB 1 Awal kisah

Gavin melihat Aruna berjalan sendirian di lorong sekolah yang sepi. Ia merasa heran melihat gadis itu berjalan sendirian. "Aruna, kamu mau kemana?" tanya Gavin dengan rasa penasaran.

Aruna menoleh ke arah Gavin, senyumnya merekah di wajah cantiknya. "Aku mau ke kantin, kenapa kak?" tanya Aruna dengan polosnya.

Gavin tersenyum lebar, "Aku ikut, kebetulan dari rumah aku belum sarapan," jawab Gavin sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Aruna tertawa pelan, lalu menganggukkan kepalanya dengan lembut. "Yasudah, kita bareng aja" ajaknya.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju kantin, saling tertawa dan berbincang ringan. Sejenak, suasana sekitar mereka terasa lebih hangat dan menyenangkan, seolah kebahagiaan mereka berdua mampu mengusir kesepian dan kehampaan yang kerap menghantui lorong-lorong sekolah.

Gavin dan Aruna sampai di kantin sekolah. Gavin segera mengambil posisi duduk di sudut kantin, sementara Aruna menunggu di belakangnya. Setelah memesan makanan dan minuman untuk mereka berdua, Gavin menatap Aruna dengan ekspresi cemas.

"Aruna, hari ini kamu ada jadwal olahraga kan? lebih baik kamu tidak usah ikut saja. Aku takut kamu pingsan lagi seperti minggu lalu," ucap Gavin sambil menatap matanya dengan serius. Gavin selalu mencari tahu tentang Aruna termasuk jadwal pelajarannya.

Aruna mengerutkan kening, ia tahu bahwa kondisinya memang tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas berat. Sejak kecil, ia memiliki kondisi kesehatan yang lemah, yang membuatnya mudah jatuh pingsan jika kelelahan.

"Tapi aku ingin ikut, aku janji tidak akan pingsan," rengek Aruna dengan suara manja, berusaha meyakinkan Gavin.

Gavin mendengus kesal, ia merasa frustasi dengan sikap Aruna yang tidak pernah mau menuruti ucapannya. Namun di balik kesal itu, Gavin sebenarnya sangat mengkhawatirkan keselamatan Aruna.

"Aruna, kamu tahu sendiri kondisimu. Aku tidak mau melihat kamu terluka lagi karena kelelahan. Jangan memaksakan diri, oke?" ujar Gavin dengan lembut, menunjukkan kepeduliannya pada gadis itu.

"Percayalah Kak, aku baik-baik saja" kekeuh Aruna. Gadis itu ingin seperti temannya yang lain, yang dapat bermain sesuka hati tanpa mengkhawatirkan apapun.

Gavin mengela nafas panjang, "Tapi janji, kalau sudah merasa lelah kamu harus berhenti" peringatnya.

Aruna tersenyum sambil menganggukkan kepalanya cepat, membuat Gavin mengacak rambutnya gemas.

Makanan yang mereka pesan pun datang, Gavin dan Aruna segera menyantap makanannya.

Setelah membayar, Gavin mengantar Aruna masuk kedalam kelasnya terlebih dahulu. Dia dengan Aruna selisih satu tingkat di atas Aruan.

Begitu sampai di kelas, Aruna melihat beberapa temannya sudah bersiap-siap mengganti seragam sekolah mereka dengan seragam olahraga.

"Tunggu sebentar, ya. Aku mau ganti seragam dulu," kata Aruna sambil mengambil tas seragam olahraganya dari laci mejanya.

Vina teman sebangku Putri menghentikan langkahnya, dan menatap Aruna dengan kekhawatiran, "Kamu yakin ingin ikut olahraga, Run?"

Aruna menatap Vina dengan heran, "Huh, kenapa semua orang meragukan itu?" ucapnya sambil merotasi bola matanya malas. "Aku cuma ingin beraktivitas bebas seperti kalian," lanjutnya dengan nada sedikit lesu.

Vina merasa tidak enak hati, "Maaf, aku cuma mengkhawatirkanmu."

Aruna tersenyum tipis, "Tenang saja, aku sudah merasa lebih baik sekarang," katanya sambil mengedipkan satu mata.

Vina menghela napas lega, "Oke, kalau begitu aku mendukungmu. Tapi, jangan lupa untuk beristirahat jika merasa lelah, ya."

Aruna mengangguk semangat, "Terima kasih, Vin. Aku akan berhati-hati," jawabnya sambil melambaikan tangan ke arah Vina dan melangkah menuju kamar mandi bersama teman-teman lainnya untuk mengganti seragam mereka.

Setelah selesai, Aruna dan teman-teman sekelasnya berkumpul di tengah lapangan yang hijau, dengan langit biru yang cerah di atas kepala mereka. Mereka semua mengenakan seragam olahraga sekolah yang berwarna putih dan biru, tampak semangat dan siap untuk berolahraga.

Di tengah kelompok, berdiri tegap seorang guru olahraga berusia paruh baya yang berwibawa, dengan sorot mata yang tajam dan suara yang keras namun tetap ramah.

"Baik, kita akan mulai dengan pemanasan dulu," kata guru olahraga itu sambil menunjuk ke arah lapangan basket yang terletak di salah satu sudut lapangan. Aruna dan teman-temannya pun mulai melakukan peregangan tubuh, mengikuti instruksi guru olahraga yang mengajak mereka untuk menggerakkan lengan, kaki, dan tubuh mereka agar lebih lentur dan siap untuk beraktivitas.

Setelah pemanasan selesai, guru olahraga itu kembali berkata, "Setelah ini kita akan bertanding basket. Saya akan membagi kalian menjadi empat kelompok. Dua kelompok perempuan dan dua kelompok laki-laki. Ayo, segera bagi kelompok kalian!"

Aruna dan teman-temannya segera bergerak, berdiskusi sejenak dan kemudian membagi diri menjadi empat kelompok sesuai instruksi guru olahraga. Mereka saling bersemangat dan bersorak, menunjukkan kekompakan dan antusiasme mereka dalam menjalani pertandingan basket yang akan segera dimulai.

Saat pertandingan dimulai, terlihat jelas bahwa Aruna dan teman-temannya sangat menikmati permainan. Mereka berlari, melompat, dan mengejar bola dengan penuh semangat, sambil sesekali tertawa dan bersorak ketika berhasil mencetak angka atau merebut bola dari lawan. Wajah mereka berseri-seri dan berkeringat, namun tetap terlihat bahagia karena berhasil menjalani aktivitas olahraga yang menyenangkan bersama teman-teman sekelas.

Dari balik jendela ruang kelas di lantai dua, Gavin mengamati Aruna yang sedang bermain basket bersama teman-temannya. Dalam hati, Gavin merasa bangga melihat keahlian Aruna yang semakin terasah seiring waktu.

Tiba-tiba, Dea muncul dan berdiri di samping Gavin. "Kau masih menyukai wanita penyakitan itu?" ucap Dea dengan nada sinis.

Gavin mengerutkan dahi, kesal dengan ucapan Dea. "Dia tidak penyakitan, hanya saja dia tidak seberuntung kita," balas Gavin, yang ingin melindungi Aruna dari hinaan Dea.

"Sama saja," sahut Dea, acuh tak acuh.

Gavin memilih untuk tidak menjawab ucapan Dea lagi. Ia kembali fokus memperhatikan Aruna yang sedang berlari mengejar bola.

Tiba-tiba, Gavin melihat seseorang dari tim lawan bergerak cepat menuju Aruna dengan niat buruk. "ARUNA!" teriak Gavin keras, panik.

Bugh......

Aruna jatuh tak sadarkan diri.

Tanpa berpikir panjang, Gavin langsung berlari turun ke bawah menuju lapangan basket.

Dea yang terkejut hanya bisa menatap punggung Gavin yang semakin menjauh. Dia masuk kedalam kerumunan melihat kondisi Aruna yang tidak sadarkan diri.

"Biar saya yang bawa dia ke UKS" ucap Gavin menawarkan diri.

Gavin mengangkat tubuh Aruna kedalam gendongannya, ia melangkahkan kakinya cepat menuju ke UKS.

"Cepat periksa dia" perintah Gavin sembari membaringkan tubuh Aruna di atas ranjang.

Salah satu penjaga di UKS pun segera memeriksa keadaan Aruna. Sementara Gavin menunggu di luar seraya menghubungi kedua orang tua Aruna.

Selang berapa lama, kedua orang tua Aruna datang ke sekolah, mereka berdua langsung menuju ke UKS.

"Bagaimana keadaan Aruna, Gavin?" tanya Ibu Aruna yang bernama Dera.

"Aruna belum sadarkan diri, aunty. Petugas menyuruh membawanya ke rumah sakit" jawab Gavin lirih.

Dera menganguk, "Kalau begitu kita bawa Aruna kerumah sakit sekarang, mas" ucap Dera kepada suaminya.

Suaminya mengangguk, dan segera mengangkat tubuh sang putri dari atas ranjang.

"Nanti sepulang sekolah, saya akan datang menjenguknya" ucap Gavin sebelum akhirnya orang tua Aruna pergi meninggalkan sekolah.

Gavin tidak bisa ikut membawa Aruna ke rumah sakit, dia harus tetap mengikuti pelajaran sampai akhir, atau nanti sang ibu akan marah jika ketahuan membolos.

Waktu bergulir begitu cepat, satu persatu para siswa keluar dari dalam kelas. Dengan langkah terburu-buru, Gavin menuju ke parkiran, dan bergegas melajukan motornya menuju ke rumah sakit.

"Pasien bernama Aruna ada di kamar lantai berapa" tanya Gavin pada resepsionis.

"Pasien bernama Aruna sudah keluar rumah sekitar dua jam yang lalu" ucap resepsionis.

"Maksudnya dia sudah pulang kerumah" tanya Gavin memastikan.

Perawat tersebut menggelengkan kepalanya, "Bukan, tapi dia di rujuk ke rumah sakit lain yang berada di luar negeri" ucapnya.

Deg.....

*******

Cek ombak gaes😊

BAB 2

Gavin merasa jantungnya berdegup kencang setelah mendengar kabar tersebut. Dengan wajah pucat, ia segera melajukan motornya menuju ke rumah Aruna.

Bip

Bip

Bip

seorang penjaga keluar, membukakan pagar untuk Gavin. Penjaga yang sudah mengenali Gavin sejak kecil pun langsung bertanya.

"Den Gavin nyari nona Aruna" tanya sang Penjaga.

"Iya pak, Aruna nya di rumah tidak pak" tanya Gavin balik.

"Maaf den, nyonya dan tuan sudah membawa nona Aruna ke bandara, mereka ingin mengajak nona Aruna berobat ke luar negeri" terang penjaga.

Gavin menghela nafas pelan, ia merasa menyesal tadi tidak mengikuti Aruna ke rumah sakit.

"Kalau boleh tau, mereka bawa Aruna ke negara mana pak" tanya Gavin ingin tahu, ia berharap dapat mengunjunginya ke sana.

"Saya tidak tahu den, saya tidak menanyakannya" kata penjaga.

Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Gavin merasa sangat menyesal karena tidak bisa menemui Aruna sebelum ia terbang ke luar negeri untuk berobat.

Ia merasa seolah kehilangan sebagian besar hidupnya. Saat berada di depan pintu rumah Aruna, Gavin menatap nanar sekeliling rumah yang tampak sepi. Ia bisa membayangkan Aruna yang biasa tersenyum ceria, kini telah pergi meninggalkan rumah ini.

Gavin pun duduk di tangga depan rumah Aruna, menundukkan kepalanya dan menangis tersedu-sedu. Gavin mengingat betapa ia selalu menemani Aruna, berbicara tentang masa depan mereka bersama. Namun, kini semua itu seolah menjadi kenangan yang tak akan pernah terulang lagi.

Gavin merasa sangat kehilangan sosok Aruna yang selalu membuatnya merasa bahagia. Dalam hatinya, Gavin berjanji akan menunggu Aruna kembali, sembari berdoa agar Aruna bisa segera sembuh dari penyakitnya dan kembali ke kota kelahirannya.

Meski harus menunggu lama, Gavin yakin cinta mereka akan selalu menyatukan mereka kembali. Ia pun berdiri dan berlalu meninggalkan rumah Aruna dengan perasaan haru biru, berharap suatu hari nanti mereka bisa bersama lagi.

Gavin memutuskan pulang kerumah, saat ini dia membutuhkan pelukan sang ibu, untuk menenangkan perasaannya yang sedang galau.

"Kenapa itu mukana, lecek amat sepelti uang selibuan" ucap keponakan Gavin yang bernama Orion, putra Ravin.

Gavin hanya melengoskan wajahnya, dan berlalu masuk kedala rumah. Suasana hatinya yang sedang kacau membuat dia malas meladeni keponakannya itu.

"Assalamualaikum, Ma," ucap Gavin saat ia pulang ke rumah dengan langkah gontai dan wajah murung.

"Waalaikum salam," jawab Alisya, "Kok telat pulangnya?" tanya Alisya heran melihat wajah Gavin yang lesu.

Gavin tidak langsung menjawab pertanyaan ibunya, sebaliknya ia duduk di samping Alisya dan merebahkan kepalanya di atas pangkuannya. Ia memeluk perut ibunya erat, seolah mencari pelukan hangat dari sang ibu.

"Kenapa, hmm?" tanya Alisya sambil mengusap kepala Gavin dengan lembut, mencoba meredakan kesedihan yang tampaknya sedang melanda anaknya.

"Aruna pergi, hikss..." jawab Gavin sambil terisak, tangisnya pecah di pangkuan sang ibu.

Alisya mengerutkan keningnya, bingung dengan tangisan Gavin. "Terus kenapa kalau Aruna pergi? Biarin aja dia pergi, nanti juga balik lagi," ucap Alisya, mencoba menenangkan Gavin.

Tapi Gavin masih terisak, tangisnya semakin menjadi. "Tapi dia perginya keluar negeri, Ma. Dia berobat kesana, dan mungkin nggak akan balik dalam waktu yang lama," ujar Gavin dengan suara parau.

Mendengar penjelasan Gavin, Alisya pun mengerti mengapa anaknya begitu sedih. Ia semakin mengusap kepala Gavin dengan lembut, mencoba menghibur anaknya yang terluka hatinya. "Sabar ya, Nak. Mungkin rumah sakit di sini sudah tidak sanggup menyembuhkan Aruna, makanya mereka membawanya keluar negeri" ucap Alisya bijaksana.

Meskipun saat ini Gavin sudah memasuki usia 16th, namun anak itu masih manja kepada sang ibu, mungkin karena dia merupakan anak bungsu di keluarganya.

"Terus Gavin sama siapa mama?" tanya Gavin sedih.

Alisya tersenyum geli, ia mengira putra bungsunya akan menjadi lelaki playboy mengingat dulu kerap kali merayu anak perempuan. Tapi ternyata Gavin tumbuh menjadi lelaki setia sama seperti ayahnya.

"Cari lagi aja, ngapain galau-galau" canda Alisya.

"Ngga mau, Gavin cuma mau Aruna" kekeuh Gavin.

"Tapi maaf sayang, Aruna sakit. Nanti dia akan merepotkanmu," ucap Alisya, yang ingin menguji seberapa tulus cinta putranya itu kepada Aruna.

Gavin menghadap ibunya dan berkata dengan tegas, "Tidak apa-apa, Mama. Nanti Gavin akan merawatnya, bila perlu Gavin akan ambil jurusan kedokteran supaya bisa mengobati Aruna." Tekad Gavin sama sekali tidak goyah, ia menerima Aruna dengan segala kekurangannya.

Alisya tersenyum bangga mendengarnya. "Belajarlah nak, supaya kamu bisa masuk ke universitas kedokteran yang kamu inginkan" ucap Alisya, sambil menepuk kepala putranya dengan lembut.

Gavin mengangguk, "Iya, Mama. Gavin akan belajar dengan sungguh-sungguh demi Aruna."

Semangat dan kecintaannya pada Aruna menjadi kekuatan yang mendorongnya untuk mencapai cita-cita itu.

Namun sampai sekarang Aruna masih enggan untuk menerima Gavin, sudah berulang kali Gavin menyatakan cinta kepada gadis itu, tetapi selalu di tolak. Aruna berfikir Gavin bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari dirinya. ia tidak mau merepotkan Gavin dengan penyakit yang di deritanya.

Akan tetapi Gavin tidak mundur, dia terus berusaha mendapatkan cinta Aruna meskipun harus menggunya seribu tahun lamanya.

Selang berapa lama Arsen masuk kedalam rumah sambil menggendong Orion, pria tengah baya itu baru saja pulang kerja.

"Kenapa lagi dia mam" tanya Arsen dan mencium kening istrinya.

"Biasa galau di tinggal pujaan hatinya" goda Alisya.

"Aruna" tanya Arsen memastikan.

Alisya menganggukkan kepalanya membenarkan pertanyaan suaminya, "Orang tuanya membawa dia berobat ke luar negeri, makanya dia galau" terang Alisya sambil melirik wajah putranya yang sudah kesal.

"Tlagis cekali, cemoga kak Aluna bica cembuh dan mendapatkan jodoh di cana" sahut Orion.

"Amin" ucap Orion dan Arsen kompak, sambil tertawa cekikikan.

"Kalian" kesal Gavin melototkan matanya menatap sang ayah dan juga keponakannya.

"Kenapa? Mau malah?" tantang Orion.

Gavin mendengus kesal. "Kak Ravin kemana sih, kenapa anaknya di tinggal di sini, bikin kesel aja" gerutu Gavin.

"Daddy cama mommy, lagi buat adik balu untuk Lion, makana Lion di tinggal di cini. Kata Daddy Lion nda boleh ganggu" terang Orion.

Mereka bertiga menepuk keningnya masing-masing, mereka merutuki kelakuan Ravin yang asal bicara.

BAB 3

Sejak Aruna pergi meninggalkan tanah air satu bulan yang lalu, Dea mulai mengambil kesempatan untuk mendekati Gavin. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di taman kanak-kanak, di mana Gavin sangat gigih mencoba mendapatkan perhatian Dea.

Gavin sering kali memberikan Dea coklat, namun saat itu, Dea hanya tertarik pada coklat yang diberikan, bukan pada Gavin. Pasalnya, Gavin memiliki tubuh yang gemuk seperti bola, yang membuat Dea enggan untuk dekat dengannya.

Namun, kini keadaannya berbeda. Setelah Gavin berhasil menjalani program diet dan olahraga yang intens, penampilannya berubah drastis. Tubuhnya kini tampak lebih atletis dan wajahnya lebih tampan. Melihat perubahan tersebut, Dea mulai merasa tertarik dan berusaha mendekati Gavin. Dea mulai mengajak Gavin pergi bersama, seperti ke bioskop atau ke taman bermain. Gavin yang masih ingat masa lalunya dengan Dea merasa ragu dan bingung. Di satu sisi, ia merasa senang karena gadis yang dulu ia taksir mulai menunjukkan ketertarikan padanya, namun di sisi lain, ia merasa tidak enak dengan Aruna yang sedang berada jauh di negeri orang.

Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di bangku taman, Dea menatap Gavin dengan mata yang berbinar. "Gavin, aku akui dulu aku tidak tertarik padamu. Tapi sekarang, aku melihatmu sebagai pria yang menarik dan kusuka. Aku ingin kita bisa lebih dekat lagi, bagaimana menurutmu?" ujar Dea dengan wajah yang memerah.

Gavin menatap Dea dengan pandangan yang bercampur aduk. Ia teringat akan masa lalunya yang pahit dan juga perasaannya pada Aruna yang masih belum pudar.

"Dea, aku menghargai perasaanmu. Tapi, aku rasa sebaiknya kita tetap menjaga jarak. Aku masih memiliki perasaan pada Aruna, dan aku tidak ingin melukai hatinya," jawab Gavin dengan tegas.

Dea merasa kecewa mendengar jawaban Gavin, "Tapi Aruna sudah pergi Gav, bisa jadi dia menemukan pria lain di sana" ucap Dea mencoba mempengaruhi perasaan Gavin.

"Aku tidak yakin, sampai kapan pun aku akan tetap menunggunya" ucap Gavin mengingat dia berulang kali di tolak oleh gadis itu. Ia yakin Aruna juga akan menolak lelaki lain yang mencoba mendekatinya.

"Aku ke perpustakaan dulu" pamit Gavin seraya bangkit dari tempat duduknya. Ia meninggalkan Dea yang kesal menatap punggung pria itu.

Gavin kini menjalani kehidupan yang berbeda. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk belajar dan mengulang materi yang telah dipelajarinya semalam. Di sekolah, ia terus berusaha fokus pada pelajaran dan memaksimalkan waktu luangnya untuk belajar tambahan. ia bertekad untuk masuk ke universitas kedokteran demi mengobati gadis yang ia cintai, Aruna.

Dea, yang menyadari perubahan dalam diri Gavin, merasa semakin terpacu untuk terus berusaha mendapatkan hati Gavin. Ia juga semakin giat belajar dan berusaha menjadi lebih baik demi menyamai langkah Gavin. Dea merasa yakin bahwa cinta mereka akan tumbuh bersama dengan pencapaian mimpinya.

Dea menatap punggung Gavin yang kian menjauh, Hanin yang baru saja datang mengerutkan keningnya mengikuti arah pandang temannya itu.

"Kamu kenapa, De? Ditolak Gavin lagi?" tanya Hanin

Dea tersenyum lembut, lalu menjawab, "Hmm, sudahlah. Ayo kita ke kelas. Aku yakin suatu saat aku bisa mendapatkan Gavin." Ia lalu berjalan beriringan dengan Hanin, dengan semangat yang tak pernah padam dalam hatinya.

Di perpustakaan yang sunyi, Gavin duduk di pojokan dengan penuh perasaan. Matanya tak lepas dari ponsel yang dipegangnya erat, menatap wajah Aruna yang tersenyum lembut dalam galeri foto. Rasa rindu dan kekhawatiran terpancar dari kedua bola matanya yang berkaca-kaca.

"Bagaimana kabar mu Aruna? Kenapa kamu tidak pernah menghubungiku, kamu baik-baik saja kan di sana?" gumam Gavin seraya mengusap layar ponsel tersebut dengan lembut, seolah ingin merasakan kehadiran Aruna yang jauh di sana.

Tangan Gavin bergetar, menahan perasaan yang mulai menguasai dirinya. Bibirnya bergetar, berusaha untuk menahan isak tangis yang hendak pecah.

Sementara itu, perasaan cemas dan bingung terus menghantuinya, membuatnya tak bisa fokus pada buku yang ia bawa. Gavin merasa Aruna sengaja menghilang begitu saja dari hidupnya, meninggalkan lubang kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun.

Semakin lama, hatinya semakin merasa tercabik-cabik, tak tahan dengan keheningan yang membeku antara mereka. Dalam hati kecilnya, Gavin terus berharap agar Aruna segera menghubunginya dan memberitahu tentang penyakitnya. Sampai sekarang Gavin tidak tahu penyakit apa yang di derita oleh gadis itu.

******

Sore hari, Orion menghampiri Gavin yang sedang rebahan di sofa ruang tengah sambil membaca buku di tangannya.

"Om, ayo main" ajak Orion yang merasa bosan karena tidak ada teman bermain.

Gavin menoleh kearah keponakannya sebentar, lalu fokus lagi dengan bukunya. "Main sendiri, om sibuk" ketus Gavin.

Semenjak kepergian Aruna ke luar negeri, Gavin berubah menjadi sosok pendiam, tidak seperti dulu yang ramai.

"Om nda bocan baca buku telus, mending om Gavin ikut Lion ke mall, kita cuci mata om. Pasti banak cewek cantik di cana," rayu Orion sambil berusaha menarik tangan Gavin.

"Iya Gav, tidak ada salahnya kamu jalan-jalan sama Orion. Mau sampai kapan kamu mengurung diri seperti ini?" timpal Alisya menatap putra bungsunya itu sendu.

Gavin hanya keluar saat pergi sekolah saja, selebihnya dia mengurung diri di rumah.

"Sekalian kamu bisa belanja keperluan sekolah dan makanan kesukaanmu," tambah Alisya sambil mengusap kepala Gavin dengan lembut.

Namun, Gavin tetap diam dan tidak bereaksi. "Om Gavin, ayo lah," pinta Orion lagi dengan nada memelas.

Namun, Gavin hanya menatap kosong ke arah lain, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan oleh sang ibu dan keponakannya itu.

Sejak kepergian Aruna ke luar negeri, Gavin benar-benar berubah. Sosoknya yang dulu ramah dan ceria, kini seolah lenyap dan digantikan oleh sosok yang pendiam dan murung. Ia bahkan jarang lagi tertawa lepas seperti dulu.

Alisya merasa khawatir akan perubahan yang dialami oleh Gavin. ia berharap, suatu hari nanti, senyum ceria Gavin akan kembali menghiasi wajahnya. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa mencoba memahami dan mendukung Gavin dalam menghadapi kesedihan yang dirasakannya.

"Mama sekalian nitip kue di tempat langganan mama ya," ucap Alisya masih berusaha membujuk sang putra.

"Susu Orion juga kebetulan habis, kamu sekalian belikan ya. Mama tidak bisa ke supermarket soalnya kepala mama pusing" ucap Aliya beralasan.

"Hmmm" jawab Gavin malas.

Mau tidak mau akhirnya Gavin memutuskan mengantar keponakannya untuk jalan-jalan, sekalian membelikan pesanan sang mama.

"Pegangan, biar ngga terbang" perintah Gavin kepada Keponakannya, Ia lebih memilih menaiki motor daripada mobil.

"Siap om" jawab Orion semangat, kemudian memeluk tubuh Gavin dari belakang.

Motor yang di kemudikan Gavin bergerak maju, menuju ke salah satu pusat perbelanjaan yang berada di kota Jakarta. Wajah Orion terlihat berbinar, akhirnya bisa jalan keluar bersama om nya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!