Rania, dengan gaya santainya yang khas, melirik Hazel yang sedang sibuk mengelilingi rak buku dengan tatapan yang tak sepenuhnya yakin.
Rania mendekat perlahan, langkahnya mengikuti irama tawa di antara rak-rak yang dipenuhi oleh berjuta cerita.
"Udah dapet belum?" tanyanya, seolah meragukan kemampuan Hazel untuk menemukan sesuatu yang benar-benar menarik.
Hazel menghentikan jari-jarinya yang tengah meraba cover sebuah novel, matanya bergerilya dari satu judul ke judul lainnya. "Belum ada yang srek nih," ujarnya sambil mendesah pelan. "Ceritanya itu-itu aja."
Rania tersenyum penuh kemenangan saat dia menemukan apa yang dicarinya. Dengan gemetar sedikit, ia mengulurkan novel yang dipegangnya ke arah Hazel.
"Nih," ucapnya sambil menunjukkan sinopsis di belakang cover yang dihampirinya.
Hazel menerima buku itu dengan tatapan yang skeptis, matanya meluncur dari cover yang menarik ke sinopsis yang terpampang di halaman belakang.
"Ceita macam apa nih?" ujarnya sambil mengernyitkan keningnya. "Sinopsisnya kurang gereget, tapi covernya bagus sih."
Rania tertawa lepas, membalas dengan candaan, "Emangnya kita beli buku buat makan covernya, Haz? Kita kan mau cerita yang bisa bikin hati srek."
"Ya enggak juga sih. Tapi gue males bacainih novel, karakter antagonisnya pake nama gue," ucapnya dengan suara yang agak malas.
Rania, yang selalu ceria, mendekat dengan senyuman penuh arti di wajahnya. "Nama doang yang sama, tapi takdir beda," katanya sambil mengedipkan mata.
"Kalau pala lo kena nih novel, sakit loh," goda Hazel sambil menepuk-nepuk novel di tangannya seolah-olah bersiap untuk menimpuk kepala Rania.
Mereka berdua terkekeh dalam suasana yang riang di antara rak-rak buku yang penuh warna dan cerita.
Namun, tiba-tiba saja, seperti petir di siang bolong, Hazel merasa pusing yang tak terkendali. Semuanya berputar-putar di sekelilingnya dan pandangannya menjadi buram. Perasaannya seakan-akan melayang di antara kesadaran dan kegelapan.
Yang terakhir terlihat oleh matanya adalah senyuman lebar Rania sebelum semuanya menjadi hitam.
"Selamat berjuang, Hazel,"
***
Hazel membuka matanya perlahan-lahan dan mendapati dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang bernuansa putih bersih.
Ia mengamati sekelilingnya dengan penuh kebingungan, mencoba memahami di mana ia berada.
Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan, dan ia melihat Tania, seorang wanita yang terlihat elegan dengan aura duit yang kental.
"Lo udah bangun?" tanya Tania sambil meletakkan handpon-nya di meja dan mendekati tempat tidur Hazel.
"Bening banget nih cewek," batin Hazel, matanya tak henti-hentinya menatap Tania dengan penuh kekaguman.
"Zel, otak lo masih aman kan?" tanya Tania dengan kening yang mengerut, ekspresinya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam terhadap Hazel.
"Aman, aman kok," jawab Hazel dengan cepat, mencoba menenangkan Tania meskipun dirinya sendiri masih merasa kacau.
Namun, kebingungan Hazel tak berhenti sampai di situ. Ia memandang Tania dengan tatapan yang semakin membingungkan.
"Tapi lo siapa?" tanya Hazel tiba-tiba, keheranan terpancar dari wajahnya.
Tania langsung merespons dengan cepat. Tanpa ragu, kepala Hazel langsung digetok oleh Tania.
"Makin puyeng nih kepala gue," keluh Hazel sambil memijat pelan pelipisnya, mencoba meredakan rasa sakit yang semakin mengganggu.
"Lo sih ada-ada aja. Gue Tania, sahabat dekat lo," ucap Tania sambil melontarkan senyum manis, tapi matanya merajuk.
"Hah, sahabat?" Hazel menjawab dengan keheranan yang jelas terpancar di wajahnya. "Lo ngelindur ya? Gua cuma punya sahabat satu orang dan namanya Rania, bukan Tania."
Tania menatap Hazel dengan tatapan campuran antara tidak percaya dan sedikit kesal.
"Kayaknya otak lo geser ya?" celetuknya sambil memperlihatkan jemarinya yang tersusun rapi.
Hazel menatap jemari Tania dengan tatapan terbelalak, tidak mengerti apa maksud dari gerakan itu. Namun, sebelum dia sempat bertanya, Tania dengan cepat menggerakkan jemarinya dengan lancar dan lihai di depan wajah Hazel, seakan-akan menciptakan efek suara yang menyeramkan.
***
Revan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, atmosfer di dalam mobil terasa tegang. Di kursi belakang, Liliana duduk dengan tatapan cemas, sementara jemarinya terus bermain-main.
"Kak Revan, jangan marahin Hazel ya. Dia enggak sepenuhnya salah," ucap Liliana pelan, matanya tetap tertuju ke arah luar jendela.
"Iya," jawab Revan dengan suara datar, tangannya yang memegang kemudi terasa semakin erat di kepalkan.
Suasana di dalam mobil terasa hening sejenak, hanya suara mesin dan gesekan ban dengan aspal yang terdengar.
Revan terlihat tenggelam dalam pemikiran, matanya fokus pada jalan di depan namun pikirannya jelas terganggu oleh sesuatu yang baru terjadi.
***
Tania mengantar Hazel pulang ke rumahnya. Setelah mobil berhenti tepat di depan pintu rumah Hazel, Hazel segera membuka pintu dan dengan hati-hati turun dari mobil.
Sementara itu, Tania masih duduk nyaman di dalam mobil, membuka kaca dan tersenyum melihat Hazel yang sudah berdiri di luar.
"Kalau otak lo rusak, kita beli yang baru, lagi banyak flash sale," celetuk Tania dengan nada bercanda, sambil menahan tawa.
"Gak boleh berkata kasar, gak boleh berkata kasar, harus sabar. Tapi, dia minta di kasarin, gak bisa di sabarin" batin Hazel sambil menjaga ekspresi wajahnya.
"Istirahat sana, besok gue jemput," ucap Tania.
"Jalan pak," seru Tania kepada sopirnya, dan mobil mulai bergerak menjauh dari Hazel yang masih berdiri di pinggir jalan.
Hazel menghela napas panjang, merenung sejenak di tengah keheningan malam yang mulai menyelimuti. Dia memandang langit yang gelap, mencoba meredakan pikirannya yang masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang pasti.
"Ooo, asu..." gumam Hazel tanpa sadar, mengeluarkan umpatan spontan yang menggambarkan kebingungannya.
Ia menggosok-gosok pelan lengannya yang terasa dingin karena angin malam yang sejuk.
"Sebenernya Rania siapa sih? Kok gue bisa nyasar ke dunia novel kayak gini," keluhnya, ekspresinya penuh frustrasi. Semakin ia mencoba menerka-nerka, semakin tak masuk akal baginya.
Dunia di sekitarnya terasa begitu aneh, seolah-olah dia telah terjebak dalam sebuah cerita yang tidak masuk akal. Dia merasa seperti terdampar di tengah-tengah plot yang rumit dan tak terduga, tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi atau bagaimana dia bisa sampai ke situ.
"Dunia ini benar-benar gak masuk akal," gumamnya lagi, mencoba meredakan frustrasinya.
***
Setelah mengantar Liliana, Revan melangkah cepat menuju rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Liliana. Langkahnya mantap, namun pikirannya masih terbayang-bayang kejadian beberapa menit yang lalu. Di teras rumahnya, dia disambut oleh Hazel.
"Bisa enggak sekali aja jangan bikin masalah!" ucap Revan dengan suara agak tertekan, ekspresinya mencerminkan kelelahan dan ketegangan setelah perjalanan panjang hari ini.
Hazel hanya diam, tetapi tatapannya menusuk ke dalam wajah Revan dengan tajam. Di dalam hati, dia merenung, "Gila, visual cowok gepeng memang bukan kaleng-kaleng."
Sebuah pikiran aneh menyelinap di benak Hazel. Apakah dia sudah masuk ke dalam dunia novel? Segalanya terasa terlalu dramatis seperti dalam cerita yang biasa dia baca atau tonton.
Namun, suasana di sekitarnya terasa nyata, bunyi langkah kaki Revan yang berat, angin malam yang berdesir lembut di sekitar mereka.
"Kamu denger, Kakak gak!" bentak Revan dengan nada yang semakin meninggi, mulai kehilangan kesabarannya.
Suaranya memecah keheningan malam, membuat Hazel tersentak kaget. "Jantung gue," batinnya, merasakan denyut yang berdegup kencang di dadanya.
Hazel mencoba menenangkan diri. Dia tidak yakin apakah ini benar-benar kejadian nyata atau hanya mimpi aneh yang dia alami.
Mungkin ini hanyalah fantasi yang terjadi dalam imajinasinya yang liar. Tetapi ketegangan di udara membuatnya semakin yakin bahwa ini bukanlah sekadar khayalan.
Revan melihat Hazel dengan tatapan yang rumit. "Jangan ganggu Lilian lagi. Kakak udah bilang itu berkali-kali," ucap Revan dengan nada tegas, tapi ada sedikit kelembutan di ujung kalimatnya.
Revan adalah asisten pribadi Devano, yang notabene adalah kakak dari Lilian. Keluarga Devano juga telah menganggap Revan dan Hazel sebagai keluarga mereka sendiri. Bahkan, mereka sering bercanda bahwa Revan dan Hazel adalah anak adopsi yang terlambat datang.
Namun, meski hubungan mereka sudah dekat, Revan tetap berusaha menjaga profesionalitas, apalagi kalau sudah menyangkut Lilian.
"Iya," jawab Hazel dengan suara yang bergetar, air matanya sudah di ujung mata, siap tumpah kapan saja.
Tapi bukan karena dia merasa sedih atau marah diomeli oleh Revan, melainkan karena suara Revan itu lho, duh, bikin hati Hazel berdesir kayak ada ribuan kupu-kupu sedang berpesta di dalam perutnya.
"Gila, deep voice-nya mantap banget," batin Hazel, sambil mencoba menyeka air mata yang mulai jatuh dengan ujung jari.
"Apa gue terlalu kasar?" batin Revan, melihat Hazel menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Dia merasa ada yang mengganjal di hati, perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul. Revan selalu berusaha untuk tegas dan adil, tapi melihat Hazel begitu, hatinya jadi sedikit miris.
"Kakak gak tau lagi harus gimana ngomongnya ke kamu. Tapi kakak bener-bener minta kamu untuk gak gangguin Liliana lagi," pinta Revan, suaranya kini lebih tenang setelah sebelumnya sempat tegang.
Hazel hanya diam, menundukkan kepalanya. Ekspresinya memperlihatkan bahwa dia mendengarkan dengan serius.
"Kalau kamu gangguin dia lagi, kakak gak ada pilihan lain selain ngirim kamu ke sekolah asrama," ucap Revan dengan tegas, menambahkan implikasi serius dari permintaannya.
***
Masih pagi di rumah Hazel selalu saja penuh kejutan. Hazel sudah dihadapkan pada sebuah kenyataan yang membuat mood paginya langsung ambyar. Siapa lagi kalau bukan Tania, yang hobinya mengacau.
"Bangun, cok," seru Tania dengan suara cempreng khasnya, sambil mencoba menarik selimut yang menutupi tubuh Hazel.
Selimut tebal dan hangat itu adalah satu-satunya pertahanan Hazel dari udara pagi yang dingin.
"Lima menit lagi," balas Hazel dengan nada kesal, matanya masih tertutup rapat.
Ia menggulung dirinya seperti ulat dalam kepompong, menekuk lutut dan memeluk erat lututnya sendiri. Hazel menggigil kedinginan, berusaha mempertahankan sisa-sisa kehangatan yang tersisa.
Buk! Buk! Buk!
Suara benturan bantal yang mengenai Hazel terdengar jelas.
"Sakit woy!" teriak Hazel.
Ia langsung terduduk, rambutnya yang acak-acakan semakin menambah kesan baru bangun tidur. Matanya melotot ke arah Tania, penuh dengan kemarahan yang bercampur rasa kantuk.
"Apa sih lo, Tan? Gak bisa lihat orang tidur tenang sedikit aja?"
Tania tertawa kecil, seolah tidak peduli dengan keluhan Hazel. "Bangun, siap-siap ke sekolah," ajak Tania dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas.
"Gue gak mau sekolah," gumam Hazel dengan suara khas orang baru bangun tidur, serak dan malas.
Ia kembali menjatuhkan dirinya ke kasur, kali ini dengan posisi tengkurap, menyembunyikan wajahnya di bantal.
Tania yang mendengar itu merasa aneh. Biasanya Hazel tidak pernah menolak ajakan ke sekolah, apalagi dengan nada seperti itu. Tania berjalan mendekat, menatap Hazel dengan penuh curiga.
"Zel, otak lo kayaknya perlu periksa deh," ucapnya, mencoba memancing reaksi sahabatnya.
Hazel hanya menggeram pelan, tangannya meraih bantal lain dan menutup kepalanya, seakan ingin menutup dunia luar. "Gue lagi nggak mood, Tan," jawabnya dengan suara yang teredam bantal.
Tania menatap Hazel dengan alis terangkat. "Lo bukan Hazel, kan?" tanyanya dengan nada curiga.
Dari kemarin Hazel bersikap aneh, dan Tania merasa sahabatnya bukanlah orang yang sama seperti yang ia kenal.
Mendengar itu, Hazel langsung bangkit dari kasur, matanya terbuka lebar seolah terkejut.
"Gue mandi dulu," ucapnya cepat, berusaha menghindari tatapan Tania.
Ia langsung berjalan keluar kamar, meninggalkan Tania yang masih kebingungan. Tania menatap pintu kamar yang baru saja ditutup Hazel. Pikirannya penuh dengan tanda tanya.
***
Liliana berjalan di koridor bersama teman-temannya, merasakan gemuruh perasaan yang bercampur aduk.
"Lihat tuh si Hazel duduk sendiri di sana," ucap Agler sambil menunjuk ke arah Hazel yang tengah duduk dengan kepala bersandar pada tembok.
Hazel terlihat sangat lelah dan mengantuk, matanya setengah tertutup seolah berusaha melawan kantuk yang terus menyerang.
"Misi lo kapan jalannya, Nta?" tanya Davian dengan nada penasaran, matanya bergantian menatap Ananta dan Hazel.
Ananta hanya menatap Hazel, ragu-ragu.
"Kayaknya kita enggak usah lanjutin rencana itu deh," ucap Liliana tiba-tiba, keraguan jelas terpancar dari nada suaranya.
"Gak bisa gitu dong," tolak Ivanka dengan cepat.
"Iya, dia duluan yang jahat. Lagian si Nanta deketin si Hazel supaya ketahuan sifat asli dia," tambah Enara, mendukung pendapat Ivanka.
"Iya, lagian dia yang bikin masalah duluan. Gue muak sama dia yang kelihatan sok suci," ucap Bastian dengan nada dingin sambil menatap tajam ke arah Hazel yang terlihat damai dalam tidurnya.
Ananta merasa tidak bisa terlalu banyak mengutarakan pikirannya. Baginya, satu-satunya tugas yang harus diselesaikan adalah menguasai hati Hazel seperti yang telah mereka sepakati.
Namun, begitu berhasil mendapatkan cintanya, Ananta akan meninggalkan Hazel tanpa belas kasihan, tanpa ada penjelasan atau rasa penyesalan.
"Kok gue jadi gak tega gini ya?" bati. Ananta.
***
Hazel membuka matanya dengan perlahan, terganggu dari tidurnya yang belum selesai. Cahaya remang-remang mulai memperjelas sosok di depannya.
Seorang cowok yang tampaknya sedang menendang-nendang pelan kakinya. Matanya masih setengah tertutup, Hazel mencoba memahami situasi.
"Zel, ngapain lo molor disini?" tanya cowok itu dengan nada agak kasar, namun ekspresinya terlihat sedikit cemas.
Hazel menarik napas dalam-dalam, mencoba memfokuskan pandangannya. Namun, kebingungan segera berganti dengan kekaguman yang tak terduga saat wajah cowok itu mulai jelas terlihat.
Matanya memperhatikan setiap detail, dari rambutnya yang rapi, mata yang tajam, hingga senyum yang menurutnya begitu menawan.
"Gila, cakep banget dah," batin Hazel dalam hati, tidak percaya bahwa saat-saat seperti ini dia bisa menemukan seseorang yang begitu menarik di tengah kekacauan yang dirasakannya.
Cowok itu terus menatapnya, menunggu jawaban dari Hazel yang tampak masih terdiam dalam pesonanya sendiri. Hazel mencoba mengumpulkan pikirannya, berusaha untuk tidak terlalu terpesona meskipun dalam hati sudah meluap-luap kekagumannya.
"Umm... sorry, gue molor," ucap Hazel akhirnya dengan suara serak, mencoba menutupi rasa malunya yang terlalu jelas terpancar.
"Lo ngapain sih molor disini? Kan bisa tidur di kelas atau UKS," tanya Febrian heran, menatap Hazel dengan ekspresi bingung.
Hazel menggelengkan kepala pelan, mencoba merapikan pikirannya yang masih setengah-sadar. Dia meraba-raba untuk menjawab, "Gue nungguin Tania. Dia tadi pergi terus minta gue nunggu disini."
Febrian mengangkat alisnya, "Lah, si Tania udah di kelas."
"Hah? Lo tahu dari mana Tania udah di kelas?" tanya Hazel dengan wajah yang kocak, mencoba mencerna informasi itu.
Febrian menjelaskan dengan sabar, "Tadi gue dari kelas. Cuma mau balik lagi ke parkiran ada yang ketinggalan."
Hazel mengusap pelipisnya frustasi. Rasanya hidup di dunia novel tidak semanis yang ia bayangkan. Dia sering merasa kebingungan dengan perubahan cepat yang terjadi di sekitarnya, terutama saat waktu berlalu begitu cepat dan mengacaukan jadwal tidurnya.
"Oh iya, lupa. Lo siapa?" tanya Hazel sambil menatap mata Febrian, mencoba mengingat-ingat siapa cowok ini.
Febrian mengernyit heran, "Gue Febrian, kita sekelas lagi dan lo lupa sama gue? Wahhh..."
Hazel mendengar kata-kata Febrian dan langsung terdiam. Masalahnya, dia sama sekali tidak mengenal orang-orang di dunia ini.
"Oh iya, Febrian. Maaf ya, aku ingat nama tapi susah banget ingat wajahnya," ucap Hazel sambil tersenyum canggung.
Febrian menggelengkan kepala dengan ekspresi campuran antara kesal dan lucu.
"Bukan pura-pura lupa, tapi lo aslinya memang gak kenal sama gue, kan?"
Suara spidol bergesekan di atas papan tulis dengan ritme yang monoton, menciptakan suatu melodi yang entah bagaimana malah memikat Hazel ke dalam alam mimpi yang dalam.
"Siklus Carnot disebut sebagai siklus ideal yang terdiri dari dua proses, yaitu proses isotermal dan proses adiabatik..."
Namun, di tengah-tengah semua itu, Hazel tidak peduli. Dia terlelap dengan buku Fisika menutupi wajahnya, sepertinya memanfaatkan momen berharga untuk menikmati tidurnya, tanpa memedulikan suara guru yang sedang menjelaskan.
"Nih anak neuronnya eror deh," batin Tania, menggelengkan kepala sambil menatap Hazel.
Dia menatap guru yang sedang menggambar diagram siklus Carnot di papan tulis, lalu kembali memandang Hazel yang tampaknya begitu asyik dalam mimpinya.
Hazel, yang terbiasa dengan dunianya sendiri, tidak menyadari sorotan Tania yang penuh kejengkelan. Dia merasa hangat di dalam selimut ketidaktahuan, meskipun dunianya di sekitar terus berputar.
***
Di kantin yang ramai itu, suasana begitu hidup dengan siswa-siswa yang bergerombol di meja-meja, berbicara dengan riuh rendah tentang pelajaran, pacar, atau sekedar hal-hal sepele lainnya.
Hazel, bagaimanapun, merasa seolah berada dalam dunia sendiri, terlelap di antara keramaian itu.
"Permisi kak," ucapnya dengan sopan. "Kak Tania disuruh ke kantor kepsek," tambahnya dengan sedikit gemetar.
"Oke, makasih," ucap Tania dengan nada dingin dan siswi itu bergegas pergi.
"Padahal belum makan, tapi gue udah kenyang. Iya, kenyang banget nelen sabar," batin Tania dengan nada sinis.
Dia sering kali merasa iri dengan kemampuan Hazel untuk tidur di mana pun dan kapan pun, tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya yang begitu bising dan sibuk.
Tanpa mengganggu Hazel lebih lama, Tania memutuskan untuk pergi. Dia tahu Hazel akan baik-baik saja di kantin yang ramai ini, meskipun mungkin tidak akan terbangun sampai makanan yang ditunggunya tiba.
***
"Samperin gih," usul Davian sambil menyikut pelan perut Ananta.
"Iya, samperin. Mumpung si Tania enggak ada," tambah Agler, mendukung ide itu dengan semangat.
Ananta, sosok yang jarang bersuara dan tidak terlalu tertarik untuk terlibat dalam kegaduhan semacam ini, mengerutkan keningnya dengan sedikit ketidaknyamanan.
Namun, sebelum dia bisa memberikan alasan atau bergerak, seseorang yang lain tiba-tiba mendahuluinya.
***
Hazel duduk di meja kantin dengan makanan di depannya, matanya sudah mulai terjaga setelah beberapa gigitan makanan. Di depannya, Febrian duduk dengan santainya, tengah menikmati hidangan yang sama.
Atmosfer kantin sekolah elit itu ramai dan hidup, dengan suara percakapan siswa-siswa yang bertebaran di sekitar.
"Lo kayaknya ngantuknya enggak ilang-ilang. Lo sibuk apaan sih?" goda Febrian, sambil menatap Hazel dengan rasa penasaran.
Hazel menelan suapan makanannya sebelum menjawab dengan gaya santai, "Gue tiap hari sibuk, sibuk... bernapas," ucapnya sambil menyunggingkan senyum kuda yang khas.
"Shibal... lo minta ditampol ya , Zel?" batin Febrian dalam hati sambil menahan tawanya.
***
Hari yang cerah di sekolah Hazel, namun suasana hatinya jauh dari cerah. Dia duduk di pos penjagaan dekat gerbang sekolah dengan wajah tegang, menatap jauh ke depan seolah sedang mencari jalan pulang yang hilang entah ke mana.
"Stres banget gue kayak gini," gumam Hazel dengan suara serak, seolah-olah satu-satunya lawan bicaranya adalah angin yang berhembus pelan di sekitarnya.
Tania, pulang lebih awal setelah bercakap-cakap dengan kepala sekolah, meninggalkan Hazel sendirian dalam kegalauannya.
Hazel, yang dalam dunia novel ini terkenal karena kecantikannya, kini terlihat sangat jauh dari kata 'cantik'. Rambutnya yang biasanya terurai indah kini sedikit berantakan, dan matanya yang biasanya bersinar kini memancarkan kebingungan yang tak tertahankan.
Sekolah yang sebelumnya ramai dengan siswa-siswa yang bergegas pulang, kini seakan-akan menyaksikan drama komedi di mana Hazel berperan sebagai tokoh utama yang kebingungan.
Dia merapatkan kedua lengan ke tubuhnya, seolah-olah mencoba menahan badai yang mengamuk di dalam dirinya.
"Gimana cara gue baliknya?" desahnya dengan nada frustasi. "Ini kan bukan drama Korea di mana orang bisa tiba-tiba teleport pulang ke rumah."
Tiba-tiba, seorang siswi menghampirinya dengan senyuman yang berusaha tulus, tapi terganggu oleh kedutan di bibirnya yang membuatnya terlihat seperti Joker.
"Belum pulang?" tanya Ananta, mencoba menunjukkan kebaikan hatinya.
Hazel, yang dalam hatinya meronta-ronta melihat kegantengan Ananta, tidak bisa menahan diri untuk tidak terpikat. "Gila, serbuk berlian," batinnya dengan gugup.
"Belum," jawab Hazel dengan suara yang sedikit kikuk.
Ananta tersenyum lebar. "Mau pulang bareng?"
Hazel, tanpa berpikir panjang, langsung menjawab, "Mau."
***
Dari kejauhan, beberapa orang memperhatikan dengan perasaan campur aduk saat Hazel masuk ke dalam mobil Ananta.
"Gampang banget si Ananta luluhin hati Hazel," komentar Ivanka dengan nada suara yang sedikit sinis.
"Bilang aja lo iri. Karena sebenernya lo mau juga kan sama Ananta?" goda Enara dengan senyum menggoda.
"Apaan sih?" gerutu Ivanka dengan sedikit kesal.
"Gue enggak tahu ini bener apa enggak." Liliana, yang selama ini diam memperhatikan dari kejauhan, merasa bimbang.
Dia ingin memberitahu Hazel yang sekarang tampak begitu bahagia di dalam mobil Ananta bahwa kebahagiaan itu dibangun di atas fondasi yang mungkin palsu.
Liliana merasa bertanggung jawab atas segala kekacauan ini, namun dia juga takut akan akibat dari kejujurannya.
***
Setelah pulang sekolah, Agler, Bastian, dan Davian langsung menuju ke rumah Agler untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka duduk santai di sofa, sambil memulai percakapan yang cukup serius.
"Menurut lo si Hazel tuh jahat beneran gak sih?" tanya Davian sambil rebahan di sofa.
Bastian, yang mendengar pertanyaan itu, langsung terlihat tak bersahabat ekspresinya.
"Lo gak lihat waktu itu mereka berantem sampe Liliana kacau gitu?" tanya Bastian dengan nada sedikit keras.
"Tapi gue denger si Hazel sampe di infus," ucap Davian, mencoba memberikan sudut pandang lain.
Agler, yang awalnya hanya diam dan terlihat memperhatikan, akhirnya tertarik untuk ikut serta dalam pembahasan ini.
"Dari wajahnya sih, si Hazel kelihatan pura-pura baik," komentarnya, mencoba menganalisis situasi.
Bastian mengangguk-angguk setuju. "Bener juga ya, dia kan pintar banget nutup-nutupin sisi jahatnya."
Davian mengangkat bahunya. "Gue sih gak tahu. Tapi kadang orang yang keliatan baik, belum tentu bener-bener baik."
"Emangnya ada yang tau apa yang sebenernya terjadi di balik layar?" tanya Agler, mencoba merangkum semua informasi yang ada.
"Tapi enggak mungkin Liliana jahat, dia baik banget. Saking baiknya bikin gue gemes sendiri," ucap Bastian dengan nada yakin.
Agler yang duduk di sebelahnya langsung merespons dengan spontanitasnya yang khas. Dia meraih bantal dari sofa dan melemparkannya ke arah Bastian dengan cepat, tepat mengenai kepalanya. Bantal itu membuat suara empuk saat mengenai sasaran.
"Apaan sih?" protes Bastian sambil menggelengkan kepalanya, memegang bantal yang baru saja mendarat di kepalanya.
"Lo jangan nikung Ananta dong," sindir Agler sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Sementara itu, Davian yang duduk di sofa seberang mereka, dengan senyum penuh kelicikan, menambahkan bumbu dalam percakapan mereka.
"Si Ananta sampe bela-belain deketin Hazel buat buktiin rasa sukanya ke Liliana loh," ucap Davian dengan nada ceria.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!