Selama menjalin hubungan dengan Adrian Jatmiko, Serena tidak pernah bertanya-tanya bagaimana jika telah menjadi seorang istri. Barangkali para tetangga sebelah rumah pun ikut penasaran, apa rasanya bila menjadi pasangan hidup seorang perwira TNI.
Sampai dua tahun berpacaran, Serena tidak pernah menanggapi. Sebab kata orang: terlalu tinggi berekspektasi berpotensi membuat kita jatuh ke inti bumi. Oke, ini memang hiperbola. Tapi sungguh, Serena juga menyetujui perkataan tersebut.
Makanya, ia tidak menaruh harap berlebihan manakala harus menghadap komandan dari instansi yang dibanggakan Mas Ian (begitu cara Serena memanggil kekasihnya).
"Aku baru tahu tahapan menjadi seorang istri alurnya bisa seribet ini." Setelah serangkaian pengujian calon Persit, pemenuhan berkas-berkas hingga tes kesehatan dilalui, akhirnya kalimat keluhan itu terlontar juga dari bibir tipis Serena Awahita.
Dengan seragam hijau pupus tanpa lencana yang dikenakan hari ini, ia mematut penampilan lewat cermin di mobil. Dalam beberapa menit, mereka akan menghadap komandan Jatmiko. Jika membaca nama barusan, maka pasti tahu bahwasanya sang komandan adalah ayah dari kekasih Serena sendiri.
"Tapi kamu senang, kan?" Lamat-lamat Serena mengangguk menanggapi sahutan laki-laki yang tengah memperbaiki letak brevet pada PDH yang dipakai. "Nanti kalau sama Papa pasti enggak akan disulitkan. Kamu tenang saja."
"Biasanya akan ditanya apa kalau pengajuan seperti ini, Mas?"
"Setahu aku cuma pertanyaan untuk meyakinkan apa kamu benar-benar bersedia mengemban tugas menjadi istri atau enggak. Kamu sendiri pastinya tahu kalau hidup dan mati kami untuk negara. Jadi siapa saja yang berakhir menjadi pasangan kami, wajib rela kalau dijadiin yang kedua."
"Karena yang pertama adalah negara?"
"Betul. Yuk, kita masuk."
Sejurus kemudian, Serena telah duduk di antara manusia-manusia lain yang tampaknya juga hendak menikah. Ah, apa sekarang memang sedang musim kawin? Serena tidak tahu. Yang pasti, ia harus menunggu giliran untuk bertemu komandan Jatmiko.
"Permisi, mohon izin, boleh duduk di sebelahnya, Let?" Seseorang menghampiri saat Serena tengah asyik membalas pesan sahabatnya. Di samping Mas Ian, pria berseragam PDH serupa pun duduk setelah diberi izin.
"Sudah lama menunggu, Let?"
"Baru ini. Komandan lagi ada urusan di dalam."
Serena tidak menaruh perhatian lagi sebab pesan dari Jizzy lumayan membuat geleng-geleng kepala.
Jizzy Elvina
Er, serius calon suami kamu enggak punya teman yang masih lajang?
Ayolah, Er. Aku juga mau jadi ibu Persit.
Nanti kita bisa nangis bareng kalau ditinggal bertugas.
Serena Awahita
Mas-mas corporate apa enggak cukup menggugah buat kamu?
Jizzy Elvina
Yang sesuai selera banyak, Sayang.
Yang jari manisnya masih kosong itu langka.
Serena Awahita
Katanya masih banyak yang bertahan jomblo di kantor.
Jizzy Elvina
Itu mah anak commercial. Malas, ah, pada bau matahari.
Serena Awahita
TNI bahkan bisa bau tanah; bau rawa-rawa juga. Lebih mengerikan dari sekedar bau matahari, Sayangku.
Jizzy Elvina
Ah, akal bulus kamu ini udah khatam banget sama aku, Er.
Bilang aja kamu enggak mau aku ikut jadi Persit karena malas satu kegiatan terus. Teganya kamu, Sayang.
Aku beneran kecewa sampai ke tulang-tulang.
Serena Awahita
Pantes enggak ada yang tahan kalau kayak gini modelnya.
Jizzy Elvina
Wah, sialan!
Aku bakal bilang sama Ian-Ian itu kalau kamu ini pernah cepirit di zaman SD. Awas saja kamu, Er!
Pesan selanjutnya tidak sempat lagi dibalas oleh Serena sebab giliran mereka untuk menghadap komandan telah tiba.
Dalam ruangan, paruh baya dengan seragam dipenuhi lambang-lambang yang Serena tidak mengerti nampak tersenyum menyambut.
"Apa kabar, Eren?"
"Siap, sehat sekali, Komandan."
Mendapatkan respon itu, komandan Jatmiko tersenyum tipis seraya menggeleng.
"Santai saja, Eren. Enggak usah terlalu formal. Pasti Ian yang suruh kamu begitu, ya?" Mau tidak mau, Serena membenarkan. Memang pacarnya lah yang mengajarkan tata krama di lingkungan militer agar tidak terlalu kaget kalau sudah menikah.
Merasa namanya disebut, Adrian lantas menyahuti, "Siap, sesuai anjuran adab dan bertutur, Ndan. Kami hanya mengikuti aturan."
"Kalian anggap saja seperti di rumah. Di sini cuma ada kita. Kenapa harus repot-repot sesuai aturan?" Karena telah diberi titah, dua muda-mudi ini mengikuti saja.
Pengarahan dari komandan Jatmiko berlangsung hampir dua jam. Selama itu, telinga Serena kenyang akan wejangan yang kini mulai berputar-putar di rongga kepala. Kalau dibiarkan lebih lama, Serena yakin saraf otaknya akan kusut untuk mencerna istilah yang belum sempat ia pahami sebelum ini. Untung saja, Adrian sabar memberitahu maksud-maksud dari ucapan sang komandan.
"Saya maunya kalian benar-benar mengerti bahwa proses menikah nanti sangat sakral. Ibarat nyawa, kita hanya punya satu; berharga. Jadi jangan dipermainkan kesakralan dalam pernikahan ini. Makanya, sejak tadi saya yakinkan pula kepada Serena, apa benar kamu siap untuk menjadi seorang istri dengan segala konsekuensi di baliknya?"
"Sangat yakin dan siap, Om."
"Benar? Enggak akan menyesal? Kalau nanti sampai ditinggal Ian tugas ke perbatasan penuh konflik selama berbulan-bulan di masa awal pernikahan, apa kamu siap?"
"Saya siap dan enggak keberatan." Karena Serena mengerti jika negara membutuhkan Mas Ian, ia tidak mungkin bisa menahan. "Kalau memang dia mendapatkan tugas dari negara, saya rela dan berdoa untuk keselamatannya sembari menunggu masa-masa tugas itu selesai nantinya." Di samping Serena, Adrian tersenyum simpul. Merasa bangga dengan jawaban dari calon istri.
"Kalau tugasnya enggak selesai-selesai? Kalau suami kamu enggak pernah pulang karena gugur dalam tugas, bagaimana?" Pada bagian ini, barangkali timbul rasa takut dalam diri Serena. Namun, ia segera menepisnya jauh-jauh.
"Saya mengerti hidup dan matinya Mas Ian untuk negara. Jadi saya pastiin untuk legawa apabila negara juga yang mengambilnya dari dekapan saya."
"Asal jangan orang ketiga yang mengambilnya, ya?" Serena mengiyakan ucapan komandan dengan sedikit kekeh kecil. Lantas melirik calon suaminya lewat ekor mata. Hanya dengan begitu, ia menemukan raut wajah yang sedikit tegang di sana.
Ada apa dengan Mas Ian?
Selesai menghadap komandan Jatmiko dengan segala canda tawa, Serena merasakan bulu kuduk meremang tatkala berhadapan dengan Panglima Kostrad yang kini menatap tajam.
Jika dengan letnan kolonel Jatmiko atau pun komandan batalyon Jatmiko tadi mereka bisa bertutur selayaknya keluarga, di depan letnan jenderal Syaifullah keduanya kompak meneguk ludah.
"Ini betulan calon istri kamu, Adrian?"
"Siap, betulan, Panglima!" Suara lantang Mas Ian berhasil membuat Serena tersentak kaget.
"Kok, beda dari yang sebelumnya? Kalau enggak salah kamu ini sama anak bungsunya Marsekal Hadiyanto itu, kan? Yang dokter itu?"
Hanya dengan ucapan ini, Serena praktis memandangi laki-laki di sampingnya. Di sana, wajah Mas Ian jauh lebih tegang dari sebelumnya. Yang dipikirkan Serena... dia tegang karena panglima menyeramkan atau pertanyaan tadi terlampau sulit untuk dijawab? Kalau kabar itu adalah gosip semata, apa susahnya mas Ian segera menyanggah?
"Izin, yang itu tidak benar. Saya sudah menjalin hubungan dengan calon istri sejak dua tahun yang lalu."
"Kalau begitu, apa kamu berselingkuh? Sebab bapak Hadiyanto memberitahu bahwa anaknya; Shella Anggraini sudah bersama kamu sejak beberapa bulan lalu."
Wajah Adrian berubah pias. Sebagai anak dari orang terpandang di matra ini, tentunya segala hal tentang Ian akan mudah sekali diketahui.
Demikianlah Serena yang dapat merasakan kekhawatiran mulai menjalar. Waktu-waktu untuk menyiapkan segala yang berhubungan dengan pengajuan nikah ini sudah memakan banyak energi. Apabila kabar ini benar, Serena tidak tahu bagaimana cara mengembalikan energi yang terkuras habis.
"Adrian, jangan berpikir untuk menjawab ini dengan kebohongan. Kamu seorang prajurit. Seharusnya paham bagaimana menjadi laki-laki sejati. Saya bicara seperti ini sama kamu supaya enggak memperburuk keadaan. Marsekal Hadiyanto adalah sahabat saya, otomatis anaknya sudah saya anggap anak saya juga. Kemudian, calon istri kamu ini barangkali baru pertama kali saya temui. Namun, saya dapat melihat ketulusan di matanya. Jadi, kalau niat kamu kepada-maaf, siapa namanya tadi?"
"Izin, nama saya Serena." Senyuman tipis ia layangkan kemudian.
"Nah, Serena. Kalau niat kamu kepada Serena untuk main-main belaka, lebih baik disudahi. Jangan mempermainkan hati wanita, Adrian. Kamu enggak tahu saja seberapa mengerikan sebuah karma."
Jika tadi sempat terpikir oleh Serena bahwa Panglima Kostrad terkesan dingin, sekarang ia tidak merasakan itu lagi; dia nampak mengayomi. Tapi, bukan di sini poin pentingnya. Melainkan, kenapa Mas Ian membisu? Wajahnya bahkan tertunduk dalam. Bahunya barangkali masih tegak, tapi semangatnya hilang entah ke mana.
"Sudah. Saya mau kalian yakin dulu. Terbuka satu sama lain lebih dulu, baru menghadap saya lagi. Sekarang, silakan pergi dan selesaikan urusan kalian sesegera mungkin. Saya harap kalian bisa bijak dalam bersikap."
Maka dengan ucapan inilah, Serena dan Adrian berakhir pindah ke dalam mobil lagi. Kendaraan roda empat ini masih terparkir di halaman Makostrad. Di saat yang laki-laki mengusap wajah; yang perempuan melepas gelungan rambut sehingga surai legam itu tergerai sempurna.
Serena merasa frustasi manakala calon suami yang tinggal menghitung hari akan resmi menjadi halal untuknya mengaku dengan suara bergetar,
"Aku memang berselingkuh." Luar biasa sekali informasi di siang bolong ini membuat Serena mendadak gila. "Tapi sungguh! Aku lebih cinta sama kamu, Eren. Aku cuma jadiin Shella sebagai pelampiasan karena kamu jarang ada waktu untuk aku."
Pernah lihat buaya? Persis muncul dalam diri seorang Adrian Jatmiko saat ini. Serena memijat pelipis menahan pening seraya berpikir; bisa-bisanya ia telah dipermainkan.
"Alasan konyol macam apa ini, Mas? Sudah jelas kamu yang sulit dihubungi untuk sekedar berkabar, kenapa jadi aku yang salah? Aku sering meluangkan waktu berkunjung ke kantor kamu. Kamu yang jarang ada buat aku." Serena bahkan sering membawakan makan siang untuk Mas Ian, apa yang diberi itu bukan waktu namanya?
"Kamu tahu waktuku untuk negara, kan?"
"-dan untuk selingkuh." Sehebat itu satu kata-sembilan huruf ini menyayat hati Serena. S-e-l-i-n-g-k-u-h. Adakah kata lain yang jauh lebih membuat pedih? Tolong katakan. Sebab Serena pikir; ini satu-satunya.
"Eren, aku bersumpah enggak mencintai Shella. Aku cuma mau kamu yang jadi istri aku, Sayang. Bukan Shella tapi kamu." Buaya zaman sekarang memang pandai bersilat lidah, Serena sampai tercengang. Pria ini serius diberi nyawa?
"Masih bisa kamu panggil aku 'sayang' setelah pengakuan perselingkuhan tepat di hari kita pengajuan untuk menikah, Mas?"
Selama ini, Serena tidak pernah macam-macam. Dan dengan begitu ia hanya berharap punya pacar yang sama-sama tidak bertingkah maupun bermain belakang. Tetapi nyatanya malah yang seperti ini yang ia dapat.
"Kamu bilang aku harus siap menjadi yang kedua, aku siap, Mas. Aku siap kalau yang pertama benar-benar negara yang kamu pilih. Tapi, kalau dia-Shella yang entah siapa ini masuk di hubungan kita, aku enggak bisa terima. Sebaiknya kita enggak usah menikah. Batalin aja semuanya."
Lupakan pesan panglima Kostrad yang mengatakan keduanya harus bijak dalam bersikap. Serena tidak bisa bertindak bijaksana dalam keadaan ini. Ucapannya boleh saja terdengar tenang, tapi tidak dengan isi hati. Makanya, ia menepuk-nepuk pundak pria itu sekuat mungkin. Barangkali ia hendak meremukkan otot-otot yang ada di sana. Sayangnya, tenaga Serena tidak seberapa dibanding laki-laki yang selalu ada kegiatan kebugaran jasmani seperti lari tiga-ribu meter setiap bulan, dilengkapi push-up, dan antek-anteknya.
"Eren, Eren, tenang dulu. Dengerin aku dulu. Aku sama Shella sudah berakhir dan aku beneran serius sama kamu. Kalau enggak serius, mana mungkin aku bawa kamu ke orang tuaku. Enggak mungkin juga aku minta kamu secara resmi ke mama dan papa kamu, Er. Cuma kamu yang aku mau."
Maka buaya mana lagi yang harus Serena tampar? Silakan maju, gantikan Adrian yang sekarang jadi samsak tinju.
"Kalau memang cuma aku, enggak mungkin ada Shella, Mas. Dia enggak mungkin masuk ke hidup kamu kalau enggak diberi akses. Jadi sudah pasti kamu enggak serius sama aku." Sekali pun katanya mereka sudah putus, Serena tidak bisa memaafkan begitu saja. Sudah cukup beberapa bulan terakhir mata dan telinganya tertutup sehingga tidak tahu perihal Mas Ian yang mendua. Sekarang tidak lagi, ia tidak mau dibodohi lagi. "Mas Ian, kamu ingat apa yang terucap dari mulut kamu begitu melamar aku di depan mama-papa dulu?"
Yang laki-laki otomatis terhenyak. Hanya dengan begitu, Serena semakin yakin kalau dia tidak pantas dipertahankan. Adakah palu atau kayu di mobil ini? Tangan Serena sudah kebas dan harus diganti pemukul besi supaya laki-laki ini sadar diri.
"Katamu; aku akan menjaga kamu sebagaimana papa kamu selama ini. Jika ia telah merawat sedari kecil sampai tumbuh dewasa, maka aku yang akan melanjutkan sampai kamu tutup usia. Rupanya ini kebohongan belaka, ya?" Serena berdecih. Benar-benar sulit mempercayai jika ia telah dikhianati. Kalau sudah seperti ini, rasa-rasanya ia memang akan tutup usia sebentar lagi.
Sementara di balik kemudi, Adrian menunjukkan wajah memelas. Kepada siapa pun yang mau membela, ia akan berterima kasih sedalam-dalamnya. Sungguh, ia tidak bermaksud mengecewakan Serena.
"Er, tolong maafin aku. Aku khilaf. Di bulan-bulan itu kamu sendiri sedang sibuk dengan kegiatan di toko sampai-sampai aku-"
"Cukup! Enggak perlu banyak alasan." Telinga Serena terlalu suci untuk dinodai dengan omong-kosong semacam ini. "Aku bisa mentolerir kesalahan apapun selain perselingkuhan, Mas. Karena kamu sudah begitu, enggak ada alasan lagi untuk mempertahankan hubungan kita. Terima kasih dua tahunnya. Jujur, ini sangat seru sampai mengalahkan drama favoritku." Setelah menumpahkan kata-kata penuh kecewa, Serena lantas keluar dari mobil.
Kepada nasib yang sepertinya hendak menjahili Serena tahun ini, maka ia sampaikan bahwasanya kamu menang! Serena tidak sanggup lagi dengan gelitikan nasib yang perlahan-lahan menjadi cubitan. Ini sungguh menyesakkan untuk diterima.
Di sisi lain, Adrian bergegas mengejar. Tidak akan ia biarkan calon istri paling potensial seperti Serena Awahita lepas begitu saja. Terlepas dari segala khilaf, ia ingin mengulang semua dari awal. Namun, keberuntungan tidak mau memihak manakala ia temui keberadaan Shella Anggraini tengah berdiri di hadapan Serena.
Perempuan dengan jins dan mantel itu tertegun tatkala berhadapan dengan seseorang berseragam hijau pupus. Mulutnya terbuka, nampak kaget, lalu mengatup lagi. Seperti ingin bicara, tapi tidak jadi.
Mata kelam milik Serena menyorotnya setajam katana. Menilik dari ekspresi terkejut gadis berambut coklat, potongan puzzle pun mulai tertata rapi di dalam benak; menunjukkan suatu kejelasan dari abu-abunya kekecewaan.
"Shella Anggraini, ternyata kamu orangnya." Mungkin yang bernama sama, ada banyak di dunia. Tapi Serena yang sudah mengenal perempuan ini serta melihat perubahan ekspresi Mas Ian begitu melihatnya, jelas sudah mengerti bahwa inilah wanita yang menjadi orang ketiga di hubungan mereka.
Kata panglima Kostrad tadi, yang dekat dengan Adrian adalah anak dari seorang Marsekal. Terlambat menyadari, Serena ingat bahwasanya Shella memang anak dari petinggi TNI AU. Profesinya pun seorang dokter. Jadi, ia tidak mungkin salah menebak.
"Luar biasa, ya, Shell. Kamu sudah mengecewakan aku, dan Sabir sekaligus. Keren sekali." Biarpun air mata sudah menggenang, Serena memberikan senyuman termanis yang ia punya. Berjalan mendekat untuk sekedar menepuk pelan bahu perempuan itu, lalu berlalu tanpa berkata-kata lagi.
Ia tahu Adrian tengah linglung. Pria itu memanggil-manggil namanya tapi tak kunjung menggapai lengannya. Bukan berarti Serena berharap ia ditahan, bukan! Ia hanya menyayangkan kenapa harus jatuh pada orang seperti Adrian yang senang mempermainkan hati perempuan.
***
"Pulang sendiri, Mbak Eren? Calon suaminya mana? Dipanggil sama satuannya, ya? Ah, kalau jadi istri tentara memang begitu, Mbak. Uangnya ada, waktu yang nggak ada. Gimana pengajuan tadi, Mbak? Lancar-lancar aja, kan? Saya sudah siap ikut acara pedang pora, nanti. Sudah jahit baju juga, khusus buat datang ke undangan Mbak Eren dan Mas Ian."
Serena tersenyum tipis menanggapi celotehan tetangga sebelah yang mengintip dari balik pagar beton tatkala ia hendak memasuki rumah.
"Saya masuk dulu ya, Bu Mega." Tidak perlu repot melihat reaksi paruh baya itu, Serena menutup pintu rumahnya. Di dalam, ia menemukan keberadaan Nana-adiknya, yang asyik menonton siaran berita.
"Gimana tadi, Mbak? Aman semuanya? Atau malah dirujak sama pejabat kesatuan Mas Ian?" Wajah tengil Nana berhasil menyulut kekesalan Serena yang memang tengah sensitif.
Tidak perlu menyahut, Serena lantas berjalan menuju dapur, untuk sekedar bertemu mama yang lagi menggoreng ikan dengan helm di kepala.
Barangkali, Kasih Sulastri—Mama Serena—tidak sama seperti ibu-ibu lain yang tahan panas; tahan banting; tahan meteor sekaligus. Yang satu ini, terciprat minyak panas sedikit, hebohnya bukan main. Makanya, setiap berurusan dengan goreng-menggoreng yang berpotensi membuat minyak panas meletup-letup, ia sedia memakai helm dan jaket kulit. Sungguh, Mama yang mana lagi yang Serena bisa pahami?
"Anak Mama sudah pulang!" Sulastri menyapa antusias. "Sini-sini, duduk dulu. Kita cerita." Ikan tongkol dalam panci pun ditiriskan.
Sulastri lantas melepas helm dan jaket, menyisakan daster warna hijau daun yang di bagian ketiaknya ada bolong sedikit.
"Apa saja tadi pertanyaannya? Profesi kamu apa dipermasalahkan? Mama seringnya ketemu abdi negara yang calon istrinya itu anak kesehatan. Nah, yang calonnya seorang baker itu jarang. Jadi, kamu bisa diterima di sana?"
Mengabaikan pertanyaan beruntun itu, Serena memilih mengambil garpu untuk memisahkan daging ikan dari tulangnya. Ia tahu tanpa bertanya bahwasanya mama hendak membuat sambal ikan tongkol suwir.
"Ma, kalau seandainya papa berselingkuh dan mama tahu sebelum kalian menikah dulu, apa yang mama lakukan?" Ekspresi wajah Sulastri lantas memerah. Walaupun yang dikatakan sang anak adalah pengandaian, ia tidak bisa menganggap sekadar andai-andai.
"Oh, sudah pasti mama batalin pernikahan itu! Mama ini keren, cantik, berwawasan. Kalau papa sampai melirik yang lain di saat-saat mendekati pernikahan, berarti otaknya bermasalah. Masa enggak cukup sama mama sampai-sampai mendua? Sudah untung dapat istri yang seperti mama. Di luar sana mana ada yang mau menerima papa dengan segala tingkah anehnya itu kalau bukan Mama. Huh, mana Papa?"
Sulastri mau bicara empat mata kalau suaminya memang selingkuh sebelum menikah dulu. Belum ada selangkah Sulastri beranjak, ia mendengar suara lirih dari sang anak, yang otomatis membuatnya kembali duduk.
"Itu juga yang akan aku lakuin saat Mas Ian selingkuh; membatalkan pernikahan, Ma."
Oh, ini sungguh mengejutkan untuk dicerna Sulastri. Tidak pernah menduga anaknya berakhir diselingkuhi membuatnya sedikit syok. Namun, sebagai seorang mama yang pengertian, Sulastri tidak akan bertanya perihal perasaan anaknya kini; tidak juga bertanya bagaimana kejadiannya sampai calon suami Serena bermain belakang; tidak mau bertanya pula mengapa Serena terlihat baik-baik saja.
Sulastri... mencoba memahami.
"Kalau seperti itu, ya sudah, batalkan saja. Mama selalu ada di pihak kamu untuk segala hal. Anak Mama selalu yang terbaik, laki-laki di luar sana juga banyak yang jauh lebih baik dari Letnan satu itu." Maka duduklah Sulastri di samping si anak sulung, sekadar mengusap rambut dan mengecup pelipisnya. Biar pun Serena sudah dewasa, Sulastri selalu merasa dia masih membutuhkan belaian layaknya balita.
Dalam pelukan mama, Serena membuka layar ponsel untuk menghubungi Sabir. Belum sempat mengetuk kontak yang tertera, sebuah pesan masuk mengambil alih fokus ia dan Mamanya.
Yolanda Retno (Ibu PKK)
Eren, apa sedang sibuk?
Kira-kira kalau ibu memesan lima ratus Bluder untuk besok lusa, bisa atau enggak, ya?
Serena mengulas senyum begitu menyadari kalau lembur telah menanti. Ia senang, sungguh! Barangkali dengan cara ini, ia tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan akibat dikhianati.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!