NovelToon NovelToon

I'M Sorry, I Love You

Bab 1

Jakarta, Indonesia

Kaiya Agata menatap gedung yang menjulang tinggi didepannya dengan raut wajah takjub. Sirin University. Ia tidak menyangka akan lolos seleksi masuk kampus ternama itu. Umurnya sembilan belas tahun. Harusnya ia sudah menjadi mahasiswi tahun kedua di tahun ini. Namun gadis itu punya alasan. Ia harus berterimakasih pada tantenya yang telah berjuang keras membuatnya berani menghadapi dunia luar lagi.

Ah, masih ada Kean. Dokter tampan yang selalu membantunya.

Kaiya mengibaskan rambut panjangnya kebelakang agar tidak menghalangi pandangan lalu bergegas masuk gerbang yang terbuka lebar itu. Ia menggigil karena rasa dingin mulai menembus jaket tebalnya. Akhir-akhir ini cuaca berangin, jadi ia harus pakai jaket ke kampus yang di tumbuhi banyak pepohonan itu.

Begitu memasuki halaman kampus, seorang senior mengarahkannya ke tempat para mahasiswa-mahasiswi baru berkumpul. Pandangannya lurus ke depan. Para anak baru setia duduk melantai di lapangan tertutup.

Gadis itu memilih berjalan ke bagian belakang dan duduk di sana. Karena ia paling suka menyendiri. Kaiya tiba-tiba kaget dan berputar cepat. Matanya melebar menatap perempuan dengan rambut sebahu yang sudah duduk disampingnya.

Gadis itu tersenyum padanya seolah tak merasa berdosa karena sudah menepuk kuat bahunya tadi dan membuatnya kaget setengah mati. Kaiya tak kenal wanita itu.

"Hai, gue Lory." sapa gadis itu memperkenalkan diri.

Kaiya balas tersenyum tipis kemudian menyambut uluran tangan gadis sih bernama Lory.

"Kaiya." balasnya.

Hanya dengan sekali lihat ia tahu Lory adalah tipe gadis ceria dan easy going yang bisa cepat akrab dengan siapa saja.

"Lo jurusan musik juga?"

Kaiya mengangguk. Ia masih merasa canggung. Ini pertama kalinya ia berbicara dengan orang lain selain dokter Kean dan tantenya setelah tiga tahun berlalu.

Semenjak memutuskan berhenti dari sekolah lamanya dulu, gadis itu mulai menutup diri dari orang-orang. Sifatnya berubah drastis menjadi seseorang yang sangat pendiam dan tertutup.

Dua tahun ia di rawat di rumah Sakit dan hanya dokter Kean teman bicaranya. Tantenya terlalu sibuk bekerja bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Namun Kaiya menyayangi wanita itu.

Tantenya adalah satu-satunya orang yang peduli padanya dan membelanya di saat banyak orang menyalahkannya. Karena tantenya juga ia bisa mendapatkan pengobatan atas trauma fatal yang dideritanya. Akhir-akhir ini penyakit itu mulai membaik asal tidak ada pemicunya. Ahh, ada satu orang lagi yang banyak membantunya. Ia menganggap orang itu sebagai sahabatnya sekarang. Sayang sekali mereka tidak bisa bertemu langsung. Karena orang tersebut sedang melanjutkan pendidikannya diluar negeri.

Setelah keluar rumah Sakit, Kaiya mati-matian mengejar ketertinggalan di sekolah baru meski dirinya sebenarnya belum begitu siap menghadapi banyak orang, ia berusaha keras untuk bisa terlihat seperti orang normal kebanyakan.

Yah, sekalipun rata-rata teman-teman sekolahnya menganggapnya terlalu aneh karena hampir tidak pernah bicara. Ia terpaksa mau kuliah pun awalnya karena tidak ingin membuat tantenya sedih. Karena itulah ia belajar sekeras mungkin mengejar ketertinggalannya demi masuk Universitas, demi tantenya. Walau kadang bayang-bayang masa lalu masih menghantuinya, ia ingin berusaha untuk bangkit.

"DIAM KALIAN SEMUA!"

Sebuah teriakan keras terdengar menggelegar di seluruh lapangan. Kaiya bisa mengerti senior itu marah karena karena sejak tadi suasana sangat riuh seperti pasar.

Suasana yang tadinya riuh kini berubah hening. Kaiya jadi penasaran siapa yang berteriak tadi. Jarak duduknya yang berada paling belakang membuatnya kesusahan melihat wajah sang senior yang berteriak dari depan tadi.

Badan mungilnya tidak bisa melampaui para pria yang duduk di barisan depan meski kepalanya berkali-kali mendongak ke atas, kecuali ia berdiri.

Lalu di dengarnya pria yang berteriak tadi kembali berseru.

"DALAM HITUNGAN TIGA, SEMUA YANG DUDUK DI BARISAN PALING BELAKANG SUDAH PINDAH KE DEPAN! SATU ..."

perintah tegas itu membuat Kaiya dan Lory saling menatap gelagapan.

"DUA ..."

Tanpa pikir panjang Kaiya dan Lory bangkit dan berlari secepat kilat mengikuti teman-teman mereka yang tadinya sama-sama duduk di barisan paling belakang.

"TIGA!"

Hufftt ...

Akhirnya,

Kaiya mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan. Ia dan Lory sudah duduk paling depan. Gadis itu mengusap-usap dadanya yang berdetak tak beraturan. Astaga, lama-lama ia bisa mati mendadak kalau dibuat kaget terus terusan begini. Apalagi dirinya belum pernah lagi lari terbirit-birit begitu semenjak sakit dulu. Syukur sekarang kondisinya mulai normal lagi.

"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Lory menatap Kaiya yang dilihatnya agak pucat.

Kaiya mengangkat wajahnya dengan tangan yang masih setia memegangi dadanya. Sebelum ia sempat menatap ke samping menghadap Lory, pandangannya bertemu dengan sosok pria jangkung berwajah tampan yang berdiri tepat didepannya. Mereka berdua saling menatap dengan ekspresi yang sama-sama terkejut bukan main.

                                                   

Jiro ...

Gumam Kaiya dalam hati. Pandangannya berpindah ke belakang lelaki itu seolah merasa ada tatapan lain yang juga sedang mengamatinya dari sana.

Nafasnya tercekat, ia terpaku seketika. Di depan sana berdiri seorang pria lain yang pernah mengisi masa lalunya.

Sosok itu berdiri seperti magnet yang kuat, dingin dan tegas. Memukau dengan segala pesona yang di milikinya. Tubuhnya tinggi menjulang dan wajahnya memancarkan keangkuhan yang sempurna.

Lelaki itu sedang menatapnya dalam dan tajam. Tak ada senyum lembut seperti dulu saat mereka masih dekat.

Kaiya tertegun ...

Ginran tampak berbeda, seperti bukan seseorang yang dikenalnya. Di sebelah pria itu berdiri Naomi. Ekspresi Naomi pun sama kagetnya. Matanya membelalak besar menatapnya.

Kaiya tidak melihat Darrel di sana meskipun berulang kali matanya mencari-cari ke segala arah. Hanya ada para senior lain yang tidak dikenalnya berdiri di sana.

Jauh di lubuk hatinya, Kaiya senang bisa melihat mereka lagi. Orang-orang yang pernah sangat dekat dengannya dulu, seperti keluarga. Namun, ada perasaan asing dalam dirinya. Sekarang rasanya mereka sudah begitu jauh. Kejadian dulu yang belum selesai dan kepergiannya yang mendadak tanpa penjelasan apapun membuatnya merasa mereka begitu asing.

"Kaiya, Kaiya!"

Suara Lory menyadarkannya. Ia melirik gadis itu dan tersenyum tipis lalu kembali menghadap depan.

Tatapannya kembali bertemu dengan mata hitam pekat milik Ginran. Pria itu sejak tadi tidak pernah mengalihkan tatapannya sedetik pun darinya. Kaiya cepat-cepat membuang muka ke arah lain. Jantungnya sudah berdetak tak karuan.

Di ujung sana, raut wajah Ginran berubah. Pria itu tampak marah. Kaiya meringis pelan. Kenapa mereka harus bertemu lagi sih.

                         

Sementara itu dari depan, Ginran mendengus keras saat melihat Kaiya membuang muka ke arah lain. Jelas sekali gadis itu sengaja tidak mau melihatnya. Tangan pria itu terkepal kuat. Ia biasanya tenang, namun gadis yang dulu pernah mengisi hari-harinya itu, yang tiba-tiba menghilang tanpa sepatah kata pun kini muncul didepannya tanpa dia duga.

Ginran benar-benar tahu bahwa keberadaan gadis itu masih amat mempengaruhinya. Ia sudah menunggu selama tiga tahun ini untuk meminta penjelasan. Dan selama itu juga, ia tidak pernah melupakan gadis itu. Itulah sebabnya ia tidak bisa menahan diri. Semua rasa dalam hatinya langsung menyatu.

"Ginran, kenapa?" Sandra, teman satu jurusannya tiba-tiba mendatanginya dan bertanya. Gadis yang sudah lama menyukainya dan terus memperhatikannya sejak tadi.

Ginran tak menghiraukan Sandra. Pandangannya terus fokus pada gadis yang duduk berbaur dengan mahasiswa baru lainnya di depan sana.

Kaiya adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuat seorang pria populer sekelas Ginran yang selalu dikenal dengan sikap dingin tak tersentuh itu menjadi urak-urakan.

Bab 2

Sandra mencondongkan badannya dan mendekatkan wajah ke depan Ginran namun Naomi menepisnya. Sejak awal masuk kampus itu Naomi memang tidak begitu menyukai Sandra. Bukan membencinya, hanya tidak begitu suka saja.

Sandra selalu sok dekat dengan kelompok mereka, bahkan suka pamer ke orang-orang. Padahal kenyataannya mereka sama sekali tidak dekat.

"Masalah Ginran, kamu nggak usah ikut campur. Itu urusan pribadinya, kamu pasti ngerti kan maksud aku?" bisiknya pelan namun ada peringatan di sana. Sandra menatapnya sekilas lalu memaksakan seulas senyum dan memilih mundur, memberi ruang ke Naomi. Dia tidak tidak berani sama perempuan itu. Naomi dominan sekali orangnya.

"Jaga sikapmu." kali ini Naomi berbisik pelan ditelinga Ginran. Ia mengerti perasaan pria itu.

Dia dan Jiro sama terkejutnya melihat Kaiya yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Namun situasi saat ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk bertindak berlebihan. Apalagi mereka termasuk senior yang selalu menjadi perhatian banyak orang.

Ginran menutup matanya dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Sialan, Kaiya benar-benar membuatnya hilang fokus.

Di depan sana, Jiro yang berdiri tepat menghadap Kaiya kembali sibuk mengatur dan memerintah para mahasiswa baru. Ia jauh lebih pandai menyembunyikan perasaannya dibandingkan Ginran. Ya iyalah. Karena perasaan Ginran pada Kaiya jauh lebih besar dari sahabat-sahabatnya yang lain.

Perasaan Ginran berbeda karena rasa sayangnya bukan hanya sebatas sahabat saja. Buktinya, pria itu bisa berubah drastis menjadi lelaki seperti sekarang ini itu semua gara-gara Kaiya yang tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan.

Jiro berusaha terlihat biasa saja meski dalam hati ia masih belum percaya melihat Kaiya yang muncul tiba-tiba didepan mereka. Kemana saja gadis itu tiga tahun ini? Ia bahkan menghilang tanpa menjelaskan apapun pada mereka, terutama Ginran.

"Lihat senior di depan kamu dan yang berdiri di depan sana? Dua-duanya sangat tampan, astaga!" bisik Lory girang. Matanya mencuri-curi pandang menatap Jiro dan Ginran.

Kaiya hanya tersenyum tipis yang agak dipaksa. Lory sama sekali tidak sadar kalau sekarang ini ia sedang berjuang mati-matian melawan rasa gugupnya yang makin menjadi-jadi.

\*\*\*

Hampir satu jam berlalu dan langit pun mulai gelap. Cuaca makin dingin tapi ceramah yang sejak tadi mereka dengar belum kelar-kelar juga.

Kaiya bergerak bosan. Ia ingin sekali pulang tapi tidak bisa. Mereka sudah mendapat peringatan kalau semuanya harus ikut penutupan orientasi setelah ini. Kaiya menoleh ke samping menatap aneh Lory yang bergerak-gerak seperti menahan sesuatu.

"Kamu kenapa?" tanyanya bingung.

"Gue pengen buang air, lo bisa temenin gue nggak?" ia melihat Lory menatapnya dengan raut wajah penuh harap. Mau tak mau Kaiya akhirnya mengangguk.

"Kak!"

Seorang senior perempuan yang berdiri dekat mereka melirik Lory yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Kita mau ijin ke toilet." Lory meminta ijin.

Senior itu menatap kedua gadis itu bergantian.

"Ya sudah pergi sana, jangan lama-lama." ia mengijinkan sekaligus memberi peringatan tegas. Lory mengangguk lalu cepat-cepat menarik tangan Kaiya keluar lapangan.

Ginran ikut beranjak dari tempatnya. Ia terus mengamati Kaiya sejak tadi. Ada hal yang harus ia tanyakan secara langsung dan ia harus mendengarnya dari gadis itu hari ini juga. Sudah cukup ia menghabiskan waktu tiga tahun ini dengan batin tersiksa karena rasa ingin tahunya.

Jiro ingin melangkah mengikuti Ginran namun Naomi buru-buru menghentikannya. Ia memberi kode pada pria itu dengan matanya supaya lelaki itu tidak pergi karena tindakan mereka pasti akan mengundang perhatian yang lain.

Lagipula menurutnya Ginran dan Kaiya membutuhkan waktu berdua untuk masalah pribadi mereka. Masalah gadis itu yang tiba-tiba pindah sekolah tanpa alasan bisa di tanya nanti.

Kaiya sudah tercatat sebagai mahasiswi kampus ini jadi gadis itu tidak mungkin kabur lagi. Kecuali ia melakukan hal yang sama seperti dulu, menghilang tanpa kabar.

Kaiya dan Lory berhenti di toilet yang berada di area belakang kampus, lokasinya sepi sekali. Tak ada orang lain, hanya mereka. Lory berhenti sebentar menatap Kaiya.

"Lo mau masuk juga nggak?" tanyanya.

Kaiya menggeleng.

"Aku tunggu di luar aja." katanya. Lory mengangguk mengerti.

"Baiklah. Gue nggak bakal lama." balasnya lalu buru-buru masuk ke dalam.

Kaiya lalu membalikkan badannya ingin bersandar ke dinding namun kemudian ia merasakan tangannya tiba-tiba di tarik kasar oleh seseorang. Gadis itu kaget bukan main. Ia berusaha keras ingin melepaskan diri tapi tangan kekar seseorang yang mencengkeramnya itu terlalu kuat. Astaga, siapa sih yang berani menarik-nariknya seenaknya begitu.

"Kamu siapa? Lepasin aku!" tukas Kaiya mulai meronta-ronta berusaha melepaskan diri tapi orang itu terus menariknya kasar, entah mau membawanya kemana. Wajahnya tidak kelihatan karena gelap.

Ketakutan Kaiya bangkit begitu menyadari dirinya dibawah ke sebuah ruangan kosong. Ya Tuhan, apa yang akan terjadi padanya? Siapa orang itu dan kenapa ia di bawah ke ruangan gelap begini.

Gadis itu merasakan tangannya dilepas perlahan. Ruangan kosong yang tadinya gelap itu kini berubah terang.

Kaiya mengangkat wajahnya ingin melihat sosok orang yang menariknya dengan paksa dan membawanya entah kemana ini. Matanya membelalak lebar. Ia tidak bisa menutupi raut wajah kagetnya saat menyadari sosok yang sangat ia kenal kini sedang berdiri dihadapannya dan terus menatapnya lekat. Jarak mereka sangat dekat hingga ia bisa merasakan hembusan nafas pria itu diwajahnya.

Kaiya merasa tidak sanggup ditatap begitu. Apalagi lelaki itu sekarang makin tampan dan lebih dewasa dibandingkan dulu. Auranya makin kelihatan. Kaiya yakin banyak sekali wanita yang akan iri padanya kalau melihat mereka berdiri sedekat ini.

Eh?

Kaiya menyadarkan diri. Ia berbalik cepat mencoba untuk kabur namun tangan Ginran jauh lebih cepat meraihnya untuk menghentikan aksi kaburnya.

Ginran mendorong Kaiya ke tembok, mengukungnya dengan meletakkan kedua tangannya di samping tubuh gadis itu, dan mengunci Kaiya dalam tubuhnya yang jangkung.

Kaiya makin gugup. Jantungnya berdebar keras. Wajah Ginran begitu dekat dan menatapnya lekat-lekat. Ia yakin kalau pria itu bergerak kedepan sedikit saja bibir mereka akan menyatu. Gadis itu cepat-cepat menghindar dan membuang wajah kesamping. Ia terlalu malu menatap Ginran. Pria itu tersenyum sinis.

"Mau kabur lagi? Huh! Jangan harap." cibir Ginran.

Pria itu menatap tajam Kaiya. Suara rendahnya terdengar menusuk di telinga Kaiya. Gadis itu terdiam sebentar, mencoba mengatur nafasnya yang tak beraturan dan menatap pria itu lagi.

Ginran bisa mencium aroma gadis itu dan merasakan hembusan nafasnya.

Wanginya masih sama. Wangi yang selalu membuatnya merasa nyaman berada di dekat gadis itu dulu, waktu mereka SMA. Ia tidak mengelak kalau sampai sekarang dirinya masih menyukai wangi ini. Wangi dari perempuan yang selalu dia rindukan.

Menurutnya aroma tubuh Kaiya sangat khas. Hanya wanita ini yang punya aroma unik seperti itu baginya secara pribadi. Tanpa sadar Ginran menurunkan wajahnya ke leher Kaiya, mengendus leher jenjang itu dan menikmati aroma tubuhnya.

"A ... Aku harus balik sekarang." gumam Kaiya pelan. Ia merasa canggung. Belum pernah ada pria yang berdiri sedekat ini dengannya. Entah kenapa ia tidak bisa menghadapi seorang Ginran yang sekarang. Tentu karena pria itu jauh lebih meresahkan dibanding dulu.

Dulu pria itu tidak pernah seberani ini mendekatinya. Ginran yang dulu selalu bersikap sopan dan tidak kasar, juga selalu tersenyum lembut padanya. Hari ini ia melihat seorang Ginran yang sangat amat berbeda. Pria itu berubah.

Apa karena dirinya? Tidak, tidak. Kaiya langsung menepis pikirannya. Ia terlalu percaya diri. Ginran mengangkat wajah yang sejak tadi menempel di leher Kaiya dan menatap gadis itu lurus-lurus.

"Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi lagi, hm?" gumam Ginran dengan suara rendah, dingin dan begitu mengintimidasi. Suasana berubah hening dan terasa sangat mencekam.

Kaiya terdiam, ia masih tidak terbiasa dengan perubahan pria itu. Sudah lebih dari tiga tahun ini mereka tidak bertemu dan Ginran telah berubah menjadi sosok yang sangat dingin di matanya.

Bab 3

"Jawab aku." tekan Ginran. Sorot matanya tajam dan menuntut.

Kaiya tahu bahwa suatu hari nanti ia akan berhadapan dengan situasi yang tidak ia inginkan ini. Bertemu kembali dengan orang-orang di masa lalunya sungguh membuatnya merasa tersiksa. Karena ... Karena ...

"Malam itu ..."

Ginran kembali bicara. Sungguh ia benci mengingat kejadian di malam waktu sekolah mengadakan camping dulu. Namun ia ingin mendengar jawaban dari mulut gadis itu sendiri. Wanita yang sebenarnya masih ia cintai.

Ginran sangat benci mengungkit masalah itu lagi, tapi ia sungguh ingin tahu.

"Di tenda kau dan sih brengsek itu, kalian ... kalian melakukannya?" dalam hati Ginran sangat mengharapkan jawaban tidak yang keluar dari mulut Kaiya. Tapi kalau pun benar ... Setidaknya Kaiya harus memohon ampun padanya, karena dengan begitu ia bisa memaafkan dan mereka bisa memulai lagi dari awal, karena ia amat mencintai gadis ini.

Kaiya mencoba menundukkan kepala tapi tangan kekar Ginran terangkat dengan cepat menyentuh dagunya, memaksanya untuk menatap pria itu.

"Tatap aku, kalian melakukannya?" tekan Ginran lagi. Kaiya terpaksa menatap pria itu dengan berani agar jawabannya nanti dapat di percaya.

"Mm." jawabnya enteng. Tak butuh lama bagi dirinya buat menjawab.

Seketika itulah pertahanan Ginran mendadak runtuh. Ia memejamkan matanya dan berusaha mengatur nafas. Tidak mungkin, tidak mungkin ini terjadi. Kaiya dan pria itu... ia menatap Kaiya lekat-lekat. Gadis polos yang mati-matian ia jaga dulu, gadis itu ...

Ginran menggertakan gigi. Rahangnya mengeras, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Suasana hatinya jauh berubah dan aura gelap dalam dirinya keluar. Hatinya serasa di tusuk-tusuk ribuan jarum. Ia meninju tembok berkali-kali sampai buku-buku tangannya berdarah, melampiaskan kemarahan dan rasa frustasinya yang amat besar.

Kaiya yang masih berada dalam kungkungannya mencoba menghentikan tapi tangannya langsung di hempas kasar oleh Ginran hingga dirinya tersungkur ke lantai.

Kaiya menahan diri untuk tidak menangis. Ia melihat jelas ekspresi terluka Ginran saat menatap lelaki itu.

"Kenapa kau menghilang waktu itu? tanpa penjelasan." tanya Ginran lagi. Sorot matanya dingin.

Kaiya menyembunyikan tangannya yang mulai gemetar saat mendengar pertanyaan Ginran. Ia paling benci pertanyaan tentang masa lalu. Namun disisi lain, ia tidak bisa menyalahkan pria itu. Ginran tidak bersalah. Ia tidak tahu apa-apa.

Kaiya meremas bajunya kuat-kuat, mencoba menenangkan diri dan berusaha supaya terlihat biasa saja di depan lelaki itu.

"Aku hanya ingin cari suasana baru." jawabnya enteng.

Ginran terdiam sebentar, lalu tertawa keras sesudahnya. Cari suasana baru? Huh!

Tawa keras Ginran terdengar menyeramkan, membuat Kaiya tertegun menatapnya. Sungguh, ia sudah tidak melihat Ginran yang dulu yang selalu tersenyum, menggodanya dan bersikap lembut padanya.

Pandangannya berpindah ke depan pintu ruangan itu dan mendapati dua sosok lainnya yang ia kenal sudah berdiri di ambang pintu itu. Entah sejak kapan mereka berdiri di sana.

Jiro ... Naomi ...

Lirih Kaiya dalam hati. Mereka berjalan masuk dengan langkah pelan. Kaiya masih setia di lantai tanpa ada niat berdiri. Ia sengaja menundukkan wajahnya karena tak mampu menatap mereka.

"Jadi selama ini kamu anggap persahabatan kita nggak ada artinya?"

Jiro mengangkat suara menatapnya. Ia dan Naomi ikut mendengar jawaban Kaiya tadi ketika Ginran bertanya. Terus terang mereka terluka.

Ginran yang sudah tidak tahan lagi mengusap wajahnya kasar lalu memilih keluar. Ia tidak mau melihat gadis itu sekarang. Ia pikir Kaiya akan meminta maaf dan memohon ampun padanya, tapi kenyataannya tidak.

Naomi dan Jiro tidak menahannya. Mereka tahu Ginran butuh waktu menenangkan diri. Di antara mereka semua pria itulah yang paling terluka. Waktu tiga tahun yang ia habiskan menunggu dan mencari gadis itu rasanya seperti terbuang percuma. Tak ada hasil yang pria itu inginkan. Yang ada hanyalah, mereka melihat Kaiya yang berubah drastis dari Kaiya yang dulu.

Jiro kembali menatap ke bawah pada Kaiya yang terus menunduk. Jelas saja mereka tidak tahu kalau Kaiya sebenarnya sedang berusaha keras menahan tangis.

"Lo berubah." gumam Jiro pelan. Wajahnya terlihat sangat kecewa.

"Lo sama aja dengan wanita lain yang egois dan murahan." tambahnya sengaja melukai gadis itu.

Kaiya menggigit bibirnya. Ia memang pantas mendapat makian itu. Ia sendirikan yang membuat mereka memandangnya begitu.

Jiro masih ingin menambahkan namun Naomi menahannya. Mereka semua sudah dewasa. Naomi ingin mereka tidak saling melukai seperti ini. Tidak mau mereka saling menyakiti. Apalagi Kaiya pernah menjadi seseorang yang amat penting dalam hidup mereka. Dulu, mereka semua sangat menyayanginya. Bagi mereka, Kaiya adalah gadis yang sangat menarik dengan segala kepolosan dan kekurangannya. Naomi menatap Kaiya yang terus menunduk.

"Kamu baik-baik saja kan beberapa tahun ini?" tanyanya lembut.

Tak ada jawaban. Kaiya tak bersuara sedikitpun, hanya menunduk dengan wajah ditutupi rambut. Emosi Jiro bangkit begitu melihat sikap cuek gadis itu dan langsung menendang meja saking kesalnya. Kaiya sampai-sampai tersentak kaget.

Braaakkkk!!!

"Cepet ngomong brengsek, memangnya Lo nggak punya mulut, huh?!" teriak lelaki itu marah.

"Jiro stop!" sergah Naomi memberi peringatan. Jiro mendengus keras.

"Kita pergi saja dari sini." kata Naomi lagi. Matanya melirik Kaiya sebentar,

"Kamu cepat balik ke lapangan." katanya lalu berbalik keluar dengan menarik lengan Jiro yang masih enggan pergi dari situ.

Setelah kepergian mereka, air mata Kaiya langsung menetes dari pipinya. Rasa bersalah, sedih dan tidak berdaya bercampur dalam pikirannya. Ia menangis dalam diam sambil memeluk lututnya.

Kaiya juga sangat merindukan mereka. Sayangnya semuanya sudah berubah. Ia ingin menjelaskan yang sebenarnya tapi bibirnya kelu. Ia hanya bisa terdiam didepan mereka. Ia terlalu takut untuk memberi penjelasan dan menceritakan yang sebenarnya.

Sekarang ini ia harus menanggung semua kesalahan yang sudah ia lakukan. Seseorang sepertinya tidak pantas mendapatkan teman sebaik mereka, seperti yang kakaknya bilang, ia tidak berhak bahagia. Tidak berhak menerima kasih sayang orang lain, itu hukumannya.

                                  ***

Jam menunjukkan sudah pukul tujuh malam, kegiatan orientasi telah berakhir, semuanya sudah boleh pulang. Meski begitu, banyak yang masih betah berlama-lama dikampus besar itu hanya karena ingin berfoto-foto ria dengan senior-senior yang mereka sukai, termasuk Lory dan Kaiya.

Sebenarnya Kaiya tidak mau berfoto-foto. Ia ingin pulang saja, apalagi gadis itu sudah tidak mood semenjak pertemuannya dengan para teman lamanya tadi.

Namun Lory terlalu aktif menariknya sana-sini sampai-sampai dirinya harus ikut-ikutan berfoto dengan senior atau siapapun itu yang tidak dia kenal. Kaiya ingin cepat pulang sekarang, bukan memasang topeng bahagia di depan orang-orang ini

"Kak Jiro!"

Jiro dan Naomi sama-sama menoleh ke arah panggilan itu, di sebelah mereka berdiri Ginran yang tampak berpikir dengan kedua tangannya terlipat di dada. Ekspresinya tentu saja dingin seperti biasa.

Jiro mengangkat wajah menatap lurus ke orang yang memanggilnya. Keningnya berkerut.

Ia melihat ada Kaiya di sana, di sebelah gadis yang memanggilnya.

Kaiya merutuk dalam hati, kenapa Lory malah memanggil Jiro sih? Dia jadi merasa serba salah sekarang dan canggung tentunya.

Kaiya menggaruk tengkuknya salah tingkah, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Lory sudah buru-buru menarik tangannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!