NovelToon NovelToon

Biarkan Aku Menyerah

AYAK SATU

Namaku Quilla Fasha Miller, sebut saja Acha untuk lebih dekatnya. Aku putri King Miller, ayahku CEO Millers corpora group.

Ritel, real estate, ah, aku beruntung dilahirkan di keluarga kaya raya. Menjadi Nona muda yang dimanjakan keluarga.

Aku dilahirkan kembar tiga, dua saudara kembar ku lelaki. Dan aku masih memiliki satu adik bungsu yang paling tantrum di antara saudara ku lainnya.

Usiaku 25 tahun. Aku dinikahi lelaki bergelar doktor, ia Samsul Bachrie, lulusan S3 Al-Azhar yang baru tiga bulanan ini mengajar di salah satu universitas Dubai.

Sebelumnya, ta'aruf, lalu kurang-lebih 8 tahun dikhitbah, dan akhirnya menikah dengan segala kemegahan yang ada.

Mas Bachrie kekasih pertama, walau bukan orang pertama yang pernah kusuka. Dia pria shaleh, tampan, lagi mapan.

Satu tahun aku hidup bersamanya, au kira sudah cukup untuk aku mengklaim bahwa lelaki itu sangat sempurna. Namun, ternyata hidup tidak sesederhana itu, Mas Bachrie asing setelah kedatangan Azahra.

...][∆°°°°^°°∆°°^°°°°∆][...

Dari lantai atas, Fasha ikut menjadi saksi atas pernikahan kedua suaminya. Sebuah kondisi memaksa Samsul Bakhrie bin Sudjatmiko menikah lagi.

Azahra Khairunnisa adalah wanita titipan kakak Bakhrie yang telah wafat. Tepatnya sebelum meninggal, almarhum Abdul Manaf bin Sudjatmiko memberikan wasiat agar Bakhrie menikahi kekasihnya yang telah hamil.

Wasiat terakhir almarhum Manaf, akhirnya disetujui oleh Bakhrie dan keluarganya tanpa melihat ada hati yang remuk menjadi ribuan keping.

Satu tahun menikah, bukannya menimang bayi mungil hasil dari buah cinta mereka. Fasha justru dihadapkan kepada pernikahan kedua suaminya.

Di bawah sana, Azahra sang madu sudah mencium tangan Bakhrie. Fasha tak sanggup lagi menyaksikan suaminya disentuh wanita lain hingga dengan segera ia berlari masuk ke dalam kamarnya.

Mengeluarkan raungan tangis yang dia tahan sebisanya sedari tadi. Sakit, ternyata sesakit ini melihat Mas Bakhrie mengecup kening wanita lain.

Dering ponsel terdengar gaduh. Fasha mendatangi nakas di mana gawai tipis miliknya tergeletak dan bergerak akibat getaran panggilan sang ayah.

Papa King akan tahu jika dirinya sedang menangis sekarang, entahlah, Fasha tak berani menjawabnya.

Namun, ayahnya yang posesif akan langsung datang ke sini seandainya Fasha tidak langsung mengangkat panggilan itu.

Maka, dengan cukup pertimbangan, Fasha meraih ponselnya. Berdehem kecil dan menguluk salamnya. "Assalamualaikum."

📞 "Kenapa lama? ... Papa dari sore telepon tidak ada jawaban sama sekali. Bahkan, Bakhrie pun tidak mengangkat panggilan, Papa!" King sampai tidak menjawab salam dari putrinya.

"Acha lagi honeymoon lagi, Pa."

Yah, itu alasan yang tepat karena saat ini, Fasha sedang ada di Dubai. Belum lama, tapi akan menetap di sini untuk beberapa tahun ke depan.

📞 "Suara, Acha kenapa hm?"

Fasha menelan saliva, gugup. Memang benar, suaranya terdengar sengau, khas orang yang sedang menangis.

"Udara di sini lagi nggak bersahabat sama Acha. Acha batuk pilek, tapi sudah agak mendingan setelah minum obat. Makanya tadi Acha nggak angkat telepon, Acha ke dokter diantar Mas Bakhrie. Mungkin, Mas Bakhrie terlalu khawatir makanya dia juga lupa bawa hape."

📞 "Pantesan, Mimi kamu dari tadi nggak mau berhenti dzikir, katanya cemas sama kamu dari kemarin."

Fasha tergelak supaya ayahnya berhenti untuk mengkhawatirkannya. "Acha baik- baik saja kok, Pa. Tenang, ya."

📞 "Jadi kapan kamu ke Indonesia?"

"Mungkin seminggu lagi ya, Pa. Tunggu sampai Acha sembuh." Fasha belum tahu kapan bisa pulang ke Indonesia, sejauh ini Bakhrie belum mengizinkannya ke mana pun.

📞 "Baiklah. Nanti telepon Mimi ya. Kasihan, dia cemas tanpa alasan yang jelas, Mimi kamu memang terlalu over thinking. Makanya sering- sering kasih kabar."

"Okay!" Sesaat setelah Fasha memutus sambungan teleponnya. Suara pintu terbuka mengalihkan pandangannya.

Di sana berdiri, Bakhrie bersama istri kedua. Inginnya tidak menangis. Tapi, Fasha wanita yang perasa. Dia membuang air mata yang hampir menetes dengan mengedipkan-nya.

"Kalian sudah menikah?"

Fasha hanya basa- basi, karena sejatinya, dia menyimak bagaimana suaminya merapal ikrar qobul di depan matanya. Seketika, lelaki 29 tahun itu mendekat dan memeluk Fasha.

"Maafkan aku."

Bakhrie tidak akan menikah lagi jika pernikahan ini bukanlah wasiat terakhir dari kakaknya. Apa lagi, Azahra hanya anak yatim piatu yang telah mengandung cucu pewaris keluarga Sudjatmiko.

Fasha diam saja. Karena dia tahu, tidak ada yang akan berubah hanya karena teriakannya.

"Terima kasih atas izinnya, Fasha." Azahra berusaha meraih tangan mungil Fasha yang menepisnya secara reflek.

Azahra menundukkan kepalanya. Bakhrie yakin Fasha masih belum bisa menerima istri keduanya meski kemarin, Fasha mengizinkan dirinya untuk menikah kembali.

"Aku mengantuk." Fasha menatap Bakhrie yang juga menatapnya dengan memelas.

"Tidak perlu memperkenalkan istri kedua mu, Mas. Kami sudah cukup saling kenal." Fasha bertolak menuju ranjang, kemudian masuk ke dalam selimut tebalnya.

Air mata menetes bersamaan dengan pintu yang Bakhrie tutup. Tak lama kemudian, Fasha beranjak dan menatap ke arah pintu, di mana sebelumnya, Bakhrie keluar bersama sang madu.

Fasha terkekeh miris. Malam ini, bukankah malam pertama? Namun, Fasha sempat berharap jika Bakhrie akan lebih memilih tidur bersamanya malam ini.

AYAK DUA

Seusai masuk ke dalam kamar pengantin bersama istri keduanya, mata Bakhrie dipenuhi buliran jernih.

Bukan malam pertama seperti yang Fasha bayangkan di atas ranjang kesepiannya saat ini, Bakhrie menghamparkan sajadah demi memohon ketenangan kepadaNya.

Sejenak bayangan di dua bulan lalu terlintas dalam pikirannya. Ketika, Abangnya yaitu; almarhum Abdul Manaf di ambang batas napas terakhirnya.

Lelaki dengan bibir pucat memandangi Bachrie yang menangis. "Bakhrie tidak akan menikah lagi, Mas!" tolaknya.

"Tapi Zahra sudah hamil." Jawaban Manaf cukup lirih. "Aku khilaf," imbuhnya.

Manaf menunda menikahi Azahra, bukan karena ingin meraih cita- cita menjadi Dokter di London. Manaf hanya menunda waktu supaya tidak pernah menikahi gadis itu.

Vonis Dokter sudah ditangguhkan dua tahun lamanya, Manaf sendiri tidak yakin akan bertahan selama itu. Acap kali ia frustrasi.

Kala itu, Manaf akui, Manaf egois, Manaf tak ingin Azahra mencari pengganti, tapi juga tak mau membuat gadis yang dicintainya secara tulus tersebut menjadi janda setelah menikah dengan penderita kanker otak stadium akhir.

Mereka saling mencintai. Hanya saja, Manaf terus menghindar kala Azahra mendesaknya menikah. Sampai saatnya Manaf tergoda, keduanya melalui malam panas bersama.

Hari ke hari rambut kian rontok. Manaf berusaha menutupinya dengan topi atau apa pun yang bisa dia jadikan penutup.

Menjadi seorang dokter, tidak membuat Manaf terhindar dari kematian, nyatanya semakin hari tubuh semakin melemah karena penyakit yang menggerogotinya.

Bakhrie di posisi yang sulit. Puncaknya, saat keluarga Azahra meminta pertanggung jawaban Manaf yang ternyata sudah mengembuskan napas terakhirnya.

Fasha bisa apa? Satu tahun menjadi istri Bakhrie, tak ada hilal dirinya hamil, yah, dia harus menyetujui desakan keluarga Bakhrie atas nama kemanusiaan dan tanggung jawab.

...][∆°°°°^°°∆°°^°°°°∆][...

Hari- hari berlalu, embun kini menyiarkan kesejukannya. Fasha mencium punggung tangan suaminya setelah salam di rakaat terakhir.

Sudah dua bulan berlalu, Fasha sudah terbiasa dengan status istri pertama yang disandangnya.

Yah, walau sering merasa cemburu, sejauh ini Azahra masih sadar akan posisinya di rumah ini yang hanya seorang madu. Tidak berlaku layaknya pelakor di film yang pernah ditonton oleh Fasha.

Andai perutnya tidak mengalami keram atau hal apa pun, Azahra Khairunnisa tidak akan memanggil Bakhrie untuk tidur bersama.

Sebenarnya, Fasha sendiri yakin, Bakhrie hanya menemani Azahra tidur karena sejauh ini, Bachrie masih meminta hak padanya. Tapi tetap sesak bilamana membayangkan sang suami bersisian dengan wanita lain.

Mereka masih tinggal satu atap, sebab Bakhrie tidak akan membiarkan Fasha tinggal berjauhan dengan Azahra yang tengah hamil sembilan bulan.

Fasha mencintai Bakhrie, maka itulah yang membuat Fasha menerima. Bodoh, lemah, alah, persetan, karena wanita dan cinta seharusnya tidak perlu dipersatukan bukan?

Bahkan, Fasha masih sudi tersenyum demi senyuman manis suaminya. Namun, senyum itu tidak lama karena sebuah telepon lantas mengalihkan atensi keduanya.

Rumah Sakit, tempat yang akhirnya mereka datangi setelah mendapatkan informasi dari ayah dan ibu Bakhrie. Yah, sejam yang lalu, Azahra masuk Rumah Sakit.

Tiba di tempat, Azahra sedang berbaring di ranjang pasien. Mungkin, Azahra baru saja mengalami kontraksi palsu.

"Kalian ini gimana sih? Zahra dibiarkan saja tidur sendiri!"

Perempuan itu bernama Fatima, ibu mertua Fasha yang kemarin paling kencang menyuarakan keinginannya menimang cucu.

"Kamu nggak apa- apa?" Sebagai rasa tidak enaknya, Bakhrie menatap Azahra yang lekas mengangguk kepalanya pelan.

"Enggak, kok, Mas, Alhamdulillah, Zahra baik- baik saja. Ternyata cuma kontraksi palsu."

Baru saja Fasha ingin bicara, setidaknya ingin memberikan saran agar menelepon nomor Bakhrie saat mulas. Yah, berlaku seperti hari- hari sebelum ada mertua yang menginap.

Namun, Fatima sudah memberikan saran lebih dulu darinya. "Zahra sudah jadi istri suami mu juga. Jangan selalu membuat Bakhrie tidur bersama mu. Sampai harus membiarkan Zahra pergi ke dokter sendiri."

"Pergi sendiri?" Fasha pikir, sebelumnya Azahra tak pernah berbuat begitu. Azahra selalu menelepon Bakhrie saat ada apa- apa.

"Nggak apa- apa Ummi. Zahra yang tidak enak kalau mengganggu Mas Bakhrie dan Fasha."

Fatima menatap putranya. "Azahra ini yang mau melahirkan cucu Sudjatmiko, Bakhrie. Azahra juga harus diperlakukan dengan baik layaknya Fasha. Kamu yang adil dong!"

"Maaf." Fasha menyela karena dia tidak mau dianggap penyihir di dalam rumah tangganya bersama Bakhrie. "Sebelumnya Azahra selalu menelepon, dan Fasha juga membagi Mas Bakhrie sesuai dengan semestinya."

"Oya, ... lalu kenapa, sampai Ummi lihat, Azahra datang ke Rumah Sakit sendiri?"

"Mungkin mencari perhatian Ummi?"

"Sayang." Bakhrie menegur. Bagaimana pun, cara bicara Fasha terlalu ketus untuk ukuran seorang menantu.

Fasha hanya memutar bola matanya. Sudah jelas, dia mulai tampak seperti wanita yang tidak patuh pada mertua. "Ini kenyataannya!"

"Tapi tidak perlu berapi- api." Bakhrie merasa, Fasha sudah berubah. Bicaranya sering ketus semenjak ibunya menuntut cucu.

"Maaf atas ketidaksopanan, Fasha, Ummi."

Fasha lalu ngeluyur keluar. Bakhrie menanyakan kembali kondisi Azahra sebelum ia keluar menyusul istri pertamanya.

"Maaf." Bakhrie selalu mengusap kepala, tengkuk hingga punggung Fasha. Memberi pelukan ketika wanita itu terdeteksi marah.

"Kalau tidak karena didesak, Acha tidak akan pernah mau membagi mu, Mas! Lihat, bahkan setelah semuanya Acha ikhlaskan, Ummi masih menganggap Acha penyihir mandul!"

"Ssstt!"

Bakhrie tidak merasa Ummi seburuk itu, Fasha hanya terlalu sensitif menyikapi sikap ibunya yang naluriahnya seorang ibu, ya seperti itu. Menginginkan hal yang terbaik.

"Acha mau pulang ke Indonesia." Dua bulan meminta izin, Bakhrie selalu menolaknya.

"Sebentar lagi Zahra melahirkan. Mas nggak mungkin meninggalkannya, Sayang."

"Terus?"

"Tunggu sampai..."

"Mas, ... selama ini. Papa sama Mimi sudah cukup sabar menunggu, loh. Andai Acha nggak kasih alasan ini itu. Mungkin Rayyan, Nabeel, atau Syahrul datang ke sini buat jemput, Acha! Tapi Acha nggak mau kalau mereka sampai tahu poligami yang kamu lakukan!"

Ah, Bakhrie juga takut jika itu terjadi, Bakhrie takut dipisahkan dari Fasha. Lagi pula, sebelumnya mereka sepakat tidak melibatkan keluarga Miller dalam rumah tangga mereka.

"Okay, ... Mas izinkan kamu pulang ke Indonesia. Mas sendiri yang antar. Tapi, Mas nggak bisa lama di Indonesia."

"Terserah." Fasha ngeluyur lagi dan kali ini Bakhrie hanya menyuruh satu asisten rumah tangga untuk mendampingi istrinya.

AYAK TIGA

"Sarapan dulu, Mas."

Pagi- pagi sekali Azahra sudah berkutat dengan dapur. Alhasil, di pagi hari begini Bachrie pun sudah disuguhi nasi goreng.

Azahra suka memasak, yang pasti, meski belum bisa memuaskan di atas ranjang, Azahra pandai dalam hal menyenangkan perut suaminya, karena sejauh Bachrie menikah dengan Fasha, Fasha tak pernah memasak.

Fasha lahir dari keluarga kaya raya, jangankan untuk memasak, bahkan kuku- kukunya pun tak dibiarkan terkena minyak. Lagi pula, selama ini Bachrie tak pernah menuntut.

Tanpa tahu, yang sesungguhnya, ternyata disiapkan sarapan pagi dan kopi setiap hari itu menyenangkan. Lihat saja cara lelaki itu tersenyum sambil mengucapkan.

"Terima kasih."

"Sama- sama, Mas." Azahra juga tersenyum.

Meski pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, Azahra menyukai bagaimana Bachrie memperlakukan dirinya. Sejauh ini Bachrie tidak pernah mengtakacuhkan keluhannya.

Tanggung jawab adalah deskripsi yang tepat bagi seorang Bachrie. Karena meski tidak digauli, Bachrie peduli pada istri keduanya.

"Kenapa?" Lihat, cara Bachrie menyentuh perutnya sesaat setelah ia menunjukkan rintih dan desis kecil. "Sedikit mulas, Mas."

"Kamu duduk dulu." Bachrie bangkit dari kursinya, lalu meraih minum yang akhirnya diteguk oleh Azahra.

Biasanya, saat keram dan mulas, Azahra memintanya mengusap perut. Maka, hal reflek itulah yang kemudian dilakukan oleh Bachrie.

"Dia nendang!" Bachrie terlonjak antusias, bahkan matanya membulat saking kagetnya.

Azahra tertawa karena bayinya tahu cara menyapa ayahnya. "Dia sapa kamu, Mas!"

"Dia lucu sekali." Bachrie tersenyum sambil mengelus perut Azahra. Alangkah bahagia mungkin jika Fasha juga hamil seperti ini.

Senyuman itu, rupanya dilihat sepasang mata yang berkaca-kaca. Fasha sudah berdiri sejak lama menyaksikan suaminya bersenda gurau bersama Azahra. "Ehm!"

Bachrie melepas tangannya. Tentu saja, dia ingin menjaga perasaan Fasha. "Sayang, mmh, ke sini sebentar, sebelum berangkat kita sarapan dulu, Zahra bikin sarapan."

"Biar Zahra yang ambilkan." Azahra bangkit untuk meraih piring, tapi kemudian ditepis oleh mertua yang baru saja hadir.

"Tidak perlu diambilkan segala! ... Kamu istri Bachrie, bukan pembantu! Selain suamimu, kamu tidak perlu melayani seseorang!"

Fasha hanya menatap drama ini, lalu berbalik arah untuk masuk lagi ke kamar sebelum niatnya diurungkan oleh Bachrie.

"Mau ke mana, Yank?"

Fasha harus kembali menatap suaminya, agaknya Bachrie mulai kesal. Yah, setiap kali ibunya ngomel dan Fasha memberikan kesan tidak sopan, Bachrie kesal padanya.

"Acha puasa hari ini."

"Puasa?" Bachrie bahkan baru tahu pagi ini karena semalam tak ada izin. "Kenapa nggak minta izin mau puasa hm? ... Sudah lupa caranya jadi istri yang baik?"

Memang rendah nadanya, tapi kalimat itu berhasil menusuk hati. "Makan, aku tidak mengizinkan mu puasa sunnah!" kata Bachrie.

Fasha menghela napas panjang, lalu duduk di kursi yang ditarik suaminya. Dia harus makan atau Bachrie akan berceramah setelah ini.

Sudjatmiko datang, lelaki tua itu sudah membawa gunting rumput. "Hari ini kalian jadi pulang ke Indonesia, Cha?" tegurnya.

"Jadi Abah." Fasha tersenyum menyapa ayah mertua yang baik.

Yah, sejauh ini, Sudjatmiko lah yang selalu membela Fasha disaat Bachrie sendiri tak berkutik oleh dekrit ibu mertuanya. Bachrie definisi anak yang amat sangat patuh.

Namun, ketika masalah Azahra dimunculkan bersama kematian putra sulungnya, tepatnya ketika keluarga Azahra meminta pertanggung jawaban, Sudjatmiko tak mampu berbuat banyak.

"Salam buat orang rumah ya, Cha."

"Baik, Abah," ucap Fasha. Dan lelaki tua itu ngeluyur keluar untuk membereskan taman belakang rumah baru putranya. Benar, ini rumah Bachrie yang baru tiga bulan ditinggali.

"Makan, Cha," titah Bachrie. Sebentar lagi mereka ke bandara, setidaknya Fasha tidak akan mengeluh lemas di jalan.

Baru saja mulai menyendok nasi, gerutuan mertua mengudara. "Orang istri keduanya mau melahirkan, istri pertama malah sibuk minta pulang! Kadang heran Ummi!"

Fasha tak jadi makan, apa lagi Azahra mulai melenguh sambil memegangi perut. "Ah, Mas, Ummi, tolongin Zahra!"

Bachrie reflek menoleh, lalu mencurahkan segala perhatian padanya. "Keram, Mas! Sepertinya Zahra mau melahirkan."

"Kita ke Rumah Sakit!" Segera Bachrie ambil tindakan, menggendong istri hamilnya untuk dibawa keluar rumah. "Sayang, kamu yang bawa mobilnya!" teriaknya.

Fasha bukan hanya tak jadi sarapan, ia juga perlu menolong Bachrie untuk membawa mobil karena kebetulan mereka belum dapat seorang sopir di Dubai.

Tak terkecuali Fatima, semuanya berlari keluar rumah. "Ummi bilang apa! Harusnya kemarin, kita nggak perlu pulang dari Rumah Sakit, lihat, gara gara kamu mau menuruti kemauan istri pertama kamu, kita jadi repot begini!"

"Sudahi dulu menyalahkannya!" Bachrie menegur ibunya pada akhirnya. Keadaan tengah kalut, sempat sempatnya Fatima mengungkit hal yang telah lalu.

Fasha bukan wanita yang bisa buru- buru karena wanita itu ratunya lelet. Hal yang membuat Fatima semakin geram.

"Cepat sedikit, Fasha! ... Sebentar lagi kamu juga punya anak dari Azahra! ... Jangan loyo! ... Takut Zahra melahirkan di mobil!"

Fasha tak peduli omongan Fatima, dia hanya fokus masuk dan meraih kemudi. Bachrie di belakang bersama Azahra layaknya suami dan istri yang saling mencinta sementara Fasha hanya seorang sopir biasa.

"Kamu ingat jalannya kan, Yank?"

Bachrie tampak panik. Jujur, dimulai dari pagi tadi, baru pertama kalinya Fasha melihat langsung bagaimana kepedulian Bachrie kepada Azahra.

Biasanya, Fasha tak pernah melihat saat Bachrie dan Azahra bersama. Karena sejauh ini, Bachrie hanya mendatangi Azahra saat Azahra mulas dan butuh bantuannya.

Justru, Bachrie sendiri lebih banyak waktu bersama Fasha selama ini. Ternyata, Bachrie juga bisa menunjukkan kepedulian yang sama ketika bersama Azahra.

"Ah, Mas, sakit!"

Azahra meremas lengan Bachrie yang mengusap kepala berkerudungnya sambil berkata menenangkan. Tangan Fasha kian gemetar, rasa cemburunya mulai menyeruak ke dalam rongga dada.

Namun, meski demikian bercampur aduk rasa hatinya, Fasha tetap membawa mobilnya untuk melaju perlahan. Yah, Fatima di sisinya terus merutuk seperti kebiasaannya.

"Perjuangan ibu melahirkan itu memang begitu, nyawa taruhannya, makanya besok- besok jangan buat suamimu durhaka, Zahra! Jangan coba- coba pengaruhi suamimu buat menjauh dari ibunya! Biasanya, wanita yang tidak pernah merasakan yang namanya melahirkan, akan sulit memahaminya!"

Sontak, Fasha mengerem laju mobilnya setelah tak cukup sanggup mengendalikan tangan dan matanya agar fokus pada jalanan.

Perih, kata- kata mertuanya amat sangat pedih dirasakan olehnya. Telinganya berdenging cukup keras karena dia mengira, itu bukan wejangan untuk Azahra melainkan sarkasme untuknya.

Dia sampai lupa jika dia sedang membawa ibu hamil yang akan melahirkan, bahkan tak mampu mendengar ocehan Fatima yang masih mengeluarkan kata mutiaranya.

"Kenapa berhenti?!" Fasha terjaga. Hingar bingar di sekelilingnya mulai terdengar kembali setelah tepukan Fatima.

Bachrie tahu, istrinya tersinggung dengan kalimat ibunya, sementara Azahra sudah cukup kesakitan di sisinya. "Tolong ibu diam dulu. Biarkan Acha fokus menyetir."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!