"Zain. Mama ingin bicara."
Pria manis dengan paras menawan itu langsung mengalihkan perhatiannya dari gawai yang sedang menyibukkan dirinya saat ini. Dia singkirkan gawai tersebut dari tangannya. Kemudian, perhatiannya ia pusatkan pada sang mama yang kini sudah duduk di sampingnya di sofa ruang keluarga dari rumah mereka.
"Ya, Ma. Mau bicara apa?"
Zainal menarik wajah serius sambil menunggu sang mama berucap. Wajah penasarannya terlihat sangat jelas sekarang. Sementara itu, sang mama malah menatap anaknya sesaat sebelum berucap.
"Ma."
"Zain, mama ingin kamu menikahi Karmila, Nak."
Sontak saja, Zain langsung terkejut dengan perkataan sang mama barusan. "Apa, Ma! Jangan bercanda deh. Aku sudah punya Leah kok."
Wajah kesal sang mama langsung terlihat.
"Leah tidak bisa memberikan mama cucu, Zain. Jadi, apa salahnya jika kamu menikah lagi?"
"Ma."
"Zainal! Kamu adalah anak mama satu-satunya. Jika kamu tidak mempunyai keturunan, maka siapa lagi yang akan melanjutkan garis keturunan keluarga kita, ha?"
"Mama tidak mau tau. Mama ingin kamu menikah lagi agar mama segera punya cucu, Zain."
Zainal menarik napas berat. Sementara itu, di balik tembok penghubung dapur dengan ruang keluarga, seorang wanita sedang menahan isak tangis agar tidak terdengar oleh siapapun. Dialah Zaleah. Wanita cantik nan ayu yang Zain nikahi tiga tahun lalu. Wanita yang kerap di panggil dengan nama singkat, Leah.
Dunia Leah serasa runtuh ketika mendengar permintaan mama mertuanya barusan. Bagaimana tidak? Sang mertua meminta suaminya untuk menikah lagi hanya untuk mendapatkan keturunan.
Dia akui kalau dia masih belum punya anak setelah tiga tahun menikah. Tapi, mereka juga sedang berusaha agar bisa mendapatkan momongan dalam waktu dekat. Tapi sepertinya, sang mertua sudah sangat tidak sabaran. Baru juga menikah tiga tahun, tapi sudah mau meminta anak lelakinya menikah lagi dengan wanita lain agar dia bisa punya cucu secepatnya.
"Ya Allah." Leah bergumam pelan.
Dia letakkan tangan ke dada. Sesak. Sangat sesak sekali rasanya. Sampai-sampai, dia tidak kuat untuk tetap bertahan mendengarkan pembicaraan mama mertua dan juga suaminya lagi sekarang.
Leah memilih pergi setelah menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Air mata yang sudah ia seka sebelumnya, kini malah terus saja berjatuhan. Leah menjauh. Membawa hati ke taman samping rumah dengan langkah berat.
Sementara itu, di ruang keluarga, obrolan antara Zain dengan sang mama terus berlanjut. Tapi sayangnya, Leah tidak lagi mendengarkan apa yang Zain dan sang mama bicarakan.
"Maaf, Ma. Aku menolak permintaan mama dengan tegas. Karena aku yakin, Leah tidak akan setuju jika aku menikah lagi."
"Zain! Kamu .... "
"Ya Tuhan, anak ini. Istri kamu itu mandul, Zain. Jika kamu tidak menikah lagi, maka keluarga kita akan putus di kamu saja. Apa kamu tidak mengerti juga apa yang mama khawatirkan, ha?"
"Ma. Leah tidak mand*ul kok. Kami juga baru nikah tiga tahun yang lalu. Usai pernikahan yang sangat muda, bukan?"
"Muda? Muda apanya? Sudah tiga tahun, Zainal. Muda dari mana datangnya, ha? Mereka yang duluan menikah dari kalian aja sudah ada yang punya anak dua. Lah kamu, satu aja belum."
"Ya itukan rezeki mereka, Ma. Rezeki manusia itu berbeda-beda. Allah punya jalannya sendiri untuk setiap hamba-Nya, Ma."
Kesal hati, sang mama tidak lagi menjawab apa yang anaknya katakan. Sebaliknya, sang mama langsung bangun dari duduknya, lalu berjalan menjauh meninggalkan Zain sendirian di ruang keluarga.
Sementara Zain sendiri, dia hanya bisa melihat dengan tatapan lekat punggung sang mama yang berjalan semakin menjauh. Saat sang mama hilang dari pandangan, Zain hanya bisa menarik napas berat.
Tiga tahun yang lalu, dia menikahi Zaleah setelah ta'aruf selama tiga bulan. Leah adalah gadis tercantik bagi Zain yang ia temukan di sebuah masjid saat sebuah acara pengajian yang Zain ikuti.
Pertemuan pertama yang langsung mencuri hati Zainal. Dengan usaha yang cukup besar, akhirnya ia bisa menikah dengan Leah. Tapi sayang, pernikahan mereka ternyata diuji dengan keturunan yang membuat sang mama yang memang tidak terlalu suka dengan Leah jadi semakin menampakkan rasa tidak suka dalam hatinya.
Kala itu, sang mama sudah punya gadis pilihan untuk Zain. Dialah Karmila. Anak kedua dari teman sekolah mamanya. Mereka memang sempat ingin menjodohkan anak-anak mereka jika sudah dewasa kelak. Sayangnya, jodoh tidak memihak. Zain malah tidak tertarik pada Mila sedikitpun.
Alasannya cukup simpel, Zain suka gadis berhijab sedangkan Karmila tidak berhijab sama sekali. Namun, setelah gadis itu hijrah, dia juga tetap tidak suka dengan Karmila. Baginya, mau Karmila berhijab atau tidak, tetap saja sama. Hati tidak bisa menerima Karmila sebagai pasangan. Hatinya hanya menganggap Mila sebagai adik saja.
....
"Leah. Ada apa? Mata kamu .... "
"Gak papa, Mas. Aku baik-baik saja."
"Tapi, Leah. Matamu merah. Kamu ... baru selesai nangis ya?"
"Ngga kok, Mas. Apa-apaan sih?"
Tidak ada yang salah dengan hubungan mereka berdua. Meski tidak memiliki anak, selama ini Leah ataupun Zain masih tetap berbahagia. Tapi sekarang, hati Leah rusak akibat permintaan sang mertua yang menginginkan pernikahan kedua untuk suaminya.
Leah ingin menolak. Sangat ingin menolak. Tapi bibirnya terasa berat untuk mengutarakan apa yang saat ini hatinya sedang rasakan. Alhasil, Leah masih memilih bertahan. Berusaha seolah dirinya tidak pernah mendengarkan apa yang mertuanya katakan selagi sang suami tidak membuka obrolan tentang masalah tersebut.
"Leah. Jika ada yang tidak mengenakkan terasa di hati, katakan saja langsung. Jangan kamu sembunyikan dari aku," ucap Zain sambil menyentuh tangan Leah dengan lembut.
Sontak, tatapan lekat Leah lontarkan pada Zain. Dia tatap mata hitam indah milik Zain yang saat ini ada di depan matanya. Indah. Sangat indah sampai Leah sedikitpun tidak sudi untuk berbagi dengan wanita lain.
"Jangan madu kan aku, mas Zainal. Aku mohon."
Sayangnya, kata-kata itu hanya mampu Leah ucap dalam khayalan saja. Karena pada kenyataannya, Leah hanya diam sambil membayangkan kalau dirinya sedang melafalkan kata-kata tersebut dengan tegas.
"Leah."
"Iy-- iya, Mas."
"Kok diam?"
"Hah? Ng-- nggak kok, Mas. Aku hanya ... hanya .... "
"Hanya apa, hayo?"
"Hanya-- "
Tuk-tuk-tuk. Pintu kamar Zain di ketuk oleh seseorang dari luar. Ketukan tersebut langsung mengalihkan perhatian Zain dan Leah dari apa yang saat ini sedang mereka bahas.
"Siapa?" Lantang suara Zain terdengar keluar.
"Bibi, Den."
"Iya, bi. Ada apa?"
"Nyonya minta den Zain keluar. Ada tamu yang datang."
Zain langsung bangun dari duduknya. Ia buka pintu untuk bicara secara langsung dengan si bibi.
"Tamu, Bi? Tamu siapa sampai mama minta aku keluar sekarang?"
"Itu, Den. Mm ... non Karmila sama mamanya."
2
Deg, jantung Leah langsung berdetak dua kali lebih cepat saat si bibi menyebutkan tamu yang datang ke rumah mereka adalah Karmila. Bagaimana tidak? Wanita itu adalah gadis yang sedang mama mertuanya usahakan untuk menjadi istri kedua dari suaminya.
"Karmila?"
"Iya, Den."
"Kenapa mama minta aku keluar kalo tamunya hanya perempuan?"
"Anu itu bibi gak tahu, Den. Bibi hanya dimintain tolong saja sama nyonya buat panggilkan den Zain."
Helaan napas berat langsung terdengar dari mulut Zain. Namun, dia langsung menyetujui apa yang mamanya inginkan.
"Baiklah, Bi. Aku ke sana sebentar lagi."
"Iya, Den. Kalo gitu, bibi pergi dulu."
"Ya."
Setelah kepergian bibi, Zain langsung menghampiri Leah.
"Ada tamu di luar, Leah. Ikut keluar sekarang yuk!"
Berat sekali bibir Leah untuk mengucapkan kata setuju. Tapi, lebih berat pula ketika hatinya ingin menolak tapi bibir tidak merestui apa yang hati inginkan. Hingga pada akhirnya, Leah terpaksa mengikuti suaminya keluar untuk bertemu dengan tamu yang pastinya adalah orang yang sangat tidak ingin ia lihat.
Mereka menuruni anak tangga sama-sama. Namun, saat menginjak anak tangga terakhir, Leah malah disibukkan dengan vas bunga yang tumbang. Hal tersebut langsung menjadi penghambat untuk dia berjalan berbarengan dengan Zain.
Sementara itu, Mila yang ada di ruang tamu sangat bahagia ketika melihat kemunculan Zain. Mata Karmila sampai berbinar dengan senyum indah merekah di bibirnya. Bahkan, sangking senangnya Karmila saat melihat wajah Zain, dia langsung berdiri dari duduknya.
"Kak Zain."
Namun, senyum itu musnah saat melihat Leah yang menyusul di belakang Zain sekarang. Karmila pun langsung menghempaskan bokongnya kembali ke atas sofa. Sementara sang mertua hanya bisa melihat dengan perasaan kesal saja. Perasaan kesal yang susah payah dia sembunyikan.
"Tante. Sudah lama datangnya," ucap Zain sekedar basa-basi pada mama Mila. Tak lupa, punggung tangan orang tua itu ia cium sebagai tanda hormat.
"Belum kok, Zain. Baru beberapa menit yang lalu juga."
Setelahnya, mereka pun terhanyut dalam obrolan hangat. Sementara Leah, dia seolah diabaikan di sini. Tak dianggap ada meskipun berulang kali Zain mengajaknya untuk ikut bicara.
Beberapa saat diabaikan seperti tidak terlihat, bak menjadi penonton dari sebuah film. Akhirnya, Leah memutuskan untuk meninggalkan ruang tamu. Lebih baik dirinya tidak ada di sana dari pada terus berdiam diri padahal keberadaannya sama sekali tidak diinginkan.
"Eee ... maaf semuanya. Saya permisi dulu. Ada hal yang harus saya lakukan," ucap Leah sambil bangun dari duduknya.
Cepat Zain menangkap tangan sang istri.
"Mau ke mana, Leah?"
"Ke kamar, Mas."
"Kamar? Ngapain?"
"Zain. Apa-apaan sih kamu ini? Bukannya Leah sudah bilang kalau ada hal yang harus ia kerjakan. Kenapa juga harus kamu selidiki sedemikian rupa, hm?" Sang mama berucap dengan wajah kesal.
"Iya, Ma. Aku tahu, tapi aku hanya ingin lebih tahu dengan jelas saja apa yang istriku lakukan. Gak ada salahnya, bukan?"
"Gak ada yang salah. Tapi kamu terlihat sangat tidak berpikiran jernih, Zain. Seolah sangat tidak bisa jauh dari istrimu saja."
Baru juga Zain ingin angkat bicara, Leah malah mendahulukan niat sang suami yang ingin menjawab apa yang mamanya katakan. Leah tidak ingin suaminya terus berdebat dengan sang mama. Karenanya, dia yang mengambil alih untuk mencegah perdebatan itu supaya tidak terus-terusan berlanjut.
"Mas, apa yang mama katakan itu benar. Kamu ngobrol aja di sini. Aku mau mengerjakan sesuatu di kamar."
"Permisi semuanya."
Sebisa mungkin Leah memperlihatkan senyum manisnya. Padahal sebenarnya, jangankan tersenyum, bersikap biasa saja sangat sulit untuk Leah saat ini.
Cengkraman tangan Zain terlepas. Leah pun pergi meninggalkan ruang tamu dengan langkah besar. Sungguh, hatinya sangat tidak baik-baik saja sekarang.
Sementara itu pula, Mila tersenyum kecil ketika melihat kepergian Leah. Dalam hati ia berkata, 'tau diri juga dia. Aku pikir dia gak akan tau diri setelah diabaikan. Dia tidak dibutuhkan. Dasar.'
Beberapa saat setelah kepergian Leah, sang mama malah semakin berulah.
"Zain, kenapa gak ajak Mila ngobrol di taman saja. Biar kami ngobrol dengan nyaman di sini."
"Wah, ide bagus itu, Tan. Ayo, kak Zain! Kita ngobrol di taman biar para orang tua ngobrol dengan nyaman tanpa kita," ajak Mila tanpa pikir panjang.
Belum sempat Zain menjawab, malah mama Mila yang angkat bicara duluan.
"Benar, tuh. Pergi sana kalian berdua. Biar kami para orang tua bisa bicara dengan leluasa."
Zain langsung bangun dari duduknya. Sementara Mila, dengan penuh semangat mengukir senyum indah. Sayangnya, harapan Mila itu ternyata hanya sebatas harapan saja. Karena Zain bangun bukan untuk menerima ajakan Mila. Melainkan, untuk menolaknya.
"Maaf, Mila. Jika kamu ingin ngobrol di taman, sebaiknya ajak bibi atau biar aku panggilkan Leah dulu. Karena aku tidak bisa ikut ngobrol dengan kamu jika hanya berdua saja. Itu bisa menimbulkan pikiran negatif untuk istriku. Sekali lagi maaf."
Seketika, wajah mereka yang ada di ruang tamu langsung berubah. Sang mama yang sebelumnya tidak menyangka akan jawaban yang Zain berikan langsung memperlihatkan wajah sangat kesal.
"Apa-apaan sih kamu, Zain? Ketimbang cuma ngobrol di taman saja kamu permasalahkan. Gimana sih cara berpikir kalian ini?"
"Iya, kak Zain. Aku yakin kalau kak Leah juga gak akan salah paham kok. Kita cuma ngobrol di tempat terbuka. Masa iya langsung berpikiran negatif."
Zain menatap Mila dengan tatapan sinis.
"Kamu perempuan, Mila. Harusnya kamu tahu seperti apa halusnya hati perempuan, bukan?"
"Sekali lagi maaf. Ada hati yang harus aku jaga. Jadi, aku tidak bisa menemani kamu ke taman."
"Mama, tante, permisi. Aku juga harus pergi karena ada hal yang harus aku selesaikan."
Setelah berucap, Zain langsung beranjak. Sang mama yang kesal plus kecewa hanya bisa terdiam sekarang. Tidak ada kata yang bisa ia ucap. Zain terlalu keras untuk ia lentur.
Sementara itu, wajah sedih nan kecewa kini terlihat dengan sangat jelas di wajah Mila. Gadis itu benar-benar merasa sedih bahkan juga merasa malu kini. Tapi ini bukan untuk yang pertama kali ia ditolak oleh Zain. Rasanya sudah sering dia menerima penolakan itu. Jadinya, rasa malu sudah tidak terlalu melekat dalam hati.
Mama Zain meraih tangan Mila yang ada di dekatnya dengan lembut. Senyum manis ia sungguh kan untuk gadis pilihannya itu dengan tulus.
"Mila sayang, jangan terlalu diambil hati apa yang Zain katakan. Tante yakin, suatu hari, Zain pasti akan luluh hatinya. Kamu pasti akan memenangkan hati Zain suatu hari nanti, Mil. Percaya tante, Nak."
Mila semakin memperlihatkan wajah sedih.
"Itu hanya akan Mila rasakan di dalam mimpi saja, Tan. Karena sampai kapanpun, Mila gak akan pernah bisa meraih kak Zain. Jangankan hatinya, raganya saja tidak bisa Mila jangkau."
____________________________________________
*Catatan kecil.
"Up pelan yah man teman. Mohon bersabar dan mohon mengerti. Wek .... Huhuhu.
Setelah hari itu, mama Zain semakin menjadi-jadi untuk menunjukkan sikap tidak sukanya pada Leah. Bahkan, dia tak segan-segan bicara pada Leah secara terang-terangan tentang niatnya untuk menjadikan Mila sebagai menantunya.
"Aku ingin Zain menikah lagi, Leah. Harusnya kamu setuju akan niat itu karena sudah jelas apa alasannya. Kamu tidak bisa memberikan Zain keturunan. Sementara Zain adalah anak satu-satunya yang aku punya. Aku ingin dia memberikan aku cucu yang banyak agar keluarga ini tidak lagi terasa sepi."
Bergetar tubuh Leah mendengarkan ucapan dari sang mertua. Air mata yang ia tahan, tidak kunjung bisa ia bendung. Jatuh beriringan bak air terjun yang menuruni lembah nan curam.
"Mama. Aku ... tidak setuju kalau kak Zain menikah lagi sementara ia tidak menceraikan aku. Aku-- "
"Apa-apaan kamu, Leah? Kamu tidak kunjung punya anak tapi malah ingin mengikat Zain hanya dengan kamu. Di mana pikiran waras mu kau tinggalkan?"
Leah menutup mata rapat. Dirinya semakin dipersalahkan ketika ia mempertahankan haknya dalam memilih keputusan. Namun, Leah tidak lagi ingin tinggal diam. Dia tidak bisa terus bertahan jika dirinya terus diinjak oleh sang mertua seperti sendal yang mengalas di kaki.
"Maaf, mama. Karena aku sangat waras, maka aku menolak untuk dimadu. Mama bisa minta mas Zain menceraikan aku kalau mama inginkan dia menikah dengan wanita yang mama pilihkan untuknya."
"Zaleah! Kamu semakin keras kepala ya sekarang. Bukannya berbesar hati membujuk suami untuk menikah lagi karena dirimu yang tidak bisa memberikan keturunan. Ini kamu malah mengancam ingin diceraikan jika suamimu mau menikah lagi."
"Pintar kamu ya, Leah. Kau tahu kalau Zain tidak akan mau menceraikan kamu karena dia sangat mencintai kamu. Jadinya, kamu bertahan seperti ini. Sungguh picik pikiranmu, Leah."
Tanpa sadar, Leah langsung mengeluarkan tatapan tajam pada mertuanya itu.
"Mama bilang aku picik? Aku hanya seorang wanita yang ingin mempertahankan suamiku saja, Ma. Aku tidak ingin berbagi. Dari pada berbagi, lebih baik aku melepaskannya. Aku ikhlas."
"Hah? Ikhlas? Ikhlas seperti apa itu, Leah? Orang ikhlas itu rela berbagi. Bukan seperti kamu yang malah mempertahankan apa yang seharusnya tidak kamu pertahankan."
Sekarang, Leah sadar jika berdebat dengan mertuanya itu tidak akan ada habisnya. Maka dari itu, ia putuskan untuk mengalah saja. Membiarkan pikiran kolot sang mertua berpesta dengan semaunya.
"Terserah mama mau bilang apa sekarang. Aku ikhlas untuk melepaskan. Tapi tidak dengan berbagi. Permisi, Ma."
"A-- "
"Ih, dasar menyebalkan. Semakin lama, dia semakin besar kepala. Zain sungguh keterlaluan. Bisa-bisanya ia manjakan istrinya dengan sedemikian rupa. Sampai-sampai, istrinya tidak lagi punya sopan santun pada aku sebagai orang tua."
"Tidak. Aku tidak bisa menyerah begitu saja. Jika Leah tidak ingin dimadu, maka aku tidak akan memaksa untuk dia memberikan restu. Akan aku buat Zain menikah tanpa restu dari Leah sebagai istri pertama."
"Dasar! Gak bisa hamil masih saja tidak sadarkan diri. Benar-benar bikin kesal itu si Leah."
Mama Zain masih terus mengomel meski tanpa Leah di dekatnya kini. Pikirannya terus bekerja sekarang meski bibirnya terus bicara. Hatinya kesal. Sangat kesal saat mengingat soal sikap menantunya itu. Sayangnya, anak satu-satunya yang ia miliki malah memihak si menantu sepenuhnya. Jadi, si mama tidak bisa berbuat banyak.
"Gimana caranya coba, supaya Zain mau menikah dengan Mila meski tanpa restu Leah. Itu anak kan gak bisa diatur jika soal rumah tangganya."
"Aduh .... "
Sementara mama Zain sibuk memikirkan cara untuk menikahkan anaknya dengan wanita yang ia pilih, Leah yang sudah masuk ke kamar langsung melempar tubuhnya ke atas kasur. Sedih. Sangat sedih hati Leah saat ini. Tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang? Dirinya tidak punya orang tua untuk mengadu. Dia hanyalah anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan karena tidak punya orang tua.
"Ya Allah. Hanya dirimu yang aku punya. Tolong kuatkan hamba," ucap Leah dengan suara yang sangat pelan sambil memeluk guling.
....
Hari-hari berlalu dengan cepat. Kini, satu setengah bulan pun sudah berlalu. Setelah obrolan antara Leah dengan sang mertua di taman waktu itu, tidak ada lagi obrolan empat mata antara keduanya.
Si mertua juga terlihat sangat mengabaikan Leah. Dia seolah-olah menganggap Leah tidak ada di rumah tersebut. Namun saat Mila datang, maka dia akan sangat manis dalam memperlakukan Leah. Sungguh perlakuan yang sangat tidak adil.
Selama satu setengah bulan itu pula, mama Zain terus memikirkan cara untuk membuat anaknya menikah dengan Mila meski tanpa restu Leah sebagai istri pertama. Dan kini, dia temukan cara terbaik menurutnya. Cara ampuh satu-satunya yang akan membuat anaknya menikah dengan wanita yang ia pilih. Hanya saja, dia harus menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan rencana yang sudah ia pikir dengan matang selama satu setengah bulan ini.
Di sisi lain, hubungan Leah dengan Zain terlihat biasa saja. Leah selalu berusaha jadi istri terbaik buat Zain meski saat ini hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja. Selama itu pula, Zain masih belum mengetahui kalau Leah sudah tahu niat sang mama untuk menikahkan dirinya dengan wanita pilihan sang mama.
Entah Zain yang memang tidak peka akan keadaan, atau pun Leah yang pintar mengendalikan keadaan. Yang jelas, Zain masih berpikir kalau Leah masih belum tahu kalau mamanya ingin menikahkan dia dengan wanita lain.
Makan malam kantor akan diadakan satu hari lagi. Rencana sang mama sudah pun rampung. Tinggal melaksanakannya saja lagi. Sementara itu, Leah yang merasa tidak enak badan malah langsung mendatangi rumah sakit untuk memeriksakan dirinya.
"Selamat, nyonya. Anda hamil."
Satu kata yang sangat luar biasa membuat hati Leah berbunga-bunga. Matanya langsung berbinar penuh dengan kebahagiaan. Tak hanya itu saja, pelupuk matanya pun ikut mengembun meski dia masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kupingnya dengar.
"Dokter. Be-- benarkah?"
Gugup Leah bukan kepalang. Dia pastikan lagi kalau apa yang baru saja dokter itu katakan bukanlah sebuah mimpi. Sebaliknya, si dokter malah langsung tersenyum manis.
"Iya, nyonya. Anda hamil. Ini sudah memasuki minggu ke lima sekarang. Selamat ya untuk, nyonya."
"Ap-- apa? Apa ... dokter yakin kalau saya hamil?"
"Tunggu! Ini nyata, bukan?"
Leah malah semakin merasa tidak percaya dengan apa yang dokter jelaskan. Dia cubit pipinya dengan keras.
"Auh!"
Tentu saja dia langsung mengeluh karena saat ini, dirinya memang tidak sedang bermimpi. Sementara itu, si dokter yang melihat ulah Leah malah kembali tersenyum.
"Nyonya. Anda tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Anda sedang hamil muda."
Tentu saja Leah bahagia bukan kepalang. Dia tertawa sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Air mata bahagia langsung jatuh melintasi kedua pipi putihnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!