Aku peringatkan sebelumnya jika novel ini banyak menguras emosi, jadi ikuti saja alurnya biar indah pada waktunya. 😁
Silakan komen hujatan asal jangan ditinggal di tengah jalan.
Happy reading. 🤭😁😂
...💗💗💗💗💗💗💗💗💗...
...BAB 1...
"Camera roll and action!"
Gita terus mengamati jalannya syuting film yang dia tulis berdasarkan kisahnya sendiri. Setiap adegan yang berada di dalam film itu mengingatkannya pada seseorang yang sudah 17 tahun tidak bertemu dengannya.
Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kamu masih mengingatku? Atau mungkin saja sekarang kamu sudah bahagia bersama wanita lain.
...****...
17 tahun yang lalu ....
"Gita, siapa pria yang makan siang bersama kamu tadi?" tanya Arnav.
Arnav Wiratama adalah seorang pengusaha dan juga suami dari Gita. Mereka sudah menikah hampir tiga tahun. Tapi lamanya hubungan itu tak membuat mereka untuk saling percaya.
"Dia hanya rekan kerja. Kalau kamu terus menuduhku selingkuh, lebih baik kita berpisah saja! Aku tidak suka terus dituduh seperti ini. Kamu tidak pernah percaya sama aku," kaya Gita. Dia sudah lelah terus dicurigai oleh Arnav, bahkan sejak awal menikah Arnav selalu seperti itu. Arnav yang terlalu posesif padanya membuatnya tidak nyaman.
"Baik. Kalau itu mau kamu, aku akan segera urus surat perceraian kita!" Kemudian Arnav keluar dari kamar itu.
Tak pernah terbayangkan rumah tangganya akan berantakan seperti ini. Dia kira suaminya akan berusaha mempertahankannya dan berhenti menuduhnya selingkuh setelah dia melayangkan sebuah ancaman tapi ternyata suaminya justru mengiyakan ancamannya dan pergi meninggalkannya begitu saja.
Gita duduk di samping putranya yang baru berusia 18 bulan. Dia menyesali apa yang baru saja dikatakannya hanya karena emosinya yang terpancing. Dia sangat mengerti sifat suaminya yang posesif dan egois. Tapi tidak seharusnya suaminya terus menuduh hal yang sama sekali tidak pernah dia lakukan.
Bertahun-tahun dia menjalin hubungan dengan Arnav, hingga akhirnya mereka menikah. Kehidupan awal pernikahan mereka sangat sempurna, hingga mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat tampan.
Semua masalah terjadi ketika dia memutuskan untuk kembali bekerja sebagai editor di salah satu penerbit mayor. Dia disibukkan dengan berbagai naskah dan harus sering berkomunikasi dengan para penulis. Hal itu yang membuat Arnav cemburu. Padahal dia sudah menuruti apa yang menjadi keinginan Arnav untuk tinggal di rumah mertuanya. Bahkan ibu mertuanya juga mendukungnya untuk bekerja, dan sekarang keadaan seolah menyalahkannya.
"Arvin, maafkan mama yang tidak bisa mengontrol emosi. Iya, mama egois lebih mementingkan pekerjaan mama. Tapi papa kamu juga egois, yang selalu melarang mama melakukan apapun yang mama mau. Padahal mama tidak pernah curiga sedikitpun pada papa kamu. Meskipun papa kamu punya banyak rekan kerja wanita, mama diam saja."
Arvin menghapus air mata yang mengalir di pipi mamanya. "Mama." Dia seolah mengerti kesedihan yang dialami mamanya.
"Sayang ...." Gita mengusap air matanya. Dia memeluk putranya hingga tertidur. "Maafkan Mama."
Sampai malam telah larut, Arnav belum juga pulang. Dia mengambil ponselnya dan melihat pesan whatsapp tapi sama sekali tidak ada pesan dari Arnav.
Beberapa saat kemudian ada pesan masuk di ponselnya.
"Gita ini suami kamu?"
Gita melebarkan matanya melihat sebuah foto yang dia terima di ponselnya. Suaminya sedang bersama dengan seorang wanita di pub.
"Kebetulan aku sedang bersama teman di pub. Kamu ke sini sekarang sebelum dia pergi."
Gita beranjak dari ranjangnya. Setelah memastikan jika tidur putranya nyenyak. Dia segera memakai jaket lalu keluar dari kamarnya. Sepertinya kedua mertuanya juga sudah tidur, dia keluar dari rumah itu lalu mengeluarkan motornya dari garasi. Dia memakai helmnya dan beberapa saat kemudian dia melajukan motornya menuju pub yang dimaksud.
Hatinya sudah tidak tenang. Apa ini balasan yang Arnav lakukan untuknya atas tuduhan yang tidak benar itu.
Setelah sampai di tempat parkir pub, dia melihat mobil Arnav yang terparkir di sana. Buru-buru dia turun dari motor dan melepas helmnya. Dia masuk ke dalam pub itu dan mencari keberadaan Arnav.
Dia menghentikan langkahnya di dekat Arnav. Benar isi pesan itu, jika Arnav sekarang sedang minum bersama seorang wanita dan tertawa lepas. Air mata kembali menetes di pipinya. Dia mendekati Arnav dan menampar pipinya.
"Gita?" Arnav terkejut melihat Gita yang tiba-tiba muncul di dekatnya.
"Jadi ini yang sebenarnya terjadi? Kamu menuduhku selingkuh, sedangkan kamu sendiri selingkuh!"
Tidak ada rasa bersalah di wajah Arnav. "Kamu yang memulai api itu, aku bisa membakarnya lebih besar."
Mendengar hal itu, membuat hatinya semakin sakit. Sepertinya dia memang tidak bisa lagi mempertahankan pernikahan itu. "Aku akan ambil Arvin pergi dari rumah sekarang juga."
Arnav menahan lengan Gita dengan kuat. "Arvin anak aku! Jangan pernah kamu bawa Arvin keluar dari rumah."
"Kamu egois!"
"Kamu sendiri apa kalau tidak egois! Lebih mementingkan pekerjaan kamu dan hidup bebas di luar rumah!"
Gita sudah tidak sanggup lagi mendengar perkataan Arnav. Dia tidak bisa lagi berkata-kata.
Tiba-tuba ada seseorang yang melepas kasar tangan Arnav dari lengan Gita. "Jadi suami itu hargai perasaan istri kamu!"
Arnav mengeraskan rahangnya melihat pria yang ada di hadapannya. "Wow, Gibran! Sebenarnya sudah lama aku menaruh curiga sama kamu. Kamu yang mengajak Gita bekerja di perusahaan kamu, agar kamu bisa leluasa mendekati Gita kan."
Gibran mengepalkan tangannya. Dia berteman dengan Gita saat Gita berada dalam satu grup literasi di akun media sosial. Dia juga sudah tahu jika Gita memiliki suami. Dia membantu Gita bergabung dengan perusahaan penerbit milik keluarganya karena dia tahu bakat Gita di dunia literasi cukup hebat, dia tidak ingin Gita menyia-nyiakan bakatnya itu. Perusahaannya juga sangat butuh editor kompeten seperti Gita.
"Harusnya sebagai suami kamu mendukung Gita. Beri dia ruang untuk bergerak. Tidak hanya kamu saja yang bebas di luar rumah. Apa kamu ada waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya? Kamu terlalu sibuk dengan dunia kamu sendiri tanpa memikirkan bagaimana perasaan Gita."
Arnav mengepalkan tangannya dan memukul keras pipi Gibran. "Jangan pernah ikut campur dalam rumah tanggaku! Atau kamu memang ingin memiliki Gita? Oke, aku akan segera menceraikan dia!"
Gita sudah tidak tahan lagi mendengar semua perkataan Arnav. Dia keluar dari pub itu dan menaiki motornya.
"Gita!" Gibran berlari keluar dari pub dan segera menyusul Gita.
Arnav meletakkan uang di atas meja untuk membayar minumannya kemudian dia juga keluar dari pub itu. Dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumahnya sebelum Gita mendahuluinya.
Setelah sampai di depan rumahnya, dia menghalangi Gita masuk ke dalam rumahnya.
"Arnav, aku mau ambil Arvin!"
Arnav menahan tangan Gita dan mendorongnya hingga terjatuh. "Biarkan dia sama aku."
"Tapi aku yang mengandung dan aku yang melahirkan Arvin. Bahkan Arvin masih minum ASI, dia pasti terbangun dan menangis."
Arnav masih kekeh. Dia masuk ke dalam rumah dam menutup pintu rumah itu.
"Arvin ...." Gita menangis pilu di teras depan rumah Arnav.
"Arnav, apa yang kamu lakukan, biarkan Gita masuk." Arsen, ayahnya Arnav mendengar pertengkaran mereka. Dia membuka pintu itu dan melihat Gita yang masih terduduk di lantai teras rumahnya.
"Gita." Naya, ibunya Arnav, membantu Gita berdiri dan menuntunnya duduk di kursi. "Ada masalah apa? Kalian bicarakan baik-baik, jangan seperti ini."
Gita hanya menangis terisak. Iya, dia tahu itu bukan rumahnya, makanya Arnav bisa mengusir seenaknya. Meskipun memiliki mertua yang baik, tapi dia tidak sanggup jika terus seperti ini. "Ibu, biarkan aku membawa Arvin dari rumah ini. Aku minta maaf, aku sudah tidak sanggup mempertahankan pernikahan ini."
"Arvin akan tetap di sini!" sahut Arnav yang kini berdiri di ambang pintu. "Aku akan segera mengurus surat perceraian kita dan mengambil hak asuh Arvin!"
"Arnav! Kamu jangan keterlaluan seperti itu! Kamu bicara baik-baik sama Gita!" kata Arsen
"Tolong Ayah jangan ikut campur dengan rumah tanggaku. Keputusanku sudah bulat." Arnav kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu itu rapat. Dia beringsut di belakang pintu sambil menatap putranya yang masih tertidur dengan nyenyak sambil memeluk guling kecilnya.
Hatinya terasa sangat sakit. Sebenarnya dia juga tidak ingin perpisahan ini terjadi tapi dia sudah menyerah dan sudah merasa gagal menjadi seorang suami.
Ego mereka masih sama-sama tinggi meskipun mereka sudah berumur matang. Arnav tetap kekeh dengan pendiriannya dan tidak mau mendengarkan penjelasan Gita.
Sedangkan Gita juga kekeh dengan keinginannya. Dia masih duduk di teras rumah Arnav, tak peduli dengan angin malam yang terasa dingin menerpa tubuhnya.
"Gita, kamu tidur di kamar tamu saja. Besok kamu bicarakan lagi dengan Arnav," kata Naya. Dia tidak tega melihat menantunya yang terus duduk di teras rumah sambil menangis.
Gita menggelengkan kepalanya. "Kak Arnav sudah mengusirku, itu berarti aku tidak boleh di rumah ini. Aku titip Arvin ya, Bu. Aku ...." Gita menghentikan perkataannya. Sebenarnya dia tidak rela jika harus meninggalkan Arvin.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berdiri dan berjalan ke motornya. Dia menaiki motornya dan beberapa saat kemudian, Gita melajukan motornya meninggalkan rumah Arnav
Tepat saat Gita pergi, Arnav keluar dari rumah. Dia menyusul Gita dengan mobilnya, tapi kecepatan mobil itu berkurang saat motor Gita dihentikan oleh seorang pria. Dia jelas mengenal siapa pria itu. Ya, pria itu adalah Gibran. Ternyata Gibran sudah mengikuti Gita sampai sejauh ini. Tanpa pikir panjang dia memutar balik mobilnya. Sekarang tidak ada lagi keraguan di hatinya untuk menceraikan Gita.
...***...
"Kamu mau kemana?" tanya Gibran. Sejak dari pub dia terus mengikuti Gita hingga akhirnya dia melihat Gita menaiki motornya sendiri di tengah malam itu.
"Mau pulang ke rumah," jawab Gita disela isak tangisnya. Meskipun pulang ke rumah bukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalahnya. Pasti dia juga akan membuat kedua orang tuanya sedih.
"Ya sudah, aku ikuti kamu dari belakang. Ini sudah tengah malam, bahaya kalau kamu pulang sendiri."
Gita menoleh ke belakang karena sepertinya dia mendengar suara mobil. Samar-samar dia melihat mobil dengan warna yang sama seperti milik Arnav. Tapi apakah mungkin itu Arnav yang mengikutinya.
Gita kembali meluruskan kepalanya. Dia hanya menunduk menatap stang motornya. Dia sudah menyerah dan tidak mau berusaha lagi. Sebenarnya bukan perpisahan itu yang membuatnya sangat sedih, tapi Arvin. Bagaimana jika dia tidak bisa menemui Arvin lagi?
Gita menghapus air matanya. Jika gugatan cerai itu memang benar-benar akan dilayangkan Arnav, dia akan meminta hak asuh Arvin agar jatuh ke tangannya.
"Gita, angin malam tidak baik untuk kesehatan kamu. Kamu mau pulang atau kembali ke rumah suami kamu?"
"Pulang." Gita kembali melajukan motornya menuju rumah orang tuanya. Di belakangnya masih ada Gibran yang terus mengikutinya dan memastikan keselamatannya sampai rumah.
...***...
Semua sudah berakhir, hakim sudah mengetuk palu. Arnav dan Gita sudah resmi bercerai. Gita masih duduk di tempatnya sambil menangis karena hak asuh Arvin telah jatuh ke tangan Arnav.
"Arnav, aku mau bertemu dengan Arvin!" kata Gita. Dia menahan tangan Arnav yang akan pergi dari ruang persidangan itu.
"Tidak! Hak asuh sudah jatuh ke tanganku."
"Arnav, kamu pasti curang kan? Arvin masih belum genap dua tahun bagaimana mungkin hak asuh jatuh pada kamu." Gita masih tidak terima dengan keputusan itu.
Arnav tak menimpali perkataan Gita, dia melepas tangan Gita dan pergi begitu saja.
"Arnav!" Gita urung mengejar langkah kaki Arnav. Dia tidak mungkin terus meminta dan memaksa Arnav untuk bertemu Arvin karena dia tahu Arnav sangat keras kepala.
Gita berjalan perlahan keluar dari kantor pengadilan agama itu. Dia kini duduk di bangku taman. Air mata itu seolah tidak bisa berhenti mengalir. Jika dia hanya berpisah dengan Arnav, mungkin dia tidak akan sehancur ini tapi dia kini juga berpisah dengan Arvin, anak pertamanya yang sangat dia sayangi.
"Arvin, maafkan mama Sayang." Gita tak peduli dengan hujan yang mulai turun dan mengguyur tubuhnya. Kepalanya terasa semakin berat hingga akhirnya dia jatuh pingsan.
...***...
Gita membuka kedua matanya di rumah sakit. Dia melihat tangannya yang telah terpasang infus dan ada Gibran di dekatnya.
"Kamu yang bawa aku ke sini?" tanya Gita.
"Iya. Aku tadi datang ke persidangan kamu. Kenapa kamu tidak bersama orang tua kamu"
Gita menggelengkan kepalanya. "Aku sudah dewasa, bisa melakukannya sendiri. Terima kasih kamu sudah menolongku."
Gibran menganggukkan kepalanya lalu dia memberikan selembar kertas hasil pemeriksaan dari dokter. "Kamu baca hasilnya."
Gita memegang kertas itu dan membaca hasil dari pemeriksaan Dokter. "Aku hamil? Tidak mungkin!" Seketika kertas itu jatuh ke lantai. Bagaimana mungkin dia baru mengetahui kehamilannya di saat semua sudah berakhir.
"Gita, lebih baik kamu bilang sama Arnav masalah ini," kata Gibran. Dia mengambil kembali hasil pemeriksaan itu dan dia letakkan di atas meja kecil yang berada di dekat brankar.
Gita menggelengkan kepalanya. "Aku akan membesarkan anak ini sendiri tanpa diketahui oleh Arnav. Dia sudah mengambil Arvin dariku, aku tidak mau dia mengambil anak ini juga."
"Kamu yakin?"
"Kamu punya perusahaan penerbit juga kan di Surabaya? Aku ingin bekerja di sana dan membesarkan anak ini. Kamu mau kan bantu aku?"
Gibran terdiam beberapa saat. Kemudian dia menganggukkan kepalanya.
"Gita, kamu kenapa?" tanya Bu Risa setelah sampai di ruang rawat putrinya.
Gita memeluk mamanya dan kembali menangis. "Mama, maaf. Aku mengecewakan Mama."
Bu Risa mengusap rambut putrinya dan menenangkannya. "Ini sudah takdir. Kamu jangan sedih lagi. Kamu harus bangkit. Nanti kita coba diskusi lagi kalau kamu memang ingin mengambil Arvin."
Gita melepas pelukannya dan menatap mamanya. "Mama, aku hamil. Aku baru tahu hal ini. Mama jangan pernah cerita tentang ini pada Arnav dan keluarganya karena aku ingin membesarkannya sendiri. Mama, aku juga akan bekerja dan tinggal di Surabaya."
"Tapi Gita ...."
"Mama, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menghindari Arnav. Aku juga butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatiku."
Bu Risa tersenyum getir menatap Gita. "Ya sudah. Asal kamu bisa jaga diri di sana. Jika butuh apa-apa kamu bilang Mama dan Papa. Meskipun kamu sudah menjadi seorang ibu, kamu tetap anak Mama yang harus Mama jaga juga."
"Makasih, Mama." Gita kembali memeluk mamanya. Setelah ini, kehidupannya akan berubah. Entah bagaimana ke depannya, dia akan berusaha melalui hidupnya dengan baik.
...***...
Setelah kondisinya membaik, Gita berangkat ke Surabaya dan menetap di sana. Dia menempati mess di dekat perusahaan penerbit itu. Terkadang dia mengerjakan tugasnya di rumah saat dia merasa pusing dan mual.
Gibran juga mengikuti Gita ke Surabaya. Dia selalu menjaga Gita dan memastikan kondisi kesehatan Gita serta kandungannya. Bahkan dia selalu menemani Gita memeriksa kandungannya. Dia sering dianggap suami Gita oleh Dokter, tapi dia tak mengapa meskipun seringkali Gita menolak kebaikannya.
"Gibran, aku mau bicara sama kamu," kata Gita. Dia duduk di sofa. Kandungannya sudah semakin besar. Tinggal menunggu hari saja sampai hari perkiraan lahirnya tiba.
"Apa? Kamu butuh sesuatu? Kamu lihat perlengkapan anak kamu sudah siap semua dengan nuansa pink sesuai keinginan kamu." Gibran menatap kamar Gita yang baru saja selesai dia dekor. Dia juga sangat antusias seolah sedang menunggu kelahiran anaknya sendiri.
"Terima kasih. Kamu baik sekali. Aku suka semuanya. Mungkin aku harus bekerja seumur hidup di perusahaan kamu untuk membalas kebaikan kamu ini. Tapi ...." Gita menghentikan perkataannya sesaat.
"Tapi apa?"
"Sampai kapan kamu seperti ini? Aku sudah pernah bilang sebelumnya, aku tidak bisa menggantikan posisi Arnav di hatiku sampai kapanpun. Maaf, aku membuat kamu kecewa. Padahal kamu selalu membantuku, tapi aku benar-benar tidak bisa."
Gibran tersenyum mendengar hal itu. "Iya, aku tahu. Aku hanya ingin membantu. Jika kamu tidak bisa menerimaku tidak apa-apa. Aku sangat mengerti perasaan kamu. Aku akan menemani kamu sampai kamu melahirkan nanti."
Tiba-tiba air mata itu menetes di pipinya. Dia masih mengingat kenangannya saat melahirkan Arvin dahulu. Arnav menjadi suami siaga untuknya. Arnav terus menemani dan memberinya semangat hingga akhirnya Arvin lahir di dunia ini. Dia masih ingat betul senyum bahagia Arnav menyambut anak pertamanya dengan berurai air mata haru.
Gita semakin menangis terisak karena sekarang dia akan berjuang sendiri.
"Kenapa? Jangan menangis. Nanti dedek dalam perut kamu juga ikut sedih." Gibran mengambil segelas air putih lalu dia berikan pada Gita. "Aku tidak akan membahas hal ini lagi agar kamu tidak sedih. Nanti aku pasti akan menemukan jodohku sendiri. Kamu tenang saja. Anggap saja kita bersaudara. Ya?"
Gita mengangguk pelan. Dia merasakan perutnya yang tiba-tiba mulas. Meskipun sudah dia usap tapi rasa mulas itu semakin terasa.
"Perut kamu sakit?" tanya Gibran.
Gita menganggukkan kepalanya. "Aku tidak tahu ini kontraksi palsu atau tidak. HPL masih satu minggu lagi."
Gita semakin meringis kesakitan. Dia terkejut saat air ketuban tiba-tiba merembes dan membasahi sofa.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" Gibran segera mengambil tas yang berisi perlengkapan ke rumah sakit di dalam kamar Gita. Kemudian dia segera menggendong Gita keluar rumah dan dia bantu masuk ke dalam mobil.
"Gita tahan ya, kita segera sampai di rumah sakit." Gibran segera melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah sakit.
Setelah sampai di rumah sakit, Gibran membawa masuk Gita ke dalam IGD. Dia langsung mendapat penanganan dari dokter.
"Pembukaan sudah lengkap, langsung kita siapkan persalinan sekarang!"
Gita hanya mencengkeram tangan Gibran yang ada di sebelahnya. Dia berusaha sekuat tenaganya hingga akhirnya bayi yang cantik itu terlahir di dunia ini.
Rasa sakit itu seketika lenyap saat mendengar tangisan putrinya untuk yang pertama kali. Dia tersenyum menatap bayi merah yang kini ada di dadanya.
Kak Arnav, anak kedua kita telah lahir dengan selamat. Aku berjanji akan menjaganya.
Kemudian Gita mencium kecil pipi lembut itu. "Hai, Arvita."
"Arvita?" Gibran tersenyum kecil mendengar nama yang baru dia ketahui itu. Tentu saja, sampai kapanpun Gita tidak akan mengganti posisi Arnav dengan dirinya. Ya, dia akan segera membuka lembaran baru dengan wanita lain karena dia tidak ingin semakin membebani pikiran Gita. "Dia pasti menjadi perempuan yang hebat dan kuat seperti kamu."
"Terima kasih, kamu sudah menemaniku berjuang."
"Sama-sama."
Gibran ikut tersenyum menatap senyuman Gita yang akhirnya merekah di bibirnya.
Semoga kamu selalu bahagia, Gita. Tetaplah tersenyum seperti ini. Jangan menangis lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!