NovelToon NovelToon

Happiness

perkenalan

Aruna melepas sepatu dan jas hujannya lalu setelah itu menaruhnya di rak sepatu dan gantungan. Tak lupa juga menaruh payung bewarna pinknya.

“Ibu aku pulang!” teriak Aruna sembari berlari masuk ke ruang tengah.

“Kamu dari mana saja Aruna? Ibu khawatir,” tanya Tyas pada putrinya. Dia sedang sibuk berbenah dengan kardus-kardus berukuran besar.

“Aku tadi dari rumah temanku Bu. Sekalian pamitan ‘kan kita akan pindah.”

Tyas tersenyum geli. “Tapi kita tidak akan pindah jauh dari sini Aruna. Jadi kamu masih bisa bertemu dengan temanmu.”

“Tetap saja kita akan pindah ‘kan. Nanti kalau aku tidak memberi tau teman-temanku mereka tidak akan tahu rumah baru kita.”

“Itu bukan rumah baru kita Aruna. Ibu hanya akan bekerja di sana. Tuan rumahnya memperbolehkan kita untuk tinggal di sana.”

Aruna terlihat ingin berucap tapi tidak jadi lalu melangkah duduk ke kursi sofa. “Apa benar aku akan mulai bersekolah tahun ini Bu?”

“Berterima kasihlah pada majikan ibu. Dia berbaik hati membiayai sekolahmu. Kamu harus belajar yang rajin ya.”

“Baik Bu. Aahhh... tidak sabarnya bersekolah pasti menyenangkan!”

Seru Aruna merebahkan dirinya di atas kursi sofa.

Terdengar ada orang yang mengetuk pintu. Tyas buru-buru menghampiri. Samar-samar Aruna mendengar percakapan ibunya dengan seseorang. Lalu langkah kaki ibunya terdengar menuju ke ruang tengah lagi.

“Aruna ayo bergegas mobil truck pengangkut barangnya sudah datang.”

Akhirnya semua persiapan untuk pindah sudah selesai. Hujan sudah reda beberapa saat yang lalu. Kini semua kardus-kardus besar itu sudah tersusun di bak belakang mobil truck.

“Aruna ayo naik ke mobil, ajak Tyas mengandeng tangan putrinya.

Aruna menoleh pada rumah lamanya. Meski baru sekitar empat tahun tinggal di sana karena mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal. Aruna merasa agak sedih harus berpamitan dengan rumah sederhana mereka.

“Selamat tinggal.” Aruna melambaikan tangan pada rumah itu sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil truck.

Tidak butuh waktu lama mobil truck itu akhirnya sampai di depan gerbang rumah yang akan Aruna dan ibunya akan tempati. Aruna terkagum-kagum pada rumah itu. Karena dari luar saja terlihat sangat megah.

“Apa iya kita akan tinggal di sini Bu?”

“Iya sayang,” balas Tyas mengusap puncak kepala Aruna dengan senyuman hangat.

Setelah mobil truck masuk ke pekarangan rumah megah itu Aruna dan ibunya turun. Aruna masih saja terkagum-kagum memandang sekeliling rumah itu.

“Aruna kamu tunggu di sini sebentar ya. Ibu mau menemui majikan rumah ini dulu.”

“Baik Bu,” balas Aruna lalu ibunya beranjak pergi. Sopir truck pengangkut barang terlihat mulai mengangkut kardus-kardus di dalam bak truck ke dalam rumah itu.

“Aruna kamu tunggu di sini sebentar ya. Ibu mau menemui majikan rumah ini dulu.”

“Baik Bu,” balas Aruna lalu ibunya beranjak pergi. Sopir truck pengangkut barang terlihat mulai mengangkut kardus-kardus di dalam bak truck ke dalam rumah itu.

“Kamu siapa?” suara anak lelaki mengagetkan Aruna membuat dia berbalik pada pada anak lelaki itu.

“Aku Aruna,” jawabnya tersenyum tipis.

“Kenapa kamu bisa di sini?”

“Ah itu aku ikut bersama ibuku. Dia akan bekerja di sini.”

“Oh begitu.” Fahri terlihat melirik gadis itu dari bawah sampai atas. Aruna mengedipkan matanya bingung diperhatikan seperti itu.

“Kalau kamu sendiri siapa?” tanya Aruna ragu.

“Aku Fahri. Papaku pemilik rumah ini.”

“Benarkah? Berarti kamu tinggal di sini juga dong. Senangnya bisa punya teman seumuran.”

Fahri tidak membalas. Lalu Tyas keluar dari rumah itu. “Aruna ayo masuk,” seru ibunya.

“Aku masuk ke dalam dulu ya. Senang bisa berkenalan dengamu,” pamit Aruna berlalu pergi. Fahri hanya menatap kepergian Aruna.

“APA BENAR kita akan tinggal di sini Bu?” tanya Aruna masih tidak percaya. Wajahnya telihat sangat senang malam ini. Tubuhnya yang sudah berselimut beranjak mendekati Tyas yang sedang sibuk menyetrika seragam sekolah putrinya.

“Untuk sekarang bisa ibu bilang iya. Kita berharap saja semoga ibu bisa bekerja dengan baik di sini, senyum Tyas sembari mengusap puncak kepala Aruna. “Ngomong-ngomong tadi ibu melihatmu ngobrol dengan Den Fahri. Apa kalian sudah berkenalan tadi?” Kali ini Tyas balik bertanya kembali sembari sibuk menyetrika.

“Maksudnya Fahri? Iya tadi kami berdua sudah berkenalan Bu.”

“Apa kamu tahu Aruna?”

“Tahu apa Bu?”

“Den Fahri dan kamu akan satu sekolah loh, seru Tyas bersemangat.

“Satu sekolah? Bukannya dia orang kaya Bu. Pasti sekolahnya di tempat yang bagus. Kenapa aku bisa satu sekolah dengannya?”

“Aruna, apa maksudmu putriku?”

Aruna terdiam sesaat. “Tidak, aku hanya merasa aku dan dia berbeda Bu”

Tyas menghela napas miris menatap pada putrinya. Tanganya kembali mengusap rambut Aruna.

“Sayang, mungkin kamu tidak terlahir dari keluarga yang kaya tetapi itu bukan berarti kamu tidak bisa menjadi kaya. Semua bisa terjadi kalau kamu mau berusaha. Lagipula ini adalah kesempatan buatmu. Majikan ibu berbaik hati menyekolahkanmu di sekolah yang bagus.”

“Baik Bu. Aku akan semangat sekolah!” tutur Aruna bersemangat.

“Anak pintar, ayo sana tidur besok ‘kan kamu mulai

Masuk sekolah.”

Aruna kembali pada tempat tidurnya. Sebelum benar-benar tidur dia sempat memerhatikan ibunya yang sepertinya sedang menyetrika seragam sekolah

laki-laki sama seperti seragam miliknya.

Ditengah tidurnya Aruna beranjak bangun. Dia merasa tenggorokanya kering karena haus. Diperhatikanya ibunya yang tertidur di sampingnya. Ibunya terlihat kecapean mengurus pindahan rumah seharian ini.

Aruna tidak enak kalau harus membangunkan ibunya Cuma karena ingin minum.

Akhirnya dia berinisiatif beranjak mencari air minum di rumah itu. Aruna tidak tahu persis jam berapa saat

ini. Yang jelas keadaan rumah itu sudah Arunai sekali. Bahkan suara pintu yang dia buka terasa terdengar begitu jelas diheningnya keadaan rumah itu. Aruna berjalan menuju dapur yang tidak jauh dari kamar

dia dan ibunya karena letak kamar mereka di bagian belakang rumah.

Langkah kakinya terhenti saat melihat ada seseorang di dapur. Anak laki-laki yang tadi berkenalan

dengannya, Fahri.

Fahri yang sedang bingung memerhatikan kotak susu itu mengalihkan perhatiannya pada Aruna yang

baru saja datang.

“Eh, kamu lagi ngapain?” Aruna memberanikan diri mendekati anak laki-laki itu.

“Aku Cuma pengen minum susu hangat. Biasanya

 Mamaku yang bikinin. Tapi aku gak tau cara bikinya gimana."

Aruna memerhatikan gelas yang sudah berisi serbuk susu di atas meja. Dia tertawa kecil seketika.

“Itu

kamu masukin serbuknya kebanyakan masa setengah gelas lebih kamu masukinya.”

“Tapi di sini tulisanya masukin setengah gelas serbuk susunya,” bantah Fahri menunjuk cara pemakaian produk yang tertulis di kotak susu itu.

Aruna kembali tertawa geli. Lebih mendekati Fahri dan mengambil gelas takaran susu yang ada di atas meja. “Maksudnya itu gelas ini bukan gelas beneran yang gede itu.”

“Oh, aku kan gak tahu.”

Aruna berpikir pasti anak laki-laki ini terlalu dimanja oleh keluarganya sampai-sampai susu yang sering dia

minum saja tidak tau cara bikinya.

“Ya sudah sini aku aja yang bikinnya.”

 “Emang kamu bisa bikinya?” tanya Fahri agak ragu.

“Bisa dong aku udah biasa bikin susu sendiri

 pagi-pagi.”

Fahri agak mundur saat Aruna mengambil alih tempatnya dan mulai membuat susu hangat. Setelah

menakar ulang serbuk susu di dalam gelas itu kini Aruna tinggal memasukan air hangat. Karena sudah air hangat di dalam termos jadi dia tidak perlu repot lagi memasak air.

Setelah selesai mengaduk-ngaduk susu hangat itu Aruna mempersilahkan Fahri untuk mengambil susu hangat itu. “Susu hangatnya sudah jadiii....” seru Aruna kepada Fahri.

“Eh lupa tadikan aku haus pengen minum.”

Aruna langsung mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalam gelasnya lalu meneguknya.

“Kamu gak mau susu?” tawar Fahri pada Aruna.

“Enggak ah kamu aja. Aku tadi haus pengen minum air putih taunya ketemu sama kamu”

“Eh aku balik ke kamar dulu ya. Kamu gak apa-apa

kan di sini sendirian?”

 “Iya nggak apa-apa. Makasih ya udah bikinin aku susu hangat,” balas Fahri.

“Emang kamu gak takut sendirian di sini?”

“Takut kenapa?”

“Ya soalnya ‘kan udah malem. Yaudah aku pergi

 duluan ya,” pamit Aruna tertawa jahil.

Saat hendak masuk ke kamar Aruna kaget bukan main

saat pintu kamar tiba-tiba saja terbuka.

“Kamu dari mana?” ternyata Tyas yang membuka pintu hendak mencari Aruna.

“Ibu bikin kaget ajaaa," seru Aruna mengelus dadanya

kaget.

“Aku tadi nyari minum haus.”

“Ya sudah cepat masuk kamar udah malam.” Aruna

masuk ke dalam kamar itu.

sahabat

Pagi yang cerah itu keadaan di ruang kerja Rama dalam keadaan tegang. Taufik putra pertamanya datang untuk menemuinya. Dengan keadaan sudah berseragam rapi sekolah menengah atas.

Rama dengan santainya masih terlihat fokus pada koran yang dibaca olehnya. Belum ada pembicaraan di antara anak dan ayah itu.

“Kemana mama pergi?” tanya Taufik memulai pembicaraan.

Rama menghela napas kecil. Seperti dugaannya anak itu pasti akan menanyakan pertanyaan tersebut. Melihat papanya tidak menjawab dan masih fokus membaca koran membuat Taufik mengepalkan tanganya kesal.

“Papa aku bertanya kemana mama pergi?” ucap Taufik sekali lagi dengan nada suara menahan emosi.

Akhirnya Rama meletakan koran di tangannya lalu bersandar kesal pada kursi sofa menatap datar pada putranya.

“Kamu sudah tau dia akan pergi lalu sekarang apa?” ujar Rama.

“Tapi kenapa secepat ini pasti ada sesuatu yang salah.” sahut Taufik tidak percaya.

“Semunya sudah salah semenjak dia berselingkuh dengan pria itu!” teriak Rama sembari melonggarkan ikatan dasinya.

“Lagipula jika kamu tau dia akan pergi kenapa tidak ikut saja denganya? Kamu sendiri yang sudah memutuskan.”

Taufik menelan ludah pelan. “Aku tau semuanya terjadi bukan hanya kesalahan mama karena bersama dengan pria itu.”

Setelah mengatakan itu Taufik beranjak pergi meninggalkan ruang kerja papanya dengan perasaan kesal. Dia tau pasti tidak akan mendapat kejelasan dari papanya.

“Anak itu pagi-pagi begini sudah membuatku kesal saja, gumam Rama mengambil korannya kembali.

Saat keluar ruangan papanya. Taufik bertemu dengan pembantu baru itu. Dia memperhatikan pembantu baru itu seperti tidak asing baginya. Sepertinya dia pernah melihat wanita itu.

Merasa di perhatikan oleh Taufik pembantu itu tersenyum sopan. “Saya pembantu baru di sini Tuan muda. Saya ingin mengantarkan kopi untuk Tuan besar.”

Taufik hanya menganggukan kepalanya lalu berjalan pergi. Tyas menatap sesaat pada anak sulung bossnya itu. Sepertinya anak itu agak dingin sikapnya. Dibanding dengan adiknya.

Tyas akhirnya masuk untuk mengantarkan kopi ke dalam ruangan tuan besar. Dia melihat tuan besar sepertinya sedang membaca koran.

“Saya mengantarkan kopi untuk Tuan,” seru Tyas

lalu meletakan kopi tersebut di atas meja.

“Ah iya” balas Rama masih sibuk dengan koranya.

Karena melihat Tyas yang belum pergi juga akhirnya Rama menatap pada pembantu itu. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

“Apa ada hal lain yang ingin kamu katakan?”

Tyas tersenyum gugup. “Begini, saya ingin berterima kasih karena Tuan sudah menyekolahkan Aruna.”

“Sudah berapa kali kamu berterima kasih padaku soal itu. Aku harap putrimu dapat belajar dengan baik.”

“Semoga saja Tuan. Berkat kebaikan tuan putri saya berkesempatan untuk sekolah. Saya tidak tau harus bagaimana membalas kebaikan Tuan,” tutur Tyas dengan wajah bahagia.

“Baik tuan.”

Rama tersenyum tipis. “Bekerja dengan baiklah di sini. Aku akan sangat menghargai itu.”

*****

Beberapa minggu kemudian......

“FAHRI. FAHRI...,” panggil Aruna tersenyum geli memainkan kedua jarinya seolah berjalan di atas selimut milik cowok itu yang masih terlelap tidur.

“Ayo bangun nanti kita telat.”

“Hmmmm. Lima menit lagi aku akan bangun,” sahut cowok itu di balik selimutnya.

Raut wajah Aruna langsung berubah jengkel. Dia menepuk badan Fahri kesal. “Makanya kalau main game itu jangan sampai larut malam. Begini jadinya. Sekarang ayo bangun!”

“Sebentar lagi kumohon.”

“Tidak ada tawar-menawar sekarang ayo bangun.” Aruna menarik selimut milik Fahri.

Cowok itu masih saja tidak bergeming. Kalau sudah begini hanya ada satu cara untuk membuatnya terbangun. Aruna tersenyum jahil.

Aruna berjalan mendekati tirai gorden dan membuka semua tirainya sehingga cahaya matahari yang cerah pagi itu menembus masuk melalui jendela kaca.

Fahri paling tidak tahan kalau ada cahaya terang seperti itu jika sedang tidur. Pasti dia akan terbangun dan Aruna tau betul itu. Dengan terpaksa cowok itu bangun. Dia menatap sebal pada Aruna yang tertawa kecil tanda kemenangan.

“Sekarang ayo cepat mandi,” perintah Aruna lalu berjalan meninggalkan kamar Fahri.

Aruna menemui ibunya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. Aruna ikut membantu menaruh masakan itu di atas meja.

“Apa tuan muda sudah bangun?”

“Iya Bu, sekarang dia terlalu sering begadang jadi susah untuk dibangunkan. Tapi itu bukan masalah karena aku tau cara ampuh untuk membuatnya bangun.”

“Jangan terlalu kasar padanya. Ibu tau kamu dan dia sangat akrab tapi bagaimanapun dia tetap majikan kita.”

Aruna terdiam sesaat tersenyum masam lalu menaruh masakan yang masih menggantung ditanganya ke atas meja.

“Oh iya, Aruna tolong antarkan seragam tuan muda. Ibu lupa menaruh di kamarnya semalam.”

“Baik Bu,” sahut Aruna segera pergi mengambil seragam milik Fahri di kamar mereka lalu mengantarkan ke kamarnya.

“Fahri aku menaruh seragammu di atas kasur,”

teriak Aruna segera berlalu pergi.

Pagi ini Aruna sarapan di kamar mereka. Kata ibunya jika ingin makan harus di kamar mereka. Pernah satu kali dia makan bersama dengan kelurga ini karena hari itu acara ulang tahun Fahri. Dan Aruna harus menerima ocehan ibunya karena menganggapnya tidak sopan.

Lebih kurang sudah sebelas tahun dia tinggal di sini dan Aruna harus mematuhi apa yang namanya batasan antara majikan dan pembantu. Ibunya selalu menekankan itu pada Aruna.

Tapi terkadang batasan itu hilang saat Aruna bersama dengan Fahri. Cowok itu tidak menganggapnya sebagai anak dari pembantu di rumahnya. Aruna merasa Fahri lebih menganggapnya sebagai seorang sahabat.

Kesedihan Fahri

Malam ini Fahri tidak ikut makan malam. Dia lebih memilih mengurung diri di kamar. Kejadian tadi siang membuatnya bertingkah aneh.

Aruna yang merasa khawatir dengan keadaan Fahri memutuskan untuk melihat cowok itu sedang apa di kamarnya. Sekalian membawakan makan malamnya.

Aruna mengetok pintu kamar Fahri. Aruna selalu mengetok pintu kamar Fahri kalau hendak ingin masuk. Meski mereka berdua berteman baik sedari kecil dulu tetap saja Aruna harus sopan. Bagaimanapun Fahri tetap anak dari majikan ibunya. Setelah diijinkan masuk baru dia akan masuk.

Kecuali untuk pagi hari, saat mereka harus berangkat sekolah. Biasanya Aruna akan mengetuk beberapa kali dan memanggil Fahri. Jika tidak ada balasan pasti masih tertidur. Kalau sudah begitu baru Aruna akan langsung masuk. Karena jika menunggu Fahri menyuruhnya masuk bisa-bisa mereka akan telat sekolah.

“Masuk aja,” sahut Fahri dari dalam dengan nada suara tidak bersemangat.

Setelah mendengar itu Aruna langsung masuk ke dalam kamar Fahri. Aruna melihat cowok itu sedang tiduran dengan keadaan sekujur tubuh tertutup selimut. Aruna menghela napas lalu meletakan makan malam Fahri di atas meja lalu menghampiri cowok itu.

“Kamu kenapa sih?” tanya Aruna menarik kecil selimut itu untuk melihat wajah Fahri.

“Nggak kenapa-kenapa,” balas Fahri menatap langit-langit kamarnya. “Lagi males aja makan malam.”

“Males kenapa? Tumben banget kayak gini kamu.”

“Udah aku bilang nggak kenapa-kenapa kok.”

Aruna berdecak kesal. “Yaudah deh kalau nggak mau cerita. Pokoknya kamu makan dulu.”

“Lagi males aku makan.”

Aruna beranjak dari kasur Fahri dengan raut wajah kesal. Lalu mengambil makanan yang tadi dia taruh di atas meja.

Fahri melihat Aruna kembali mendekat padanya. Lalu duduk di dekatnya lagi dengan nampan makanan.

“Ayo makan pokoknya kamu harus makan.” Aruna menyodorkan makanan itu.

“Maksa banget sih. Udah dibilang aku lagi males buat ma---“ ucapan Fahri terhenti saat sendok berisi nasi itu masuk ke dalam mulutnya secara tiba-tiba.

Fahri melotot tidak percaya pada cewek di hadapanya itu. Lalu Aruna menarik kembali sendok itu. Akhirnya dengan terpaksa Fahri harus mengunyah nasi di dalam mulutnya. Sembari beranjak ke posisi duduk.

Aruna tersenyum licik menatap pada Fahri. “Kalau udah makan harus di abisin.”

Fahri dengan terpaksa harus menerima suapan-suapan dari Aruna hingga makanan yang dibawakan oleh Aruna habis.

“Ini minumnya,” seru Aruna memberikan gelas air putih.

Fahri menggambil gelas itu lalu meneguknya hingga sisa setengah. Mengembalikan gelas itu pada Aruna.

“Anak pinter...,” puji Aruna beranjak berdiri lalu hendak pergi membawa piring kotor itu ke dapur.

Namun baru hendak membuka pintu kamar Fahri untuk keluar Aruna mendengar Fahri berucap sesuatu.

“Wanita yang tadi siang kamu lihat. Dia adalah mamaku."

Spontan Aruna melihat tidak percaya pada Fahri. Jadi benar? Wanita tadi siang dan yang juga ada di foto kelurga di dalam gudang memang benar mamanya Fahri?

Aruna kembali mendekati Fahri di kasurnya. Sepertinya Fahri akan melanjutkan ceritanya tentang mamanya yang dia temui tadi siang.

“Dulu di hari yang sama sebelum kamu dan ibumu datang ke rumah ini. Tiba-tiba saja mamaku pergi meninggalkan rumah ini. Dia sempat mengajakku bersamanya tapi aku tidak mau.

Apalagi setelah mama bilang kalau pria yang mengajaknya untuk pergi adalah papa baruku. Saat itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau jika harus punya papa baru. Jadi aku memutuskan untuk lari dan bersembunyi di dalam lemari.”

Wajah Aruna terlihat muram mendengar cerita dari Fahri. Jadi itu penyebab mamanya pergi dari rumah?

“Dulu aku pikir mama jarang di rumah karena sibuk bekerja. Sama halnya dengan papa yang juga jarang di rumah. Aku tidak tahu jika hubungan mereka sedang tidak baik. Sejak kepergian mama bersama pria itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Tapi tadi siang aku melihat mama. Aku tidak tahu kenapa mereka bisa ada di sini. Kata kak Taufik mama pergi ke luar negeri bersama pria itu.”

Aruna mengelus pundak Fahri untuk menenangkan cowok itu. Pasti keadaan hati Fahri sedang tidak baik mengingat tentang mamanya.

“Apa kamu mau bertemu dengan mamamu?” tawar Aruna pada Fahri. Mungkin dengan bertemu langsung dengan mamanya dapat membuat keadaan Fahri lebih baik.

Mendengar itu Fahri langsung menoleh pada Aruna dengan raut wajah yang susah dijelaskan.

“Kalau bertemu sama mamamu setidaknya kamu bisa tanyain hal yang selama ini jadi pertanyaan kamu. Supaya semuanya jelas.”

Fahri hanya menunduk lesu memikirkan keputusanya. Apakah dia siap jika harus bertemu dengan mamanya?

Tiba-tiba terdengar ketokan di pintu. Fahri dan Aruna sontak menoleh pada sumber suara.

“Ini aku, Taufik. Apa kamu ada di dalam Fahri?“ seru

orang itu dari luar.

“Masuk saja, Kak.”

Aruna buru-buru berdiri dari kasur Fahri. Tidak enak

jika kak Taufik melihatnya duduk di kasur adiknya seperti itu.

Taufik memasuki kamar Fahri. Dia terlihat memperhatikan sekitaran. Dulu ini adalah kamarnya dan Fahri. Mereka pisah kamar setelah Taufik menginjak bangku SMP.

Dulu dia masih ingat betul ketika pagi-pagi mamanya akan membangunkan mereka berdua untuk sarapan. Saat itu keadaan keluarga mereka sama seperti keluarga kebanyakan.

Seorang papa yang bekerja dan mama yang mengurus rumah tangga. Hingga akhirnya semua itu berubah ketika kejadian itu yang menimpa keluarga mereka.

Papanya yang biasa akan pulang saat sore hari dan bermain dengan Taufik dan adiknya. Sering jarang pulang kerumah hingga beberapa hari lamanya. Mamanya pun mulai sibuk bekerja dan yang menemani mereka berdua hanya pembantu rumah ini.

Setelah kepergian mamanya beberapa tahun yang lalu. Kini mamanya mengabari sudah berada di Korea lagi. Mamanya bilang ingin menemui mereka berdua.

“Ada apa Kak?” tanya Fahri perihal kedatangan Taufik.

Merasa diperhatikan oleh Taufik Aruna memilih untuk keluar dari kamar itu. Sepertinya ada hal pribadi yang ingin Taufik bicarakan.

Sebenarnya Aruna juga penasaran apa yang ingin Kak Taufik sampaikan. Tapi kan nanti dia bisa bertanya pada Fahri.

Saat berada di dapur Aruna melihat tuan besar. Tidak

biasanya tuan besar berada di rumah ini. Tuan besar terlihat berjalan terburu-buru ke kamar Fahri.

Aruna dapat mendengar keributan ketika tuan besar

memasuki kamar Fahri. Tiba-tiba Tyas datang menghampiri Aruna.

Tyas menyuruh putrinya untuk segera masuk

ke dalam kamar. Aruna bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi saat ini.

Aruna menunggu di kamar sendirian. Ketika ibunya datang Aruna langsung menanyakan apa yang terjadi. Tetapi ibunya hanya memberitahu kalau besok Aruna harus sekolah sendirian karena Fahri sepertinya tidak akan masuk sekolah.

Pagi-paginya Aruna buru-buru ke kamar Fahri. Meski ibunya melarang untuk ke kamar itu tetap saja Aruna pergi kesana.

Aruna mengetuk beberapa kali dan tidak ada balasan dari Fahri perlahan dia membuka pintu kamar itu. Kosong tidak ada Fahri di sana.

Kemana perginya cowok itu? Pikir Aruna. Saat melihat dapur juga tidak ada hidangan sarapan pagi yang di siapkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!