Tak mudah bagi seseorang untuk kembali membuka lembaran baru setelah orang terkasih pergi meninggalkan dunia dan segala kenangannya.
Arga Fabio Arvasatya, seorang pewaris muda di salah satu perusahaan ternama keluarga Arvasatya. Kala itu ia memilih untuk menikah muda setelah pertemuannya dengan gadis manis yang berhasil memikat hatinya.
#16 Tahun yang lalu.
"Apapun yang terjadi padaku, tolong jaga anakku, Sam. Tolong awasi dia, seperti kau menjaga dan mengawasiku. Dan Arga juga. Dia selalu bersikap gegabah, dan selalu saja ceroboh. Jadilah teman untuknya, Sam. Maaf karena membebanimu dengan permintaanku ini. Aku harap, kau masih bekerja pada Arga setelah kepergianku." Tutur Ralisha menatap sendu seorang pria yang berdiri tegap di samping ranjangnya.
"Sam! Kau mendengarku kan? Ini permohonan terakhirku, Sam!" Ralisha mengulang ucapannya. Ia tak cukup puas jika tak ada jawaban yang terucap dari lawan bicaranya.
"Tolong nyonya jangan berbicara seperti itu. Saya yakin anda akan selamat setelah melahirkan." Hanya begitu balasan Sammy untuk nyonya mudanya yang langsung tertawa pelan menanggapinya.
"Apa kau pernah melihat orang sekarat bisa bertahan hidup, Sam? Aku rasa tidak. Waktuku tidak lama. Dan Arga tahu itu. Hanya tinggal kau dan Laluna yang tak aku beritahu." Seketika suasana berubah hening setelah Ralisha mengatakan hal tersebut.
"Sam. Setelah anak ini lahir, aku yakin Arga akan mengabaikannya. Makanya aku memintamu untuk menjaga anak ini. Katakan pada Laluna beri nama sesuai yang aku minta padanya saat itu." Lagi, Ralisha terus berbicara meski Sammy tak berniat untuk menanggapi. Bukan, lebih tepatnya tak ingin mendengar apapun yang Ralisha katakan.
...******...
Azrina Febby Arvasatya, lahir tanggal 24 Februari 2007. Hari yang entah harus bahagia atau bersedih. Dimana hari itu bertepatan dengan meninggalnya Ralisha Athaya, istri Arga Fabio, dan Ibu dari Azrina Febby sendiri.
Bagi Fabio, hari itu adalah hari yang paling menyedihkan dalam hidupnya. Ia memilih duduk memeluk batu nisan mendiang istrinya, dibandingkan memeluk tubuh kecil putrinya. Dan sebagai ganti pelukan seorang ayah, Sammy memberikan kasih sayang layaknya seorang ayah kandung pada putrinya sendiri. Dan untuk memenuhi keinginan terakhir Ralisha pula, Sammy bertekad untuk menjaga Febby sampai Fabio menerima kehadiran Febby meski sulit, bahkan mustahil.
...******...
Tahun pertama, Sammy masih mengawasi pertumbuhan Febby di kediaman Laluna yang terpaksa tak melanjutkan study nya demi menjadi babby sitter untuk Febby. Lulusan SMA mungkin sudah cukup untuk Laluna karena ia tak perlu mencari pekerjaan selama Sammy mengirimkan kebutuhan bulanan Febby secara rutin.
"Kak Sam! Apa tak masalah jika kakak terus mengirimkan semua ini untuk Febby? Aku tahu ini semua bukan uang kak Fabio. Tapi uang kakak, kan?" Setelah setahun berlalu, akhirnya Laluna berani mempertanyakan hal ini pada Sammy. Ia terlalu khawatir jika calon istri Sammy akan salah faham padanya.
"Tak apa, Laluna. Melihat Tuan Fabio masih murung, aku tak ada hati untuk meminta hak nona Febby."
"Tapi mau sampai kapan dia murung begitu? Febby butuh perhatian orang tua kandungnya, kak. Apa dia memang tak peduli? Kepergian kak Ralisha sepenuhnya bukan salah Febby. Kak Ralisha memang sudah sakit sejak lama. Meskipun aku baru tahu, tapi aku tak mau menyalahkan kak Ralisha karena sudah menyembunyikan penyakitnya." Sejenak Laluna terdiam tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia memilih menghela nafas dalam dan perlahan menghembuskannya.
"Lusa itu hari ulang tahun Febby. Kalau Kak Fabio masih tak peduli pada Febby, aku akan pergi dari kota ini." Tutur Laluna selanjutnya. Sontak saja Sammy terhenyak dan langsung meraih kedua lengan Laluna.
"Jangan. Aku mohon, Laluna. Beri aku waktu untuk meyakinkan Tuan Fabio agar menerima kehadiran nona Febby." Dengan tatapan memelas, Sammy mencoba membujuk Laluna agar tak mengambil keputusan secepat itu.
"Tapi aku tak sanggup, Kak. Aku tak berpengalaman merawat bayi. Aku baru saja lulus SMA. Kau tak kasihan padaku? Ibu dan Ayah sudah meninggal, dan aku hanya tinggal dengan Febby sekarang."
"Kalau kau tak sanggup, kenapa kau pergi dari rumah? Bukankah Tuan tak keberatan jika kau tinggal di sana bersama nona Febby?"
"Kau gila Kak? Aku sadar diri. Sebulan aku masih tinggal dengannya, Ia tak sedikitpun mempedulikan aku dan Febby. Ia terus melamun di balkon tanpa ingin tahu keadaan Febby. Bahkan, Ia juga yang menyuruhku membawa Febby jauh dari pandangannya." Akhirnya, luruh sudah air mata yang semula Laluna tahan agar tak menangis di depan Sammy. Mendengar apa yang dikatakan Laluna tersebut, Sammy tak bisa menyangkal. Memang benar Fabio selalu menyuruh Laluna ataupun dirinya membawa Febby kemana pun agar tak terlihat oleh matanya.
Semalang itukah menjadi anak yang tak diterima oleh ayah kandung sendiri? Sesakit itukah menjadi Laluna yang rela tidak berpendidikan tinggi demi merawat keponakan meski dirinya tak tahu bagaimana caranya? Dan sebimbang itukah menjadi Sammy yang harus menjadi penengah antara ego Fabio dan permintaan terakhir Ralisha?
Tahun ke-5, Laluna sudah terlalu muak dengan keadaan dimana tak ada tanda-tanda Fabio mulai mencari kabar tentang Febby. Hingga saat ia berniat untuk pergi meninggalkan kota, Sammy lebih dahulu memberi kabar bahwa Fabio akan pindah kota meninggalkan semua rasa sakit dan kenangan yang ada di sana.
"Jika kalian pergi untuk meninggalkan kenangan pahit di kota ini, apakah Febby termasuk hal yang membuat kalian sakit? Setidaknya lihatlah wajah tak berdosanya ini. Dia tak tahu apa-apa, Kak." Lirih Laluna memeluk kepala Febby yang tertidur di pangkuannya.
"Maafkan aku, Laluna. Aku tak bisa membuat Tuan menerima kehadiran nona Febby. Sebagai gantinya, aku akan merekomendasikan dirimu agar bisa bekerja di perusahaan Arvasatya 3. Meski berbeda kota, namun perusahaan itu masih dalam jangkauan Tuan Fabio." Laluna sudah terlanjur kecewa. Ia tak berniat untuk menanggapi ataupun berterima kasih pada Sammy yang akhirnya pergi meninggalkan kediamannya dengan meninggalkan sepucuk surat pernyataan yang entah apa isinya. Tak hanya itu, Sammy pun menyimpan sebuah kunci di atas Map yang Ia simpan di atas meja.
"Setidaknya aku bisa memastikan kalian baik-baik saja." Gumam Sammy seketika Ia menoleh ke dalam rumah. Langkahnya terasa berat meninggalkan rumah yang selalu menjadi tempat favoritnya saat hari libur tiba. Ia yang menyempatkan waktu bermain dengan Febby, kini harus pergi yang entah kapan akan kembali.
"Saya harap, saat hari itu tiba, Tuan sudah bisa menerima nona kecil sebagai putrinya. Itu janji saya pada nona kecil dan mendiang nyonya muda." Lagi, Sammy bergumam hingga pada akhirnya ia melangkah dengan teguh meninggalkan kenangannya bersama Laluna dan Febby.
...-bersambung...
Follow IG terbaruku ya
@triliaigris
Salam dari author pemula🥰🙂😊. Mohon dukung karyaku🤗 terima kasih.
Sudah 11 tahun lamanya Fabio menetap di kota yang tak ia temukan tenang. Setiap langkahnya untuk meninggalkan kenangan, justru Ia selalu dihadapkan dengan kenyataan. Ia yang merupakan seorang pimpinan perusahaan, tanpa sengaja bertemu dengan seorang ibu yang membawa putrinya. Melihatnya begitu kesulitan, Fabio menawarkan bantuan untuk mengantarkannya ke sebuah klinik karena putrinya tengah sakit demam. Ingatannya berputar memperlihatkan wajah mungil seorang bayi perempuan yang Ia hindari selama ini. 10 tahun terakhir ini Ia merasa sudah melupakan semua hal tentang Ralisha, dan 1 tahun pertama Ia masih dihantui depresi dan kehilangan. Namun tiba-tiba Ia kembali teringat hanya karena tersentuh oleh kasih sayang seorang ibu pada putrinya.
Selain itu, Ia pun sempat bertemu dengan seorang laki-laki dengan begitu bahagianya menggendong putri kecilnya menyusuri setiap sudut taman dengan tawa riang mengiringi kegembiraan mereka.
Fabio teringat terakhir Sammy melaporkan perkembangan Febby padanya adalah 11 tahun yang lalu, dimana saat itu Sammy memberitahu Fabio jika Febby akan berulang tahun.
"Sam! Sekarang tanggal berapa?" Tanya Fabio memutar kursi kerjanya sehingga menghadap ke arah Sammy.
"13 Februari 2023 Tuan." Jawab Sammy tersenyum ramah. Fabio terlihat manggut-manggut lalu terdiam melamun tak kembali bicara.
"Tepatnya Lusa adalah hari ulang tahun Tuan. Apakah Tuan ingin saya membuat agenda--"
"Siapkan pesawat untuk pulang, Sam." Fabio cepat menyela sebelum Sammy menyelesaikan penuturannya.
"Eh?" Jelas saja Sammy belum mengerti maksud Fabio. Pulang? Kemana? Bukankah rumah mereka sekarang di kota itu?
"Iya pulang. Ke Jakarta." Ucap Fabio memperjelas maksud permintaannya tersebut.
"Ja-Jakarta Tuan?" Sammy yang masih tak percaya begitu terkejut dan menatap heran pada Fabio yang memalingkan pandangan dengan malas.
"Sejak kapan kau jadi tuli, Sam?"
"Ma-maaf Tuan. Sa-saya kurang fokus. Jadi, Kita akan pulang? Mak-Maksud saya sementara atau selamanya Tuan?" Saking gugupnya, Sammy sampai terbata melontarkan pertanyaan pada Fabio yang sedari tadi menatapnya tak kalah heran.
"Apa maksud pertanyaanmu itu, Sam?" Fabio sudah tak faham dengan pikiran Sammy yang mendadak menjadi tidak fokus. Apakah permintaannya begitu aneh sampai membuat Sammy berpikir lama dan tak langsung mengerti.
Meski Sammy masih kebingungan akan alasan Fabio ingin pulang, namun Ia dengan senang hati mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan dan jadwal penerbangan.
"Kita akan sampai di Jakarta sekitar pukul 4 sore Tuan. Dan saya sudah memberitahu kepala pelayan Villa untuk mempersiapkan kebutuhan Tuan saat sampai nanti." Papar Sammy menjelaskan saat keduanya sudah berada di dalam pesawat.
"Aku ingin ke makam Ralisha dulu Sam. Sudah lama aku tak berziarah ke makamnya." Ujar Fabio ditanggapi anggukan pelan oleh Sammy.
"Dan sudah lama juga Tuan menutup hati untuk wanita lain. Sudah 16 tahun Tuan sendiri. Dan Tuan masih setia pada mendiang nyonya Ralisha." Batin Sammy menatap nanar Fabio yang kini tengah menatap keluar jendela pesawat.
"Sudah seperti apa dia sekarang?" Batin Fabio yang tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
...******...
"Ada lagi yang Tuan inginkan?" Tanya Sammy sesaat ketika Fabio turun dari mobilnya dan mematung seakan baru teringat sesuatu.
"Aku lupa mawar putihnya Sam. Bisa kau belikan 16 tangkai?"
"Baik Tuan. Hanya itu?" Tanya Sam dengan sigap.
"Sudah. Itu saja." Setelah memberi jawaban pada Sammy, Fabio bergegas melangkahkan kakinya memasuki area pemakaman umum yang sedikit asing di matanya. Banyak perubahan sampai-sampai Ia kesulitan mencari makam mendiang Istrinya. Ketika tengah menyusuri nama, Fabio tak sengaja menabrak seseorang dan menjatuhkan benda pipih canggih dari tangannya.
"Maaf. Saya tak sengaja." Ujar Fabio membuka kaca mata hitamnya ketika gadis itu mengambil ponselnya sendiri. Setelahnya, terlihat Ia mendongak dan tersenyum santun dan menggeleng pelan menanggapi permintaan maaf dari Fabio.
"Gapapa Om. Saya yang minta maaf, tadi terlalu fokus lihat ponsel." Balasnya tak ditanggapi apapun oleh Fabio yang tiba-tiba mematung tak bergerak menatap wajah gadis di depannya. Bahkan saat gadis itu berlalu setelah berpamitan, Ia tak sedikitpun menjawab ataupun bergerak. Dengan tiba-tiba, air matanya berderai begitu saja dengan tubuh mendadak gemetaran tak bisa Ia kendalikan.
"Ra-Ralisha? Tidak. Bukan. Tapi.... Ralisha!" Fabio sedikit berteriak memanggil gadis itu dengan membalikkan tubuhnya. Namun sayang, gadis yang Ia temui sudah berlalu menjauh dengan sepedanya. Dan sepertinya Ia tak mendengar panggilan Fabio yang kembali memanggil nama Ralisha hanya untuk sekedar memastikan.
Fabio kembali menoleh ke arah makam yang begitu bersih dan terawat, bahkan terlihat seperti ada orang yang baru saja menuangkan air dan menaburkan bunga segar di atasnya. Pikirannya mulai berkecamuk, siapa yang berziarah ke makam istrinya? Apakah gadis tadi? Atau siapa?
...******...
"Ishhh Febby. Kau kemana saja?" Tegur Laluna cepat-cepat menghampiri keponakannya yang baru pulang entah dari mana.
"Hehe. Maaf Aunty, tadi Febby ke rumah Abila, terus mampir dulu ke makam Mama." Jawabnya menjelaskan sejujur-jujurnya. Laluna tahu jika keponakannya ini tidak pernah berbohong, jadi Ia hanya bisa percaya pada apa yang dikatakan Febby.
"Ya sudah. Sekarang sebaiknya kau mandi, dan makan. Aunty beli gulai ayam kesukaan kamu."
"Oke Aunty. Febby mandi dulu ya!"
Melihat langkah Febby yang begitu ringan, Laluna kembali menghela nafas lega. Namun hatinya selalu bertanya-tanya, akankah Febby bahagia hidup bersamanya? Dan apakah Fabio akan kembali setelah sekian lama menghilang dan menelantarkan anaknya sendiri? Ia terlalu takut jika suatu hari nanti, Fabio akan datang dan mengambil Febby darinya.
...******...
"Maaf Tuan. Rumah ini sudah saya beli 8 tahun yang lalu. Dan saya tidak tahu kemana penghuni lama ini pindah." Ucap seorang wanita paruh baya yang kini menghuni rumah yang dulunya adalah milik Laluna. Villa yang tak dihuni, bahkan rumah yang sudah dijual, kemana dua anak itu pergi? Pikiran Sammy mulai berkecamuk. Ia tak tahu harus mencari Laluna kemana?
"Bagaimana Sam?" Tanya Fabio setelah Sammy memasuki mobil.
"Maaf Tuan. Nona kecil dan Laluna sudah tidak tinggal di sana." Jawab Sammy begitu kecewa.
"Begitu ya? Ya sudah kita ke rumah Ayah saja, Sam." Titah Fabio langsung ditanggapi anggukan oleh Sammy. Keduanya melaju ke kediaman keluarga besar Arvasatya. Dimana semua anggota keluarga tinggal di sana. Kecuali Fabio yang memilih tinggal bersama Ralisha.
Kedatangannya disambut hangat oleh Emran yang sudah merindukan Fabio. Meski mereka sudah semakin tua, namun seorang ayah tetap akan selalu merindukan anaknya.
"Ayah. Aku ingin bertanya sesuatu." Ujar Fabio mendahului pembicaraan.
"Tentang apa? Perusahaan?" Tanya Emran menebak kemungkinan dengan terkekeh pelan.
"Tidak Ayah. Bukan. Tapi... tentang seseorang. Apa selama aku pergi, ada seorang wanita muda dan anak perempuan datang ke sini?" Dengan sedikit ragu, Fabio memberanikan diri bertanya mengenai hal ini pada Emran.
"Wanita muda? Anak perempuan? Emmm seingatku tidak ada. Memangnya siapa mereka? Istrimu? Bukankah dia sudah meninggal? Istri barumu? Atau gundikmu?" Lagi, Emran menebak dengan mengungkapkan apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Bukan, Ayah. Sejak Ralisha meninggal, aku belum punya pendamping lagi." Terlihat Fabio memaksakan senyumnya ketika menjawab setiap dugaan asal ayahnya itu.
Suasana yang semula sedikit bising karena obrolan mereka masing-masing, kini berubah hening meratapi nasib yang menimpa Fabio.
"Aku pulang!" Teriak seorang laki-laki muda memasuki ruang keluarga dan berhasil memecah suasana canggung yang terjadi sebelumnya.
"Mama...." disusul teriakan anak berusia 6 tahun berlari dan memeluk Riana dengan riang.
"Hati-hati. Kalau jatuh gimana?" Tegur Riana ditanggapi tawa renyah oleh Aracelly.
"Mereka anak-anakmu, Kak?" Tanya Fabio semakin sendu menatap kebahagiaan Riana saat memeluk putri kecilnya. Dan, terlihat Reindra begitu bangga pada anak sulungnya yang begitu tampan dan berwibawa.
"Iya. Kau tak pernah pulang, jadi kau tak tahu. Ini Arcelio Keen, dan yang itu Ceisya Aracelly. Nah, Keen! Sapa Pamanmu. Dia Arga Fabio, pemilik perusahaan Arvasatya 3." Lagi, Fabio memaksakan senyumnya saat Reindra memperkenalkan kedua anaknya pada Fabio.
"Salam kenal Uncle. Aku Keen, calon pewaris Arvasatya 2. Hehe." Candanya saat berkenalan dengan sang paman.
"Apakah jika aku memperkenalkan anak itu, aku juga akan merasa bangga seperti Kak Reindra?" Batin Fabio entah bertanya pada dirinya sendiri, atau menebak kemungkinan yang tak pernah terjadi.
"Pewaris, kah?" Gumam Fabio berbisik sendiri.
"Mirip." Pekik Keen terhenyak sendiri menatap wajah Fabio di depannya. Ia teringat seseorang di sekolahnya yang memiliki garis wajah hampir sama dengan pamannya itu.
...-bersambung...
"Ada lagi yang anda inginkan, Tuan?" Seperti biasanya, Sammy bertanya sebelum Ia benar-benar pergi.
"Tidak Sam! Hanya saja, aku ingin berjalan-jalan saja sore ini. Bisa kau handle sebentar?" Meski bernada pertanyaan, namun bagi Sammy itu merupakan sebuah perintah dimana Ia harus mengatur jadwal untuk bosnya.
"Apa Tuan baik-baik saja?" Sammy kembali bertanya karena Ia begitu khawatir melihat Fabio yang terus murung sejak mereka pulang.
"Sam. Aku mengira, dengan melupakan apa yang seharusnya aku miliki, bahkan aku lindungi sepenuh hati, akan membuatku merasa tenang. Tapi sepertinya, separuh jiwaku bukan lagi pada Ralisha, tapi pada anak tak berdosa itu. Dia satu-satunya belahan jiwaku saat ini, Sam. Kenapa aku begitu bodoh meninggalkannya sendirian dengan Laluna yang bahkan belum mengerti bagaimana merawat seorang bayi. Dimana mereka sekarang, Sam? Kemana Laluna membawa putriku pergi?" Kelopak matanya mengembun, hatinya terasa ikut tersayat mendengar Fabio mengutarakan isi hatinya. Bahkan, Sammy melihat bulir bening terus berderai dari kelopak mata Fabio. Pria yang dikenal tak punya hati, yang membuat semua koleganya merasa tertekan dengan aura dingin dari Fabio.
"Apakah anda ingin saya menyebarkan berita pencarian orang hilang?" Fabio menoleh sesaat mendengar tawaran Sammy.
"Tidak Sam. Jangan! Mereka bukan hilang, tapi aku yang menyia-nyiakan mereka. Aku akan mencarinya sendiri, dengan caraku sendiri."
"Saya akan turut membantu anda, Tuan."
Fabio tak menanggapi penuturan Sammy, ia hanya tersenyum merasa beruntung mendapat kaki tangan yang setia membantunya selama ini.
...******...
Hiruk pikuk kota Jakarta kembali Ia rasakan setelah sekian lama melarikan diri dari kenyataan yang seharusnya Ia hadapi. Tawa canda riang anak-anak yabg berlarian menyusuri taman, dan lalu lalang kendaraan yang sedikit padat membuatnya teringat akan kenangan masa lalu. Fabio terduduk menatap senja yang hampir tak terlihat terhalang bangunan tinggi menjulang, bola matanya kembali menyapu suasana baru taman yang penuh kenangan bersama Ralisha dulu.
"Febby.... cepat! Ice cream nya sudah hampir habis." Teriak seorang anak berpakaian seragam SMA saling kejar-kejaran menyebrang jalan untuk berburu Ice cream di area taman.
"Abila.... kau curang!" Seru Febby yang tak mau kalah dari temannya itu.
Fabio semula terheran dengan tingkah konyol anak-anak jaman sekarang, hingga pandangannya tertuju pada sosok yang tak asing di matanya. Fabio beranjak dari duduknya hendak menahan langkah gadis kecil itu.
"Permisi..." ujar Febby sedikit menunduk saat melewati Fabio. Sungguh adab yang luar biasa. Di jaman sekarang, hanya sedikit, bahkan tak ada anak yang begitu sopan kepada orang yang lebih tua. Hanya orang tua dengan didikan luar biasa pula yang bisa membuat anak menjadi begitu santun.
Fabio menatap nanar kepergian Febby dari hadapannya dan ingin sekali bertanya tentang siapakah Ia sebenarnya. Namun, entah apa yang menghalangi, ia tak bisa menghentikan langkah gadis itu. Ia tak tahu siapa namanya, dan apa yang harus ia tanyakan nantinya.
"Febby... yang coklat habis! Ada Vanila dan Strawberry."
"Strawberry saja." Febby cepat-cepat menjawab sebelum Shanaya menjahilinya.
Febby yang duduk tak jauh dari stand ice cream tersebut, lantas mengeluarkan benda pipih canggih miliknya. Ia mengetik sesuatu lalu kembali meletakkannya di atas meja seraya menunggu kedua temannya.
Fabio menatap lekat pada Febby yang tengah melamun sendirian di tempat duduk, seketika pandangannya berpaling dan mendapati kedua teman Febby tengah membicarakannya. Samar, namun masih bisa terdengar.
"Menoleh." Bisik Abila ditanggapi anggukan oleh Shanaya.
"Tampan sekali. Pesona Om-Om memang tak pernah gagal. Aku tebak, pasti dia orang kaya." Ujar Shanaya pun berbisik.
"Sepertinya begitu. Istrinya pasti cantik. Anaknya juga."
"Hei. Kalian bergosip apa?" Tegur Febby mengejutkan kedua temannya itu seketika.
"Ti-tidak." Jawab keduanya saling memalingkan pandangan. Tak berselang lama, pesanan mereka akhirnya siap. Shanaya membawa 2 ice cream di tangannya dan memberikan 1 kepada Febby.
"Terima kasih." Ujar Febby sesaat setelah menerima camilan dingin itu.
"Sama-sama. Oh iya. Nanti pulang kau dengan siapa?" Tanya Shanaya yang duduh bersebelahan dengan Febby.
"Sepertinya aku di jemput Aunty." Jawabnya mulai fokus pada camilan di tangannya.
"Aunty mu itu hebat ya! Belum menikah tapi sudah sukses."
"Tapi sayang, sampai sekarang dia belum menikah." Balas Febby mendadak lemas saat membicarakan Aunty kesayangannya.
"Hanya itu yang disayangkan. Kalau misal sudah ada calon, langsung saja menikah." Timpal Abila ditanggapi anggukan oleh Febby.
"Aku pun sudah beberapa kali bilang, tapi Aunty hanya tersenyum setiap aku memintanya menikah. Dia pernah bilang padaku katanya dia tak akan menikah sebelum aku bahagia. Padahal, tinggal dengannya saja aku sudah bahagia."
"Eh jangan salah! Sepertinya Aunty mu tak mau kalau nanti suaminya tergoda olehmu." Canda Abila langsung tertawa puas menebak kemungkinan yang ada di pikiran Laluna karena memilih belum menikah di usia yang tak lagi muda.
"Ishhh tidak." Elak Febby memalingkan pandangannya ke sembarang arah.
Fabio beranjak dengan senyum tersirat di wajahnya. Ia meninggalkan tempat duduknya dan hendak melangkah semakin jauh. Namun, langkahnya kembali terhenti saat mendengar percakapan ketiga gadis itu yang kian menarik perhatiannya. Fabio mengubah arah sehingga Ia dapat melewati mereka dan berharap mendengar percakapan apa yang mereka bahas.
"Kau tahu keluarga Arvasatya? Aku dengar 1 dari 2 bersaudara itu masih lajang. Bagaimana kalau kau menjadi sugar babby nya saja Feb." Celetuk Abila langsung ditanggapi toyoran di kepalanya.
"Kau kira aku wanita apa? Meskipun Papaku tak kunjung pulang, aku tak mau sampai Ia tahu aku menjadi simpanan Sugar Daddy. Lagi pula, aku tak mau berurusan dengan orang kaya."
"Aihhh bukankah kau juga kaya? Apa lagi kau punya nama belakang yang sama dengan mereka."
"Sekali tidak, tetap tidak, Bil. Sudahlah. Aku akan pulang sekarang. Aunty ku sudah hampir sampai. Terima kasih traktirannya. Sampai bertemu besok." Ujar Febby cepat-cepat beranjak dari duduknya dan segera berlalu dari hadapan mereka. Fabio yang tak mendapatkan jawaban yang pasti, Ia memilih ikut berlalu meninggalkan tempat ramai tersebut.
Tepat ketika Febby sampai di area parkiran, Ia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Tentu Ia mengembangkan senyum melihat Aunty kesayangannya sampai untuk menjemputnya.
"Aunty... mampir ke mini market depan komplek ya! Aku mau beli sesuatu." Pintanya sedikit membujuk agar Laluna tidak marah padanya.
"Iya baiklah keponakanku yang manis." Balas Laluna mendelik malas dan hanya ditanggapi tawa kecil oleh Febby.
...******...
"Maaf Tuan. Saya belum menemukan keberadaan Laluna dan nona kecil." Ujar Sammy terlihat kecewa dan menyesal karena tak bisa memenuhi keinginan Fabio.
"Mau bagaimana lagi, Sam. Aku juga tak akan memaksakan ego kalau kau sendiri tak bisa. Mungkin kita perlu bersabar sebentar lagi. Aku akan menyelidiki sendiri jiga gadis itu adalah anakku." Sammy mengangguk pelan menanggapi penuturan Fabio, meski pada akhirnya Sammy terhenyak mencoba mencerna maksud Fabio tersebut.
"Tu-Tuan... apakah anda..." pekik Sammy langsung mengerti meski kali ini Fabio tak memberikan jawaban apapun padanya.
...-bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!