Seorang gadis berlari dengan wajah terburu-buru sembari membawa tas selempang miliknya. Hari ini dia bangun terlambat karena dengan perilaku bodoh, dia malah menonton drama thailand yang dimainkan oleh Thor, aktor kesayangannya. Dia sampai melupakan jika ada jadwal pagi yang sudah melambai.
Eiren, gadis yang sudah berada di tingkat akhir masih melangkah menaiki tangga dengan setengah berlari. Dia tidak sabar jika harus menunggu lift terbuka. Dalam hati dia masih menggerutu. Di kampus se-elit ini harusnya juga menggunakan eskalator.
Eiren masih melaju tanpa menghiraukan beberapa sapaan dari teman satu jurusan. Dia tidak peduli apayang dipikirkan teman-temannya karena sekarang tugasnya adalah sampai di kelas dengan segera. Tidak ada waktu untuk menyahuti basa-basi dari mereka semua.
Eiren berhenti tepat di ruang C dan melihat dari kaca bening yang terletak di pintu. Matanya menangkap tak ada pergerakan apa pun di dalam kelas. Matanya juga tak melihat pria yang seharusnya sudah mengajar. Dalam kondisi seperti ini, dia benar-benar bernapas lega dan berterima kasih sebanyak mungkin kepada Tuhan.
Eiren membuka pelan pintu tersebut dan menutupnya kembali. Langkahnya terdengar pelan, tetapi buru-buru. Dia takut jika nanti dosen mata kuliah kali ini mengetahui bahwa dia terlambat. Setelah sampai di bangku, dia langsung duduk dan menghela napas lega.
“Eiren Azura, anda terlambat lima belas menit tiga puluh detik,” ucap seseorang membuat Eiren membelalakan mata.
Eiren langsung bungkam dan menatap pria yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu dengan mata membelalak. Dia tidak menyangka ternyata dosennya bersembunyi hanya untuk menangkapnya.
“Apa yang anda lakukan semalam sampai bisa terlambat dalam mata kuliah saya?” tanyanya dengan nada dingin.
“Maaf, Pak. Semalam saya sakit perut. Jadi, susa tidur,” ucap Eiren asal. Padahal semalam dia hanya menonton drama thailand di salah satu aplikasi hingga selesai.
“Baik, setelah pelajaran selesai, temui saya di ruangan.”
Eiren hanya mengangguk dan tak ada niat untuk menjawab sama sekali. Dia kembali fokus memperhatikan mata kuliah yang tengah di bahas, mengenai inflasi dan sebagainya. Dia bahkan masih mangantuk dan tak berniat masuk kampus hari ini.
“Eiren, kamu sakit?” tanya pria di sebelahnya dengan nada pelan, takut jika dosen galak di depan mendengarnya.
Eiren menggeleng dan mendekatkan tubuh. “Aku nonton drama thailan dan lupa waktu,” jawab Eiren tak kalah pelan, “lagian kamu ngapa gak jemput tadi?”
Alex, pria di sebelahnya hanya tersenyum dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Aku juga terlambat berangkat. Keasikan main game. Tapi masin untung karena jam pelajaran kurang tiga puluh detik.”
Eiren hanya mendengus kesal dan kembali melanjutkan pelajaran. Dia tidak mau jika nantinya mendapatkan hukuman lagi karena mengobrol ketika jam pelajaran berlangsung. Seisi kelas juga memilih bungkam dan mendengarkan dengan seksama hingga selesai.
🍁🍁🍁🍁🍁
Eiren mengetuk pelan pintu ruangan bertuliskan ‘Adelio Cetta’. Setelah sang pemilik mengizinkannya masuk, dia langsung membuka pintu dan menatap pria dengan pakaian rapi tengah duduk di singgahsananya dan memandang dengan mata berkilat dingin. Langkahnya mulai meninggalkan koridor kampus dan masuk ke dalam ruang dosen galak tersebut.
“Anda akan berdiri di sana sampai kapan, Eiren?” tanya Adelio dengan suara tegas.
Eiren yang ditegur langsung melangkah dan duduk di kursi tepat di depan Adelio saat ini duduk. Matanya menunduk tak kuat menahan godaan pria tampan tanpa cela yang sudah tersaji di hadapannya. Jujur, meski Adelio gala, Eiren sempat mengaguminya karena tubuh dan wajah yang benar-benar membuatnya meleleh.
“Eiren Azura, anda terlambat dalam pelajaran saya sudah hampir lima kali. Apa sebegitu tidak senangnya anda dengan mata kuliah yang saya ajarkan?” tanya Adelio dengan suara tegas dan mata menatap tajam.
Eiren menggeleng dan tak mau menatap Adelio sama sekali. Dia pernah mendengar rumor bahwa pria di hadapannya ini bukan hanya kejam, tetapi juga lumayan mesum. Namun, sejauh dia melihat, tak pernah sekali pun dia melihat pria tersebut berbuat aneh-aneh.
“Apa selain hobi datang terlambat, anda juga mulai kehilangan pita suara sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan saya, Eiren?” sindirnya dengan wajah datar.
Eiren yang mendengar langsung mendongak dan menarik napas dalam, menghembuskannya pelan. “Maaf, Pak. Bukannya saya sudah menjelaskan alasan saya terlambat?”
“Tentu,” sahut Adelio cepat, “anda sudah mengatakannya. Tetapi, apa anda pikir saya cukup percaya dengan semua ucapan anda? Saya meragukannya. Setiap mata kuliah saya anda selalu saja terlambat dengan alasan yang sama. Apa itu lazim?”
Eiren yang mendengar merutiki dirinya sendiri. Kenapa dia selalu menggunakan alasan yang sama? Sekarang dia mulai menyesal karena sejak kecil tidak pernah berbohong sama sekali.
“Maaf, Pak. Soal itu saya....”
Adelio meletakan buku tebal dan membuat Eiren menghentikan ucapannya. Matanya menatap bingung kepada buku tebal yang sudah terhidang di depannya. Keningnya mengerut bingung. Apa yang akan dilakukan dosennya kali ini? Perasaannya mulai tak enak melihat ekpresi Adelio yang masih tetap tenang. Apalagi buku akutansi dan bank yang ada di hadapannya, membuatnya semakin merasa tak enak.
“Bawa buku ini, Nona Eiren. Salin setiap babnya hingga selesai. Setiap pukul delapan pagi anda harus sudah mengumpulkannya di ruangan saya,” ucap Adelio masih dengan tatapan datar.
Eiren yang melihat langsung manganga tak percaya. Apa yang dikatakan pria di hadapannya ini? Menyalin buku dengan ratusan bab? Apa dia mulia gila? Eiren menatap horor pria di hadapannya saat ini.
“Jika anda tidak bisa menyetorkan setiap babnya tepat pada pukul delapan, saya akan memberikan nilai E pada mata kuliah saya,” tambah Adelio datar.
Eiren menarik napas dalam dan menghembuskannya keras. Matanya menatap Adelio dengan tatapan menantang. Dengan perasaan kesal, dia segera menarik buku tersebut dan bangkit.
“Dengar, Pak Adelio. Saya tidak akan membiarkan anda tidak meluluskan saya dalam mata kuliah anda,” kata Eiren dan langsung keluar dari ruangan.
Adelio yang melihat hanya memasang wajah datar dan kembali larut dalam tumpukan bukunya. Dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Eiren karena baginya, tidak ada yang penting dalam kehidupannya. Selain dirinya sendiri.
🍁🍁🍁🍁🍁
Eiren membanting buku tebal yang baru saja dibawanya dari ruangan Adelio keras, membuat dua anak manusia yang tengah asik menikmati makanannya terlonjak kaget. Tanpa izin terlebih dahulu, Eiren langsung duduk dan menyeruput es jeruk milik pria di sebelahnya. Keduanya langsung menghentikan kunyahan dan menatap Eiren bingung.
“Hei, apa yang dibicarakan sama dosen ganteng dan sexy?” tanya Jessica yang sejak tadi menatapnya penuh harap.
“Dosen ganteng dan sexy? Dosen gila baru iya,” jawab Eiren ketus. Apa yang bisa dikatakannya selain itu? Dia bahkan sudah menyesal pernah mengaguminya.
“Sayang, apa yang Pak Adelio katakan?” tanya Alex, kekasih Eiren yang masih menatap kekasihnya dengan lekat.
Eiren mendengus kesal dengan wajah yang menunjukan bahwa mood-nya benar-benar sedang hancur. “Aku disuruh menyalih buku setebal ini dan menyetorkannya setiap jam delapan pagi. Apa gak gila, hah? Bahkan jam segitu belum ada dosen yang berangkat ke kampus.”
“Hah?” Alex dan Jessica yang mendengar langsung membelalakan mata tak percaya dan mulut melongo lebar.
“Kamu gak minta keringanan? Kamu, kan, baru beberapa kali aja terlambatnya,” celetuk Jessica.
“Kalau aku melakukan hal seperti itu, yang ada malah hukumannya semakin berat,” jawab Eiren masih menahan kesal.
Jessica yang mendengar hanya bisa bersimpati. Dia juga tidak bisa melakukan apa pun karena jika dia membela Eiren, nilainya juga dipertanyakan.
“Sabar ya, beb. Kita akan semangatin kamu terus,” ucap Jessica memberi semangat. Eiren yang mendengar hanya mengangguk mengiyakan.
_____
“Kamu mau aku bantu?” tanya Alex ketika melihat Eiren hanya mendongakan kepala dan menatap langit-langit mobil dengan pandangan menajam.
Eiren yang ada di sebelahnya langsung menggeleng dan kembali membuang wajahnya menatap jalanan. Dia hanya ingin diam dan menenangkan pikirannya sejenak. Terlalu banyak hal yang tinggal dibenaknya dan itu membuat Eiren semakin tidak betah di rumah.
“Hari ini kamu mau pulang ke rumah atau ke kosan, sayang?” tanya Alex lagi karna sejak tadi Eiren menjadi sosok yang berbeda. Kekasihnya itu lebih banyak diam dan tidak seperti biasanya.
“Aku mau ke kosan aja,” jawab Eiren masih dengan mata menatap ke jalanan.
Alex melirik kekasihnya dan mengelus rambutnya pelan, membuat Eiren menatapnya dengan pandangan bingung.
“Kalau kamu ada masalah, bilang aja sama aku. Aku akan selalu ada untukmu,” ucap Alex dengan senyum menenangkan.
Eiren menghela napas dan menatap Alex tanpa minat. “Alex, berhentilan menjadi baik dan begitu memanjakan aku. Aku tidak mau jika nantinya aku bergantung padamu.”
“Kamu diizinkan untuk bergantung padaku kapan saja, sayang,” sahut Alex dengan wajah sumringah.
Eiren berdecih kesal dan menatap kekasihnya dengan mata yang sulti diartikan. “Aku tidak mau bergantung denganmu, Alex. Karena saat kamu pergi, aku tidak mau menjadi gadis lemah yang akan terpuruk,” ujar Eiren dan segera membuang wajahnya.
Alex menundukan kepalanya dan kembali fokus ke jalananan. Dia melirik Eiren yang masih fokus dengan pemandangan jalanan dan tidak memperhatikannya sama sekali.
“Sayang, mengenai mama, aku....”
“Sudah, Alex,” potong Eiren lirih, “aku sedang tidak ingin membahas apa pun mengenai hal ini. Aku lelah, jadi bisa kita pulang dengan cepat?" pinta Eiren dengan mata yang tidak melepaskan pandangan.
“Baiklah,” jawab Alex mengalah. Dia memilih untuk diam dan membiarkan Eiren dengan pikirannya sendiri karena percakapan mereka kali ini hanya akan menambah bebannya.
Semoga kamu akan baik-baik saja, Eiren, pinta Alex dalam hati.
_____
“Terima kasih,” ujar Eiren yang sudah keluar dari dalam mobil Alex dan segera masuk ke dalam. Dia bahkan tidak menunggu kekasihnya tersebut pergi. Biasanya dia memilih untuk menunggu mobil Alex hingga keluar dari gerbang kos-kosannya an melambaikan tangan penuh cinta. Namun, hari ini dia memilih diam karena masalah yang tidak juga terselesaikan.
“Masih diantara jemput sama dia, Ei?” tanya seseorang dari arah belakang.
Eiren yang mendengar langsung berbalik dan menatap teman satu kosnya yang sudah berdiri di depan pintu kamar dan menatapnya dengan pandangan tajam. Eiren hanya menghela napas panjang dan memasuki kamarnya.
“Kamu gak bilang masalah itu sama Alex?” tanya gadis tersebut dengan mata menyelidik.
Eiren menggeleng. “Apa yang harus aku katakan, Feli?” tanya Eiren dengan wajah lesu, “aku harus bilang jika beberapa hari yang lalu mamanya datang dan memakiku?”
Felicia menghela napas panjang dan menatap temannya dengan mata memelas. Dia duduk didekat Eiren dan mengelus pundak Eiren pelan, memberikan ketanangan yang membuat Eiren mengumbarkan senyumnya.
“Apa pun hasilnya, kamu harus tetap katakan semuanya kepada Alex, Ei. Entah dia percaya atau tidak, entah dia membelamu atau tidak, semua itu tidak penting. Sebelum kamu akhirnya menyesal karena Alex yang mengetahui dari orang lain,” saran Feli dengan nada lembut.
“Bagaimana jika nantinya itu malah membuatnya berada dalam masalah? Maksudku, bagaimana jika mereka bertengkar nantinya? Aku tidak mau kalau aku menjadi penyebab keduanya menjadi berpisah,” kata Eiren dengan wajah khawatir.
“Semua itu tidak penting, Eiren. Yang terpenting adalah masalah kamu yang harus selesai. Berhenti memikirkan nasib orang lain yang bahkan tidak pernah memikirkanmu,” celetuk Feli kesal karean temannya selalu mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri.
Eiren yang mendengar hanya diam dengan kepala menunduk. Apa dia bisa menjadi sumber pertengkaran orang lain? “Akan aku coba,” jawabnya membuat Feli tersenyum manis.
_____
Adelio memasuki gedung dengan bangunan dua puluh lantai dan mulai menatap seisi penghuni dengan pandangan menusuk. Semua karyawan yang tinggal di perusahaan tersebut langsung menunduk setiap kali melihat Adelio melangkah dengan pandangan tajam dan keangkuhan yang tercipta.
Adelio memasuki lift yang sudah kosong dan segera melangkah ke lantai dua belas, di mana seseorang yang akan ditemuinya tinggal. Sudah lama dia tidak datang ke perusahaan tersebut dan memilih untuk fokus pada cita-citanya, menjadi seorang dosen.
Lima menit, Adelio menatap tajam pintu besi yang mulai terbuka dan menampilkan suasana ramai yang tidak kalah seperti rungan di lantai satu, meski hanya beberapa yang datang untuk menemui seseorang yang begitu penting.
“Selamat siang, Tuan,” sapa wanita dengan rambut disanggul dan menggunakan blazer berwarna hitam, senada dengan pakaian seluruh karyawan. Wanita tersebut memasangkan badge bertuliskan ‘Widya Enestesia’ yang jelas terpasang.
“Tuan Abian ada?” tanya Adelio dengan wajah datar.
“Ada, Tuan. Anda sudah ditunggu di ruangan beliau,” ucap Widya dengan senyum ramah.
Adelio hanya melangkah dan segera masuk ke ruangan bertuliskan ‘Direktur Utama’ tanpa mengetuk terlebih dahulu pintu tersebut. Abian yang masih sibuk dengan ponselnya langsung tersenyum dan mematikan panggilan. Mataya menatap ramah pada Adelio yang sudah memasang wajah tidak suka dengan pria tersebut.
“Adelio. Apa kabar?” tanya Abian dengan nada ramah dan senyum manis, tetapi mengandung sebuah ketegasan di dalamnya.
“Berhentila bermain-main denganku, Ayah. Apa yang Ayah inginkan sampai menyuruh Elio datang ke perusahaan Ayah?” tanya Elio dengan wajah tidak suka karena ayahnya seperti mempermainkannya saja.
Abian yang mendengar langsung tertawa kecil dan menatap anaknya. “Apa begini caramu menyambut sapaan hangat dari orang yang lebih tua?” tanya Abian menyindir, “tidak mau duduk lebih dahulu?”
Adelio yang mendengar hanya menghela napas panjang dan segera duduk. Matanya masih menatap ayahnya yang sudah duduk dengan begitu tajam. Keningnya berkerut menebak apa yang akan dikatakan ayahnya kali ini.
“Mau minum kopi, Elio?” tanya Abian dengan wajah santai.
“Aku datang hanya karena permintaan Ayah. Jadi bisa kita mulai pembicaraan kita kali ini? Aku benar-benar terburu-buru,” tolak Elio dengan wajah masih memasang datar.
“Kamu masih sama seperti dulu ya, Elio. Terlalu terbuka dan tidak pernah basa-basi,” sahut Abian dan mengeluarkan map merah yang langsung diletakan di meja kerjanya. Tangannya mendorong dan menyuruh anaknya untuk membaca isinya.
Adelio diam dan memperhatikan tiap tulisan yang tertera di sana. Matanya semakin menyipit melihat apa yang dituliskan pada bagian akhir. Setelahnya, dia menatap ayahnya yang sudah tampak serius dan tidak ada lagi wajah jenaka seperti saat dia pertama kali masuk.
“Ini?” tanay Adelio dengan kening berkerut.
“Iya,” kata Abian dengan pasti dan menatap anaknya tajam, “itu adalah surat pengalihan perusahaan kita menjadi atas nama mu. Papa sudah tidakakan sanggup terlalu lama menjabat sebagai Direktur Utama di perusahaan ini. Papa ingin nantinya kamu yang melanjutkan usaha kita dan papa akan membiayai seluruh observasimu mengenai wanita tesebut.”
Adelio yang mendengar hanya tersenyum kecut dan membanting map yang digenggamnya keras. “Jadi, Ayah ingin mempermainkan Elio?” tanyanya sinis.
“Tidak,” balas Abian tegas, “papa hanya memberikan apa yang harusnya diberikan. Tidak mencoba memanipulasi atau mempermainkanmu. Jika kamu mau menjadi penerus usaha papa, wanita tersebut akan mendapatkan perawatan yang baik. Papa akan melakukan segala cara agar dia bangun dari tidurnya.”
Adelio yang mendengar langsung tertawa kecil. “Adelio bahkan tidak butuh bantuan Papa untuk masalah ini. Elio cukup mampu untuk membuatnya bangun dari tidur,” desisnya dengan wajah sinis.
Adelio enggan bertengkar dengan papanya mengenai pelimpahan jabatan dan sebagainya. Dia memilih keluar dan menolak semua tawaran ayahnya. Dia masih mempunyai cukup uang untuk membuat seseorang kembali hidup. Karena aku tidak mengizinkanmu menutup mata, desisinya dalam hati dan segera meninggalkan perusahaan ayahnya.
______
Eiren menatap buku besar di depannya dengan rasa frutasi yang langsung menyerang begitu saja. Dia menatap dengan pandangan kesal. Sudah hampir lima jam dia menulis di kertas folio dan kali ini rasa pegal di pergelangan tangannya semakin membuat rasa lelahnya mulai terasa.
Eiren meletakan kepalanya di bantal kecil di sebelahnya dan meletakan pulpennya di kertas yang sejak tadi digoresnya dengan tinta. Beberapa kali dia menguap karena rasa lelah dan juga mata yang mulai mengantuk. Bahkan, saat ini rasa kantuknya sudah hampir mencapai seratus persen.
“Dasar dosen gila, mendingan juga aku ketik dari pada aku catat. Kalau begini, bisa-bisa besok tangan aku patah. Lagian, mana mungkin di baca,” ucap Eiren dan langsung menyunggingkan senyum setan.
Eiren mendongakan kepalanya dan langsung memutar musik keras. Padahal masih pukul dua dini hari dan sekarang dia semakin tidak bisa tidur karena ulah dosen tampan, tetapi gila. Dia melupakan di mana dia saat ini berada. Mengabaikan seisi kosan yang langsung terbangun karena ulahnya.
Eiren kembali menulis dengan begitu semangat. Dia masih berada di halaman dua puluh ketika memilih mengistirahatkan tubuhnya dan sekarang sudah berada di halaman tiga puluh sembilang, atau lebih tepatnya di akhir bab.
“Nah, ginikan enak. Ngapain juga nulis sampai empat puluh halaman kalau akhirnya juga gak di baca,” celetuk Eiren dengan wajah bangga karena pikiran brilliant-nya.
“Emangnya dia aja yang bisa ngerjain anak orang,” gerutu Eiren kesal mengingat hukuman yang diberikan kepadanya.
Dia masih begitu senang ketika pintu kamar di buka dan menampilkan Feli dalam mode berbeda. Gadis tersebut sudah membelalakan mata tajam dan menatap ke arahntya, siap menerkam kapan saja.
“Kamu itu gila apa gimana sih, Ei? Ini masih jam dua dini hari dan kamu muter musik keras banget,” celetuk Feli dengan jemari yang menepuk sebelah tangannya, seolah memberi tahukan mengenai waktu, padahal dia tidak membawa jam sama sekali.
Eiren yang ditegur hanya tersenyum dan mematikan musiknya. Bibirnya masih mengembangkan senyum tanpa rasa bersalahnya. Tangannya menggaruk pelan tengkuknya yang tidak gatal.
“Lagian ngapain juga kamu jam segini belum tidur, hah? Besok terlambat lagi loh kamu,” ucap Feli mengingatkan karena Eiren sering sekali terlambat.
Eiren memanyunkan bibir dan menatap Feli dengan pandangan memelas. “Kamu tahu, Feli? Aku sedang dalam masa hukuman. Jadi, aku masih mencoba menyelesaikannya.”
“Hah? Hukuman apa?” Feli mengerutkan kening heran bercampur bingung.
Eiren hanya menurunkan pandangannya dan menatap tumpukan buku dan kertas yang sudah berceceran di lantai kamar. Dia bahkan belum menyelesaikan beberapa kertas folio yang sudah entah ke mana.
“Kamu dapat hukuman dari siapa?” Feli menatap Eiren dengan pandangan menyelidik. Dalam hati dia benar-benar ingin tertawa keras dan mengejek teman satu kosnya tersebut.
Eiren menghela napas panjang dan menatap tanpa minat. “Siapa lagi kalau bukan dosen galak. Adelio cetta.”
Seketika Feli langsung tertawa keras, mengejek kebodohan Eiren yang selalu mencari gara-gara dengan siapa pun. Padahal sudah ratusan kali dia mengingatkan agar Eiren tidak mencari masalah dengan dosen tersebut.
“Sukurin, salahnya dibilangin gak pernah didengerin,” sahut Feli masih dengan tawa yang semakin keras dan mendapatkan tatapan menajanlm dari seisi kosan.
Eiren yang mendengar hanya menggerutu kesal. Andai saja gadis di hadapannya bukanlah temannya, kepalan tangannya akan dengan senang hati melayang dan memukul Feli hingga dia merasa kapok.
Dasar teman kurang ajar, batin Eiren dengan perasaan dongkol.
_____
“Sial. Kenapa kesiangan lagi,” ucap Eiren yang membuang selimutnya dan segera berlari ke dalam kamar mandi.
Eiren mengambil handuk dan sgegera membersihkan diri. Tepat pukul tujuh lewat lima belas menit, dia baru saja bangun dari tidurnya. Sebenarnya jika dia harus membersihkan diri terlebih dahulu, dia tidak akan datang tepat waktu.
Eiren datang dengan menggunakan handuk mandi dan segera membuka lemari. Matanya menatap deretan baju yang sudah tergantung. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengambil sembarang pakaian dan memakainnya. Eiren bahkan tidak sempat merias wajahnya dan segera keluar dari kamarnya. Dia langsung keluar ruangan dan mengambil motor yang memang sengaja ditinggalkannya di kosan, meski terkadang dia pulang dan pergi di antar oleh Alex. Namun, jika dalam keadaan mendesak, mana mungkin dia menghubungi kekasihnya dan menunggu dengan lama.
Eiren menembus jalanan yang sudah tampak penuh dengan kendaraan dan segera melaju ke kampus. Tidak sampai satu jam dia sudah sampai dan segera memarkirkan motornya. Langkahnya segera menuju ke ruangan dosen yang sudah membuatnya bangun pagi-pagi sekali.
Matanya melirik jam tangan yang dikenakan dan menatap khawatir. Eiren bahkan menggunakan tangga kampusnya dari pada lift karena dia benar-benar mengejar waktu untuk cepat sampai.
Eiren menghela napas panjang dan mengatur napasnya. Tanpa permisi terlebih dahulu, dia langsung masuk ke ruangan yang dituju. Baru saja membuka pintu, matanya sudah dibuat terbelalak karena pemandangan tidak lazim yang tersuguh di hadapannya.
“Hah?” ucap Eiren dengan mulut yang sudah terbuka lebar.
_____
Adelio masih menikmati hisapan dan *** dari gadis yang saat ini duduk di atas pangkuannya, menikmati setiap sensasi aneh yang sudah merambat ke seluruh tubuh. Tangannya bahkan sudah bermain-main di bagian bawah gadis tersebut. Namun, seseorang membuat seluruh kegiatannya berhenti. Adelio menghentikan aktivitasnya dan melihat siapa yang sudah memasuki ruangannya tanpa izin dan mendapati Eiren tengah berdiri mematug.
“Pergilah, aku ada urusan dengan gadis itu,” ucap Adelio dan langsung dituruti.
Gadis tersebut turun dari pangkuannya dan segera melangkah keluar. Meninggalkan Eiren yang masih diam terpaku dan dirinya yang tersenyum tanpa rasa malu. Adelio duduk santai dan menatap Eiren lekat.
“Apa kamu tidak mau segera menyerahkan tugas yang saya berikan dan hanya diam di situ, Eiren?” ucap Adelio dengan pandangan tajam.
Eiren yang menengar langsung kembali ke alam sadarnya dan menatap Adelio dengan pandangan jijik. Dia melangkah dan segera duduk di hadapan pria tersebut dengan wajah masam yang tidak dituupi sama sekali. Mimpi apa semalam bisa lihat kejadian menjijikan seperti itu, gerutu Eiren yang langsung membuang ingatannya mengenai kejadian beberapa menit yang lalu.
“Berhentilah menggerutu dan mana tugasmu?” tegur Adelio seakan tahu apa yang ada di dalam hati Eiren.
Eiren langsung menyerahkan kertas polio tersebut dengan wajah bangga. Dia merasa sanggup menyelesaikan tugasnya dengan baik dan benar. Adelio yang melihat langsung mengambilnya dan membuka perlahan. Mengamati tulisan dan isi yang ada di dalamnya
“Sudah, kan, Pak? Kalau begitu saya keluar,” ucap Eiren dengan wajah yang mendongak sombong. Dia sudah bangkit dan siap keluar dari ruangan dosen galaknya.
“Kamu memang sudah mencatat, Eiren, tetapi kamu sudah melakukan kecurangan dalam hal ini,” kata Adelio membuat Eiren menghentikan gerakannya. Menatap Adelio yang masih memandangnya dengan tajam.
Adelio membanting kertas tersebut dan meneliti Eiren dengan pandangan dingin. “Aku bahkan sudah hafal dengan seluruh isi buku tersebut, mulai dari paragraf, sub judul, dan halaman. Jadi, aku tahu kamu sudah melakukan kecurangan dalam hal ini,” jelas Adelio membuat Eiren langsung tercengang tidak percaya, “jadi berapa halaman yang sudah kamu lewati?”
Eiren langsung diam seketika dan tidak berani menjawab apa pun. Dia tidak menyangka bahwa ternyata dosennya membaca dengan teliti. Hatinya semakin sakit ketika melihat Adelio membating hasil tulisan yang sejak semalam dikerjakan tepat di depan matanya.
“Biasanya saya tidak pernah mentolerir kesalahan yang dilakukan siapa pun. Apalagi jika itu menyangkut dengan kejujuran. Tetapi, kali ini saya benar-benar sednag berbaik hati kepada anda, Nona Eiren. Silahkan ambil kembali tugas anda dan kumpulkan lagi dengan halaman yang sudah lengkap tepat saat makan siang,” ucap Adelio panjang lebar dan segera bangkit. Matanya menatap Eiren dengan pandangan menusuk yang sekaligus merendakhannya.
“Jangan coba-coba untuk membongi saya atau hasilnya tidak akan baik,” ujarnya dengan suara tegas dan segera keluar ruangan.
Eiren hanya menghentakan kaki kesal karena ternyata pikirannya salah. Adelio bukan sosok yang bisa dikelabuhinya dengan mudah. “Dasar dosen galak gak punya hati,” gerutunya karena dia masih harus mengerjakan tugas yang diberikan Adelio kepadanya. Dia tidak mau jika harus mengulang mata kuliah dengan orang seperti Adelio. Menyebalkan.
_____
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!