NovelToon NovelToon

Tersangkut Cinta

Minta Tolong

Usia 20 an, adalah tempat dimana semua orang menentukan jalan hidup masing-masing. Irma, 20 tahun, gadis cantik berhijab tertutup, sedang bersemangat-semangatnya meraih impian. Sangking semangatnya. Jalan yang ditempuh bagaikan jalan tol.

Yah, itu mungkin jalan pikirannya sebelum tamat dari pesantren. Kedapatan sang sahabat memutuskan menikah dengan sang ustad, Irma ikut bimbang dan ragu. Apalagi orang tuanya tak mampu menguliahkannya dan menyuruhnya menikah saja.

Hanya ada orang tua kandung perempuan saja yang dia miliki, sedangkan orang tua lelaki, telah meninggal dunia.

Jelas Irma tak putus asa, jangankan kepikiran soal menikah, pacaran saja dia belum pernah. Sudahlah, Irma akan mencari pekerjaan dan menabung untuk biaya kuliahnya. Dia akan menjadi ustazah yang dapat mengajarkan banyak ilmu pada semua orang.

Seperti, Irma tersenyum malu. Dia ingin seperti ustazah Halimah, ustazah yang penuturan katanya lebih masuk di akal dan kena sekali di hati.

Namun, malam ini dia tak seharuskan berbuat demikian pada akhirnya. "Tolong... Tolongin gue. Gue udah enggak sanggup lagi," teriak seorang setengah wanita dan laki-laki, sebut saja transgender.

Irma berhenti berjalan. Dia menoleh kanan dan kiri. Mana ini malam banget lagi, dia habis pulang dari kerja di sebuah minimarket di kampungnya.

"Hey Neng, gue di atas." transgender itu berteriak dengan suaranya yang sedikit kesal.

Irma secara perlahan melirik ke atas. Dia terjatuh dan mendadak tremor. "Kun, Kun." rasa ucapannya tercekat di tenggorokan, saat melihat seseorang yang bergelantungan di atas pohon dengan posisi terbalik.

Pakaian putih ikut melambai kebawah, jelas wajahnya juga tertutup, ikut memastikan bahwa yang di lihat Irma adalah makhluk yang sering mengganggu umat manusia.

"Lo kira gue Kunti, Irma...," teriak Manto, 27 tahun. Dia wanita setengah lelaki yang terkenal dengan sebutan banci, namun di tepis Manto dengan panggilan transgender. Nama panggilannya Sabrina, sedangkan nama aslinya Manto.

Dia habis tersangkut akibat seseorang membuat jebakan untuk hewan yang sering maling buah tersebut. Dia bukan pencuri, tapi kebelet pipis, jadinya bergelantungan. Resletingnya saja lupa terkunci, beruntung burung kenarinya masih tertutup celana dalam.

"Akang Sabrina ya?" Irma masih memandang Manto dengan bola mata menyelidik. Dia pun mengambil ponselnya untuk memperjelas penglihatannya itu.

"Iya ini gue. Gue nyangkut di sini sudah satu jam. Mana enggak ada yang nolongin lagi. Samalah kayak Elo, kunti, kunti. Gue ini manusia! Mana ini kaki susah banget di gapai." Manto berusaha menggapai kakinya, dari tadi tak sampai-sampai. Tenaga sudah habis terkuras, di tambah kepalanya sudah pusing akibat posisi jungkir balik begituan.

"Seriusan, ini Teteh Sabrina?" Irma masih tremor untuk meyakinkan jika itu benar-benar Manto.

"Iya gue Sabrina, Irma. Lo pegang aja ini baju gue, asli. Gue tersangkut di sini. Please banget tolongin gue. Gue udah pening pakek banget dengan posisi kayak beginian. Mana belum makan, mana bergelantungan kayak begini, rasanya perut gue mual banget." Manto rasa daranya saja sudah ikut memenuhi bagian kepalanya.

Irma memastikan dengan perkataan Manto, bukan tak takut dia lakukan. Tapi jika itu benar, Manto bisa dalam bahaya. 'Iya asli.'

"Tuhkan bener. Lebih baik Lo bantui gue lepaskan ini tali. Gue mohon banget sama Elo. Gue kayaknya sudah masuk angin." Manto sudah tak tahan lagi berada di sana.

"I-iya Kang, tunggu sebentar." Irma melepaskan ikatan tali itu pada pohon yang di gantungi Manto.

"Pelan, pelan Ir. Entar gue nyungsep lagi." Manto takut jika Irma menjatuhkannya secara spontan.

"Iya Akang, aku tau. Sini tangan Akang pegang bahu aku." Irma mendekati tubuhnya. "Walau kita enggak boleh pegang-pegang, tapi ini darurat," jelas Irma yang melihat Manto sendiri sudah mulai pucat dan berkeringat dingin.

"I-iya, enggak ada yang lihat juga." Manto memegang bahu Irma. Dia bukan lelaki alim maupun lelaki yang taat agama. Dia sering memegang perempuan lain, karena dia sendiri transgender.

Irma tak kuat menahan bobot tubuh Manto, akhirnya tali yang dia pegang sekuat tenaga itu terlepas.

Brak!

Irma terjatuh ketanah dan di tindih Manto pula. Sudah terjatuh, di timpa pula. Irma mendadak sakit secara keseluruhan. Kesialan apa juga yang terjadi di saat posisi mereka saat ini bagaikan sedang mesum di semak-semak kebun warga.

Kepergok

"Woy... Lihat itu," teriak seseorang yang tengah berjalan melintasi area sekitar.

Semuanya terperanjat menyaksikan adegan yang tak patut di lihat usia dini. Irma dan Manto tak sanggup berdiri sesaat di teriak warga sekitar. Harap-harap mereka berdua di bantu berdiri.

"Astagfirullahaladzim...," teriak semua orang yang menyaksikan. Kebetulan mereka baru pulang setelah mengikuti pengajian di salah satu rumah warga.

"Apa-apaan kalian berdua mesum di sini?" tanya lelaki setengah paruh baya yang berjalan mendekati diikuti warga lainnya. Senter yang mereka gunakan mengarah ke Manto dan Irma.

Kata mesum membuat kedua insan itu tersadar dan melirik satu sama lain.

"Malah diam aja. Ikut kami ke rumah pak Muksim. Kalian berdua harus segera di nikahkan," ucap lelaki lainnya.

"Eh, inikan Manto sama Irma." salah satu perempuan yang ikut mengerubungi, dia tersadar wajah-wajah familiar di kampungnya.

Irma dan Manto terperanjat dengan kondisi mereka. Akibat terjatuh dan kepala yang sakit, mereka berdua sedikit memiliki loading yang cukup lambat, untuk menyambung dengan kondisi masing-masing.

"Astagfirullah... Enggak menyangka kamu Irma kayak begini dengan Sabrina," ucap wanita lain yang terperanjat melihat anaknya berbuat mesum bersama seorang lelaki yang terkenal bergaya keperempuanan.

Irma dan Manto bangkit. Walau posisi mereka berdua secara paksa berdiri. Penglihatan Manto saja masih berputar-putar.

"Ini enggak seperti yang emak lihat," teriak Irma membela diri. Dia menoleh ke Manto dengan posisi lelaki di sampingnya memegang bahunya. Irma merasakan getaran dari tubuh Manto. Irma tahu jika Manto saat ini tengah tak sanggup berdiri dan masih tak seimbang dalam posisinya.

"Lihat ini, mereka saja sudah terlihat sangat dekat dan," lampu senter terlihat pada resleting Manto yang terbuka.

Bukan tak apes dan sial lagi yang Irma dan Manto dapatkan. Mau dijelaskan sepertinya kedua insan itu tak bertenaga. Posisi Manto masih dengan dunianya.

"Ini bisa gue jelaskan," ucap Manto berusaha berbicara dengan penglihatannya saja tak karuan. Perutnya saja sudah mual. "Uwek...." Manto muntah seketika.

"Oh, ini pasti kalian berdua habis mabuk-mabukan. Jadinya kalian berbuat demikian di sini," tuduh yang lainnya.

Irma semakin terperanjat, "Enggak kayak begitu Pak. Aku tadinya menolong teteh Sabrina aja. Sumpah demi apapun." Irma berusaha membela dirinya. Dia juga melihat ibunya hanya terdiam saja. Raut wajah kecewa terlihat jelas di wajah perempuan paruh baya itu.

"Ah sudahlah Irma, jangan banyak alasan. Pokoknya kalian berdua harus ikut ke rumah pak Muksim agar bisa di nikahkan secara langsung," bantah yang lainnya. Dia tidak terima jika kedua insan itu tidak di nikahkan sekarang juga.

"Kelakuan anak ibu telah mencoreng nama baik kampung kita. Mau nggak mau mau, dia harus di nikahkan sekarang juga," ucap lelaki lainnya menunjuk Muna, ibunya Irma.

Muna mengangguk saja, mulutnya tak dapat berbicara. Dia tak menyangka, bahwa anak yang dia didik selama ini, bahkan baru keluar dari pesantren berbuat demikian. Dia memang ingin meminta anaknya segera menikah saja, seperti teman anaknya itu, tapi bukan seperti ini jalannya.

"Emak... Aku enggak mau di nikahkan. Aku enggak salah," teriak Irma yang tak bisa melepaskan Manto, dengan posisi Manto saja berpegang erat dengannya.

"Kalian salah sangka semuanya, apa yang di katakan Irma benar. Gue tersangkut di batang." Manto menunjuk pohon dekatnya. "Ini aja kaki gue masih ada talinya. Gue muntah gara-gara mual berlama-lama bergelantungan di atas sana. Kepala gue aja masih sakit banget. Mana enggak ada yang nolongin lagi," jelas Manto berusaha membela diri. Dia juga tak terima dengan tuduhan para warga, apalagi di nikahkan sama perempuan yang dianggap Manto masih di bawah umur.

Kenal iya, tapi cinta tidak ada. Bukan tak mau menikah, tapi dia sedang mencari yang tulus.

Semuanya menyenter kaki Manto dengan Muna terperanjat. Dia juga tak bisa berbohong bahwa mungkin ini jalan satu-satunya agar anaknya itu menikah saja. Walau Muna sendiri tidak menerima jika anaknya itu menikah dengan seorang transgender.

Muna yakin dan mengenal anaknya yang baru lulus dari pesantren. Irma bisa membimbing Manto. Dengan ekspresi sedih, Muna terlihat menghayati. Kesalahpahaman ini, sekalian saja di lakukan.

"Emak enggak yakin jika kalian beralasan demikian. Emak malu dengan sikap mesum kalian berdua. Apalagi kamu Manto, celana kamu aja terlihat terbuka. Awal aja kamu meminta tolong, padahal nafsu kamu yang sebenarnya menjadi lelaki itu tak tertahankan. Kamu memang transgender, tapi kamu tidak bisa menutupi bahwa nafsumu itu sudah tak tertahan lagi." Muna memiliki alasan yang langsung diterima oleh penduduk sekitar.

Irma dan Manto semakin terperanjat atas ucapan Muna.

"Nikahkan saja mereka. Aku juga enggak mau jika anakku hamil nantinya," perintah Muna secara gamblang.

Mereka semua mengikuti, tapi tidak dengan Manto dan Irma yang tidak terima hal itu terjadi. Ini jelas-jelas, fitnah.

Seribu Rupiah

Bertubi-tubi alasan Irma lontarkan untuk membela diri, sembari memegang Manto yang duduk saja tak sanggup. Irma juga tak mendapatkan cegahan dari orang-orang sekitarnya.

Sampai-sampai berita itu gempar begitu saja, dan menjadikan orang-orang kampung meramaikan rumah Muksim sebagai kepala RT. Pemimpin pesantren saja datang untuk menemui sahabatnya yang terlihat pucat pasih. Manto masih mabuk darat, udara, serta laut akibat bergelantungan di atas pohon, dengan cuaca yang ikut membasahinya.

Masih beruntung dia tidak di sambar petir akibat lama bergelantungan. Nyawanya masih panjang, tapi dia bagaikan pasien saat ini. Manto juga tidak tinggal diam dan ikut membela diri dengan separuh tenaganya.

Ilham sebagai sahabat membantu Irma agar Manto berpegangan padanya saja. Ilham ikut menengahi dan meluruskan permasalahan itu. Tanpa bukti yang jelas, semuanya masih diarungi emosi dan tidak mempercayai apa yang di lakukan Irma dan Manto.

Ilham jadinya kebingungan. Dimana resleting Manto terbuka, dan di jadikan sebagai tanda bukti.

Menyesal Irma membantu Manto jika dia dipaksa menikah begini. Muna saja tidak membela putrinya sendiri. Dia sangat mendukung jika Irma menikah saja. Lagian Muna tak bisa melihat anaknya terus-menerus di fitnah warga sekitar.

"Menikah saja Nak. Emak enggak mau kamu salah jalan dan selalu di fitnah kayak begini." Muna kasihan juga melihat putri pertamanya itu seperti terus menolak. Muna sudah tua, dia hamil saja sangat lama mendapatkan Irma, sampai-sampai Irma sekolah dan melahirkan adik-adiknya.

Muna sebagai pegawai buruh tani di ladang kebun milik salah satu orang terkaya di kampungnya, cukup menyekolahkan batas pesantren saja. Itupun Irma mendapatkan bantuan dari sekolahnya.

Sekarang Muna sudah tua, tak sanggup lagi membiayai kehidupan sehari-hari. Sekolah adik-adik Irma saja dapat bantuan juga dari sekolahan. Kalau tidak tadi, Muna terpaksa meminta anak-anaknya bekerja saja.

Kalau Irma, memang sudah lulus sekolah, dan lebih baik menikah. Itu lebih baik daripada nanti anak sulungnya menjadi salah jalan dan membuat malu keluarga. Tadinya Muna mau balik kampung saja, tapi dia undur karena di sana tidak memiliki pekerjaan seperti di kampungnya saat ini.

Sedangkan Irma menangis meraung-raung dan terus membela diri.

"Kalau begitu kita usir aja mereka berdua ini. Satu bikin malu, satunya lagi tambah malu-maluin," cetus salah satu warga.

"Sudahlah Ir, gue enggak tahan lagi. Sudahlah kita menikah dulu. Entar besok kita pikirkan lagi." Manto berusaha menggerakkan tubuhnya agar tetap tegap.

"Tapi Teh, ini bukan jalan yang benar." Irma menyadari Manto.

"Emang yang kalian buat di kebun pak Jamrut itu benar? Salah Ir, dosa, zina! Ini aja kalian berdua pegang-pegangan. Enggak tau diri itu namanya." cela yang lainnya.

Irma rasa semua orang terus saja memfitnahnya. Pernikahan yang tak ingin dia lakukan sekarang harus secara paksa.

"Kamu yakin Man?" Ilham memastikan bahwa Manto dalam keadaan sadar saat ini. Walau kondisi Manto bak terkena angin puting beliung. Bersendawa tak berkesudahan.

"Gue sadar Gus. Urusan lainnya nanti dipikirkan. Gue juga enggak sanggup lagi duduk, mau guling di paksa duduk." Manto masih sempoyongan.

"Kasihan dirimu Man. Mungkin Irma memang jodohmu. Jangan ambil dan salah jalan. Pernikahan bukan untuk main-main." Ilham seperti biasa mengeluarkan sebuah nasehat yang tampaknya akan panjang untuk di dengar Manto kali ini. Sedangkan Manto hanya membutuhkan tempat tidur untuknya beristirahat.

Manto menoleh ke Irma dengan wajah perempuan di sampingnya berbentuk tiga bayangan. "Ir, sekali ini aja bantuin gue. Gue enggak sanggup lagi rasanya. Kepala elo aja ada tiga, kadang satu."

Irma sangat kasihan dengan raut wajah Manto yang berkeringat dingin. Dimana pakaian Manto basah. Mau tak mau dia terpaksa menyetujui. "Iya sudah Teh, kita nikah aja. Lagian kita bisa cari jalan keluarnya nanti."

Semua yang menyaksikan ikut sedih melihat rupa Manto saat ini.

"Iya sudah mana pak penghulunya?" Manto mencari seseorang yang dapat menyegerakan pernikahan itu.

"Gus Ilham saja. Lagian dia pemuka agama di sini," ucap salah satu warga.

"Nah iya betul," ucap warga lainnya. Semuanya sepakat agar Ilham yang menikahi Manto dan Irma.

"Iya sudah kalau begitu. Mana uang buat mas kawinnya?" Ilham meminta pada Manto.

Manto merogo kantongnya mencari hal tersebut. Kosong semua. "Walah Gus, gue lupa bawa uang. Gue ngutang dululah sama Elo."

Ilham menghembuskan napasnya sembari mengambil uang di saku. "Kamu malu-maluin aku aja Man." gumam Ilham yang menemukan uang koin senilai seribu rupiah. Sisa beli garam di warung. Dia habis belanja sebenarnya sebelum ke rumah RT setempat. Garamnya saja ketinggalan di warung, gara-gara ingin menengahi warga yang berteriak untuk menikahi sahabatnya itu.

"Seribu Man." Ilham mengangkat koin di tangannya. Sontak yang lainnya tertawa sembari mengeluarkan uang masing-masing.

Mereka menyumbang untuk mas kawin. Sedangkan Irma dan Manto tak banyak berkutik. Mundur dan menolak tak bisa juga mereka lakukan.

Total-total uang terkumpul tiga ratus ribu rupiah. "Alhamdulillah. Ir, ini uangnya. Sekiranya kamu mau atau enggak?" tanya Ilham.

"Kalau kurang entar gue tambahin besok," sahut Manto.

Irma mengangguk saja. Dia juga tidak meminta berapapun yang diberikan. Otaknya saja masih tidak ingin menikah. Namun Manto yang dalam kondisi seperti nyawanya sudah di ujung tanduk mau tak mau Irma menyetujui.

Semuanya mengucap syukur dengan Ilham meletakkan uang di hadapan Manto dan Irma. Akad nikah di mulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!