Hujan deras disertai gemuruh petir menjadi lagu pengantar di tengah pertengkaran dua orang yang dulunya pernah saling mencintai.
Baron: "Sudah cukup bicaramu. Dasar wanita tidak tahu diri!"
Rita: "Kenapa kalau aku banyak bicara? Bukankah selama ini aku sudah banyak diam? Aku juga ingin marah-marah dan mengumpat seperti kamu. Biar kamu tahu gimana rasanya sakit hati oleh kata-kata kasar."
Baron: "Jadi sekarang sudah berani melawan?"
Rita: "Iya. Kenapa? Aku sudah capek diam saja. Aku capek jadi orang sabar terus. Sedangkan kamu sama sekali tidak pernah menjaga perasaan aku. Kamu sama sekali tidak menghargai aku sebagai istrimu."
Baron: "CUKUP! Tidak perlu banyak bicara lagi. Sekarang juga kamu angkat kaki dari rumah ini!"
Rita: "Baik. Sekarang juga aku akan pergi dari tempat busuk ini!"
Sementara di bawah kolong meja bersembunyi seorang anak lelaki berusia delapan tahunan. Anak yang tidak mengerti apa-apa itu menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya sambil menangis ketakutan. Suara tangisannya bahkan tersamarkan oleh suara hujan dan caci maki dari kedua orang tuanya.
Rita berjalan menuju pintu depan. Langkahnya tiba-tiba terhenti tepat di depan pintu. Dia sudah siap pergi dari rumah tempatnya bernaung selama 10 tahun ini bersama pria yang pernah dicintainya dulu. Namun masih ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Dia berbalik tepat ketika sebuah tangan kecil meraih jarinya.
Dion: "Ibu... Jangan pergi... Huhuhu... Jangan tinggalkan Dion sendiri... Huhuhu... Dion janji gak akan nakal lagi... Dion bakal dengar omongan Ibu... Huhuhu..."
Dion menangis tersedu-sedu sambil memegang jari Rita. Tangis Dion untuk menahan kepergian ibunya sungguh menyayat hati.
Rita: (Membungkuk lalu menghapus air mata Dion) "Dion..."
Baron: "Dion! Masuk sini ikut Ayah! Wanita s!alan itu bukan lagi ibumu!"
Rita langsung berdiri tegak menatap tajam kepada Baron.
Baron: "Lihat apa kamu? Jangan harap kamu bisa bawa Dion!"
Baron langsung menarik Dion menjauh dari Rita.
Dion: "Gak mau... Dion mau Ibu... Dion mau ikut Ibu... Huhuhu... Ibu bawa Dion..."
Dion terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari ayahnya. Namun itu percuma. Rita menatap putra kecilnya dengan nanar.
Baron: "Masih tunggu apa lagi kamu? Cepat pergi!"
Dion: "Ibu... Dion mau Ibu... Ibu gak boleh pergi... Dion mau ikut Ibu..."
Rita tidak bisa berbuat apa-apa meskipun hanya untuk memeluk atau mengucapkan kata perpisahan kepada putra kecilnya. Dia meremas dadanya, memalingkan wajah, dan melangkah dengan cepat meninggalkan rumah itu meskipun hujan tengah turun dengan lebatnya.
Dion: "Ibu... Huaaa... Ayah jahat! Ayah suruh Ibu pergi... Huaaa... Dion gak mau ikut Ayah... Dion mau ikut Ibu... Huaaa..."
Baron: "Dion, cukup! Dion... Dengarkan Ayah!"
Dion: "Ibu... Huaaa... Huaaa... Huaaa...."
Plak! Sebuah tamparan tiba-tiba mengejutkan Dion sehingga sontak membuat tangisnya berhenti.
Baron: "Dion, dengar kata Ayah! Mulai sekarang jangan sebut-sebut wanita itu Ibumu lagi. Dia bukan Ibumu. Dia sudah membuang mu! Dia sudah tidak sayang sama kamu. Dia tidak menginginkan kamu, Dion! Lihat, dia sudah pergi meninggalkan kamu. Mulai sekarang Ayah yang akan menjagamu. Kamu tidak perlu Ibu seperti dia. Dan kamu harus nurut sama Ayah!"
Dion: "Tapi... Ibu... Hiks..."
Baron: "Sudah Ayah bilang jangan sebut Ibu lagi. Ngerti gak sih? Sekarang kamu harus nurut sama Ayah. Dengar omongan Ayah! Kalau kamu gak nurut nanti Ayah kunci di gudang yang gelap, mau?"
Dion: "Enggak."
Baron: "Kalau gak mau makanya ingat, dengar ucapan Ayah. Udah sekarang kamu ke kamar dan tidur. Cepat!"
Dion langsung berlari ke kamarnya. Menutup pintu, naik ke atas tempat tidur, langsung menutupi tubuh mungilnya dengan selimut sampai ke kepala, dan kembali menangis.
Kejadian malam ini menjadi kenangan terburuk bagi Dion kecil. Dan merupakan terakhir kali dirinya melihat sosok sang Ibu.
Setelah pertengkaran malam itu, esoknya semua kembali normal. Hari-hari berjalan seperti biasanya tanpa ada yang berubah. Hanya bedanya sekarang Dion tinggal berdua bersama sang Ayah. Baron memenuhi semua kebutuhan Dion tanpa ada satupun yang kurang. Setiap pagi Baron mengantar Dion ke sekolah dan menjemputnya saat pulang. Tetapi sepulang sekolah Dion harus tinggal sendiri di rumah karena ayahnya harus kembali bekerja. Meskipun di usia yang masih sangat muda, Dion termasuk anak yang mandiri dan tidak merepotkan. Namun Dion sering diam-diam menangis manakala merindukan ibunya. Setiap malam ia selalu berdoa agar orang tuanya bisa kembali bersama, supaya ibunya pulang kembali ke rumah.
Suatu siang Dion sedang belajar. Tiba-tiba dia didatangi oleh seorang wanita paruh baya.
"Dion." Wanita paruh baya itu memanggil dari balik pintu.
Dion menoleh dan langsung berlari membukakan pintu.
Dion: "Nenek!"
Dion langsung memeluk Irma, neneknya.
Ini kunjungan pertama Irma setelah kedua orang tua Dion berpisah. Dulu, Rita sering membawa Dion berkunjung ke rumah Irma. Irma merupakan ibu dari Rita. Di rumah Irma, Dion sangat suka bermain dengan bibinya.
Irma: "Bagaimana kabarmu, Dion? Kamu tinggal sendirian di rumah?"
Dion: "Iya, Nenek. Ayah kerja jadi Dion sendiri. Kabar Dion baik, Nek. Tapi..." (Menunduk sedih)
Irma: "Tapi kenapa, Dion? Coba beritahu Nenek!"
Dion: "Dion kangen sama Ibu. Ibu udah pergi tinggalkan Dion. Kata Ayah, Ibu udah gak sayang sama Dion."
Dion mulai menitikkan air mata. Dia segera menghapus air mata yang jatuh ke pipinya.
Irma: "Cup... Cup... Cucu Nenek, bukan Ibu gak sayang sama Dion." (Membelai kepala Dion dengan lembut.)
Dion: "Terus kenapa Ibu tinggalin Dion? Kenapa Ayah marah sama Ibu dan suruh Ibu pergi?"
Irma: "Dion masih kecil belum mengerti masalah orang dewasa. Kalau Nenek cerita, Dion juga pasti gak ngerti. Nanti kalau sudah gede Dion pasti paham apa yang terjadi sama Ayah dan Ibu Dion. Dan kenapa Ibu Dion pergi."
Dion: "Tapi, Dion rindu Ibu... Dion mau Ibu pulang. Dion pengen ketemu Ibu..."
Irma: "Yang sabar ya, Dion. Nenek ngerti Dion rindu Ibu. Ibu Dion juga pasti rindu sekali dengan Dion. Dion berdoa aja, ya! Semoga Dion bisa ketemu lagi sama Ibu."
Irma tidak bisa melakukan apa-apa untuk cucunya itu. Padahal Dion merupakan cucu dari anak perempuannya. Namun sebagai orang tua yang bijak, ia tidak sepatutnya ikut campur dengan masalah rumah tangga putrinya.
Irma: "Udah jangan nangis lagi, ya! Ini Nenek bawakan kue kesukaanmu. Kamu makan dulu, ya!" (Sambil menyodorkan bungkusan kue yang telah dibuka untuk Dion.)
Dion: "Terima kasih, Nenek."
Dion mengambil kue itu dan menghabiskan beberapa buah.
Irma: "Ini Nenek ada sedikit uang jajan untukmu. Kamu simpan, ya! Jangan bilang sama Ayah kalau Nenek datang kemari. Nenek takut Ayahmu akan marah. Sekarang Nenek pulang dulu."
Dion: "Nenek datang lagi, ya?"
Irma: "Iya. Lain kali Nenek datang lagi buat lihat Dion. Dion jangan sedih-sedih, ya! Banyak berdoa. Jadi anak yang nurut dan baik biar Ayah senang."
Dion: "Iya, Nenek. Terima kasih. Dion akan ingat kata-kata Nenek. Nenek kalau ketemu Ibu bilang sama Ibu kalau Dion rindu... sekali."
Irma: "Iya. Nenek pasti kasih tahu Ibumu kalau ketemu. Nah, Nenek pamit, ya! Pintunya kunci rapat-rapat, ya!"
Dion: "Iya. Hati-hati di jalan, Nenek!"
...🍀🍀🍀...
Irma baru sampai di rumah.
Rita: "Uhuk... Uhuk... Ibu sudah pulang?"
Irma: "Loh, kamu koq malah duduk di luar sih? Kan masih sakit."
Rita: "Gak apa-apa, Bu. Cuma demam aja. Ini udah mendingan. Gimana Dion, Bu? Dion sehat?"
Irma: "Dion sehat koq. Dia bilang sama Ibu, kalau ketemu kamu bilangin kalau dia rindu sekali padamu."
Mendengar itu membuat mata Rita seketika berkaca-kaca.
Rita: "Aku juga rindu sekali sama Dion, Bu. Uhuk... Uhuk..."
Irma: "Sudah, kamu kembali istirahat, ya! Banyak berdoa. Semoga ada jalan biar kamu bisa ketemu Dion."
Rita mengangguk.
^^^Bersambung...^^^
Beberapa bulan berlalu. Sesekali meskipun jarang Irma masih diam-diam datang mengunjungi Dion di rumahnya. Di hari Minggu, Baron tidak bekerja. Biasanya dia menghabiskan waktu di rumah menemani Dion atau mengajaknya pergi jalan-jalan di luar. Hari ini Baron ke luar meninggalkan Dion sendiri di rumah.
Baron: "Dion, Ayah ke luar sebentar, ya!"
Dion: "Ayah mau ke mana? Bukannya hari Minggu Ayah libur?"
Baron: "Ayah libur koq. Ayah cuma mau jemput teman. Ada teman Ayah yang mau main ke rumah dan ketemu sama Dion."
Dion: "Oh. Ya udah. Hati-hati di jalan, Ayah!"
Di dalam hati, Dion sangat berharap teman yang ayahnya bilang ingin ketemu dengannya itu adalah ibunya.
Baron: "Iya."
Baron pun pergi.
Dion: "Semoga temannya Ayah itu Ibu ya Tuhan. Amin."
Beberapa jam kemudian Baron pulang. Dion begitu bersemangat saat mendengar suara motor ayahnya berhenti di depan. Dion langsung berlari untuk membukakan pintu depan. Namun semangat Dion meredup saat melihat orang yang dibawa Baron merupakan seorang wanita muda cantik yang sama sekali tidak dikenalnya. Setelah membukakan pintu untuk ayahnya, Dion langsung lari bersembunyi di balik dinding sekat ruang tamu. Namun ia masih mengintip dari balik dinding.
Baron: "Dion, kemari!"
Baron dan wanita itu sudah berada di ruang tamu. Dion masih mengintip dari tempatnya.
Baron: "Ayo, sini! Kenalan dulu sama Tante cantik ini."
Dion pun mendekat dengan enggan. Sambil terus menatap wanita yang tersenyum padanya itu.
Maya: "Hai, namamu Dion, ya?"
Dion: "Iya."
Baron: "Nah, Dion. Tante cantik ini bernama Maya. Nanti Tante Maya akan tinggal di sini bersama kita dan menjadi ibunya Dion."
Bagai tersambar petir di siang bolong Dion mendengar perkataan ayahnya itu. Meskipun masih kecil dia mengerti betul maksud ayahnya itu. Dia langsung berteriak lantang.
Dion: "GAK MAU! DION MAU IBU! DION GAK MAU DIA..."
Kemudian Dion lari ke kamar.
Baron: "Dion!"
Baron hendak mengejar putranya namun Maya segera menghentikannya.
Maya: "Udah biarin aja. Dion pasti kaget. Pelan-pelan saja. Beri Dion waktu. Nanti dia juga pasti bisa menerima."
Baron: "Iya. Maaf ya atas sikap Dion yang kurang sopan tadi."
Maya mengangguk sambil tersenyum.
Dion menangis sejadi-jadinya di dalam kamarnya.
Dion: "Huhuhu... Ayah jahat! Dion mau Ibu. Dion gak mau tante itu. Huhuhu... Dion gak mau punya ibu lain selain Ibu. Huhuhu.... Ibu di mana? Dion mau ikut Ibu. Huhuhu...."
Dion yang menangis sampai ketiduran akhirnya dibangunkan oleh Baron saat hari mulai senja.
Baron: "Dion, bangun..."
Baron menggoyang-goyangkan tubuh Baron dengan pelan supaya Dion bangun. Dion bangun dan mengucek-ngucek matanya.
Baron: "Sudah senja. Dion pergi mandi lalu makan, ya! Tante Maya udah siapin makanan untuk Dion di atas meja makan. Masakan Tante Maya enak loh! Sekarang Ayah mau antar Tante Maya pulang dulu. Sebentar aja nanti Ayah pulang temani Dion."
Dion tidak menanggapi. Baron telah pergi. Dion juga sudah selesai mandi. Dia berdiri di depan meja makan melihat lauk pauk yang tersedia. Dion sama sekali tidak berselera apalagi mengetahui Maya yang memasaknya. Dia lebih memilih makan nasi dengan kecap saja daripada makan masakan wanita itu.
Baron telah pulang ke rumah. Melihat lauk pauk yang masih utuh di atas meja makan membuat Baron keheranan. Lantas ia pun memanggil putranya.
Baron: "Dion... Dion..."
Dion yang di kamar mendengar panggilan ayahnya segera datang.
Dion: "Iya, Ayah. Ada apa?"
Baron: "Dion, kamu tidak makan?"
Dion: "Aku sudah makan, Ayah."
Baron: "Sudah makan? Kenapa lauknya masih utuh?"
Dion: "Dion gak suka lauk masakan Tante Maya. Dion lebih suka masakan Ibu."
Mendengar jawaban Dion seketika langsung membuat Baron naik darah.
Baron: "Dion, sudah Ayah bilang... Jangan sebut-sebut wanita itu lagi. Dia itu bukan ibumu! Dia sudah meninggalkan mu karena dia tidak sayang lagi padamu!"
Dion: "Ayah bohong. Ibu masih sayang sama Dion. Ibu pergi karena Ayah yang mengusir Ibu."
Baron: "DION! Cukup, ya... Pokoknya Ayah tidak mau dengar kamu sebut ibu ibu lagi. Apalagi setelah Tante Maya tinggal di sini. Tante Maya akan menjadi ibumu yang lebih baik daripada ibumu yang tidak berguna itu!"
Dion: "Ayah jahat! Pokoknya Dion gak mau. Dion tetap maunya Ibu!"
Dion kemudian berlari ke kamar. Membanting pintu dan menguncinya.
Baron: "DION. DION."
Baron berteriak memanggil Dion namun putranya itu sama sekali tidak menanggapi.
Di dalam kamar Dion menangis sejadi-jadinya.
Dion: "Ibu... Dion mau Ibu... Hiks... Tuhan, bawa Dion ketemu Ibu. Dion mau tinggal sama Ibu... Dion benci Ayah. Dion gak mau tinggal di sini sama Ayah. Hiks... Hiks..."
Dion terus saja menangis sampai akhirnya tertidur.
...🍀🍀🍀...
Pernikahan Baron dan Maya dilaksanakan dengan cukup meriah di rumah sederhana Baron. Meskipun suasana di luar dipenuhi kemeriahan pesta, namun Dion lebih memilih mengunci diri di kamar.
Pesta telah selesai. Kehidupan baru Baron bersama Maya baru akan dimulai.
Baron: "Dion, mulai sekarang kamu panggil Tante Maya dengan panggilan mama, ya!"
Dion: "Enggak mau! Tante Maya bukan ibuku!"
Baron: "Dion, jangan kurang ajar, ya! Cepat minta maaf sama Mama."
Dion: "GAK MAU!" (Berlari ke kamar)
Maya: "Udahlah, Sayang! Jangan dipaksain. Pelan-pelan aja, kasih Dion waktu. Dia hanya belum terbiasa dengan perubahan yang mendadak ini."
Baron: "Kamu memang istri yang pengertian. Maafin Dion, ya! Maaf, harus merepotkan kamu untuk ikut menjaga dia."
Maya: (Tersenyum) "Gak apa-apa, koq! Sekarang Dion kan juga anakku."
Baron ikut tersenyum dan mengusap kepala Maya.
...🍀🍀🍀...
Setiap hari Dion selalu bangun lebih pagi karena dia harus pergi ke sekolah. Ia bangun sendiri dan mengurus dirinya sendiri. Dion sudah rapi dengan seragam sekolah. Saat ia berjalan ke meja makan sudah ada Maya dan Baron di sana.
Maya: "Dion, sudah rapi, ya! Sini sarapan dulu yuk!"
Baron: "Iya, Dion. Mama sudah bangun pagi-pagi masak untuk kamu loh!"
Dion tidak menyahut. Ia mendekat dan duduk di meja makan dengan wajah datar. Maya langsung menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauk ke depan Dion.
Maya: "Dion boleh panggil Tante koq kalau tidak terbiasa panggil Mama. Ini makan dulu, ya! Biar semangat sekolahnya."
Baron: "Nah, lihat kan... Mama Maya sangat baik. Dion harus dengar kata Mama, ya!"
Dion tidak menanggapi dan dengan terpaksa melahap makanan yang disiapkan Maya untuknya. Setelah selesai sarapan Baron mengajak Dion berangkat.
Baron: "Izin ke sekolah sama Mama dulu, Dion!"
Dion: "Aku berangkat... Tante."
Baron: "Koq Tante sih? Mama dong! Ayo, ulang!"
Maya: "Udahlah, Sayang... Jangan dipaksa Dion-nya."
Baron: "Gak apa-apa. Ini biar dia cepat terbiasa."
Baron: "Dion. Ayo, izin sekali lagi, panggil Mama. Kalau gak Ayah gak mau antar ke sekolah, ya!"
Mata Dion langsung berkaca-kaca. Ia menundukkan kepalanya dan berbicara dengan terbata-bata.
Dion: "Dion... Berangkat ke sekolah... Ya... Ma... Mama..."
Baron: "Nah, gitu dong!"
Baron: "Aku berangkat ya, Sayang!" (Berkata pada Maya)
Maya: "Iya. Hati-hati di jalan. Dion juga, ya! Semangat belajar!"
Di dalam hati Dion sangat berat memanggil wanita yang bukan ibunya itu mama. Namun dia hanyalah seorang anak kecil yang hanya bisa menuruti kemauan ayahnya.
^^^bersambung...^^^
Kehidupan rumah tangga Baron bersama istri barunya nampak bahagia. Maya memperlakukan anak tirinya dengan cukup baik. Meskipun belum bergelar seorang ibu namun Maya mampu menjadi sosok ibu yang penuh perhatian dan kasih sayang kepada Dion. Setiap hari Minggu mereka sekeluarga pergi berjalan-jalan ke luar. Mereka terlihat layaknya sebuah keluarga bahagia. Meskipun di luar Dion terlihat tersenyum namun sesungguhnya di dalam hatinya ia masih belum bisa menerima Maya sebagai pengganti ibunya. Di dalam hati ia masih sangat merindukan ibu yang telah melahirkannya.
Hari mulai berganti malam. Baron dan keluarganya masih berada di luar. Sebelum pulang ke rumah ia mengajak istri dan anaknya makan malam.
Baron: "Sudah malam nih. Sebelum pulang kita pergi makan dulu, ya!"
Maya: "Boleh. Jadi pulang gak perlu repot-repot masak lagi."
Baron: "Kamu mau makan apa, Sayang?"
Maya: "Aku tanya Dion dulu, ya!" (Bertanya kepada Dion) "Dion, kamu mau makan apa?"
Dion: "Apa saja boleh."
Maya: "Kalau apa saja boleh Mama malah jadi bingung. Nanti malah ke tempat makan yang makanannya yang tidak kamu sukai. Bagaimana?"
Dion: "Enggak. Dion tidak pilih-pilih makanan kok."
Baron: "Jadi sudah diputuskan mau makan apa?"
Maya: "Kalau begitu biar Ayah saja yang pilih, ya!"
Dion: (Mengangguk)
Maya: "Kamu yang pilih deh!"
Baron: "Bagaimana kalau makan bakso?"
Maya: "Jangan bakso deh. Mana kenyang? Yang pakai nasi saja."
Baron: "Em... Kalau begitu ke rumah makan Padang saja, bagaimana? Kan banyak pilihan sayurnya juga."
Maya: "Bagaimana, Dion? Mau?"
Dion: "Iya."
Maya: "Baiklah kalau Dion setuju. Ayo, kita makan malam di sana!"
Baron kemudian membawa mereka menuju ke salah satu rumah makan Padang. Banyak lauk pauk tersedia di sana. Dion bebas memilih lauk yang ia suka. Setelah selesai makan Baron membawa mereka pulang ke rumah.
...⚜️⚜️⚜️...
Dua bulan berlalu. Maya kemudian hamil. Baron sangat senang mendengar kehamilan istrinya. Ia juga memberitahu Dion tentang kabar bahagia itu.
Baron: "Dion, akhirnya kamu akan punya adik."
Nampak ekspresi bahagia terpancar di wajah Baron. Namun tidak dengan Dion. Ia justru tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
Maya: "Iya, Dion. Sebentar lagi kamu akan jadi abang."
Dion: "Selamat, ya... Ayah, Mama..."
Kemudian Dion berjalan pergi ke kamarnya. Sayup-sayup masih terdengar suara tawa bahagia dari ayah dan ibu tirinya.
Semenjak mengetahui Maya hamil, Baron mendadak menjadi sangat protektif terhadap istrinya itu. Sampai-sampai ia rela mengambil alih semua pekerjaan rumah agar Maya dapat banyak beristirahat. Baron juga bangun lebih pagi untuk memasak.
Memasuki trimester kedua, perut Maya mulai terlihat membuncit. Beruntungnya ia sama sekali tidak mengalami morning sickness seperti ibu hamil pada umumnya. Ia tetap makan dengan lahap seperti biasa. Pagi ini tidak seperti biasanya Dion bangun kesiangan. Ia dengan cepat mandi dan memakai seragam. Kalau dulu ayahnya akan membangunkannya jika ia terlambat bangun semenit saja. Namun sejak menikah lagi sudah tidak pernah. Dion terburu-buru menuju ke meja makan. Namun pagi ini meja makan justru kosong. Tak ada satupun makanan yang tersaji di atasnya. Batang hidung Baron pun tidak terlihat. Padahal belakangan ini ayahnya itulah yang selalu menyiapkan sarapan.
Maya: "Baru bangun?"
Tiba-tiba suara ketus terdengar di belakang Dion. Dion menoleh.
Dion: "Ma-"
Belum selesai Dion berucap langsung dipotong oleh Maya.
Maya: "Apa ma, ma, ma... Enak banget bangun-bangun tinggal makan. Itu dapur berantakan, baju kotor sudah menumpuk, piring kotor, lantai juga harus disapu dan dipel. Cepat sana bersihkan!"
Dion terperanjat mendengar kata-kata itu.
Dion: "Ta, Tapi aku harus sekolah."
Maya: "Gak ada sekolah sekolah. Kamu lihat sudah jam berapa sekarang? Hah? Sekolah apa jam segini? Jangan banyak alasan. Cepat sana kerjain!"
Dion: "Tapi-"
Maya: "Eh, masih mau melawan? Gak ku kasih makan kamu nanti, ya!"
Dion menunduk tidak berani membantah. Ia pun hanya bisa pasrah melakukan apa yang disuruh ibu tirinya. Dion tidak mengerti mengapa sikap Maya kepadanya tiba-tiba berubah drastis. Wanita yang sebelumnya selalu tersenyum dan berbicara dengan lembut padanya tiba-tiba berubah menjadi seperti monster yang garang dan menakutkan. Dion terpaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah yang disuruh Maya tanpa istirahat sedikitpun. Pekerjaan yang tidak seharusnya dikerjakan oleh anak seusianya. Bahkan sampai tidak makan. Sementara Maya hanya duduk ongkang-ongkang kaki sambil menonton TV. Dion juga harus mengepel seluruh lantai rumah dengan tangan. Maya melarangnya menggunakan mop dengan alasan tidak bersih. Dion yang lapar karena tidak makan sejak pagi berhenti sejenak untuk istirahat.
Maya: "Eh, kenapa berhenti?"
Dion: "Aku boleh istirahat sebentar? Aku capek dan lapar."
Maya: "Gak ada istirahat dan makan sampai semua pekerjaan beres. Paham?"
Dion: "I, Iya."
Lagi-lagi Dion hanya bisa pasrah. Sambil menitikkan air mata ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Maya: "Manja!"
Dion baru diberi makan saat hari menjelang sore. Namun enaknya makanan sama sekali tidak bisa ia nikmati meskipun ia sangat lapar. Karena sikap dan perlakuan Maya hari ini membuatnya harus makan sambil bercucuran air mata. Dia tidak menyangka nasibnya akan berubah menjadi seperti ini.
Malam telah larut, Baron masih belum terlihat batang hidungnya. Dion memberanikan diri bertanya kepada Maya.
Dion: "Ma, Mama, Ke, kenapa ayah masih belum pulang?"
Maya: "Kenapa cari-cari ayahmu? Mau ngadu sama ayahmu, heh?"
Dion: "E, Enggak, Ma... Cu, cuma udah malam. Biasanya ayah tidak pulang selarut ini."
Maya: "Ayahmu sedang tugas di luar kota. Besok baru pulang. Awas aja kalau kamu ngadu, ya! Gak akan ku kasih makan kamu!"
Dion cepat-cepat menggeleng.
Dion: "Eng, enggak, Ma. Dion gak berani ngadu."
Maya: "Ya, bagus. Sana tidur!"
Dion langsung berlari masuk ke dalam kamar. Dia duduk di atas tempat tidur, berdoa sambil menangis.
...🍀🍀🍀...
Keesokan paginya Dion bangun lebih awal. Rumah nampak sepi. Maya sepertinya masih tidur. Dion segera berangkat ke sekolah tanpa sarapan.
Di jam istirahat Dion mulai merasa lapar. Apalagi dia tidak membawa uang jajan. Dion hanya bisa menahan rasa lapar dan haus hingga pulang sekolah. Saat pulang dari sekolah ayahnya sudah ada di rumah. Dion merasa sedikit lega.
Dion: "Ayah..."
Baron: "Dion, baru pulang sekolah?"
Dion: "Iya."
Baron: "Dion, Ayah minta maaf, ya! Kamu jadi harus berangkat dan pulang sekolah sendiri sekarang."
Dion: "Iya, tidak apa-apa. Dion kan sudah besar. Ayah, kenapa tidak bilang sama Dion kalau semalam tidak pulang?"
Baron: "Ayah ingin memberitahumu tapi kamu sudah tidur. Mama bilang akan memberitahumu saat bangun nanti."
Maya yang baru muncul dari dapur melotot pada Dion. Wajahnya langsung berubah tersenyum saat Baron melihat kearahnya.
Maya: "Mama sudah bilang kan kalau Ayah tidak pulang? Kamu tidak mendengarkan dengan teliti. Coba ingat-ingat lagi."
Dion: (Menunduk) "Iya. Maaf, Dion lupa."
Maya: "Kamu pasti capek kan, Dion? Sana masuk ganti seragam sekolahnya terus makan siang."
Wajah Maya tersenyum pada Dion. Namun Dion tahu senyum itu hanyalah senyum palsu.
Dion: "Baik, Ma."
Dion segera pergi melakukan apa yang disuruh ibu tirinya. Setidaknya ia bersyukur ayahnya pulang cepat ke rumah siang ini sehingga ia dapat segera makan siang untuk mengisi perutnya yang sudah lapar.
^^^bersambung...^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!