"Mas," Alana berucap lirih, menekuk kepala menundukkan pandangannya. Meremas daster nya yang sedikit basah berusaha menutup rasa kecewa agar tak terlihat suaminya.
"Kenapa, kau keberatan?" Fahrizal kembali bicara, menatap istrinya dengan begitu malas. Sungguh pemandangan pagi hari yang selalu membosankan. Tidak bisakah istrinya itu sedikit menjaga penampilannya. Kenapa setiap pagi selalu terlihat lusuh bahkan begitu terlihat acak-acakan. "Kau tidak sayang pada Ibu?"
"Bukan begitu, Mas." Alana sampai terhenyak, kembali mengangkat kepala menatap suaminya yang tengah berbaring di tempat tidur. Iya, dia mengerti. Dia tahu Fahrizal ingin menjadi putra yang berbakti dan membahagiakan ibunya. Tapi kali ini permintaannya begitu berlebihan.
Oke, jika biasanya tiap bulan dia harus menyisihkan gajinya untuk membelikan apapun kemauan Ibu mertuanya. Dia akan berikan itu karena dia mampu. Tapi permintaan kali ini begitu memberatkan.
Terlebih kenapa harus membicarakan hal ini di waktu dia begitu lelah. Rambut panjang nya menjuntai sembarang di balik ikat rambut yang mulai melonggar. Ujung baju daster nya terlihat basah setelah dia mencuci pakaian dan menjemur nya. Membuat nya terlihat begitu lusuh bahkan tubuhnya begitu berkeringat, mengerjakan pekerjaan rumah sejak pagi rupanya membuat penampilan nya cumpang camping tak karuan.
"Jika Mas, ingin menghadiahkan sebuah kalung emas untuk ibu. Pasti akan memakan biaya yang cukup besar. Mungkin lebih dari lima juta." timpal lirih Alana. Bukan dia tidak mau mengabulkan permintaan sang suami. Dia hanya ingin di beri keringanan.
"Hanya lima juta Alana. Royalti yang kamu dapat dari hasil menulis novel kan dua puluh juta. Masih banyak sisanya." Fahri menjawab dengan enteng.
Bagiamana pun, selama mereka berumah tangga, ibunya banyak membantu. Bukan hanya mereka yang masih menumpang di rumah ibu. Ibu nya juga sudah berkata akan memberikan rumah ini pada mereka jika kelak sudah tiada. Jadi sudah sewajarnya Alana membalas kebaikan ibunya.
Alana sampai kembali meremas daster bajunya. Ingin rasanya ia protes, sekecil itukah nominal lima juta di mata Fahrizal padahal selama berumah tangga suaminya itu bahkan tak pernah memberinya nafkah sebanyak itu. Dia yang menjadi tulang punggung keluarga, bekerja setiap hari mengandalkan skill yang dia punya dengan bekerja paruh waktu, semua gajinya bahkan tidak sampai sebesar itu sampai harus terus mengabulkan permintaan ibu mertuanya yang selalu meminta hadiah mewah.
"Iya, Mas. Dari lima juta memang banyak sisanya, tapi di luar itu ada keperluan yang lebih penting." ucapnya Alana lirih, berusaha untuk tidak menyinggung perasaan suaminya. Meski sebenarnya hatinya sendiri mulai terluka.
Dia selalu berusaha mengerti, dia tak menuntut di nafkahi mengingat keadaan Fahrizal yang selalu sakit-sakitan, tidak pernah punya pekerjaan tetap. Dia menghormati Fahri meski tak bisa menjadi tulang punggung keluarga karena dia masih mampu untuk bekerja menanggung keuangan keluarga bahkan membiayai putra nya yang sudah duduk di bangku kelas satu SD.
Namun, tidak bisakah Fahri mengerti sedikit saja perasaannya. Uang sebesar itu hasil jerih payahnya, tiap malam bergadang menyelesaikan deadline target update tiap hari untuk sebuah cerita novel nya. Berusaha konsisten menjadi seorang penulis novel di sebuah platform novel online agar hasilnya bisa membiayai hidup mereka. Dan baru kali ini dia mendapatkan royalti sebanyak itu. Dan hasilnya pun tidak bisa ia nikmati untuk keperluannya sendiri.
Tiap hari demi hari banyak keinginan yang selalu dia kesampingkan, mengingat kebutuhan rumah tangga dan biaya hidup mereka, bahkan biaya untuk kesehatan Fahri sendiri selalu dia utamakan karena itu yang lebih penting.
Haruskah dia jelaskan dengan perinci, uang itu akan dia gunakan untuk apa, ingin rasanya menjelaskan tapi percuma, selama ini bahkan Fahri tak pernah tahu seberapa banyak uang yang harus dia cari untuk membiayai hidup mereka.
"Apa tidak bisa lain kali saja, Mas?" Lirih Alana memohon dengan ragu, bukan dia tidak mau memberi hadiah untuk ibu, namun setidaknya beri dia waktu, biar dia mengumpulkan uang terlebih dahulu. "Kita belikan hadiah yang lain dulu untuk ibu."
"Ibu yang minta, Alana. Jadi Mas, tak bisa menolaknya."
Alana kembali menekuk kepala, menahan sesak yang perlahan muncul di dada. Menguatkan hatinya sendiri, "Tak apa Alana, ikuti saja permintaan suami mu. Jangan memancing perkelahian toh uang bisa di cari." lirihnya dalam hati menegarkan hatinya sendiri.
"Baik mas, biar uang yang tadinya akan aku simpan untuk tabungan aku gunakan untuk membeli hadiah untuk Ibu." Alana hanya bisa mengalah, tidak ingin masalah ini di perpanjang. Terlebih tak mau malah berdebat memperumit keadaan mereka.
Masih bersyukur, uang itu bisa bermanfaat untuk semua orang. Bisa Alana gunakan untuk pengobatan Fahri, membayar semua keperluan sekolah Leon dan keperluan lainnya, bahkan bisa menyenangkan hati ibu mertuanya. Tak apa tidak memiliki saldo tabungan biar dia kembali bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk bekal masa depan putra semata wayangnya.
...* ...
Penampilan Alana kini sudah rapih, yang awalnya terlihat lusuh berganti dengan penampilan yang terlihat cantik alami tanpa polesan make up yang berlebihan. Tubuh yang awalnya begitu lengket kini terlihat segar dan harum dengan rambut yang tergerai sempurna.
Ya, usia Alana memang tidak lagi muda, usianya tahun ini sudah menginjak tiga puluh tahun. Namun, usia itu tak menyulutkan semangat muda nya, kerja keras nya, semangatnya untuk mencari nafkah begitu membara sampai siapapun tidak akan ada yang mengira kalau selama berumah tangga dialah sang tulang punggung keluarga, yang menanggung beban keluarga, dia selalu tetap ceria dan bahagia menjalani hari-hari nya.
"Alana, mau kemana kamu?"
Langkah Alana terhenti. Berbalik menengok sang ibu. Iya, beliau adalah Marina, Ibu mertuanya. "Bu, aku mau keluar sebentar ada keperluan." jawabnya ramah.
Iya, meski selama berumah tangga tinggal bersama. Kecanggungan masih tetap ada, setiap situasi dan kondisi tidak harus Alana ceritakan semuanya. Yang penting harus Ibu mertuanya tahu, dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membantu meringankan beban tanggung jawab putranya itu.
Terlebih, mengingat permintaan Fahrizal tadi yang harus memberikan Ibu mertuanya hadiah kalung emas, dia tidak harus cerita kalau dia akan mengambil uang, jika ibu tahu nanti malah meminta banyak keinginan lagi.
"Ada perlu?" Mariana menatap menantu nya itu dengan begitu menelisik. Begitu curiga. Keperluan apa sampai terlihat rapih seperti itu. Tidak biasanya menantunya itu keluar di jam jam seperti ini. Jika ingin menjemput cucu nya, ini belum waktunya, karena ini masih jam delapan sedangkan Leon selalu pulang jam sepuluh pagi.
"Apa ada jadwal MC lagi?" Tanya Mariana lagi karena Alana masih saja diam, namun tidak mungkin juga. Biasanya kalau ada job MC menantunya itu akan pergi lebih pagi. "Bicara yang jujur! Mau kemana kau?" timpalnya dengan nada suara cukup tinggi.
"Bu, Alana mau ke ATM. Dia mau mengambil uang." Fahrizal yang menjawab, dia yang sedari tadi di kamar sampai keluar mendengar suara sang ibu yang terus bertanya pada istrinya.
Alana sendiri langsung, mengiyakan ucapan sang suami. Mengangguk pelan saat mendapatkan tatapan sang ibu yang terlihat butuh penjelasan. "Iya,Bu. Aku pamit dulu!"
"Tunggu!" Mariana kesal. Kalau hanya ingin mengambil uang, kenapa tidak bicara dari tadi. Kenapa rapih seperti itu. Apa mungkin Alana menyembunyikan sesuatu. Terlebih, kata Rizal Alana mendapatkan royalti sampai dua puluh juta dalam kurun waktu yang singkat, dan jelas itu mencurigakan. Apa mungkin itu alasan Alana saja mendapatkan uang hasil dari novel padahal dari hal lain.
Yang dia tahu menantunya itu hanya seorang guru les, sampingannya menerima pesanan catering rumahan, dan terkadang ada job MC. Sekali dapat bayaran langsung mendapatkan uang tunai, tidak pernah mendapatkan uang sebanyak itu apalagi di transfer masuk ke ATM nya.
"Jangan-jangan kau dapat uang dari lelaki lain ya?"
"Bu!" Hati Alana sampai terhenyak. Jika di katakan kecewa, memang iya. Tapi hatinya sudah terlalu kebal karena terbiasa. "Tidak Bu, aku mau ngambil uang hasil kerja sendiri." lirihnya menjelaskan.
Fahrizal yang awalnya masih di dekat pintu kamar langsung menghampiri sang ibu merangkul dan mengelus pundaknya, "Bu, jangan selalu berprasangka buruk. Itu memang hasil kerja Alana, jadi ibu jangan banyak pikiran. Ibu istirahat saja, biar Alana pergi dulu."
Ibu Mariana perlahan luluh, membiarkan Alana pergi. Namun dengan syarat jangan terlalu lama karena Alana harus menjemput Leno. Dan yang lebih penting jangan lupa hadiah untuk nya, dia ingin uang cash karena dia akan membeli kalung kesukaannya sendiri.
Alana pergi, Fahri kini langsung mengajak ibunya untuk duduk, keadaannya sudah semakin tua jadi jangan terus menguras tenaga untuk hal yang tidak penting.
"Fahri, apa kau percaya pada istrimu begitu saja?" Ibu langsung bertanya saat mereka sudah duduk.
Iya. Memang bukan tanpa alasan Mariana terus berprasangka buruk. Pasalnya, selama berumah tangga dengan Fahrizal, Alana yang sering keluyuran keluar rumah, bekerja sama sini, dan tidak menutup kemungkinan sering bertemu dan bergaul dengan laki-laki lain. Pasti banyak kesempatan besar untuk melakukan itu berselingkuh dengan lelaki lain di luaran sana tanpa sepengetahuan putranya ini.
"Percaya Bu. Alana, tak pernah menyembunyikan sesuatu. Segala sesuatu pasti dia ceritakan padaku. Sedikit besar penghasilan nya dia selalu terbuka. Dia tidak mungkin berselingkuh."
Mariana sesaat terdiam, ya walaupun ragu dia akan berusaha percaya karena memang harus begitu adanya. Alana harus taat dan menyayangi suaminya ini. Alana harus tetap menjadi anggota keluarga mereka untuk membiayai hidup mereka.
"Iya Bu, Alana yang transfer." Alana sampai memasang senyum yang lebar. Mengangkat panggilan dari ibunya meski sedang berkendara. Iya, Motor matic yang di tumpangi berjalan perlahan, membelah jalanan kota untuk menjemput Leon di sekolah.
Setelah dari ATM dia benar-benar kutar ketir sendiri, langsung pulang memberikan uang yang di minta ibu mertuanya, bahkan memberi suaminya uang sejumlah yang sama yang katanya untuk berobat dan untuk keperluan lain. Dan kini dia langsung keluar lagi untuk menjemput anaknya mengingat waktu sudah hampir jam sepuluh.
Karena tak ingin telat menjemput Leon Alana sampai harus menerima penggilingan dari ibu nya sendiri sambil mengemudi, biar tidak memakan waktu. Mengemudi motor nya dengan perlahan, dengan menyelipkan ponsel di balik helm nya.
"Maaf jumlahnya memang sedikit Bu, Alana hanya ingin berbagi sedikit hasil kerja Alana." lirih Ana lagi, jika ibu mertuanya saja ia berikan hadiah kenapa ibu nya sendiri tidak. Dia ingin memberikan kebahagiaan untuk semuanya, sampai tak pernah memikirkan untuk kebaikan nya sendiri. Baginya, jika orang terdekat nya bahagia dia juga ikut bahagia.
"Besar kecilnya Ibu tak peduli, Nak. Ibu berterima kasih banyak. Hanya saja, akan sampai kapan kau seperti ini, kau yang setiap hari bekerja keras sedangkan suami mu hanya duduk diam di rumah."
Ibu Alana, merasa kasihan. Bukan ingin mempersedih keadaan putrinya. Hanya saja putrinya terlalu baik, tidak bisakah dia meminta suaminya itu untuk bekerja, nafkahi dia dan putra mereka, bukan hanya duduk manis menikmati hasil kerja putrinya saja.
"Ibu, Mas Fahri kan sakit. Tidak apa-apa kok, Alana masih mampu untuk bekerja. Alana tidak tega melihat keadaan Mas Fahri , jika memaksakan untuk bekerja keadaan tidak akan membaik."
"Itu hanya alasan saja, Nak. Bertahun-tahun, masa suami mu terus sakit tak mampu apa-apa. Sekali sakit pasti ada sembuh nya kan?" Ibu Alana semakin kesal, selalu saja putrinya itu menutupi kekurangan suaminya padahal dia tahu betul penyakit menantunya tidak separah itu sampai tak bekerja menafkahi keluarga nya sama sekali.
"Iya, Bu. Doakan saja semoga Mas Fahri cepat sembuh." Ana menjawab singkat, menanggapi sentimen ibunya dengan tenang. Perkataan ini sudah biasa dia dengar, dan kata itu pula yang selalu dia lontarkan.
Panggilan dengan sang Ibu berakhir, Alana bermaksud kembali mengambil ponsel yang di selipkan tadi dan menyimpan nya, namun naas, bukannya tersimpan, ponsel itu malah jatuh saat sebuah mobil mewah yang melaju di belakangnya membunyikan klakson nya dengan begitu keras. Dia terkejut, baru sadar kalau sekarang dia bukan di tepi jalan lagi melainkan menghalangi jalan orang.
Klakson itu kembali berbunyi seolah memberi isyarat agar Alana tidak menghalangi jalan, dan saat Alana menepi dia baru tersadar ponselnya yang jatuh tadi mungkin sekarang ada di bawah mobil mewah itu, dan detik selanjutnya terlihat jelas kalau ponselnya sudah ringsek tergilas ban mobil nya.
"Oh tidak, ponsel ku." Alana sampai menatap nanar ponselnya. Langsung turun dari motor dan mengambil ponselnya yang sudah tak berupa. Jangankan menyala, bentukannya pun sudah pecah belah menjadi beberapa bagian. "Astaga....!"
Sang pengemudi mobil yang melihat dari pantulan kaca spionnya sampai berdecak. Bisa-bisanya di saat dia sedang buru-buru selalu saja ada tragedi yang terjadi. Dia sampai harus menghentikan perjalanan nya untuk memastikan keadaan bahkan mengakhiri panggilan telepon nya dengan sang Mommy.
"Kenapa Victor?" Seseorang di balik sambungan telepon lelaki itu sampai kaget, ada apa gerangan yang terjadi pada putranya.
"Tidak apa-apa, Mom. Hanya ada sedikit tragedi. Sudah dulu, aku akhiri telepon nya."
"Iya, tapi ingat ya. Kau harus mampir ke rumah Mommy."
"Iya, Mom."
Lelaki itu sampai melonggarkan dasinya, melipat lengan kemejanya sampai sikut sebelum benar-benar keluar dari mobil. Sungguh hari yang sial. Lepas dari omelan sang Mommy, kini malah membuat masalah dengan orang lain. Iya, walau sebenarnya ini bukan murni kesalahan. Kalau saja wanita yang tadi ada di depannya bisa berhati-hati, ponselnya tidak akan jatuh dan diapun tidak mungkin melindas nya.
"Berapa harga ponselnya? Biar saya ganti." Lelaki itu langsung to the poin mendekat menghampiri wanita itu. Tak ingin berdebat mengingat dia sedang buru-buru.
Alana, yang tengah mengumpulkan pecahan ponselnya langsung menoleh. Lekas berdiri masih tak berkata-kata. Dalam hatinya berpikir. Begitu mudah ya untuk orang kaya menyelesaikan masalah.
Lelaki itu sendiri malah kebingungan, kenapa malah mematung. "Cepat katakan, butuh berapa untuk mengganti ponselnya, saya sedang buru-buru." ucapnya lagi meminta kepastian. Dasar mahasiswa jaman sekarang. Tak bisa berhati-hati dan saat sudah celaka tak bisa di ajak bicara.
Alana sendiri berusaha untuk bicara, namun bingung memulai nya bagaimana. Lelaki yang berdiri di depannya ini terlihat begitu berwibawa, bukan hanya mobilnya yang mewah, style yang di kenakan nya juga terlihat jelas kalau itu barang-barang mahal. Jika mengingat ponselnya yang seharga dua juta pasti bagi orang ini bukan apa-apa.
Hanya saja, bukan masalah harganya, tapi isi dari ponsel itu sendiri yang begitu berharga, begitu banyak data, begitu banyak memori, dan sekarang harus remuk begitu saja, rasanya belum rela.
"Maaf..." Alana sampai bingung harus memanggil orang ini bagaimana, haruskah panggil, bapak, Tuan, om, atau mungkin mas. Meski ingin protes, setidaknya dia harus memanggilnya dengan sopan. Jika melihat dari postur tubuhnya, sepertinya dia seumuran dengan mas Fahri, hanya saja lelaki ini lebih tinggi bahkan lebih berisi.
"Ini memang ponsel murah tapi masalahnya isinya lebih penting." ucap Ana dengan ragu. Iya, terima kasih jika ingin menggantinya, hanya saja hatinya masih kesal karena ponselnya rusak dalam sekejap.
"Oke aku minta maaf. Tapi ini juga bukan murni kesalahan saya karena kamu juga yang tidak hati-hati. Sekalipun harus mengembalikan ponsel ini menjadi seperti semula itu tidak mungkin. Jadi biar saya ganti rugi."
Lelaki itu masih berusaha bicara normal mengingat raut wajah wanita ini begitu memperihatinkan. Bahkan kepala yang masih terbalut helm membuat dia ingin tertawa saking polosnya. Terlihat jelas, kalau wanita itu begitu frustasi kehilangan ponselnya dan tak mampu membeli lagi tapi gengsi menerima ganti rugi.
Alana langsung menunduk, benar juga. Kenapa harus sekesal ini, toh ini kecelakaan, dia juga yang salah. Dia malah harus membuat orang mengeluarkan uang untuk sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan. "Maaf,"
"Aisst, dasar anak muda jaman sekarang. Makanya harus hati-hati." Lelaki itu sampai geleng kepala, kenapa terus kata maaf yang keluar, setidaknya kalau tidak mau menyebutkan nominal ganti rugi, jangan memasang ekspresi memperihatinkan seolah ingin di kasihani. "Tunggu sebentar!"
Alana sampai mematung, mencerna perkataan lelaki asing itu, apa katanya tadi, anak muda? Dia sampai memperhatikan penampilannya. Apa dia terlihat semuda itu. Mentang-mentang tubuhnya kecil, bahkan tidak begitu tinggi jadi dia seperti anak muda padahal sudah kepala tiga bahkan sudah punya anak. Memang di luar nalar.
"Pantesan terus menawarkan mengganti rugi, apa di mata lelaki itu aku terlihat seperti anak kecil yang merengek saat kehilangan ponsel. Akh, bikin malu saja." Alana hanya bisa mengumpat dalam hati, meruntuti dirinya sendiri. Malu bukan main, karena tak bisa di pungkiri dia benar-benar kesal kehilangan ponsel yang merupakan modal kerja keras nya.
Lelaki itu kembali, memegang sebuah ponsel. Tanpa basa-basi langsung meraih tangan Alana dan langsung menyimpan ponsel itu di atas telapak tangannya.
"Loh, apa ini?" Alana sampai kaget. Dengan tiba-tiba ponsel itu ada di tangannya dan lelaki itu langsung pergi begitu saja. "Tuan, apa ini?" teriaknya memberanikan diri bertanya.
Lelaki itu malah terus berjalan menuju mobil, perlahan membuka pintu mobilnya, dan sebelum masuk menoleh ke belakang. "Ganti rugi. Gunakan saja ponselnya. Itu milik mu." ucapnya dengan santai tanpa ekspresi bergegas masuk ke dalam mobil. Setelah kembali menutup pintu nya dia langsung tancap gas melanju pergi.
Alana lagi-lagi termangap, mimpi apa dia semalam sampai melewati tragedi seperti ini, tiba-tiba dipertemukan dengan orang asing yang menggilas ponselnya dan langsung di ganti dengan ponsel mewah bahkan harganya pasti berkali lipat dari ponselnya yang murah.
Bukannya senang, dia malah gelisah. Bagaimana dia harus menceritakan insiden ini pada Mas Fahri bahkan dia tidak mengenal lelaki itu sama sekali. Kalau ibu mertuanya tahu dia dapat ponsel baru dari orang asing, sudah jelas dia pasti akan di kira selingkuh dengan lelaki lain.
Di sebuah perusahaan Gramedia Printing Group; kantor yang merupakan pusat grup percetakan dengan jaringan Terluas dan Terbesar di Indonesia. Semua petinggi perusahaan susah duduk sigap, meeting yang sudah di jadwalkan sejak satu jam lalu kini masih di undur belum di mulai juga.
Fathur sang Wakil ketua direktur utama sampai kutar ketir sendiri, bulak balik keluar masuk ruangan meeting tuk sekedar meredam kekesalan para petinggi perusahaan karena sampai sekarang sang penguasa perusahaan belum terlihat batang hidungnya juga.
Jangankan terlihat, di hubungi saja tidak bisa, Fathur sampai tidak bisa memastikan Bos nya itu akan segera sampai atau tidak. Nomer telepon yang selalu di gunakan khusus untuk keperluan kantor tidak aktif sama sekali. Dan ingin menghubungi nomer pribadinya juga tidak bisa di hubungi karena sama-sama tidak aktif. Dia sampai keheranan, untuk apa punya banyak ponsel, kalau dalam keadaan mendesak seperti ini tak bisa di hubungi sama sekali.
"Victor sialan. Kalau ingin membuat orang tersiksa jangan begini juga caranya, sialan." Decak Fathur kesal. Bukan dia tidak sopan pada atasannya, hanya saja lelaki yang memiliki nama lengkap Victor Orion Edwards yang merupakan sang penguasa perusahaan ini adalah sahabat dekatnya sendiri sekaligus iparnya. Meski dalam status keluarga Victor adalah kakak iparnya. Tapi umurnya lebih muda dua tahun darinya, jadi terkadang dia begitu berani mengumpat nya.
"Maaf Pak Fathur, ini sudah siang. Kami punya kesibukan dan tanggung jawab masing-masing, tak bisa membuang waktu. Jadi kami akan memulai meeting nya tanpa Pak Victor."
Fathur hanya bisa mengacak rambutnya frustasi, usulan dari Pak Robert salah satu peserta meeting benar adanya, terus menunggu Victor yang tidak pasti akan membuang waktu sia-sia. "Iya, mulai saja. Biar nanti Pak Victor tinggal menerima poin pentingnya."
Fathur langsung keluar ruangan, mempercayakan meeting pada yang lain mengingat dia harus memastikan keberadaan Victor. Jangan sampai hal yang tidak di harapkan terjadi pada atasannya itu mengingat kenapa tidak bisa di hubungi sama sekali.
Fathur berjalan menuju lift dengan perasaan harap-harap cemas, dasinya sampai dia longgarkan agar bisa bernafas dengan rileks, kekhawatirannya sampai bercampur aduk. Victor tidak apa-apa kan? kalau sampai di begal di perjalanan rasanya pasti akan selamat dan baik-baik saja mengingat sahabatnya itu jago bela diri.
Sekalipun melawan sepuluh orang dia yakin kakak iparnya itu akan menang. Tapi bagaimana kalau kecelakaan, Victor tidak akan pernah bisa melawan takdir tuhan kalau memang kecelakaan.
"Aisst, jangan berpikir macam-macam bodoh." Fathur sampai meruntuti kecemasannya sendiri. Langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi sang istri, siapa tahu Pricillia istrinya tahu di mana keberadaan Kakaknya itu.
Namun, belum juga Fathur menghubungi istrinya, pintu lift di sebelah terbuka, detik selanjutnya terlihatlah sosok Victor yang terlihat begitu santai keluar dari sama. Bahkan bukan hanya terlihat santai, keadaannya terlihat begitu cool tanpa dosa.
"Bos sialan. Kau masih terlihat tanpa dosa dengan segala kekacauan yang kau buat." Tiba-tiba bibir Fathur mengumpat tak terkendali saking kesalnya. Dia sudah khawatir setengah mati, orang yang di khawatirkan malah terlihat santai-santai saja.
"Dari mana saja kau hah, kau tahu ini jam berapa?"
"Gue bangun kesiangan." Victor hanya menjawab asal. Memaklumi kekesalan Fathur karena dia memang salah, hanya enggan mengakuinya saja.
"Aisst...." Fathur langsung berdecak, dia sudah komat-kamit sana sini dan hanya itu jawaban Victor, lihat, bahkan wajahnya masih terlihat datar tanpa ekspresi. "Mana ponselmu, kenapa semuanya tidak bisa di hubungi?" tanyanya lagi sambil terus melangkah mengimbangi langkah atasannya itu menuju ruang meeting.
Hampir saja lupa, Victor kini langsung merogoh saku celananya memberikan ponselnya pada bawahnya itu. "Nih, dari tadi Mommy terus menghubungi, semalam lupa di charger jadi sekarang kehabisan daya." Jawabnya masih dengan nada suaranya yang begitu datar.
Dan tentunya itu membuat Fathur kembali frustasi, bisa-bisanya sampai lupa ngisi daya, padahal itu ponselnya sendiri, terlebih ponsel yang diberikan atasannya itu adalah ponsel dengan nomer pribadinya.
"Lalu, mana ponsel yang berisi nomer perusahaan. Kenapa sama-sama tidak bisa di hubungi?" Fathur kembali bertanya, setelah menerima ponsel Victor yang harus ia charger, kalau memang sama-sama lupa di isi daya, biar sekalian saja.
"Tidak ada, ponselnya aku berikan pada orang."
"What! Di berikan pada orang?" Fathur kini sudah frustasi tingkat tinggi, mengulang kata itu saking tak percaya. Lihat wajah bos nya ini, masih tetap datar tanpa ekspresi padahal sudah melakukan hal gila, tidak sadarkah kalau dia orang nomer satu di perusahaan, bukan hanya berpuluh, beratus orang akan menghubungi nya pada nomer ponsel itu, dan Victor dengan begitu santai tanpa dosa bilang kalau ponselnya di berikan pada orang.
"Apa kau tidak pernah berpikir sebelum melakukan sesuatu?" Fathur sampai terheran-heran melihat kelakuan kakak iparnya ini. Bisa-bisanya seroyal itu memberikan ponsel pentingnya pada orang lain.
"Tidak ada data penting di ponsel itu. Dan lagi aku sudah mencopot SIM card nya. Beli saja ponsel yang baru." Victor lagi-lagi menjawab dengan enteng. Jangan mempersulit keadaan kalau ada jalan yang lebih mudah. Yang lebih penting sekarang dia sudah sampai di kantor kan. "Nih, beli ponsel baru dan masukan SIM card nya!"
Fathur sampai gelagapan menerima SIM card yang kecil itu, untung saja tidak sampai jatuh. Dia sampai menghela nafas panjang, setiap harinya selalu saja ada tingkah Victor yang selalu membuat dia terheran-heran frustasi, bukan hanya frustasi, bisa-bisa dia mati berdiri dengan tingkah random atasannya ini. Rasanya ingin sekali menoyor kepala yang selalu memasang wajah datar tanpa ekspresi itu karena terus menyusahkan dirinya, tapi setelah di pikir-pikir bukan Victor namanya kalau tak membuat orang frustasi karena tingkah di luar nalar nya.
Mode serius on. Victor kini sudah duduk di kursi kekuasaan. Mulai mengambil kuasa meeting menerima laporan poin per poin penting hasil meeting pagi ini. Fathur sendiri kini sudah berada di posisinya, mengikuti prosedur selayaknya bawahan yang akan selalu taat dan membantu atasannya.
"Ini laporan pertama Pak." Fathur mulai memberikan berkas laporan pada Victor. Laporan pertama dari divisi satu dimana bertugas mengelola beberapa platform baca buku online dari berbagai aspek.
Saat salah satu karyawan yang bertugas menjelaskan di layar monitor, ada yang membuat Victor tertarik. "Sejak kapan skema rating dalam GPnovel naik drastis?" tanyanya penasaran. Padahal, sejauh dia mengambil alih perusahaan dari sang Daddy. Baru kali ini rating Novel berada dua persen lebih tinggi di atas rata-rata.
"Dalam satu bulan terakhir Pak. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak author yang memiliki kompetensi tinggi mulai berkarya di platform kita. Banyak karya yang mulai di sukai masyarakat, hingga daya tarik para reader untuk membaca novel jadi semakin tinggi."
Victor sampai mengangkat sudut bibirnya, tidak mengira hal yang awalnya begitu dia ragukan ternyata memberikan keuntungan besar untuk perusahaan. "Coba perlihatkan alogaritma nya!" pintanya pada karyawan yang bertugas.
Menit selanjutnya, munculkan tampilan alogaritma yang Victor maksud. Di mana, layar monitor memperlihatkan dengan jelas bahwa ada beberapa judul novel yang paling banyak di baca minggu terkahir ini, bahkan ada yang sampai lebih dari satu M views hanya dengan jumlah bab yang sampai seratus lima puluh bab, dengan status sudah tamat. Baginya itu sangat menakjubkan.
"Tolong perjelas satu novel itu?" Pinta Victor lagi. Dia cukup penasaran, dan ingin sedikit tahu tentang itu. Ada peluang lagi jika dia bisa memanfaatkan situasi yang booming ini.
"Ini Pak, judul novel nya SENJA, nama penulis pena nya Ana." Sang petugas menjelaskan dengan rinci, bahkan membacakan sinopsis cerita yang mungkin itu yang menarik banyak orang untuk berbondong bondong membaca ceritanya.
"Menarik." Lagi-lagi Victor mengangkat sudut bibirnya. Tidak salah lagi dia memang harus membuat gebrakan baru memanfaatkan situasi ini. "Buat versi cetaknya. Hubungi orang yang bersangkutan!" titahnya tanpa ba bi bu.
Fathur lagi-lagi sampai tercengang, sudah kebiasaan lelaki berwajah datar ini selalu membuat orang terheran-heran. Tidak bisakah di musyawarahkan dulu, dan lagi dengar dulu poin laporan yang lain jangan asal membuat keputusan.
"Pak Victor, apa tidak akan di rundingan dulu dengan yang lain." ucap Fathur mulai membungkukkan tubuhnya berbisik mendekati telinga sang atasan. Lihatlah ekspresi para petinggi perusahaan, terlebih Pak Robert yang merupakan kepala divisi itu, terlihat sekali wajah sinis nya jadi jangan membuat keputusan sesukanya.
"Feeling ku tentang ini, bagus. Lakukan saja!" Victor masih tak gentar. Di sini dia pemimpinnya, jadi dengarkan perintahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!