Hiruk pikuk kehidupan mewarnai siang yang agak mendung di hari ini. Acara kelulusan di salah satu SMA ternama, telah menyita sebagian perhatian di sekitar sana. Dari keramaian, suka cita setiap mereka yang menjadi bagian acara kelulusan, juga kemacetan yang tak terelakan.
“Namanya Mutiara Pertiwi dan akrab dipanggil Titi. Dia wanita kesayangan Bian, ... alasan Jia depresi! Dia sekolah di sini dan sekarang sedang ikut acara kelulusan!” ucap Jeam lirih tapi diliputi emosi sekaligus dendam yang begitu kuat. Pria berambut ikal agak gondrong berwarna pirang itu memberikan foto gadis yang dimaksud kepada empat rekannya yang kini ada di mobil jeep hitam miliknya. Bibir tipisnya terus menebarkan banyak kebencian mengenai sosok Titi maupun Bian.
“Malam ini juga kita akan bersenang-senang dengan Titi! Pastikan dia mendapatkan balasan setimpal atas apa yang sudah Bian lakukan! Buat dia mati tidak, hidup pun tak ada artinya hingga Bian juga ikut gila!” lanjut Jeam dengan gaya yang sangat tengil–kurang ajar. Pria blesteran bertubuh tinggi kurus itu mengeluarkan satu bungkus rokok dari jaket levis miliknya. Jeam membagikannya kepada keempat rekannya. Mereka merokok berjamaah sambil menyusun rencana.
Jeam yang duduk di balik setir terus menatap saksama setiap mobil maupun sepeda motor yang lewat. Sementara rekannya yang berpakaian santai mirip preman layaknya dirinya, terus menatap sebuah foto berisi gadis sangat cantik dan Jeam sebut bernama Titi. Malam ini juga, mereka akan bersenang-senang dengan gadis yang dikata Jeam merupakan pacar Bian selaku musuh bebuyutan mereka. Sungguh, mereka tak sabar menunggu saat itu tiba.
Tak lama kemudian, hadirnya sebuah mobil sport warna merah langsung mengusik Jeam dan keempat rekannya. Mereka terus mengawasi dengan saksama mobil sport berwarna merah cabai tersebut yang memasuki SMA di seberang. SMA di mana Titi tengah melangsungkan acara kelulusan yang juga menjadi alasan mereka di sana.
“Itu pasti Bian karena itu salah satu mobil Bian! Dia pasti akan menemui Titi!” sergah keempat rekan Jeam.
Tak lama kemudian, kelimanya karena Jeam juga ikut, bergegas turun dari mobil yang mereka parkir di depan mini market. Kebetulan, mini market tersebut ada tepat di seberang SMA Titi sekolah. Setelah berlarian tak sabar tapi tetap jaga-jaga, kelimanya akhirnya melihat Bian dengan saksama.
Memakai kemeja lengan panjang warna putih dipadukan dengan rompi hitam dan mengekspos tubuhnya yang sangat kekar, Bian tampak sangat keren. Apalagi ketika Bian yang keluar dari mobilnya juga melepas kacamata hitam tebal yang dipakai. Setiap langkah Bian nyaris tak pernah luput dari perhatian. Dunia di sana seolah mendadak mengalami adegan slow motion hanya karena pesona Bian yang mereka samakan dengan gapura kabupaten.
Terlepas dari semuanya, adanya buket bunga mawar putih berukuran besar disertai boneka beruang putih yang memakai seragam wisuda dalam dekapan tangan kiri Bian, membuat mereka bertanya-tanya. Siapa sosok beruntung yang menjadi alasan Bian ke sana? Saudara, atau malah merupakan pemilik hati pemuda berusia dua puluh enam tahun itu?
Setelah mencari-cari ke ruang acara yang memang digelar di halaman sekolah berdekorasi akbar, Bian mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi kontak ponsel bernama Titi di ponselnya. Setelah menunggu agak lama dan ia sampai melakukan telepon ulang dua kali, akhirnya ia mendapat jawaban.
“Iya, Kak Bian. Ada apa? Aku masih di sekolah. Masih di acara kelulusan yang aku ceritakan kemarin,” balas suara lembut seorang wanita dan agak berteriak karena memang sangat bising.
Bian yang menyimak sambil mengawasi acara di depan sana, berkata, “Aku sudah di depan. Aku melihatmu!” sergahnya bergegas melangkah.
Layaknya murid lainnya, Titi juga memakai seragam wisuda. Bedanya, tak ada rias berarti di wajah Titi. Titi tampil dengan rias natural, sama sekali tidak menor layaknya siswi lain. Sementara rambut panjangnya disanggul elegan. Alasan tersebut pula yang membuat Bian langsung mengenalinya.
“Aku terkejut!” ucap Titi ceria sambil menghampiri Bian. Ia sampai berlari kemudian buru-buru menyalami tangan kanan Bian dengan sangat takzim. Karena meski Bian merupakan anak dari majikan ibunya, hubungan mereka memang sangat dekat. Terlebih, Bian selalu memperlakukannya dengan baik.
“Pantas tadi ada saja yang bilang, gapura kabupaten datang ... gapura kabupaten datang. Ini buat aku, kan?” heboh Titi dan masih sangat ceria. Tampang yang di mata Bian sangat murni, lugu, benar-benar penebar vibes positif.
Bian mundur tak mengizinkan Titi mengambil buket di tangan kirinya. Hingga gadis bertubuh mungil di hadapannya langsung menatapnya bingung.
“Peluk dulu!” ucap Bian pura-pura galak dan malah ditertawakan oleh Titi. Gadis penuh tawa itu benar-benar membuatnya betah lama-lama memandanginya.
“Malu!” rengek Titi karena semua mata di sana memang sudah memperhatikan kebersamaannya dan Bian sebagai pusat perhatian. Namun seperti biasa, Bian yang hobi ia peluk, sudah buru-buru memeluknya erat menggunakan kedua tangan. Buket di tangan kiri dan awalnya akan ia ambil, jadi turut mendekapnya.
“Ibu mendadak sakit, jadi hari ini aku pikir aku hanya akan sendiri. Eh alhamdullilah Kakak datang jadi aku ada temen buat foto-foto!” ucap Titi nyaris tak bisa bernapas karena Bian memeluknya sangat erat.
“Menikahlah denganku agar Elra dan Syukur bisa segera bersama!” balas Bian lirih tapi sangat serius. Balasan yang memang langsung membuat Titi tercengang. Meski Titi tahu apa yang sebenarnya terjadi dan menjadi alasan Bian mengajaknya menikah. Titi tetap tidak percaya bahwa dari semua wanita cantik nan kaya yang mengejar Bian, malah dirinya yang dipilih.
Seketika itu juga, dunia Titi menjadi hening. Seolah ia tengah ada di padang rumput gersang dan di sana tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya. Padahal jelas, kini Bian masih memeluknya. Pelukan sangat erat dan seolah anak bosnya itu tak akan pernah melepaskannya.
Di lain sisi, Jeam dan keempat temannya dan masih sibuk menghisap rokok, makin mantap dengan rencana mereka. Rencana yang sudah langsung mereka jalani mulai detik itu juga. Karena setelah mengintai kebersamaan Bian dan Titi di sekolah, mereka juga mengikuti kebersamaan keduanya.
Bian memboyong Titi menggunakan mobil sport warna merah cabainya. Setelah mampir ke restoran Mr. Kim Family Food yang masih milik rekannya, Bian membawa Titi pulang ke rumahnya. Kenyataan yang bagi Jeam dan keempat temannya merupakan hal spesial. Padahal alasan itu terjadi karena Titi sebagai anak ART di rumah Bian, memang tinggal di sana.
Setelah mengintai cukup lama, sekitar pukul delapan malam, Titi keluar menggunakan sepeda listrik. Entah apa yang akan Titi lakukan, tapi Jeam dan keempat rekannya yang sudah menunggu di tikungan kompleks perumahan elite rumah orang tua Bian berada, langsung menyusul Titi detik itu juga.
Jeam mengemudikan mobilnya dengan tidak sabar. Di jalan yang sepi dan sudah melewati pos keamanan kompleks, Jeam sengaja menghadang Titi kemudian mengerahkan keempat rekannya untuk membantunya. Mereka meringkus Titi, membawanya secara paksa masuk ke dalam mobil. Sementara sepeda listrik warna biru milik Titi, mereka biarkan terkapar di jalan begitu saja.
🔥🔥🔥🔥
Selamat datang di salah satu novel Bian. Kenapa salah satu? Karena setelah ini akan ada series drama rumah tangga antara Bian dan Titi. Jadi, tema novel ini itu tema wanita kuat. Balas dendam sekaligus transmigrasi. Tentunya, Titi dulu yang jadi pemeran utama. Tolong usahakan jangan nabung bab ya. Biar retensi aman karena aku pun up tiap hari. Untuk novel Syukur dan Elra aku garap setelah ini capai 40 bab ya. Oke, makasih banyak. Yuk ramaikan ❤️
“T—tolong ....” Entah sudah ke berapa ratus kali kata itu terucap dari bibir tipis Titi. Tak beda dengan tubuhnya, bibir Titi juga sudah gemetaran parah. Nyawa Titi seolah dicabut paksa, ia lemas tak berdaya setelah digi—lir oleh Jeam dan keempat teman pria blesteran itu.
Celana Titi sudah diturunkan sempurna, begitu juga dengan bajunya yang disibak sepenuhnya ke atas. Titi tak sampai ditelan.jangi, begitu juga dengan kelima pria yang melakukannya. Mereka yang beramai-ramai melakukannya, hanya agak menurunkan celana levis yang dipakai. Mereka sungguh memperlakukan Titi dengan brutal di tengah tawa yang terus pecah. Mereka tak segan menggunakan kekerasan. Pukulan, jambakan, bahkan tendangan kerap mereka lakukan. Sambil tertawa, mereka juga tak segan meludah.i Titi. Hingga lebam dan darah juga turut mewarnai tubuh Titi.
Air mata dan keringat menyatu membuat tubuh Titi kuyup. Namun, itu bukan hanya keringat Titi. Sebab kelima pria biada.b di sana juga turut andil menyumbang keringat bahkan lebih. Kelimanya yang melakukan perbuatan keji itu di sebuah lahan kosong, juga tak segan mengencingi alat vi.tal, wajah, dan juga bagian tubuh Titi yang lain. Dan semua kejadian itu, sengaja direkam menggunakan ponsel Jeam. Jeam berdalih video tersebut sengaja untuk koleksi atau malah dijadikan hadiah untuk Bian. Namun keempat temannya berdalih bahwa mereka bisa mendapatkan uang andai mereka mau menjual video tersebut ke pihak khusus.
Hujan deras mendadak mengguyur di antara gelegar petir yang sibuk menyambar. Seolah, semesta alam bahkan Pemilik Kehidupan, murka dengan apa yang Jeam dan keempat temannya lakukan. Apalagi, meski sudah menoda.i Titi, kelimanya juga sengaja membuat Titi seolah-olah mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal.
Sepeda listrik milik Titi yang sempat Jeam dan keempat temannya tinggal memang sengaja kelimanya angkut. Jeam selaku dalang dari rencana tersebut mendadak memiliki skenario dan dirasanya lebih jitu. Jeam akan membuat seolah Titi mengalami kecelakaan lalulintas tunggal.
Di tengah hujan yang mengguyur, Jeam dan keempat rekannya menaruh tubuh Titi di pinggir trotoar jalan sepi. Sementara sepeda listriknya juga turut mereka geletakkan agak menindih kaki Titi. Bisa Jeam dan keempatnya pastikan, tak ada yang melihat ulah mereka. Skenario sekaligus balas dendam mereka kepada Bian, benar-benar sukses.
“Ya Allah ... izinkan hamba memberi mereka pelajaran! Agar sampah-sampah seperti mereka tak seenaknya merusak hidup orang!” batin Titi mengutuk Jeam dan juga keempat rekannya.
Meski kelima pelaku sengaja menutupi sebagian wajah menggunakan masker, Titi hafal mata, alis, apalagi suara kelimanya. Terlebih ketika kelimanya tertawa dan membuat Titi makin jijik kepada kelimanya.
Titi yang sudah tak berdaya karena bernapas saja nyaris tak sanggup, sengaja mengerahkan sisa tenaganya yang tak seberapa untuk melihat mobil jeep milik Jeam. Titi sengaja menghafal plat mobil Jeam. Iya, Titi sungguh hafal. Meski detik kemudian, ia tak lagi bisa mendengar apa pun bersamaan dengan pandangannya yang benar-benar gelap.
Sekitar lima belas menit kemudian, seorang pria yang kebetulan membonceng ibu-ibu hamil, menemukan Titi. Titi yang sudah kembali memakai pakaian dengan benar, mereka dapati penuh lebam dan bibirnya saja bengkak berdarah. Namun anehnya, motor yang menindih Titi, tak mengalami kerusakan berarti bahkan itu sekadar lecet. Sambil terus berlindung di bawah payung mereka, kedua orang yang menemukan Titi berinisiatif menelepon bantuan.
Sementara itu, di kediaman orang tua Bian yang megah, ibu Tuti selaku ibunya Titi, masih menanti kedatangan sang putri. Titi yang harusnya tak sampai pulang lewat pukul sembilan malam, kini malah belum pulang meski sudah nyaris pukul dua belas malam.
“Ke mana yah, si Titi? Kok sampai sekarang belum pulang? Sebenarnya dia pergi ke apotek mana?” khawatir ibu Tuti yang memang masih batuk.
Ibu Tuti yang memang sampai memakai kardigan, meninggalkan ruang tamu tempat dirinya menunggu sang putri. Gemetaran ia meninggalkan ruangan pertama setelah pintu masuk di kediaman mewah ia berada. Rumah orang tua Bian memang sangat sepi. Sebab semua anggota Bian sedang pergi keluar negeri. Bian menjadi satu-satunya yang memilih tinggal di rumah.
Di dalam kamarnya, Bian yang tidur tengkurap justru baru membuka mata. Namun, menyadari di sebelahnya kosong dan hanya dihiasi tiga helai rambut panjang kecokelatan, kedua mata Bian berangsur terpejam erat. Tubuh tegap yang telah diselimuti hingga punggung itu perlahan gemetaran. Termasuk juga dengan kedua tangannya yang ada di bawah selimut. Kedua tangan Bian mengepal kencang. Perlahan tapi pasti, Bian menggunakan tangan kanannya untuk menyibak selimut biru telur bebek di sebelahnya.
Di tengah napasnya yang jadi tak beraturan, Bian juga berangsur membuka kedua matanya. Butiran bening mengalir dari ujung mata kiri Bian seiring dadanya yang kebas akibat apa yang ia temukan. Darah terbilang lumayan ada di sana, di bekas teman tidurnya harusnya berada. Alasan yang membuat Bian merasa sangat bersalah. Sementara Titi selaku sosok yang Bian yakini sebagai pemiliknya justru sudah tidak ada.
“Maaf, Ti ... ya sudah, ... ayo kita menikah saja. Entah apa yang ada di makanan dan minuman kita. Karena setelah pulang makan dari restoran Elra, kita sama-sama menyadari ada yang berbeda dengan diri kita. Ada yang mengendalikan tubuh kita. Kita sudah berusaha menolak, tapi ....”
Bian berangsur duduk kemudian menghela napas dalam. Ia meremas kepalanya hingga rambut pendek rapinya jadi berantakan. Selain pakaiannya yang sudah ditaruh di meja, Bian juga yakin masih Titi juga yang menyelimutinya.
Ketukan pintu dari luar kamarnya, mengusik Bian. Bian mengalihkan tatapannya dari selimut maupun pakaian dan ia yakini masih serba Titi yang merapikan. Bian pikir, yang datang memang Titi. Namun ternyata itu ibu Tuti yang mengatakan bahwa sampai saat ini, Titi belum pulang.
“Ya sudah, kalau gitu saya yang cari Titi. Ibu di rumah saja, tapi kabari saya jika Titi sudah ada kabar!” sergah Bian buru-buru melakukan pencarian.
Bian melakukan pencarian menggunakan mobil. Namun sebelum pergi, ia juga meminta satpamnya maupun satpam kompleks untuk ikut membantu pencarian.
Hujan tak lagi sederas sebelumnya. Petir yang sempat sibuk menyambar juga tak lagi terdengar. Hanya kilatnya saja yang sesekali tampak dari kejauhan. Di tengah kenyataannya yang gundah gulana, Bian yang menatap saksama kanan kiri jalan yang dilalui jadi khawatir. Jangan-jangan Titi sengaja pergi setelah apa yang terjadi ke mereka.
“Gimana, ya ...? Ya ampun, Ti ... masa iya, kamu yang tahu aku saja, tetap enggak mau nikah sama aku. Apa lagi orang lain, Ti. Kita harus menikah agar Elra dan Syukur bersatu. Apalagi kita sudah ... ah!” Bian yang kembali memakai kemeja lengan panjang warna putih, sampai menggebrak setir mobilnya.
Bian merasa frustrasi sekaligus merasa sangat bersalah kepada Titi. Selain itu, Bian juga khawatir ke Titi terlebih kini sudah malam. Layaknya kekhawatiran Bian, di rumah sakit tempat Titi ditangani, Titi kritis.
“Aku butuh banyak orang untuk mencari Titi. Langsung banyak saja, Mbah!” Bian mengerahkan banyak bantuan. Sebab waktu sudah tidak mendukung. Sudah pukul tiga pagi dan Titi pun belum ada tanda-tanda akan kembali.
“Kapan dia pergi? Cek CCTV di sekitar rute tujuannya,” ucap lawan bicara Bian.
“Waktunya enggak mendukung, Mbah. Itu baru bisa dilakukan besok!” balas Bian sambil terus menyetir kemudian menatap saksama kanan kirinya.
Sunyi sepi bahkan dingin menyelimuti keadaan di sana. Namun kini, tanpa Bian ketahui, dirinya baru saja melewati lahan kosong Titi sempat dieksekusi. Lahan kosong yang lokasinya memang cukup jauh dari rumah orang tua Bian.
“Coba ditelepon!” sergah lawan bicara Bian dan tak lain sang kakek yang memang Bian panggil Mbah.
“Dia enggak bawa ponsel, Mbah. Karena ponselnya malah ada di aku. Aku juga curiga bahwa sebenarnya dia sampai enggak bawa kartu identitas!” sergah Bian.
“Ya sudah, ... Mbah langsung kirim dua puluh orang sekarang juga!” balas mbah Bian dan menjadi akhir dari komunikasi sambungan telepon keduanya.
Padahal di tempat berbeda, di rumah Jeam yang tak kalah luas, kelima pelaku justru masih melanjutkan kebahagiaan mereka. Di dalam kamar Jeam yang beberapa di antaranya dihiasi poster motor gede, kelimanya menyetel musik disko kencang. Asap rokok sudah tak karuan dan beberapa botol minuman juga tergeletak di sebelah tangan masing-masing.
Di luar kamar Jeam, seorang wanita kurus berwajah pucat, jadi bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya tengah dirayakan oleh kelimanya di dalam sana? Kebetulan, kamar Jeam tak sampai dikunci, hingga ia diam-diam bisa memastikannya. Setelah membuka sedikit pintunya, Jia sang wanita meyakini, bahwa dugaannya benar.
“Mereka habis balapan li.ar lagi dan mengalahkan kak Bian?” pikir Jia yang memilih kembali menutup pintu kamar Jeam dengan hati-hati.
Jia melangkah tak bersemangat. Hatinya diselimuti banyak kekhawatiran hingga dirinya tidak bisa tenang. Malahan meski ia sudah masuk ke dalam kamar dan waktu pun sudah nyaris subuh. Jia jadi sangat mengkhawatirkan Bian.
Setelah meraih ponselnya di meja sebelah bantal tempat tidur, Jia sengaja menulis kemudian mengirim pesan kepada kontak bernama : Kak Bian.
***
Jia : Kakakku dan teman-temannya sedang berpesta di dalam kamar. Aku pikir, satu-satunya alasan mereka sampai terlihat sebahagia itu karena penderitaan Kakak. Kak Bian, ... baik-baik saja, kan?
Adzan subuh tengah berkumandang ketika akhirnya, Bian membaca pesan tersebut. Bian belum pulang ke rumah karena masih melakukan pencarian. Bian tengah berhenti di depan masjid, dan pesan dari Jia memang langsung mengusiknya
“Jeam ... benarkah menghilangnya Titi masih berkaitan dengan Jeam?” pikir Bian.
Baru juga akan menulis telepon balasan ke Jia, Bian sudah terusik oleh telepon masuk dari sang mbah. Di ponselnya, kontak Mbah Syam, sudah menunggu untuk segera ia balas.
“Assalamualaikum, Mbah?” jawaban tersebut mengantarkan Bian pada rumah sakit di dekat sana. Rumah sakit dan sang mbah kabarkan sebagai tempat Titi ditemukan. Fatalnya, di salah satu IGD, Titi masih kritis!
“T—Ti ..?!” Hati Bian hancur, air matanya luruh membasahi pipi. Ia tatap dengan saksama keadaan wajah Titi. Wajah cantik yang selalu menebarkan keceriaan itu penuh lebam. Bibir dan juga hidung Titi berdarah. Sementara rambut Titi berantakan tampak karena sudah berulang kali dijambak.
Bian yang sampai mencium kening Titi menemukan aroma tak sedap. Dirasa Bian, alasan tubuh termasuk wajah dan kepala Titi kuyup tak semata karena hujan. Aroma pesing sungguh Bian temukan di wajah, kepala, termasuk pakaian Titi.
“Sebentar, ... kenapa rasanya tidak wajar. Lebam ... darah, ... luka ini bukan khas luka kecelakaan. Ini ... luka-luka mirip hasil penganiayaan!” batin Bian yang segera meminta orang sang mbah dan nota bene seorang mafia, untuk melakukan pelaporan kepada polisi.
Bian akan langsung melakukan penyelidikan. Tak semata melibatkan polisi agar pelakunya bisa dijerat dengan hukuman setimpal. Namun para mafia yang juga akan turut Bian kerahkan.
“Ti ... siapa yang melakukan ini? Benarkah mereka mereka yang dikabarkan Jia?” pikir Bian sudah langsung mengirim beberapa orang sang Mbah ke kediaman Jeam.
Bian terus menggenggam tangan Titi yang tak sampai diinfus. Sampai akhirnya polisi datang mengutus pihak rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Ketika dipastikan, pakaian apalagi pakaian dal.am Titi tak terpasang dengan semestinya. Ditemukan banyak cairan spe.rma, dan juga sisa cairan urin. Bian yang sadar, sebelumnya telah melakukan hubungan ba.dan dengan Titi sempat berpikir, bahwa sperm.a yang ditemukan itu miliknya. Masalahnya, sper.ma yang dimaksud ada di sel.angkangan, paha, dan juga celana maupun baju Titi. Berarti itu bukan hanya milik Bian. Sebab ketika Bian melakukannya dengan Titi, Titi masih memakai kebaya perpisahan untuk kelulusan. Sementara kini, Titi sudah memakai kaus dan celana panjang. Bisa Bian pastikan pula, Titi sudah sampai membersihkan diri, sebelum akhirnya pergi ke apotek untuk membelikan sang ibu obat.
Keadaan Titi yang penuh lebam, luka khas tendangan, jambakan, diyakini karena telah menjadi korban penga.niayaan. Namun karena kewanit.aan Titi juga sampai bengkak parah sekaligus berdarah. Bisa dipastikan bahwa Titi telah menjadi korban pemer.kosaan disertai penganiay.aan dan pelakunya lebih dari satu orang.
“Siapa yang melakukan semua ini dan sampai lebih dari satu pelaku?!” batin Bian benar-benar dendam. Tangannya mengepal kencang. Tubuh Titi yang kritis diboyong ke ruang ICU dan Bian masih menemaninya.
Koma menjadi keadaan terakhir dari Titi. Namun, jauh di bawah alam sadarnya, Titi melihat kejadian naas yang menyebabkannya berakhir seperti sekarang. Kejadian naas saat dirinya disekap kemudian dirudap.aksa secara bergilir oleh Jeam dan empat temannya. Kelimanya memperlakukan Titi dengan sangat kejam. Terakhir, kelimanya sampai membuang Titi dan membuatnya, seolah apa yang Titi alami murni karena kecelakaan.
Semua kejadian itu Titi lihat layaknya sebuah drama. Termasuk sumpah serapah yang sempat terucap dari bibir tipis Titi dan tak luput dari luka. Iya, Titi masih ingat bahwa dirinya akan balas dendam. Titi akan memberi sampah-sampah seperti Jeam dan keempat temannya hukuman setimpal.
“Anak saya diperkosa! Siapa yang akan bertanggung jawab sementara sekarang dia koma! Mana mungkin saya bisa tenang, jika anak saya saja seperti itu!” Suara histeris ibu Tuti masih bisa Titi dengar. Hati Titi hancur mendengarnya. Namun apa daya, jangankan membalas kemudian menenangkan sang ibu. Sekadar mengendalikan tubuh, atau setidaknya membuka kedua matanya saja, Titi tidak bisa.
“Ya Allah ... biarkan aku hidup. Biarkan aku balas dendam ke mereka. Izinkan aku memberi mereka balasan setimpal bagaimanapun caranya!” Hati kecil Titi terus menjerit sampai akhirnya mendadak terdengar suara nguingan sangat bising dan sampai membuat Titi kesakitan.
“Sakit ...!” lirih suara seseorang dan bisa Titi dengar. Suara asing yang terlahir di setiap Titi berbicara.
“Tunggu!” batin Titi yang bahkan bisa membuka mata. Hanya saja, apa yang ia lihat langsung membuat nyawanya seolah dicabut paksa.
Wajah seorang pria dewasa berberewok ada di atas wajah Titi. Wajah mereka benar-benar nyaris tak berjarak. Parahnya, tubuh Titi juga terasa sangat berat seperti dikunci dan memang ditindih oleh si pria yang hanya memakai celana levis.
“Lepas!” teriak Titi berusaha memberontak. Titi menggunakan kedua tangannya untuk menendang si pria. Alih-alih marah, pria yang menghiasi tangan kanannya dengan pisau belati itu justru tertawa santai mirip orang kurang waras.
Yang membuat Titi tak mengerti, ketika ia menoleh ke sebelah dan itu cermin rias, yang ia lihat bukanlah dirinya. Yang ada di sana justru sosok asing dan sebelumnya belum pernah Titi kenal atau setidaknya lihat.
“Ini ... ini apa maksudnya?” batin Titi sambil meraba wajahnya. Itu sungguh bukan dirinya dan dari segi usia saja, mereka berbeda.
Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa Titi mendadak ada di tubuh wanita lain?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!