Alika berlari dengan terburu-buru menyusuri lorong sekolah, ia berlari sambil membawa beberapa buku dalam dekapannya. Saat ini pukul dua siang, waktunya pelajaran Biologi dan mereka harus berpindah ruangan dari ruang kelas mereka di lantai satu menuju lab Biologi di lantai dua.
Alika berusaha mengejar teman-temannya yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Ini adalah pelajaran Biologi pertamanya sejak masuk SMA. Alika belum tau apakah gurunya adalah guru yang baik atau tidak.
Minggu lalu, saat masa orientasi siswa, Alika tak bisa fokus karena terus saja dikerjai oleh para mentor. Ini semua karena Bella. Entah bagaimana ia bisa masuk ke sekolah yang sama dengan Bella lagi setelah berhasil melarikan diri saat kelas enam SD dulu.
"Takdir memang kejam," batin Alika kala itu, saat ia melihat wajah cantik Bella tepat di depan matanya. Sialnya lagi, Alika berada di kelas yang sama dengan Bella dan gerombolannya.
Dulu, saat Alika masih duduk di bangku sekolah dasar. Bella menghasut seorang anak perempuan yang paling tenar di sekolahnya. Hingga anak yang memiliki pengaruh besar di sekolah karena kecantikannya itu pun berhasil membuat satu sekolah membencinya.
Alika sempat selamat dari bulian teman-teman satu sekolahnya karena ayahnya membawa Alika pulang ke kampung halamannya dan tinggal bersama neneknya. Sejak saat itu, hidup Alika terasa jauh berbeda. Meski nenek Alika terlihat sangat galak, namun ia adalah orang yang paling menyayangi Alika.
Namun kehidupan damai Alika tidak berlangsung lama. Saat hendak masuk SMA, nenek Alika meninggal dan membuat Alika kembali hidup bersama dengan ibunya. Ibunya Alika jugalah yang membuat Alika masuk ke sekolah yang sama dengan Bella saat ini.
Sekolah ini sebenarnya bukan sekolah biasa, ibu Alika sengaja memasukkan anaknya ke sekolah elit agar Alika bisa memiliki teman dari kalangan atas. Dan masuk ke dalam circle orang-orang elit.
Namun keputusan ibunya itu malah menempatkan Alika ke dalam situasi yang semakin sulit.
"Hahhh... Hahhh..." Alika berhasil masuk kelas tepat waktu, sesaat sebelum guru biologi masuk ke dalam ruangan.
"Sini, mana buku gue?" Bella menyodorkan tangannya meminta buku miliknya yang dibawa oleh Alika.
Alika langsung memberikan buku milik Bella dan tiga temannya. Mereka berempat tersenyum menyeringai melihat tingkah Alika yang nampak sangat takut pada Bella.
"Hebat banget lo, baru masuk udah langsung dapet kacung," bisik Intan, gadis yang duduk tepat di sebelah Bella.
Bella tak menjawab, ia menatap sinis pada Alika dan berkata. "Mau masuk sekolah internasional sekalipun emang dasar jiwa babu, ya bakal jadi babu aja."
Teman-teman Bella sebenarnya tidak mengerti apa maksud Bella, karena mereka sendiri tidak mengenal siapa Alika. Mereka hanya mengikuti Bella membuli Alika. Alika sendiri juga tak mengerti bagaimana Bella bisa masuk sekolah ini, seingatnya dulu Bella bukan anak orang yang kaya raya. Memang kehidupannya jauh di atas Alika, tapi Bella dulu tidak sekaya itu.
Alika tertunduk, ia tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Kehidupan SMA yang ia bayangkan akan menjadi kehidupan yang indah, sirna sudah. Alika hanya berharap Bella tidak membeberkan kepada teman-temannya siapa Alika sebenarnya dan dari mana ia berasal.
Biarlah untuk saat ini ia akan menuruti semua mau Bella dan gengnya.
Dua jam berlalu, dan jam pelajaran pun berakhir. Mereka semua kembali ke kelas untuk mengambil tas mereka dan bersiap untuk pulang. Tidak banyak yang dipelajari hari itu karena masih dalam masa perkenalan.
"Heh, orang kaya baru. Pulang naik apa lo?" Tanya Bella pada Alika yang sedang merapihkan buku-bukunya.
"Dijemput ibu," jawabnya pelan.
"Naik apa? Becak? Gerobak?" Tanya Bella lagi dengan nada mengejek.
Alika diam saja tak menggubris ejekan Bella.
Brak!
Bella menendang kursi milik Alika hingga membuat Alika berdiri tegap.
"Kalau gue tanya ya dijawab!" Bella melotot ke arah Alika.
Semua orang di kelas memperhatikan mereka berdua, namun tak ada satu orang pun yang peduli atau berusaha mencari tau apa yang sedang terjadi. Mereka hanya melihat dari tempat mereka, bahkan teman sebangku Alika pun bergegas membereskan barang-barangnya dan keluar dari kelas.
Terlihat sekali bahwa mereka tak ingin ikut campur dengan apa yang sedang menimpa Alika.
Alika masih menunduk ketakutan. Seketika tubuhnya gemetar mengingat peristiwa saat ia duduk di bangku sekolah dasar dulu. Ada trauma tersendiri yang pernah ia rasakan dulu.
Bella menarik kerah baju Alika, lalu ia membisikkan sesuatu di telinga Alika.
"Elo jangan macem-macem, atau gue bakal bocorin semua rahasia tentang lo," ancam Bella.
Mendengar ancaman dari Bella, Alika semakin ketakutan. Ia langsung memegang tangan Bella dan memohon padanya.
"Jangan Bel, aku mohon!" Alika berusaha mengiba.
Bella buru-buru menepis tangan Alika dan mengusapkan tangan ke bajunya.
"Menjijikan!" Bella mendorong Alika hingga membuat Alika jatuh tersungkur.
Setelah mendorong Alika, Bella bergegas pergi meninggalkan kelas. Teman-teman Bella mengikuti Bella di belakangnya. Mereka juga sebenarnya tak mengerti mengapa Bella segitu bencinya pada Alika. Mereka hanya mengikuti apa yang Bella lakukan pada Alika agar mereka terlihat hebat dan tak ada yang berani melawan mereka.
Alika berusaha keras menahan tangisnya, kedua tangannya mengepal erat.
Semua orang di ruangan itu sama sekali tak ada yang memperdulikan Alika. Satu per satu mereka keluar kelas, pergi meninggalkan Alika seorang diri.
Kelas menjadi hening, sudah tak ada siapapun lagi di sana kecuali Alika yang masih dalam posisi terjatuhnya pasca didorong oleh Bella tadi.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alika mengambil ponsel di dalam tasnya. Ternyata ibunya yang menelpon.
"Ya bu?" Alika bergegas menjawabnya.
"Kamu dimana? Kenapa belum keluar?" Tanya ibunya di seberang sana.
"Iya bu, tunggu sebentar," Alika menutup panggilan dan bergegas merapihkan barang-barang miliknya yang berserakan di lantai saat Bella mendorongnya tadi.
Alika mempercepat langkah kakinya, bergegas meninggalkan ruang kelas menuju ke gerbang utama.
Di sana, sudah ada ibunya yang berdiri di luar gerbang sambil menatapnya dan melambai-lambaikan tangannya. Alika semakin mempercepat langkah kakinya.
"Kenapa lama sekali?" Tanya Ibu Alika.
"Maaf bu," Alika bingung harus memberi alasan apa pada ibunya. Ia hanya bisa meminta maaf.
"Sudahlah, ayo ikut ibu!"
"Kemana?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Kamu ikut saja," Ucap Eva seraya masuk ke dalam mobil sedan merah miliknya.
Alika hanya bisa menuruti perkataan ibunya. Sepanjang perjalanan, Alika hanya terdiam tanpa tau kemana ibunya pergi membawanya.
Hubungan Alika dengan ibunya juga tidak terlalu dekat. Sejak lahir, Alika selalu ditelantarkan oleh sang ibu karena sibuk mencari uang demi menafkahi dirinya. Ayahnya yang seorang penjudi dan pemabuk berat tak bisa diandalkan. Jika sedang menang judi, barulah ayahnya akan memberikan uang pada ibunya. Namun jika sedang kalah judi, Alika dan ibunya sering kali dijadikan pelampiasan kekesalannya.
Meski Eva terkesan cuek kepada Alika, namun ia sebenarnya sangat menyayangi Alika. Hanya saja, ia sendiri tak tau bagaimana cara mengekspresikan rasa sayang pada putri semata wayangnya itu.
Meski Eva sering meninggalkan Alika seorang diri di rumah sejak kecil, tapi Alika tau bahwa ibunya itu amat sangat menyayanginya.
Alika sangat ingat kala itu, ayahnya yang baru saja berhasil menang judi pulang dengan membawa banyak uang. Tak hanya uang yang ayahnya bawa, tapi juga banyak minuman keras untuk merayakan kemenangannya.
Karena mabuk berat, ayahnya hampir saja memperkaos Alika. Untung saja saat itu ibunya sedang tidak pergi bekerja sehingga Alika selamat dari terkaman ayahnya sendiri.
Sebenaranya Doni, ayah Alika pun bukan sosok yang jahat. Hanya saja pengaruh alkohol membuatnya sering kali kehilangan akal sehat. Doni sering memukuli istri dan anaknya.
Namun setelah sadar dari mabuknya, Doni langsung menangis di hadapan keduanya. Meminta maaf atas kekhilafan yang telah ia lakukan.
Saat Alika tinggal dengan neneknya dulu pun, ayahnya tak pernah absen memberinya uang setiap bulan. Meski ia sendiri tak yakin apa uang yang dihasilkan ayahnya itu halal atau bukan.
Alika memang tumbuh dari dua orang tua yang jauh dari kata layak, Alika kekurangan kasih sayang. Tumbuh seorang diri, berjuang bersama kerasnya kehidupan dan cacian orang-orang disekitarnya. Diantara orang-orang dewasa yang ada disekitarnya. Hanya neneknyalah satu-satunya orang yang benar-benar terasa hangat bagi Alika.
Namun sayang, kini neneknya sudah tak lagi bisa ia temui. Wajah ketus sang nenek terus terngiang dalam ingatan Alika. Wajah yang terlihat tidak ramah namun ternyata hatinya memiliki kehangatan yang belum pernah Alika rasakan.
Mobil yang dikendarai Eva mulai melambat saat memasuki sebuah tempat dengan halaman yang tidak terlalu luas. mobil terus melaju memasuki bagian basement gedung yang menjulang sangat tinggi. Alika belum pernah masuk ke tempat seperti ini sebelumnya.
"Ini dimana bu?" Tanya Alika sambil celingak-celinguk memperhatikan lorong menuju basement.
"Ini mall tempat ibu biasa belanja, kemarin kan ibu janji mau ajak kamu jalan-jalan. Tapi dari kemarin ibu sibuk banget karena harus menemani ayah tirimu bekerja keluar kota, jadi baru sekarang ibu bisa menepati janji ibu." Eva menjawab dengan panjang lebar.
Minggu lalu, Alika baru saja sampai di kota kelahirannya ini. Sebuah kota metropolitan dengan segudang ceritanya. Kota yang memeliliki gemerlap dan sebuah surga bagi mereka yang memiliki banyak uang. Namun neraka bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Itulah masa kecil Alika, ia bahkan tak pernah membayangkan akan bisa masuk ke dalam gedung pencakar langit ini. Sekalipun tak pernah. Alika masih tak percaya ibunya kini bisa membawanya masuk ke sebuah tempat yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sejak kedatangannya kembali ke kota kelahiran, Alika hanya berdiam diri di rumah mewah milik ayah tirinya. Ya, ibunya itu sudah menikah lagi dengan seorang pria tua yang kaya raya. Karena itulah Alika kini juga bisa merasakan kehidupan dari kalangan elit. Masuk ke sekolah elit, naik mobil mewah, dan juga tinggal di rumah yang sangat megah.
Eva sudah memarkirkan mobilnya di tempat paling dekat dengan pintu lift.
"Ayo turun!" Ajak Eva.
Alika menurut, ia melepas seatbeltnya dan membuka pintu mobil. Alika berjalan membuntuti ibunya masuk ke dalam lift menuju lantai atas.
Ini pertama kalinya Alika masuk ke dalam sebuah lift, jantungnya berdebar kencang.
"Jadi ini yang namanya lift," batin Alika. Matanya memutar dari kanan ke kiri, dari atas ke bawah. Alika memperhatikan dengan seksama ruangan kecil yang kini sedang membawanya menuju lantai-lantai di atasnya.
Alika yang berdiri di belakang ibunya dapat melihat dengan jelas, bahwa ibunya seperti sudah terbiasa menaiki benda besar ini. Jujur saja, Alika sebenarnya sangat ingin berpegangan pada ibunya. Namun ia langsung mengurungkan niatnya karena di dalam lift tak hanya ada mereka berdua, namun ada beberapa pengunjung lainnya.
Hingga beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Eva menggandeng tangan Alika dan mengajaknya masuk ke sebuah tempat baru bagi Alika. Begitu kaki Alika keluar dari dalam lift, sebuah pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya terpampang jelas di depan mata.
Seketika mata Alika membulat lebar, mulutnya hampir menganga karena kagum dengan desain interior bangunan mewah itu. Jika saja Eva tak menggandeng tangannya, Alika mungkin sudah tertinggal karena hanya berdiam diri mengagumi tempat itu.
Eva mengajak Alika masuk ke dalam sebuah toko ternama. Seorang pelayan menghampiri mereka dan menyapa dengan sangat ramah.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" Tanya pelayan toko seraya membungkukkan badannya.
"Mba, tolong carikan pakaian model terbaru untuk anak saya ya," ucap Eva.
"Baik, silahkan kemari," pelayan toko mengajak mereka masuk lebih dalam dan berhenti beberapa jajaran baju yang dari modelnya terlihat untuk anak-anak muda.
"Silahkan, bisa dipilih di jajaran ini dan ini. Ini semua model terbaru," pelayan toko menunjuk jajaran baju yang ada di kanan dan kirinya.
"Pilih saja beberapa yang kamu suka," ucap Eva pada Alika. Sedetik kemudian pandangan Eva beralih pada pelayan toko yang tadi. "Tolong bantu anak saya memilih beberapa pakaian ya."
"Baik nyonya," pelayan toko mengangguk, mengiyakan permintaan Eva.
"Ibu mau kemana?" Tanya Alika yang melihat Eva mulai berjalan menjauhinya.
"Ibu mau ke toko sebelah, mau cek apa pesanan ibu sudah datang atau belum. Nanti kalau sudah selesai tunggu saja, biar ibu jemput," jawab Eva.
Alika nampak bingung, selama ini ia belum pernah membeli baju sendirian. Terlebih di dalam toko mewah seperti ini.
"Tapi..." Satu kata dari Alika menghentikan langkah kaki Eva.
"Oh iya, kalau sudah selesai memilih bayar pakai ini ya," Eva memberikan sebuah kartu pada Alika.
Dengan ragu-ragu Alika menerimanya.
"Belilah beberapa baju, tidak usah khawatir dengan harganya. Pilih saja semua yang kamu suka." Eva hampir saja kembali berjalan pergi, namun sepertinya ada sesuatu yang lupa ia sampaikan. "Oh iya, jangan lupa beli sepatu dan tas juga ya."
Setelah berkata demikian, Eva pun pergi meninggalkan Alika di dalam toko bersama seorang pelayan. Alika masih mematung sepeninggalan sang ibu. Hingga pelayan di sampingnya mengejutkannya.
"Bagaimana kak, mau saya bantu pilihkan?" Tanya si pelayan dengan ramah.
"Eh... Eh... Mmm... Iya boleh," Alika tergagap. Ia sebenarnya merasa sangat canggung dan bingung di tempat itu. Namun ia juga tak mungkin berdiam diri saja. Alika takut ibunya akan marah jika ia belum membeli apapun saat ibuya kembali nanti.
Alika mulai memilih beberapa baju, namun tak ada satupun pakaian yang sesuai dengan seleranya. Mungkin karena sebelumnya Alika tinggal di desa dan hanya memakai pakaian sederhana, sehingga baju-baju dengan model terkini nampak sangat asing baginya.
Ada beberapa pakaian yang Alika suka namun ia kembalikan pada tempatnya karena Alika merasa pakaian itu tidak cocok dengannya.
"Bagaimana kak? Apa ada yang kakak suka?" Tanya pelayan yang sejak tadi mengikutinya.
"Mmm... Saya bingung mba," Alika nampak ragu-ragu.
"Bisa saya bantu pilih?" Pelayan itu menawarkan diri.
"Boleh deh mba, pilih aja yang kira-kira cocok dengan saya".
"Baik kak," pelayan itu lalu memilih beberapa baju yang kira-kira ukurannya sesuai dengan Alika. "Kalau yang ini bagaimana kak?" Pelayan itu memperlihatkan satu set baju berwarna biru muda, dengan atasan kaos crop top dan bawahan short pants kepada Alika.
Entah apa yang ada dalam pikiran Alika, saat itu Alika hanya mengangguk saja tanda setuju pada pilihan si pelayan toko. Setelah beberapa saat, Alika akhirnya berhasil mendapatkan beberapa set baju dengan berbagai model yang berbeda-beda, sepasang sepatu dan sebuah tas dengan bantuan pelayan toko.
Setelah membayar menggunakan kartu kredit pemberian Eva, Alika berjalan perlahan keluar dari toko sambil mengamati struk bill yang baru saja ia terima.
Melihat nominal yang tidak sedikit itu membuat jantung Alika berdegup kencang, ada rasa khawatir di dalam hatinya. Alika takut ibunya akan marah jika ia menghabiskan uang sebanyak itu.
"Aduh, bagaimana ini?" Batin Alika. "Harusnya tadi aku beli satu saja," Alika menyesali keputusannya yang membeli banyak barang tanpa melihat lagi harganya.
Sebelumnya Alika berpikir jika harga baju-baju itu mungkin tidak jauh beda dengan harga di pasar tradisional yang pernah ia datangi saat tinggal bersama dengan neneknya dulu. Namun ternyata ia salah, baju-baju itu ternyata memiliki harga yang jauh dari harga di pasar tradisional.
Saat Alika tengah bingung dengan nominal yang tertera di struk, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
"Sudah selesai?" Tanya Eva.
"Eh, iya bu..." Alika terkejut melihat kehadiran Eva di sampingnya.
Eva melihat ke arah struk belanja yang kini tengah di pegang Alika. Namun setelahnya, Eva nampak diam saja. Tidak marah seperti yang Alika bayangkan.
"Sebelum pulang kita makan dulu ya," ucap Eva sambil berlalu. Alika pun bergegas mengikuti kemana ibunya pergi.
Malam hari, di dalam kamar Alika melihat beberapa tas belanja yang ia bawa tadi. Ia tak menyangka akan menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk membeli pakaian. Padahal dulu saat kecil, jangankan untuk membeli pakaian, untuk makan saja mereka kesulitan.
Alika masih tak menyangka kehidupan ibunya yang kini telah berubah karena menikahi pria kaya.
Alika membuka lagi pakaian-pakaian yang tadi ia beli, dan Alika baru menyadari bahwa beberapa pakaian itu adalah pakaian yang sangat minim. Saat sedang melihat baju-baju barunya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.
Alika bergegas membuka pintu dan menemukan ibunya ada di sana.
"Belum tidur kamu?" Tanya Eva sambil nyelonong masuk ke dalam kamar Alika.
"Belum bu," jawab Alika membuntuti Eva di belakangnya.
"Ini baju-baju yang tadi kamu beli?"
"Iya bu."
Eva memperhatikan dengan seksama baju-baju pilihan Alika sambil menganggukkan kepalanya.
"Boleh juga pilihan kamu," Eva tersenyum sambil menatap Alika.
Alika yang sebenarnya merasa menyesal dengan pakaian pilihannya, jadi sedikit merasa terhibur karena Eva menyukai pilihan pakaiannya itu.
"Lain kali kita belanja lagi ya, nanti biar ibu yang pilihkan."
"Iya bu," Alika hanya mengangguk.
"Gimana sekolahmu? Kamu sudah dapat teman di sana?"
Alika terkejut dengan pertanyaan dadakan dari ibunya.
"Kamu suka kan sekolah di sana?"
"Mmm... Iya bu," Alika tak tau harus mejawab apa saat itu. Ia tak ingin ibunya tau apa yang terjadi pada dirinya di sekolah.
"Kalau boleh tau, kenapa ibu memasukkan aku ke sekolah itu?" Alika malah balik bertanya demi menghindari pertanyaan ibunya.
"Tentu saja agar kamu bisa menemukan pria yang kaya raya seperti ibu," jawab Eva dengan entengnya.
Alika terdiam mendengar jawaban ibunya. Ia tak tau harus bereaksi apa.
"Memangnya kamu mau hidup susah lagi seperti dulu?" Tanya Eva dengan nada yang sedikit tinggi ketika melihat reaksi Alika yang sangat datar.
Alika menggelengkan kepalanya perlahan. Ia masih ingat bagaimana rasanya hidup susah dan hanya tinggal di rumah sepetak bersama ibu dan ayahnya yang pemabuk dan juga pemarah. Alika seringkali dikucilkan karena hidupnya yang miskin. Belum lagi profesi sang ibu yang bekerja sebagai kupu-kupu malam, seringkali menjadi bahan ejekan teman-teman Alika kala itu.
Ibunya kini sudah tak lagi bekerja, ia hanya menikmati kehidupan sebagai nyonya rumah. Meski statusnya hanya sebagai istri simpanan. Namun, Alika merasa itu sudah jauh lebih baik dari pada ibunya harus menjajakan tubuhnya ke banyak pria.
"Kamu tau, ibu sudah tua sekarang. Badan ibu sudah tak sebagus dulu. Sekarang sudah banyak gadis-gadis yang jauh lebih muda dan lebih cantik dari pada ibu, sebenarnya ibu sudah tidak lagi laku dikalangan pria hidung belang. Karena itulah ibu memutuskan untuk memikat pria tua kaya dan memintanya menikahi ibu. Untungnya pria tua itu bersedia," Eva bercerita sambil tersenyum geli mengingat bagaimana suaminya kini akhirnya bersedia menikahinya.
Alika sendiri tidak tau pasti sejak kapan ibunya ini menikah lagi, ia bahkan tak tau jika ayah dan ibunya sudah bercerai. Yang Alika ingat, saat itu ibunya pergi meninggalkan dirinya begitu saja dengan segepok uang. Kala itu, Alika masih duduk di bangku kelas lima SD. Alika merasa sangat kebingungan saat tau ibunya pergi meninggalkan ia seorang diri.
Walau dirinya sudah terbiasa ditinggal sendiri di rumah, namun ibunya tidak pernah meninggalkannya lebih dari satu hari. Dengan uang yang sangat banyak itu, Alika sendiri tak tau harus bagaimana. Alika takut jika harus berhadapan dengan ayahnya seorang diri, terlebih saat ayahnya mabuk dan kalah judi.
Hingga akhirnya suatu hari ayahnya datang menjemputnya dan mengirim Alika ke rumah nenek dari pihak ayah. Nenek yang belum pernah ia temui sebelumnya. Meski awalnya Alika nampak sangat takut melihat neneknya yang berwajah tidak ramah, namun pada akhirnya Alika menyadari bahwa neneknya amat sangat menyayangi dirinya.
Sejak Alika diantar ke rumah neneknya itulah hari terakhir ia bertemu dengan ayahnya. Karena sampai saat ini Alika tak pernah bertemu lagi dengannya, bahkan keberadaannya pun Alika tidak tau. Neneknya bilang, ayahnya hanya mengirim uang padanya satu bulan sekali. Hingga pada akhirnya Alika menyadari bahwa kala itu neneknya berbohong.
Ayahnya tak pernah mengiriminya uang semenjak ia tinggal bersama dengan nenek. Alika baru mengetahui semua itu setelah nenek meninggal. Ada perasaan kecewa yang Alika rasakan, namun Alika tau semua itu neneknya lakukan karena tak ingin Alika kecewa kepada sang ayah.
"Apa ibu tau dimana ayah berada saat ini?" Tanya Alika.
"Tidak, kabar terakhir yang ibu dengar ayahmu menjadi buronan karena menipu banyak orang. Dia masih hidup atau tidak, ibu pun tak tau dan tak mau tau," jawab Eva.
Alika terdiam mendengar jawaban ibunya, seketika ada perasaan mengganjal di hatinya. Jika memang ayahnya menjadi buronan, bukankah ia dan ibunya berada dalam bahaya? Apa mereka akan baik-baik saja?
Melihat raut wajah Alika yang nampak khawatir, Eva pun paham yang kini tengah dipikirkan oleh gadis semata wayangnya itu.
"Kamu tidak usah khawatir, kita akan baik-baik saja. Mereka tidak akan bisa menemukan kita," Eva membelai rambut Alika. Lalu sesaat kemudian Eva seolah menyadari sesuatu.
"Tunggu, kamu ga pernah pakai skincare ya?" Eva memandangi wajah Alika dengan teliti. Menaikkan dagu Alika, memutarnya perlahan ke kanan dan ke kiri, ingin memastikan kulit wajah anaknya yang memang nampak kusam.
"Ga bisa kaya begini, besok pulang sekolah kita ke klinik ya," ucap Eva.
"Klinik bu? Tapi aku sehat-sehat aja," Alika tak mengerti maksud ibunya.
"Badan kamu memang sehat, tapi kulitmu yang tak sehat. Sudahlah, sebaiknya kamu segera tidur, tidak baik untuk kesehatan kulit jika kamu tidur terlalu malam." Setelah berkata demikian, Eva pergi meninggalkan Alika sendirian di kamarnya.
Alika menatap kepergian ibunya. Sebenarnya, ada perasaan lega yang Alika rasakan saat ini. Meskipun Alika masih merasa canggung dengan ibunya karena sudah lama terpisah, namun Alika tak pernah sekalipun merasa membenci ibunya, terlebih karena profesi ibunya dulu, dan juga saat ibunya pergi meninggalkannya. Saat ditinggal oleh ibunya dulu, hampir setiap malam Alika menangis karena merindukan ibunya.
"Aku masih belum tau, bagaimana ibu bisa menemukanku," Gumam Alika, ia ingin sekali bertanya namun entah mengapa niat itu selalu ia urungkan.
Alika bangun dari duduknya dan menutup pintu kamar, tak lupa ia juga menguncinya. Alika masih merasa asing di tempat itu, ia sengaja mengunci pintunya agar merasa lebih tenang.
Alika kembali duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap-usap sprei kasur yang terasa sangat lembut di tangannya.
"Apa aku bisa memikat hati seorang pria kaya seperti ibu ya?" Alika memandang wajahnya yang terpantul dalam cermin yang terletak di seberang tempat tidurnya. Menurutnya, wajahnya itu sama sekali tidak cantik. Alika memiliki wajah kecil seperti ibunya, pipinya tirus dengan hidung kecil yang sedikit mancung, matanya tidak besar dan juga tidak kecil, bibinya juga biasa saja, tidak tebal dan juga tidak tipis.
"Apa mungkin dengan wajah seperti ini akan bisa memikat hati seorang pria?"
Alika menggelengkan kepalanya, menepis semua pikirannya dan kata-kata ibunya tentang memikat hati seorang pria kaya.
"Aku tidak ada waktu untuk itu, bagaimana aku bisa memikirkan itu? Besok bisa selamat dari Bela saja sudah syukur," Alika menghela nafas panjang. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk itu.
Alika menatap langit-langit kamarnya, ada sosok yang kini sedang ia rindukan.
"Aku merindukanmu nek," bisik Alika. Entah mengapa suasana malam selalu membuatnya merindukan seseorang. Dulu ia selalu menangis karena merindukan ibunya, kini Alika begitu merindukan neneknya. Air matanya hampir jatuh, Alika buru-buru mengusapnya.
Alika sangat merindukan masakan nenek, harum tubuh nenek, suasana sepi di dalam rumah nenek, Alika bahkan merindukan omelan nenek padanya. Setiap hari, tidak ada hari tanpa omelan dari sang nenek.
Meski awalnya Alika takut, tapi omelan itulah yang menyadarkan Alika bahwa ia amat sangat disayangi oleh sang nenek.
Kini semua tak lagi bisa ia rasakan, meski Alika sudah tinggal di tempat yang lebih nyaman. Berbanding terbalik dengan rumah nenek yang hanya beralaskan tanah dan beratapkan jerami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!