Keributan besar terjadi di sebuah rumah besar tak bertingkat. Tepatnya di area makan ketika rumah besar itu pagi-pagi sudah dikunjungi Mama Puspa. Mama dari Erlangga Saputra Wijaya. Suami dari Marina Salsabila.
"Ini yang benar saja, Marina. Hanya ada susu tanpa makanan yang lain? Anak-anak dan suami kamu tidak bawa bekal dari rumah?. Kalau begini Mama akan meminta Putri untuk mengurus mereka berempat. Mama tidak ingin mereka terlantar karena pekerjaan kamu. Diberi kebebasan bukannya tahu diri malah ngelunjak."
Sudah hampir satu tahun ini Mama Puspa selalu mendapat cerita dari semua cucunya tentang kebutuhan mereka yang selalu terabaikan oleh kesibukan Marina sebagai designer terkenal. Mereka selalu jajan dan makan di luar tanpa adanya pengawasan dari Marina.
Ini sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditolerir lagi oleh Mama Puspa. Sebagai seorang ibu dan seorang nenek ia ingin memberikan yang terbaik untuk anak dan cucu-cucunya. Maka ia akan menempatkan Putri di rumah besar itu.
"Maaf, Ma. Aku sangat sibuk. Tapi Mas Erlangga sama anak-anak tidak pernah mempermasalahkan." Marina membela diri.
"Iya, itu betul, Ma. Aku dan anak-anak sangat mengerti dengan kesibukan Marina. Jadi kami semua tidak apa-apa. Iya 'kan anak-anak?"
Sebagai seorang suami, Erlangga juga harus bisa melindungi istri di depan Mama Puspa. Walau pun, iya memang Marina telah abai terhadap mereka karena pekerjaan.
"Iya...Eyang sayang. Kita bertiga tidak apa-apa." Ketiga anak mereka menyahut kompak.
"Alah, itu cuma alasan kamu aja, Marina. Seharusnya kamu bisa menempatkan diri bukan seenaknya aja begini. Pokoknya Mama akan meminta Putri untuk bekerja di sini. Biar Mama yang gaji kalau kalian tidak sanggup bayar." Ketus Mama Puspa sambil segera menghubungi Putri untuk secepat datang ke rumah Erlangga di antar supir.
Marina Salsabila seorang designer yang harus mengubur mimpinya karena kehamilan pertamanya yang begitu payah. Sehingga ia harus benar-benar istirahat di rumah tanpa bisa turun dari tempat tidur hingga ia melahirkan Briana Oktaviani Wijaya (11 tahun).
Berlanjut pada kehamilan kedua dan ketiga yang sama persis seperti itu. Hingga lahir Britney Oktaviana Wijaya (10 tahun) dan Bryan Oktaviano Wijaya (6 tahun). Kemudian ia membesarkan mereka bertiga sampai waktu yang cukup untuk bisa ditinggal bekerja.
Maka sudah satu tahun ini Marina kembali membangun mimpinya untuk menjadi seorang designer besar seperti cita-citanya dulu. Pernikahan, anak-anak dan pekerjaan bisa sejalan beriringan.
.....
Bau wangi makanan tercium hidung mereka setelah membuka pintu. Ketiga orang itu saling melempar pandang terhadap satu sama lain.
"Mbak Putri" ujar mereka bertiga dengan raut wajah senang.
Briana, Britney dan Bryan langsung berlari ke arah meja makan. Benar saja di sana sudah ada Putri yang sedang menata piring, sendok dan garpu.
Ada banyak makanan yang telah tersaji di meja makan dan itu bisa dipastikan makanan kesukaan mereka semua tanpa terkecuali.
"Mbak Putri, aku senang bisa makan enak kesukaan aku." Bryan memeluk Putri. Anak laki-laki itu tidak akan makan mie instan lagi.
"Iya, makan yang banyak ya, Bryan. Tapi sebelum itu mandi dulu ya sudah mau maghrib ini." Putri membalas pelukan Bryan.
Bryan mengangguk kemudian masuk ke dalam kamar setelah selesai berpelukan bersama Putri. Yang diikuti oleh kedua kakak perempuannya, mereka memasuki kamar masing-masing.
Putri menyelesaikan pekerjaannya lalu masuk juga ke dalam kamar.
Beberapa menit telah berlalu. Meja makan sudah ramai oleh piring dan sendok yang saling beradu. Belum lagi suara mereka yang cukup keras membicarakan makanan super lezat yang dibuat Putri. Makanan yang hanya bisa ditemukan kala mereka berkunjung ke rumah Eyang Puspa. Tatapi kini mereka bisa menikmatinya di rumah mereka sampai berulang-ulang kali.
Di tengah-tengah mereka yang sedang menikmati setiap suap makanannya. Erlangga pulang bersamaan dengan Marina. Mereka langsung masuk dan mendapati pemandangan yang sudah lama mereka tidak lihat sebahagia ini.
Canda tawa mereka menyambut kepulangan Papih Mamih nya. Yang biasanya hanya ada keheningan di setiap sudut ruangan rumah besar itu. Namun saat ini ruangan yang paling central telah ramai oleh ketiga anaknya karena adanya makan malam.
"Eyang yang masak ya?," tanya Erlangga. Erlangga dan Marina menghampiri mereka lalu menarik kursi masing-masing untuk diduduki.
"No, Papih. Eyang udah pulang. Ini semua masakan Mbak Putri." Si bungsu Bryan yang menjawab sambil meletakkan sendok di atas piring yang telah bersih dari sisa-sisa makanan.
"Ooohhh....Mbak Putri yang masak." Sahut Erlangga.
Tak berselang lama, Marina bangkit berdiri lalu merapikan kursinya lagi.
"Mamih enggak makan dulu?" tanya Briana.
"Mamih mau mandi dulu, sayang." Lalu Marina pergi usai Briana menganggukkan kepalanya.
Marina tidak langsung menuju kamarnya, ia memang berniat ingin menemui Putri.
Tok Tok
Ceklek
Pintu kamar terbuka, dengan senyum Putri menyambut Nyonya rumah.
"Aku tidak suka basa-basi. Dengar baik-baik, hanya dapur yang bisa kamu datangi selebihnya tidak boleh. Jangan pernah dekat-dekat dengan anak-anak, apalagi sama Tuan Erlangga apapun yang terjadi, kamu paham?." Ujar Marina sangat tegas sambil menatap tajam Putri.
"Saya mengerti, Nyonya." Putri mengangguk.
Lalu Marina balik badan dan meninggalkan kamar Putri. Ia harus memperingatkan Putri sebelum hal-hal yang tidak diinginkannya terjadi.
Marina tiba di kamar, ia langsung menuju kamar mandi. Membersihkan seluruh tubuhnya yang terasa lengket. Pekerjaannya hari ini begitu sangat padat sampai-sampai ia lupa untuk mengisi perutnya.
Dengan tubuh segar dan pakaian tidur seksi ia keluar dari kamar mandi. Bertepatan dengan Erlangga yang masuk kemudian menutup pintu kamar.
"Air hangat udah aku siapkan, Mas. Apa Mas mau aku pijat dulu?" tanya Marina menghampiri Erlangga yang sedang melepaskan pakaiannya.
Tangan lentik itu menggantung di udara kala sebuah penolakan halus meluncur dari mulut suaminya.
"Tidak usah, sayang. Pasti kamu sangat lelah, lebih baik kamu istirahat saja." Senyum manis terukir dari wajah Erlangga sebelum pria itu pergi dari hadapannya. Marina menatap punggung Erlangga yang menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Benar memang yang dikatakan suaminya itu, ia benar-benar lelah dan ia sangat bersyukur ketika suaminya begitu sangat mengerti keadaannya. Karena biasanya sebuah pijatan akan membawa mereka berakhir di tempat tidur.
Marina segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur empuk lalu dengan cepat matanya terpejam sempurna.
Saat ini jarum jam telah menunjukkan angka empat. Putri segera bangun dan langsung mandi. Kemudian menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang berusaha selalu taat dalam perintah-Nya.
Setelah selesai, ia bergegas ke dapur. Mulai menyiapkan makanan untuk sarapan seisi rumah. Untuknya sendiri, Putri bisa makan apa saja.
Tidak butuh waktu lama bagi Putri untuk memenuhi meja makan dengan berbagai hidangan sarapan. Ada juga tiga bekal kotak makan yang telah tersusun rapi sesuai dengan nama masing-masing.
Dapur telah bersih, berarti pekerjaannya telah selesai. Ia segera meninggalkan sebelum semua penghuni rumah keluar dari kamar masing-masing.
Bersambung
Marina terdiam sambil terus memperhatikan ketiga anaknya yang begitu lahap menyantap makanannya sampai habis tanpa sisa. Wajah mereka begitu bahagia, tidak seperti biasanya. Bekal kotak makan sudah ada disisi mereka. Mereka begitu gembira dengan kotak bekal berukuran sedang itu.
"Sarapannya cepat dihabiskan, kita sudah mau berangkat." Usapan lembut pada punggung tangan Marina menyadarkannya dari lamuan.
Marina mengangguk sambil tersenyum. Ia pun segera melahap habis makanannya. Memang tidak bisa dipungkiri kalau masakan Putri sangat enak.
Mereka berlima meninggalkan rumah, mereka terbagi dalam dua perjalanan. Erlangga bersama anak-anak satu arah dan mereka berada dalam satu mobil. Sedangkan Marina hanya seorang diri karena tidak ada yang satu arah dengannya.
Sementara Putri sendiri yang saat ini duduk di bangku kuliah semester dua. Berangkat kuliah setelah merapikan meja makan dan mencuci bersih semua perlengkapan makan yang telah digunakan. Ia menaiki ojek langganan yang difasilitasi Nyonya Puspa. Orang yang paling berjasa dalam hidupnya.
Putri Pramanita (19 tahun) seorang yatim piatu yang ditinggalkan kedua orang tuanya saat mereka masih bekerja untuk keluarga besar Nyonya Puspa. Nyonya baik hati itu mau menampung Putri sampai saat ini.
Putri telah sampai di kampus, ia mengambil jurusan tata boga sesuai dengan kemahirannya saat ini.
"Dosennya enggak masuk, Put." Ujar Desna, teman dekat Putri di kampus.
"Kita ke perpustakaan aja yuk!" ajak Putri yang diangguki langsung oleh Desna.
Keduanya berjalan berdampingan menuju perpustakaan. Mereka mencari tempat duduk paling pojok karena bisa tenang untuk membaca atau pun ngobrol bisik-bisik.
Sebelum duduk Putri mengambil buku yang akan dipelajarinya.
"Kamu kenapa kok kusut begitu mukanya?" tanya Putri mendaratkan bokongnya di depan Desna.
"Ayah Bunda mau menjodohkan aku." Jawab Desna malas lalu bertopang dagu.
Putri menutup kembali buku yang baru dibukanya. Ia menatap fokus Desna yang sedang membutuhkan teman curhat.
"Bukannya emang udah dari lama kamu mau dijodohkan, kenapa harus kaget?."
"Iya kan kamu tahu, Put. Aku enggak mau nikah muda. Soalnya kata Ayah Bunda harus nikah dalam waktu dekat ini."
"Memang kamu udah tahu calon suami kamu siapa?. Maksudnya udah tahu belum siapa orang yang dijodohkan sama kamu itu?."
Desna menggeleng lemah.
"Siapa tahu kalau udah tahu kamu nanti berubah pikiran. Prianya tampan, dewasa, sopan, baik, pengertian dan penyayang."
Desna memainkan bibirnya. Sesekali menggigit, melipatnya ke dalam, kemudian memonyongkannya. Bisa saja terjadi hal seperti yang dikatakan Putri.
"Katanya minggu ini orangnya akan datang ke rumah." Desna menegakkan posisi duduknya sambil merapikan ikatan rambutnya.
"Tidak ada salahnya kalian pendekatan saja dulu kalau memang tidak cocok bisa kalian bicara kan lagi."
"Hmmm, sepertinya perlu di coba." Sahut Desna bersemangat.
Putri melanjutkan membaca bukunya setelah selesai mendengar cerita Desna. Kemudian Putri dan Desna meninggalkan perpustakaan setelah dua jam lamanya di sana.
Sementara itu di kantor Marina. Ia disibukkan dengan setumpuk pekerjaan dari banyaknya pelanggan yang menginginkan design buatannya. Lagi-lagi ia melewatkan makan siangnya. Ia selalu ingin memberikan kepuasan maksimal pada para pelanggan setianya.
"Kamu melewatkan lagi makan siang" ujar seorang pria datang menghampiri meja kerja Marina.
Marina mengangkat wajahnya lalu tersenyum.
"Andreas, kamu di sini?."
"Hmmm." Pria yang bernama Andreas itu duduk di depan Marina.
"Tapi aku sedang sibuk, jadi tidak bisa menjadi teman bicara mu." Tangan Marina mulai bergerak lagi menyentuh laptopnya.
"Tidak apa-apa, lagi pula aku hanya mampir. Hanya ingin melihat kamu dan sekarang aku akan pergi lagi." Andreas bangkit lalu merapikan jasnya.
"Kamu bisa aja." Ujar Marina tanpa mau menatap Andreas.
"Aku pamit."
"Maaf aku tidak mengantar." Baru lah pandangan Merina bertemu dengan Andreas. Pandangnya yang sama dengan 12 tahun silam.
"It's ok." Andreas tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Marina. Perempuan itu pun membalasnya sampai Andreas benar-benar keluar dan menutup pintu ruang kerjanya.
Marina kembali fokus pada pekerjaannya ketimbang memikirkan Andreas yang masih menunggunya.
.....
Siang menjelang sore ini Erlangga ada rapat di luar bersama klien sekaligus sahabat semasa kuliah. Mereka berdua sudah duduk tenang di salah satu tempat minum kopi ternama.
Di sela-sela rapat, sesekali mereka menyisipkan obrolan tentang keluarga masing-masing. Terutama perkembangan anak-anak yang sedang-sedangnya serba ingin tahu untuk segala hal tanpa bisa dicegah. Mereka akan mencari tahu sendiri dengan caranya.
Kemudian beralih pada pasangan mereka yang masih sama seperti dulu. Hanya saja, Erlangga menjadi lebih sedikit bicara jika sudah mengenai Marina dibarengi perubahan raut wajah. Sangat berbeda ketika bercerita tentang anak-anaknya. Hal tersebut tertangkap oleh sahabatnya, Panji.
"Ada masalah diantara kalian?."
Dengan cepat Erlangga menggeleng. "Tidak ada, kami baik-baik." Kemudian mengangguk-anggukan kepala untuk meyakinkan ucapannya.
"Senang aku mendengarnya."
"Hmmm" Erlangga menampilkan senyum untuk menyamarkan perasaannya saat ini.
Rapat sekaligus tukar informasi sudah selesai, keduanya harus segera kembali ke kantor masing-masing.
Mobil Erlangga berhenti saat lampu merah, kedua matanya seketika menyipit sambil sedikit menurunkan kaca jendela guna memastikan perempuan yang berada di atas motor.
"Putri" gumam Erlangga saat benar-benar tahu jika itu adalah perempuan berhijab yang sekarang bekerja di rumahnya. Di antara Putri dan tukang ojek ada sebuah tas berisi belanjaan.
Sebuah senyum tercetak jelas pada wajah Erlangga kala sudah bisa membayangkan menu makan malam super lezat seperti kemarin.
Motor pun melaju saat lampu hijau menyala, Erlangga juga segera tanpa gas. Ia segera ingin pulang untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan.
Putri tiba di rumah dan langsung meletakkan tas berisi belanjaan. Ia segera menyusun semuanya masuk ke dalam kulkas, ada juga yang dibiarkan begitu saja di tempat terbuka.
Ia langsung memasak setelah berganti pakaian, sebentar lagi anak-anak Nyonya dan Tuan nya akan akan segera sampai di rumah.
Karena memasak adalah keahliannya maka tidak sulit bagi Putri untuk mengolah bahan-bahan makanan itu. Kini di meja makan sudah terhidang lagi makanan kesukaan seisi rumah.
Langkah Putri yang akan kembali masuk ke dalam kamar terhenti ketika terdengar bunyi bel. Ia bergegas ke luar guna membuka pintu.
Ceklek
"Mau cari siapa?" tanya Putri. Seorang pria tampan sudah berdiri tegak menatapnya.
"Pemilik rumah ini" jawabnya tegas.
"Mereka belum pulang" ujar Putri memberitahu.
"Tahu, makanya mereka memintaku masuk dan menunggu di dalam."
"Silakan" Putri menyampingkan tubuhnya guna memberikan jalan pada pria itu.
"Ok" pria itu masuk melewati Putri.
Putri menutup pintu lalu balik badan, keningnya berkerut saat melihat punggung pria itu menghilang di balik pintu kamar yang bersebelahan dengan kamarnya.
Bersambung
Meja makan yang tadinya tanpa penghuni kini sangat ramai. Semua makanan yang dimasak Putri habis tanpa sisa. Seisi rumah sangat kenyang dengan makanan super lezat Putri.
Apalagi kini anggota keluarga mereka bertambah dengan kehadiran Bima Anggara. Adik kandung dari Marina yang akan melanjut kuliah di sini dan kemungkinan besarnya akan tinggal di rumah ini juga.
Usai makan malam, mereka semua beranjak menuju ruang keluarga. Di sana juga sudah ada cemilan di dalam toples di atas meja.
"Bryan paling seneng tuh Mbak Putri ada sini" ujar Briana sambil mengacak adik bungsunya.
Sesaat Bryan cemberut karena Briana membuat rambutnya berantakan.
"Tapi aku juga seneng sih Mbak Putri ada di sini, jadi aku tidak perlu memikirkan makanan apa yang harus aku beli." Britney buka suara terkait keberadaan Putri.
"Memangnya kamu tidak senang, An?" tanya Britney.
"Seneng banget juga lah" jawab Briana yang diakhiri tertawa ngakak. Mana mungkin ia tidak senang ada yang begitu memperhatikan kebutuhan perutnya. Apalagi sudah lama ia tidak merasakan makanan rumahan karena sang Mamih sangat sibuk.
Britney dan Bryan ikut tertawa ngakak, mereka kira Briana akan menyangkalnya.
Ada bagian hati Marina yang tidak menyukai apa yang telah Mama Puspa lakukan. Menghadirkan Putri di dalam rumahnya, menganggu aturan rumah yang telah diterapkannya. Secara otomatis ia pun sangat tidak menyukai keberadaan Putri.
"Papih juga pasti suka 'kan Mbak Putri ada di sini?" celetuk Bryan.
Erlangga hanya tersenyum tanpa mau berkomentar, tatapan matanya bertemu dengan Marina. Perempuan itu langsung bangkit dan pergi dari sana. Erlangga mengusap kasar wajahnya, ia juga segera bangkit dan mengikuti Marina ke kamar.
Bimo menatap mereka yang menghilang di balik pintu kamar. Semua ini pasti ada hubungannya dengan perempuan berhijab yang tadi sore ditemuinya.
"Om Bimo mau kemana?" tanya Briana berhasil menahan tangan Bimo.
"Om mau ke kamar, ada yang harus om ambil" jawab Bima. Ia segera menuju kamar setelah tangannya dilepas Briana.
.....
Pagi-pagi sekali ketiga anak Erlangga dan Marina sudah berada di meja makan. Padahal hari ini mereka tidak berangkat ke sekolah karena libur. Ternyata mereka memang sengaja demi request sarapan yang ingin mereka makan.
Makanan sederhana yang sebenarnya Mamih mereka pun bisa buat. Namun sudah tidak mungkin lagi dibuatkan Mamih mereka karena kesibukannya. Hari libur begini saja Marina tetap berangkat ke kantor. Meninggalkan mereka bersama Papih mereka.
Satu piring besar berisi mie goreng spesial telah tersaji di atas meja. Bryan bersorak paling girang diantara Briana dan Britney. Suara kencang Bryan terdengar sampai ke telinga Marina dan Erlangga yang baru keluar dari kamar. Erlangga sendiri tersenyum mendengarnya, berbeda dengan Marina yang langsung memasang wajah tidak bersahabat.
"Lain kali Mamih tidak mau mendengar suara kamu yang kencang seperti ini, Bryan" tegur Marina. Untuk pertama kalinya
Teguran Marina seketika membuat Bryan terdiam lalu menundukkan kepalanya. "Iya, Mamih. Maaf."
Bukan hanya Bryan saja, tetapi Briana dan Britney juga. Mereka sangat takut melihat kemarahan sang Mamih.
Kemudian Erlangga mendekati Bryan. "It's ok, Bryan." Lalu meminta sang putra untuk melanjutkan makannya.
"Aku tidak suka kalau kamu memanjakan anak-anak." Ketus Marina menatap sengit Erlangga. Pria itu hanya diam tanpa ingin mendebat Marina di depan anak-anak.
Dengan perasaan marah Marina meninggalkan rumah. Marah karena tidak tenang meninggalkan mereka semua bersama Putri.
" Kak! "panggil Bima berlari mendekati Marina yang hendak masuk ke mobil.
"Iya, Bim."
"Kakak ada masalah sama pembantu itu?" tanya Bima penuh selidik.
Marina menatap bangunan rumah yang sudah ditinggalinya hampir 10 tahun bersama keluarga tercinta penuh damai dan ketenangan.
"Lebih baik kamu tinggal di sini aja, bantu kakak sekalian." Marina menatap Bima yang menaikkan alisnya sebagai tanda bertanya. "Kakak sangat tidak suka sama pembantu itu. Tolong buat ia tidak betah sehingga ia akan pergi dengan sendirinya." Sambung Marina sambil menepuk-nepuk lengan Bima.
"Ok, kak." Bima menyanggupi.
"Terima kasih, Bim. Kakak berangkat, titip mereka semua dari pembantu itu." Marina langsung masuk ke mobil setelah anggukan Bima.
Bima kembali ke dalam rumah dan ia berpapasan dengan Putri di pintu depan. Keduanya saling tatap untuk beberapa detik hingga Putri yang lebih dulu memutus tatapannya.
"Butuh tumpangan?" tanya Bima sambil berdiri tepat di depan Putri sehingga Putri tidak bisa lewat. Hanya diam menunggu sampai pria yang ada di depannya menyingkir dari jalannya.
"Saya sudah ada yang menjemput" jawab Putri cepat.
"Ok" lantas Bima memberikan jalan pada Putri. Putri pun cepat-cepat melangkah pergi dari hadapan Bima. Bima menatap Putri yang menghampiri motor yang sudah ada di depan gerbang.
"Hanya pria seperti itu yang menjadi kekasihmu, Put." Gumam Bima sambil terus menatap Putri yang dibawa pergi motor tersebut.
Putri tiba di kampus, ia langsung menemui dosen pembimbing. Materi untuk satu jam ke depan adalah tata hidang. Ia mulai sibuk dengan satu meja besar sambil terus menyimak setiap instruksi yang disampaikan dosen. Hingga tanpa terasa bimbingan pun selesai. Putri segera meninggalkan kelas dan menuju tukang ojek yang menunggunya.
Sesampainya di sana, ia tidak menemukan tukang ojeknya. Malah terlihat Bima berdiri bersandar pada bagian depan mobil sambil memainkan ponselnya.
"Putri!" panggil Bima saat melihat Putri balik badan dan hendak meninggalkan area parkir.
Putri balik badan lagi dan mendapati Bima sudah berdiri dekat dengannya hingga Putri refleks memundurkan tubuhnya.
"Ada apa?" tanya Putri datar.
"Kita pulang bersama, sekalian mampir ke mall. Anak-anak minta makan seafood."
Putri terdiam sambil berpikir, lalu menyetujui untuk pulang bersama Bima karena anak-anak majikannya. Pasti mereka mau makan siang dan secepatnya ia harus sudah tiba di rumah sebelum jam makan siang.
Putri menaiki mobil Bima. Mobil itu pun meluncur membelah jalanan.
"Tolong berhenti di depan" ujar Putri.
"Kenapa? Kenapa berhenti di sini?" tanya Bima melirik Putri sambil memelankan laju mobil dan mengambil jalur pinggir untuk berhenti tepat di tempat yang ditunjuk Putri.
"Mau ke pasar. Di sana semua lengkap dan murah-murah namun kualitasnya tidak kalah bagus sama yang di mal." Jawab Putri sambil bersiap akan turun dari mobil Bima yang sudah parkir di tempat aman.
"Terus aku? tanya Bima menahan tangan Putri.
"Mau tunggu boleh di sini, atau mau langsung pulang silakan." Jawab Putri sambil membuka pintu mobil. Lalu segera memasuki area pasar. Ia tidak takut kalau Bima akan meninggalkannya.
Bima sendiri diam mematung di tempatnya. Lalu ia menggerutu sambil mengacak rambutnya sendiri.
"Memangnya aku supir apa?" tanyanya pada diri sendiri.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!