"Apa kau baik-baik saja?"
Seorang perempuan yang sedang duduk itu tak menoleh, tatapannya yang kosong membuat seseorang yang berada di sampingnya kebingungan.
"Stella, ayolah jangan marah padaku, ini semua karena direktur, dia memintaku untuk mendatangi kontrak kerja ini!"
Stella menoleh, perempuan itu menghela nafas sejenak. "Persetan dengan direktur itu, kenapa dia selalu ikut campur?!"
Lea yang mendengarnya langsung memperhatikan sekitar, takut ada yang mendengar suara dari atasannya itu. "Sabarlah, kita masih berada di agensi, bagaimana jika ada yang mendengar? Kau bisa terkena masalah?"
Stella terkekeh sinis. "Dia sudah kelewatan tahu! Bagaimana dia bisa menyetujui kontrak film tanpa minta persetujuanku? Bahkan itu film romantis! Ini akan membawa masalah!"
Melihat wajah Stella yang ketakutan, membuat Lea keheranan. Perempuan itu kembali bersuara. "Aku juga penasaran kenapa satu tahun terakhir, kau selalu menolak film romantis? Apa yang salah dengan itu? Kau juga tidak punya pacar kan?"
"Tentu saja tidak, hanya saja..." Stella tak melanjutkan perkataannya, perempuan itu terlihat menghela nafas panjang, seperti frustrasi akan sesuatu.
Hari di mana pemotretan untuk poster film itu, tak membuat Stella semangat, biasanya perempuan itu akan bergembira saat pemotretan untuk foster film. Stella akan tampil sempurna, bahkan perempuan itu selalu memastikan wajahnya terlihat cantik dalam poster horor sekalipun. Tapi ini, rasanya tak berminat sekali, tenaganya terkuras banyak bahkan saat baru selesai pemotretan.
"Aku punya salah padamu?"
Stella menoleh ke samping, di mana seorang pria berwajah tampan itu menampilkan ekspresi merajuk.
"Jangan terlihat kesal seperti itu, nanti ada yang salah paham."
Morgan terkekeh kecil. Pria itu kembali bersuara. "Ternyata rumor kau tidak mau membintangi film romantis itu benar ya? Kau bahkan tak terlihat semangat, aku sempat terluka tahu, saat pertemuan pertama film ini. Kau bahkan tak menyapaku."
Stella mengingat hari itu, hari di mana semua pemeran berkumpul untuk mendiskusikan film ini. Stella bahkan tak sadar jika Morgan juga berada di film ini.
"Apa jangan-jangan, kau juga tak tahu siapa pemeran utama prianya?"
Stella menggelengkan kepalanya. Wajahnya menunjuk seseorang. "Dia bukan? Aktor baru itu?"
Morgan berdehem. "Kau bahkan sadar dengan kehadirannya, ck! Menyebalkan."
Stella terkekeh kecil. "Jangan berekspresi seperti itu, orang lain bisa salah paham tahu? Aku kan aktris terkenal, gerak-gerikku selalu diawasi!"
Morgan memutar bola matanya malas. "Okelah aktris yang paling terkenal."
Stella tersenyum, melihat tingkah Morgan yang lucu. Tetapi lain dengan jantungnya yang terasa was-was, Stella takut jika kejadian yang tak diinginkan akan terjadi.
"Bukankah itu, Asta?"
Stella menoleh ke arah yang ditunjuk Morgan, matanya bisa melihat dengan jelas bagaimana lelaki itu mengobrol dengan aktor baru yang mendapatkan pemeran utama dalam film ini.
"Bagaimana komodo itu mengenal si aktor baru?" tanya Stella dengan wajah penuh kebingungan dan kekesalan yang mendalam.
"Kau masih saja memanggil mantanmu dengan sebutan itu."
Stella berdecak. "Terserah aku dong! Dia bahkan pernah membully mu saat sekolah, apa kau tidak punya dendam pada komodo itu?!"
Morgan terkekeh geli. "Aku sangat membencinya, tapi rasa benciku, tak sebesar kau," katanya diiringi kedipan mata di akhir kalimat.
Stella semakin kesal, tangannya terkepal kuat sambil memperhatikan ke arah sana.
***
"Oh hai kawan!"
Saat menuju parkiran, Stella menoleh ke belakang, di mana seseorang yang paling dirinya benci, datang menghampiri.
"Bagaimana kabarmu? Pasti semakin menderita ya?"
Stella terkekeh sinis, harinya benar-benar kacau karena melihat ular itu. "Setelah merebut pacarku, kau mau apa lagi dariku, sialan?!"
Selfa tertawa kecil. "Kau ini sungguh pendendam ya? Pantas tak punya teman!"
"Lebih baik tak punya teman, daripada punya teman sepertimu! Ah, untuk menyebut namamu saja, sangat tidak baik untuk kesehatanku!" Stella menutup hidungnya sambil menjauh. "Sana pergi, aku alergi virus perebut pacar orang!"
Selfa terlihat kesal. "Aku bukan perebut! Kau saja yang tak bisa menjaga pacarmu! Sudah kehilangan keluarga, teman, bahkan pacar, apalagi yang kau banggakan?"
"Tidak apa-apa, yang penting, aku bukan perebut pacar orang."
"BERENGSEK! SAMPAI KAPAN KAU AKAN TERUS MENGHINAKU?!" Selfa maju ke depan, hendak menyerang Stella
Stella mundur saat Selfa maju mendekatinya. "Menjauh dariku sialan!"
"STELLA!"
Seperti di pertengahan dongeng, pangeran berkuda putih datang membantu kekasihnya, tapi...
"Jangan berbicara kasar pada Selfa!" Asta datang dan langsung merangkul Selfa, kekasihnya. "Jika terjadi sesuatu pada kandungannya, aku akan membuatmu terperangkap di penjara!"
Stella tertawa keras. Perempuan itu bahkan bertepuk tangan, merasa terhibur. "Ya ampun, aku lupa, jika pacarmu itu sedang mengandung!"
Selfa berdecak kesal melihat Stella yang tertawa senang, seperti mengejeknya. "Sayang, perutku sakit. Sepertinya anak kita takut pada perempuan yatim!"
Tawaan Stella berhenti saat itu juga. Ini benar-benar membuat kesal tak kepalang. "Jalang, jaga ucapanmu!"
"Jangan menyebut pacarku seperti itu!" Asta kembali mengamuk pada Stella.
"Awasi pacarmu itu, jangan sampai berbuat gegabah, atau janinnya akan hilang!" Setelah mengatakan itu, Stella pergi dari sana sambil menghentakkan kakinya.
Selfa dan Asta saling tatap, Selfa terlihat ketakutan. Perempuan itu mengeluh pada pacarnya.
"Bagaimana ini sayang? Aku takut..."
Asta menjawab. "Tenang saja, kudengar ibunya juga sudah pensiun."
Sedangkan Stella mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, perempuan itu melampiaskan amarahnya dengan membuat candaan kepada malaikat maut. Mereka itu sungguh berengsek, tak tahu malu. Kenapa Tuhan tidak membuat karma saja pada mereka? Kenapa harus dirinya yang selalu mendapatkan sisi gelap dalam hidup. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu, Stella langsung menghentikan mobil, perempuan itu mengambil sesuatu dari kursi belakang, lalu melemparkannya keluar.
Sebuah bunga.
Bunga matahari yang selalu ada di mobilnya, bunga yang paling membuatnya benci dan takut secara bersamaan.
***
Stella meregangkan tubuhnya di sofa sambil bermain ponsel. Lalu tiba-tiba, ponselnya berbunyi secara berurutan.
["Kau mempermainkan ku? Kau menganggap bahwa perintahku hanya main-main?]
Stella menelan saliva nya, benar dugaannya, orang itu kembali mengirimkan pesan yang membuatnya gusar.
["Kau membuatku marah, harusnya, sedari awal aku tidak membiarkanmu tenang.."]
Stella menggigit bibir bawahnya. Bahkan tangan perempuan itu mulai bergetar tak karuan.
["Sekarang, harus siapa lagi yang menjadi korban kelalaianmu? Austin? Morgan?"]
Stella menahan nafasnya saat membaca dua nama yang tak lain adalah partner kerjanya, bahkan orang ini juga tahu nama aktor baru itu... Sungguh menyeramkan.
["Aku ingin sekali memelukmu lagi, Stella.."]
Stella langsung menghempaskan ponselnya, perempuan itu benar-benar ketakutan. Kejadian di masa lalu, membuat pernafasannya tak beraturan, Stella menarik rambutnya frustrasi. Bagaimana cara mengatasi ini? Stella tak punya siapapun untuk bersandar, karena ketika dirinya melakukannya, orang yang paling dirinya andalkan, akan mendapatkan masalah.
Ning! Nong!
Suara bel dari pintu masuk, membuat Stella menggeram. Orang itu memang tidak akan pernah bisa membuatnya tenang, dia selalu ada di mana-mana.
Ting!
Pesan kembali masuk, Stella mengambil ponselnya kembali.
["Buka pintunya, atau adikmu akan menemui mimpi terburuknya."]
Stella melotot kan matanya, perempuan itu menggelengkan kepalanya. Tidak! Adiknya tidak boleh dalam bahaya lagi! Dirinya tidak bisa membiarkannya!
Stella berlari menuju pintu, tak ada keraguan dalam dirinya, hingga pintu itupun terbuka lebar. Stella menggeram kesal, beraninya orang itu mempermainkannya begini, tetapi sejujurnya dirinya memang agak takut.
Stella menutup pintu, perempuan itu berlari kencang menuju mobil, bahkan Stella menggunakan mobil secara cepat, hanya satu dalam pikirannya, keselamatan, Ranu.
"Ranu! Ranu!"
Setalah sampai, perempuan itu segera keluar dan mencari keberadaan adiknya, bahkan Stella sampai menggedor pintu, takut jika adiknya itu terluka.
Pintu terbuka, menampilkan ibunya yang memandangnya sinis.
"Ada apa dengan tuan putri ini? Beraninya menggangu orang lain?!"
Stella tak marah. Perempuan itu langsung menerobos masuk. "Di mana Ranu? Apa dia baik-baik saja?!" Stella terus berteriak keras, mencari ke sana-kemari dengan ekspresi ketakutan. "Ranu, Ranu! Kau di mana?!"
"Jangan berisik!"
Stella berhenti berteriak saat mendengar bentakan Ibunya. "Ranu di mana Bu? Ranu di mana?"
Ibunya memutar matanya malas. "Entah drama apalagi yang kau mainkan itu, Ranu sudah tidur. Jangan berteriak seperti orang gila, kau bisa menggangu semua orang!"
Stella bernafas lega, walaupun dirinya tak melihat Ranu, ia yakin Ibunya tidak akan berbohong. Stella memutuskan untuk pergi, orang gila itu tidak menggangu adiknya.
Ibunya menggeram kesal, datang tiba-tiba lalu membuat kehebohan, dan sekarang pergi tanpa berpamitan?
***
Hari ini adalah hari syuting, Stella berusaha keras menampilkan yang terbaik, walaupun dirinya tahu, bahwa akan terjadi sesuatu, tapi Stella tidak akan membiarkan itu terjadi. Setelah beberapa saat, perempuan itu berisitirahat dan duduk, sambil memperhatikan lawan mainnya yang sedang berakting. Stella membuka naskahnya untuk membaca, lalu matanya membulat sempurna, membaca adegan ciuman. Memang wajar adegan tersebut di dalam film romantis, tapi bukankah ini terlalu cepat?
"Permisi, apa kau ingin berlatih adegan ini?"
Stella tersenyum tipis, kenapa orang ini bertanya dengan wajah yang begitu santai? Stella berdiri dan mengangguk. Kemudian setelah Stella membersihkan mulutnya, perempuan itu menghampiri Austin.
"Kau tak keberatan kan, jika berpelukan?"
Stella terdiam sebentar, bukankah seseorang yang berdiri di depannya ini adalah aktor baru, lalu mengapa berbicara seolah sebaya?
Tanpa menunggu jawaban Stella, Austin langsung menarik pinggangnya, menatap wajahnya lekat.
Stella yang sudah terbiasa langsung masuk dalam adegan itu. Stella memiringkan kepalanya, perempuan itu dengan alami mendekati wajah Austin, menemui bibir merah pria itu.
Austin membalasnya dengan lihai, seolah adegan ini memang sudah terbiasa.
Mereka berpautan satu sama lain, seolah dunia ini milik berdua. Stella mengacungkan tangannya di leher Austin, menikmati adegan ini.
Stella langsung melepaskan ciumannya, perempuan itu mundur beberapa langkah. "Bukankah itu sudah cukup bagus?"
Austin mengangguk pelan. "Ya cukup bagus, tapi harusnya kau bermain lebih liar oke? Agar terlihat lebih bagus."
Stella langsung tersenyum sinis. Entah kenapa dirinya merasa kesal mendengar komentar itu. "Aku sudah cukup lihat tahu, kau saja yang terlalu lambat!"
"Seharusnya kau menggigit bibir bawahku saat aku bernafas sebentar, tapi kau malah diam dan membiarkan aku melakukannya sendirian."
"Sendirian?!" Stella berseru tak terima. Dirinya ini sudah cukup lama memainkan banyak film dan drama romantis, beraninya aktor baru itu mengomentari keahliannya. "Aku bahkan lebih baik darimu, lihat tanganmu sendiri! kau bahkan tak memelukku dengan erat, kau seperti anak itik yang masih belajar berjalan!"
Austin mengeratkan pelukannya. "Apakah harus seperti ini? Atau ingin lebih dekat?"
Stella berdehem sebentar, lalu menyahut. "Y-ya harusnya seperti ini, kau harus memelukku lebih erat."
"Apa perlu aku mengendus lehermu juga?"
"Oh kau ingin?"
Lea yang berdiri tak jauh dari sana diam membeku, wajahnya benar-benar memanas. Perempuan itu langsung mengipasi dirinya sendiri. "Obrolan macam apa itu? Benar-benar gila!"
Saat adegan itu dimulai. Stella dan Austin langsung melakukannya.
"Action!"
"Kau sungguh jahat, kau memilih dia dari pada aku?!" Stella berkata dengan wajah yang sedih.
"Tidak! Kau salah paham Serena! Aku sangat mencintaimu!" Austin langsung memeluknya dengan sangat erat. Tangannya mengelus lembut punggung Stella. Lalu Austin berkata dengan lembut. "Ini semua salah paham, aku sangat mencintaimu, aku bahkan rela mati untukmu!"
Stella menatap wajah Austin, memandangnya lekat, kemudian mendekati wajah Austin dan meraup bibir merahnya dengan kasar.
Austin membalasnya dengan begitu lihai, bahkan pria itu memeluk Stella dengan begitu kencang.
"Cut!"
Mereka berdua spontan menjauh dari satu sama lain, memandang bersamaan pada sang sutradara.
"Tidak bisakah kalian melakukannya lebih natural dan manis?!" perkataan sang sutradara membuat Stella dan Austin saling menatap satu sama lain.
Lea menggelengkan kepalanya. Ini benar-benar melelahkan. Mereka seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran karena rindu. Perempuan itu kembali berdecak. "Apa ini alasan Stella tak mau mengambil film romantis? Dia takut mudah terpana ya?"
Sedangkan Morgan yang sedang duduk hanya bisa menahan diri. Pria itu terlihat kesal. Dan sejak kapan, Stella begitu akrab dengan aktor baru itu?
Stella dan Austin pun kembali berakting dengan lebih alami. Kini mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang saling mencintai dan tak mau mengakhiri hubungan. Sang sutradara pun menyukai adegan itu.
Lea terkekeh geli. Dia bertepuk tangan menghampiri Stella. "Barusan sungguh keren, rasa sedihnya sampai ke hatiku!"
Stella mengabaikannya, dan langsung duduk dengan wajah yang ditekuk, sepertinya dia kesal akan sesuatu.
Lea tak menyerah, perempuan itu kembali bersuara. "Tadi, kalian terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta dan ingin segera bercinta saat itu juga.."
"Diam!" Stella mengingatkan Lea untuk tidak mengatakan apapun lagi. Perempuan itu memegang buku, bersiap menyerang Lea.
"Hohoho santai!" seru Lea yang mencoba menyelamatkan diri.
"Wah kau memang ahli ya?"
Stella menoleh pada Morgan. "Aku memang sudah ahli, kau bahkan pernah mengatakan bibirku sangat manis.."
Morgan langsung mengalihkan pandangannya sebentar.
Stella melotot. "Kau tersipu?"
Morgan langsung menjawab. "Bagaimana bisa kau mengatakan itu di sini? Kau memang agak aneh!"
Stella hanya tersenyum tipis.
"Tapi kenapa aku merasa bahwa kau menikmati adegan itu ya?" tanya Morgan diiringi ejekan. "Jangan-jangan kau mulai terjebak cinta lokasi?"
Stella langsung menyahut. "Jangan membuatku kesal, atau perutmu itu akan berciuman dengan telapak kakiku! Kau masih ingat kan rasa sakitnya?!"
Morgan menggelengkan kepalanya. Tidak! Kejadian menyebalkan itu tidak boleh terjadi lagi. Morgan langsung diam membeku, lelaki itu tidak berani menganggu Stella lagi.
Tiba-tiba, ramai orang yang berlarian di lokasi syuting. Stella dan Morgan saling tatap, mereka berdua bingung dengan apa yang terjadi.
Morgan langsung mencekal tangan seorang staf. "Apakah ada sesuatu yang terjadi?"
"Aktor pemeran utama pria kecelakaan!"
Stella langsung terdiam. Perempuan itu mundur secara perlahan, wajahnya pun berubah menjadi pucat. Kenapa? Apa itu ulah orang gila yang selalu mengganggunya?
Sehabis pulang dari lokasi syuting, Stella menggigit bibir bawahnya, perempuan itu merasa tertekan sendiri. Tadi di lokasi syuting terjadi keramaian karena katanya Austin tertabrak mobil dari penggemar. Mobil tersebut memiliki masalah sehingga tak sengaja menabrak Austin. Tapi yang membuat Stella merasa risau adalah apa kejadian itu memang bukan perbuatan orang gila itu? Jika iya, Stella sungguh merasa bersalah. Bagaimana jika nanti ada korban lagi karena tingkahnya ini? Stella memutuskan untuk memutar kemudi, dirinya harus melihat keadaan Austin.
Sesampainya di sana, ada begitu banyak orang, Stella memperhatikan sekitar, akhirnya dia menemukan Morgan yang sedang bermain ponsel.
"Bagaimana dengan keadaan Austin?"
Morgan menoleh, lelaki itu langsung sumringah saat melihat kedatangan Stella. "Dia sudah sadar, sebenarnya ini terlalu lebay, dia hanya terluka sedikit, tapi rumah sakit ini sudah seperti hari pemakaman saja."
Stella menendang kaki pria itu. "Jaga mulutmu itu! Jangan membuat masalah!"
"Tetapi sepertinya, kau yang akan mendapatkan masalah."
Stella mengerutkan keningnya. Apa maksudnya?
"Hai teman lama!"
Tubuh Stella tiba-tiba terasa kaku. Perempuan itu menahan kepalanya yang hendak menoleh, benar-benar masalah! Baru suara saja sudah membuat darahnya mendidih.
"Kau memang pembawa sial tahu?!"
Stella tak menjawab, perempuan itu pura-pura tak mendengar.
Bela yang kesal langsung berdiri di hadapan Stella. "Sudah kubilang menjauh dari orang-orang ku, kau itu pembawa sial! Kau bisa membuat hidup seseorang menderita!"
Morgan menyela. "Maaf jangan membuat masalah, oke? Ini rumah sakit."
Bela terkekeh sinis. "Seharusnya kau juga menjauh dari wanita ini, dia sungguh pembawa sial!"
Morgan merangkul pundak Stella. "Jangan menghina pacarku, dan dia bukan pembawa sial, takdirnya saja yang terlalu sial.."
Stella langsung menghempaskan tangan Morgan, perempuan itu menatap tajam pada Morgan. Sebenarnya lelaki ini membelanya atau menghinanya sih? Sungguh ketara. Stella langsung menoleh pada Bela yang masih berapi-api. "Aku memang pembawa sial, jadi menjauhlah dariku, atau hidupmu akan terkena sial!"
Setelah mendengar itu, Bela langsung menyingkir dari hadapan Stella.
"Kenapa bertindak sok keren? Biasanya kau akan membuat mereka menyesal karena menghinamu. Tetapi kenapa akhir-akhir ini, kau hanya bermain di mulut saja?" terang Morgan dengan wajah serius. Menurutnya, Stella yang sekarang terlalu santai, berbeda dengan Stella saat di masa putih abu-abu, gadis bar-bar yang selalu membuat semua orang tak mau berurusan dengannya.
"Karena sekarang, aku adalah seorang aktris. Aku ini panutan untuk para penggemarku."
Morgan menghela napas sebentar. "Ya aku tahu, tapi sikapmu ini terlalu berbeda, bahkan saat denganku saja, kau seperti berhati-hati. Sikap kau ini mulai aneh saat satu tahun yang lalu, saat kau memenangkan award pemeran utama wanita terbaik. Setelah hari itu, kau jadi berbeda, bahkan tak pernah lagi membintangi film romantis.." Sejujurnya Morgan tak ingin membahas ini, tapi dirinya terlalu penasaran, lelaki itu ingin mendengar jawaban langsung dari mulut Stella.
Stella terdiam sebentar. Ya, pertanyaan itu pasti akan terdengar dari sahabatnya. Tapi dirinya tak punya jawaban.
"Baiklah, jika kau tak mau menjawab. Ketika kau ingin mengeluhkan sesuatu, ada aku yang siap mendengarkan."
Stella tersenyum lebar. Walaupun dirinya tak terlalu percaya pada semua orang. Tetapi lain lagi jika menyangkut Morgan, lelaki itu sudah seperti saudara. Setelah itu, Morgan pergi ke toilet. Stella diam di depan ruangan Austin, perempuan itu tak berani untuk masuk ke dalam.
"Stella."
Lagi-lagi Stella malas untuk menoleh, karena dirinya tahu, suara itu milik siapa. Tapi perempuan itu tetap mengalihkan pandangan dan berusaha bersikap biasa saja.
Asta datang bersama seseorang. Orang itu tersenyum lebar ke arah Stella.
"Dia sepupuku, dia penggemarmu."
Mendengar kata 'penggemar' membuat tubuhnya terasa panas dingin, entahlah tiba-tiba tubuhnya bereaksi was-was, tapi untungnya, dirinya sudah terbiasa untuk berakting.
"Halo, salam kenal," kata Stella sampai mengulurkan tangannya.
Orang itu langsung menerima uluran tangan Stella dan mulai memperkenalkan diri. "Nama saya James, saya sangat menyukai Kakak semenjak debut, saya tak menyangka jika sepupuku mengenal aktris yang aku idolakan!"
Stella tersenyum senang. Tubuhnya kembali normal, ia tak lagi merasa waspada. "Terimakasih karena telah menyukaiku."
James terlihat sedikit sedih saat uluran tangannya terlepas, tapi lelaki itu tetap bersemangat. "Seharusnya saya yang berterima kasih karena Kakak telah dilahirkan di bumi. Terimakasih karena Kakak membuat hidupku terasa berwarna!"
Stella mengangguk, matanya menoleh pada Asta yang menatapnya juga. Pantas sepupunya tak tahu, dulu hubungannya juga disembunyikan..
Kemudian Stella kembali menoleh pada James yang mulai menceritakan awal mulanya ia menjadi penggemarnya.
***
Syuting tak libur, sekarang nafas Stella rasanya bisa habis saat ini juga. Begitu banyak adegan yang sangat menguras tenaga. Tapi untungnya selalu ada Lea yang senantiasa mengurusnya dengan baik.
"Sayang sekali aktor baru itu tidak datang, dia libur berapa hari? Tidak lama kan?"
Stella memutar matanya. "Tanyakan saja pada sekretarisnya."
"Tapi apa kau tidak merindukannya, Stella?" Lea bertanya dengan nada geli. Perempuan itu terkekeh kecil mengingat kejadian kemarin. Menurutnya, Stella dan Austin cocok!
Stella tak menjawab perkataan itu. Perempuan itu kembali syuting, saat ini dirinya harus bermain peran bersama Morgan, semoga saja tidak ada kejadian yang akan membuat dirinya tertawa.
"Action!"
Morgan memasang wajah yang amat sedih, pria itu memegang kedua tangan Stella dengan pandangan hampa. "Sedari awal kau milikku Serena, tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, jika ada yang menghalangi, aku tak segan akan membuatnya tidak bisa bernafas lagi!"
Seperti dalam naskah, Stella terlihat merasa bersalah, perempuan itu menangis sesenggukan sambil berusaha mengeluarkan kata-kata. "A-aku bukan bukan milikmu, aku bukan boneka yang bisa kau genggam begitu saja.." Air mata Stella terus mengalir membasahi pipinya. Perempuan itu benar-benar terlihat seperti tokoh Serena yang sedang terpuruk dengan keadaan.
Morgan langsung memeluknya erat, memberi ketenangan dengan cara posesif. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka orang lain pun tak akan pernah bisa.."
Kata-kata itu begitu terbayang di benak Stella, bahkan ketika membaca naskahnya pun, Stella merasa risau. Kata-katanya terlalu mirip dengan pesan dari seseorang yang selalu ia anggap memiliki kelainan, ya! Dia seseorang yang membuat hidupnya tak lagi tenang! Dia seseorang yang membuat hidupnya tidak lagi dalam kebebasan, semuanya terasa terkekang.
Morgan yang masih memeluk Stella keheranan, karena perempuan itu tak bereaksi apapun, seharusnya dalam naskah, tokoh Serena mendorongnya dan pergi begitu saja, tapi Stella malah terus memeluknya dengan erat. Tak ada pilihan lain, tangan Morgan mulai menyentuh lengan Stella.
Sebuah cubitan membuat Stella tersadar dari lamunannya, perempuan itu menatap sekitar yang semua pasang mata memperhatikannya. Lalu tanpa sengaja, sepasang mata elang menatapnya lekat, seolah ingin membunuhnya saat ini juga.
Stella menelan saliva kuat-kuat. Waktu terasa berjalan begitu lambat, tak seperti suara detak jantungnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!