Malam hari, sebuah mobil berhenti di depan hotel mewah. Dua orang pria berpostur tinggi dengan setelan hitam menarik seorang gadis cantik dalam kondisi tidak sadar. Mereka mengangkat gadis itu dan berjalan menuju lift.
Setelah pintu lift terbuka, mereka menuju ke lantai 8.
Sementara di kamar yang luas dan mewah, terlihat seorang pria yang memiliki tubuh berotot sedang duduk menikmati anggur merah. Pria tersebut berparas tampan, dengan hidung yang mancung dan mata bulat besar. Tatapan tajamnya menambah kesan dingin pada wajahnya.
Tidak lama kemudian, pintu kamar hotel terbuka oleh dua orang pria tadi. Mereka melangkah masuk dengan membawa gadis yang tidak sadar.
"Bos," sapa mereka serentak, nada hormat dan takut tercampur dalam suara mereka."Gadis itu sempat melawan, dan kami terpaksa membuatnya pingsan," kata salah satu anggota, berusaha menjelaskan situasinya.
Pria yang dipanggil Bos mengangguk, sedikit senyum tipis muncul di bibirnya. "Tinggalkan dia, dan kalian boleh pergi. Selama tiga hari aku tidak ingin diganggu!" perintahnya dengan suara tegas.
"Baik, Bos," jawab mereka serentak, sebelum menidurkan gadis itu di atas kasur dan segera meninggalkan ruangan.
Pria itu bangkit, langkahnya mantap saat mendekati tempat tidur. Ia menatap wajah gadis itu yang cantik dan polos tanpa make-up. Ada rasa puas dalam matanya.
"Aku sangat menginginkanmu sekarang, tapi aku lebih suka di saat kamu dalam keadaan sadar, Gracia Vanessa," ucapnya dengan senyum sinis.
Pria itu menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan hasrat yang bergolak dalam dirinya. "Kamu tidak tahu, kalau aku telah menunggumu selama lima tahun. Dan dalam tiga hari ini, kamu harus membayarnya," batinnya penuh determinasi.
Dengan gerakan perlahan, ia mulai membuka kemejanya, memperlihatkan tubuhnya yang berotot dan six pack. Kemudian, ia melepaskan satu persatu pakaian yang membalut tubuh gadis itu, menikmati setiap detik yang berlalu.Tatapannya tajam dan penuh nafsu saat ia melihat tubuh gadis itu yang seksi dan memiliki kulit mulus.
Kini tubuh gadis itu polos tanpa balutan apapun. Pria itu tersenyum puas melihat lekuk tubuh mangsanya yang begitu indah, membuatnya hampir tidak bisa menahan diri.
Dua gundukan yang kenyal dan besar, menjadi sasaran utama Darson. Ia meremas sambil mencium leher gadis itu dengan penuh gairah.
Pria tersebut memiliki nama Darson Rodriguez, dikenal selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Selain itu, ia adalah seorang bos gangster yang paling ditakuti di kota England.
Darson mengambil dasinya dan mengikat kedua tangan gadis itu di tiang besi tempat tidur. Selain itu, ia juga menutupi mata gadis itu dengan sapu tangannya."Aku suka bermain teka-teki. Setelah kamu bangun, kamu akan penasaran siapa diriku!" bisik Darson di telinga Garcia, suaranya penuh dengan kegembiraan sadis.
Gracia yang merasakan sentuhan, mulai bergerak dan sadar.
"Aku di mana, siapa?" teriak Garcia, suaranya gemetar saat merasakan sentuhan dari orang yang tidak bisa dia lihat. Matanya kini telah diikat sapu tangan, membuatnya merasa semakin terjebak.
Darson tersenyum licik dan masih memainkan dua gundukan gadis itu dengan tangannya yang kasar.
"Lepaskan aku, tolong jangan sentuh aku!" tangis Gracia yang ketakutan, menyadari bahwa dirinya kini tanpa sehelai pakaian."
Gracia Vanessa, nikmati saja malam indah bersamaku," ujar Darson dengan senyum penuh hasrat.
"Tidak! Tidak! Tolong lepaskan aku! Aku tidak mengenalmu. Jangan sakiti aku!" teriak Gracia, mencoba meronta meskipun tubuhnya diikat erat.
"Sudah terlambat," Darson tertawa kecil, memandang gadis itu dengan puas. "Ibu tirimu telah menerima sejumlah uang dariku. Aku membelimu dengan keluargamu. Itu berarti kamu harus memuaskan aku selama tiga hari," katanya sambil melebarkan kedua pangkal paha gadis itu dengan kasar.
"Jangan melakukannya! Tolong, jangan sentuh aku!" teriak Gracia, suaranya penuh keputusasaan.
Malam itu, ia tahu dirinya akan menjadi sasaran pria yang tidak dia kenal.
Darson semakin tidak tahan melihat mahkota indah milik gadis itu yang belum pernah tersentuh. Pusaka pria itu telah menegang, siap untuk melampiaskan hasratnya.
Gracia semakin ketakutan setelah merasakan sentuhan pusaka dari pria itu. "Tuan, tolong lepaskan aku. Aku tidak mau," tangis Gracia yang berusaha meronta-ronta, air mata mengalir deras.
"Jangan takut! Kamu hanya akan menikmatinya. Aku tidak akan menyakitimu," kata Darson yang mencium bibir gadis itu dengan paksa.
Gracia menggigit bibir Darson hingga mengeluarkan darah, berusaha sekuat tenaga untuk melawan.
"Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!" teriak Gracia, suaranya penuh ketakutan dan kepedihan.
Darson tersenyum sinis, darah di bibirnya tidak menghentikan nafsunya. "Salahkan saja keluargamu," katanya dengan dingin. "Demi kakak tirimu, ibu tirimu menjual tubuhmu padaku. Dalam tiga hari ini, tubuhmu ini menjadi milikku. Itu berarti aku bisa menikmatinya sampai puas," ujar Darson sebelum mencium leher gadis itu dan menurunkan ciumannya ke dada, menikmati setiap inci tubuh gadis itu dengan jari-jarinya yang kasar.
Gracia semakin ketakutan dan terus berteriak tanpa henti, namun Darson tidak peduli. Hasratnya telah mengebu, menikmati setiap detik yang berlalu, membuat malam itu menjadi mimpi buruk bagi Gracia.
"Hentikan! Hentikan!" teriak Gracia, suaranya semakin histeris.
Darson tidak menghiraukan permohonan itu. Dengan jari-jarinya yang kasar, ia memainkan bagian bawah tubuh Gracia, memasukkan jari tersebut dan bergerak keluar masuk dengan ritme yang semakin cepat. Sementara itu, bibirnya melumat dada gadis itu dengan rakus.
Hasrat Darson semakin memuncak, dan napasnya mulai terdengar berat.
"Aaahh!" jeritan Gracia memenuhi ruangan, tubuhnya meronta-ronta dengan putus asa. Ketakutan menguasai dirinya, membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri.
Pria itu mengabaikan teriakan gadis itu, tatapannya tetap penuh dengan nafsu. Darson semakin menikmati setiap jeritan dan gerakan ronta Gracia, seolah-olah itu hanya menambah gairahnya. Ia merasa puas dengan kekuasaan yang dimilikinya atas tubuh gadis itu, tidak peduli seberapa besar ketakutan yang dirasakan Gracia.
Setiap sentuhan Darson membuat tubuh Gracia menggigil ketakutan. Air matanya terus mengalir, membasahi wajahnya yang cantik. Namun, tidak ada belas kasihan dalam diri Darson. Baginya, malam ini adalah miliknya, dan Gracia hanyalah mainannya.
Gracia merasa dirinya hancur, ketakutan dan keputusasaan membanjiri pikirannya. Ia terus berteriak dan meronta, berharap ada keajaiban yang bisa membebaskannya dari mimpi buruk ini. Namun, Darson tetap tidak peduli, menikmati setiap detik penderitaan yang dirasakan gadis itu. Malam itu menjadi saksi kejamnya hasrat seorang pria yang haus akan kekuasaan dan kendali.
"Sepertinya, milikmu belum pernah tersentuh. Luar biasa. Aku menyukainya," ucap Darson, suaranya penuh dengan kepuasan dan nafsu.
"Tuan, tolong lepaskan aku! Aku mohon padamu!" tangisan Gracia semakin histeris, air mata mengalir deras di pipinya. Ketakutan dan kepanikan jelas terlihat dalam suaranya.Namun, Darson mengabaikan permintaan gadis itu.
Tatapannya tajam dan penuh hasrat saat ia mempersiapkan diri untuk melakukan penyatuan dengan gadis itu. matanya tidak pernah lepas dari tubuh gadis itu. Nafasnya semakin berat, menandakan betapa ia sudah tidak sabar ingin menembus goa sempit yang belum pernah ditembus oleh siapapun.
Gracia semakin ketakutan, tubuhnya gemetar hebat. "Tolong, jangan lakukan ini! Aku mohon!" suaranya terdengar putus asa, berusaha mencapai sedikit belas kasihan dari pria yang berdiri di hadapannya.
Namun, Darson tidak peduli. Baginya, permohonan Gracia hanya menambah sensasi yang dirasakannya. Dengan senyum licik, ia menurunkan dirinya, siap untuk menikmati apa yang selama ini diidamkannya. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Gracia adalah miliknya, setidaknya selama tiga hari ke depan, dan ia akan memastikan untuk menikmati setiap detiknya.
Malam itu menjadi puncak dari kejamnya Darson Rodriguez, seorang pria yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, tanpa peduli pada penderitaan orang lain. Gracia hanya bisa berdoa, berharap bahwa mimpi buruk ini akan segera berakhir.
Darson yang ingin memasukkan pusakanya ke dalam goa sempit milik gadis itu, merasa frustrasi ketika usahanya terhalang.
"Tolong jangan! Lepaskan aku!" Tangisan Gracia menggema di ruangan, kedua tangannya yang diikat pada tiang besi tempat tidur bergerak-gerak, berusaha melepaskan diri. dan memohon belas kasihan.
Gadis itu sangat ketakutan, tubuhnya gemetar saat merasakan dorongan kuat dari pria tersebut yang mencoba menembus pertahanannya. Darson mengabaikan jeritan Gracia, pandangannya penuh nafsu dan keinginan untuk menguasai.
"Tuan, tolong lepaskan aku!" Teriak Gracia, suaranya bergetar dengan ketakutan dan putus asa.
Darson akhirnya berhasil menerobos masuk. Ia mendorong perlahan namun pasti, hingga terlihat bercak darah yang keluar dari tempat itu, tanda bahwa ia telah melanggar kesucian Gracia.
Gadis itu menjerit kesakitan, air matanya mengalir tanpa henti. Perasaan hancur semakin menyelimutinya ketika menyadari bahwa dirinya telah dijual oleh ibu tirinya demi keuntungan kakak tirinya.
Darson menggerakkan tubuhnya perlahan, menikmati sensasi yang dirasakannya. Ia mencium leher Gracia dengan kasar, meremas gundukan tubuh gadis itu, semakin memuncakkan nafsunya.
"Hentikan! Sakit!" Jerit Gracia, suaranya penuh penderitaan. Tubuhnya yang lemah berusaha melawan, namun kekuatan Darson jauh lebih besar.
"Ibu tirimu telah menerima bayaran yang tinggi, oleh karena itu aku harus bisa menikmatinya sesuai bayaranku. Asalkan kau patuh, aku juga akan membayarmu," ucap Darson, suaranya dingin dan penuh kejam, sementara gerakannya semakin intens.
Gracia hanya bisa menangis, kesedihan dan ketakutan memenuhi hatinya. Dunia yang dikenalnya kini berubah menjadi mimpi buruk yang mengerikan.
"Aku bukan pelacur...," teriak Gracia dengan penuh keputusasaan, suaranya pecah di tengah tangisan.
Darson mengabaikan tangisan gadis itu, matanya dingin dan tanpa belas kasihan. Ia terus bergerak tanpa henti, mempercepat gerakannya dengan keganasan yang tak terkontrol.
"Ahhh!" Jeritan dan tangisan Gracia menggema di ruangan, mencerminkan rasa sakit yang tak tertahankan.
"Tolong hentikan!" Pinta Gracia dengan suara yang semakin lemah, penuh dengan penderitaan yang mendalam. Tubuhnya gemetar, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
Darson tak memedulikan jeritan Gracia. Ia melanjutkan gerakannya, menikmati tubuh gadis itu dengan egois. Waktu terasa berjalan lambat bagi Gracia, yang kesakitan hingga akhirnya tak sadarkan diri, jatuh ke dalam kegelapan yang menyelamatkannya dari siksaan sementara.
Keringat membasahi tubuh Darson. Ia memejamkan matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam hasrat yang menguasainya. Gerakannya maju mundur tanpa henti, tangannya mencengkeram pinggang Gracia dengan kuat, seolah-olah gadis itu hanyalah objek pemuas nafsunya.
Darson tak peduli bahwa mangsanya telah pingsan, ia hanya ingin melepaskan hasrat yang membara dalam dirinya.
Di sudut ruangan yang gelap, bayangan Darson terlihat menakutkan. Keheningan yang mencekam semakin menambah rasa horor yang menyelimuti tempat itu. Gracia yang tak berdaya hanya bisa terbaring lemah, tubuhnya menggigil meski dalam keadaan tak sadar, menanti saat dimana mimpi buruk ini akan berakhir.
Keesokan harinya.
Gracia mulai sadar dan membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit kamar dengan perasaan hampa, matanya berusaha fokus di tengah kelelahan dan trauma. Penutup mata dan ikatan pada tangannya telah dilepaskan, tetapi bekas-bekasnya masih terasa di kulitnya.
Setiap sentuhan pria asing itu masih jelas terbayang dalam ingatannya, membuatnya merinding. Ia meneteskan air mata, perasaan malu dan sakit hati menguasai dirinya. Dengan susah payah, Gracia bangkit dari tempat tidur, merasakan sakit di bagian bawah tubuhnya yang membuatnya terhuyung.
Ia memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya dengan tangan gemetar. Setelah selesai berpakaian, ia melangkah menuju pintu dengan langkah yang tertatih-tatih, tekadnya kuat meski tubuhnya lemah.
"Buka pintunya...," teriak Gracia dengan suara serak, berusaha membuka pintu yang terkunci dari luar. Ia terus menggedor pintu tanpa henti, tangisannya bercampur dengan teriakan putus asa.
"Buka pintunya, siapa kalian...," teriak Gracia lagi, suaranya semakin melemah namun tetap penuh keputusasaan.
Dari luar kamar, terdengar suara seorang pria yang tenang namun tegas, "Nona, tolong patuh dan tenang! Bos akan segera kembali!"
Gracia terdiam sejenak, napasnya tersengal, lalu bertanya dengan suara yang masih bergetar, "Siapa kalian sebenarnya?"
Di sisi lain, Darson kembali ke mansion mewahnya. Seorang wanita cantik menyambut kepulangannya dengan senyuman ramah, meski matanya menyimpan kekhawatiran."Sudah pulang! Semalaman kamu berada di luar. Apa yang kamu sibukkan?" tanya wanita itu dengan nada lembut, berusaha menutupi kegelisahannya.
"Aku sedang bersenang-senang dengan gadis cantik," jawab Darson dengan acuh tak acuh, duduk di sofa sambil melepaskan dasinya dengan santai.
Raut wajah wanita itu langsung berubah, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Meski begitu, ia mencoba untuk tetap tenang dan memijat pundak suaminya dengan lembut.
"Darson, kenapa kamu mengabaikan aku? Apa salahku dan di mana kekuranganku? Apakah kamu sengaja menyakitiku dengan wanita lain? Aku tidak akan menyalahkanmu, tapi tolong jangan sampai tidak peduli padaku!" katanya, suaranya penuh dengan permohonan.
"Zanella, aku bebas ingin bersenang-senang dengan wanita mana pun. Jangan ikut campur urusanku!" jawab Darson dengan tegas, menepis tangan istrinya dan bangkit dari sofa.
"Kita adalah suami istri. Kita sudah lama tidak sekamar. Apakah kamu tega meninggalkan aku seorang diri di kamar setiap malam?" tanya Zanella, suaranya mulai bergetar, air mata menggenang di matanya.
"Sendiri? Apakah kau yakin setiap malam hanya sendirian? Kau bisa melakukannya, aku juga bisa," ujar Darson dengan senyum sinis, menatap istrinya dengan tajam.
"Apakah dia secantikku?" tanya Zanella, mendekati suaminya dengan langkah yang gemetar, hatinya penuh dengan cemburu dan kesakitan.
Darson mencubit dagu istrinya dengan erat, matanya penuh dengan kebencian, "Dia lebih cantik darimu, tubuhnya juga lebih indah darimu. Dan yang paling penting, dia masih perawan. Aku sungguh puas dengannya. Aku membelinya dengan uang, dan tentu saja aku akan menikmatinya sampai bosan," jawab Darson dengan nada dingin.
"Kau akan bosan tidak lama lagi," ujar Zanella dengan mata berkaca-kaca, suaranya dipenuhi dengan kesedihan dan keputusasaan.
"Lihat saja nanti! Tiga malam ini, jangan menggangguku, karena aku ingin menikmati daging segar," ujar Darson tanpa perasaan, meninggalkan Zanella yang terdiam dalam kesedihan yang mendalam.
Sementara Gracia masih terpukul dengan kejadian yang menimpanya, ia duduk di tepi kasur sambil memikirkan ulang ucapan pria yang merenggut kesuciannya. Air matanya terus mengalir tanpa henti, dadanya terasa sesak oleh berbagai pertanyaan yang membanjiri pikirannya.
"Apakah benar Bibi yang menjualku padanya? Lalu, apa yang dilakukan Papa? Apakah dia hanya diam membisu dan membiarkan putri kandungnya dinodai?" gumam Gracia, suaranya penuh dengan kepedihan. Ia menatap kosong ke depan, mencari jawaban yang tampak begitu jauh dari jangkauannya.
"Siapa pria itu? Kenapa dia menutup mataku dan sekarang dia pergi? Apakah aku harus ditahan selama 3 hari?" gumam Gracia lagi, ketakutan dan kebingungan merasuki dirinya.
Tiba-tiba, terdengar suara kunci pintu diputar. "Klek!" Pintu terbuka dan salah satu anggota Darson masuk membawa nampan berisi makanan lezat.
Gracia yang ingin kabur, langsung melompat dari tempat tidur dan berlari menuju pintu. Namun usahanya segera digagalkan oleh anggota Darson lainnya yang berdiri di luar kamar, menghadangnya dengan kasar.
"Lepaskan aku, biarkan aku pergi!" teriak Gracia, suaranya penuh dengan putus asa.
"Diam dan jangan melawan!" bentak anggota itu, menarik lengan Gracia dengan kasar dan mendorongnya kembali ke atas kasur. Ia terjatuh dengan keras, merasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Jangan macam-macam! Kau hanya boneka yang bos kami beli. Tugasmu adalah untuk memuaskan bos kami," ketus mereka sebelum beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Gracia yang hanya bisa terduduk lemas dan tidak berdaya. Tak ada jalan keluar untuk dirinya.
Cuaca mulai gelap, namun Gracia sama sekali tidak menyentuh makanan yang disediakan oleh anggota Darson. Ia hanya duduk termenung, merasa hancur dan tak berdaya.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Saat mendengar suara pintu, Gracia langsung bangkit dengan ketakutan, menoleh ke arah pintu dan melihat Darson yang kembali ke hotel. Hatinya berdebar kencang, ketakutan menyelimuti dirinya.
Gadis itu mundur perlahan, berdiri di pojokan kamar dengan tubuh gemetar.
"Apakah kamu tidak menyentuh makanan yang telah di sediakan?" tanya Darson, mengunci pintu dan menatap makanan yang masih utuh di meja.
"Aku ingin pulang!" ujar Gracia, suaranya penuh dengan permohonan dan ketakutan.
"Kamu sudah tidak ingat denganku?" tanya Darson dengan senyum sinis, matanya memandang Gracia dengan tatapan dingin dan mengejek.
Gracia hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tubuhnya masih gemetar di pojokan. Ia merasa terperangkap, tak berdaya menghadapi pria yang menguasai hidupnya saat ini.
"Sepertinya kamu tidak mengenalku, tapi tidak apa-apa. Karena aku telah memilikimu," ujar Darson, melepaskan jas luarannya dan membuka kancing kemejanya dengan tenang. Matanya menatap Gracia dengan pandangan dingin dan penuh keyakinan.
"Biarkan aku pergi! Aku tidak menyinggungmu. Kenapa kamu harus bertindak seperti itu padaku?" pinta Gracia, suaranya bergetar dengan ketakutan dan putus asa. Tubuhnya gemetar, langkahnya mundur perlahan mencari perlindungan di sudut ruangan.
"Kenapa? Aku hanya ingin mengambil sesuatu yang seharusnya milikku," jawab Darson dengan nada yang dingin dan penuh kekuasaan.
"Apa maksudmu?" tanya Gracia, matanya membesar dengan ketakutan dan kebingungan. Ia berusaha memahami apa yang dikatakan pria itu, namun ketakutannya mengaburkan pikirannya.
"Tubuhmu adalah milikku sejak awal, yang tepatnya adalah lima tahun," jawab Darson sambil melangkah menghampiri gadis itu yang ketakutan. Senyumnya penuh dengan kesombongan dan kepastian, seolah-olah setiap kata yang diucapkannya adalah kebenaran mutlak.
"Jangan mendekat!" teriak Gracia, suaranya penuh dengan kepanikan. Ia mencoba melarikan diri, namun langkahnya terhalang oleh dinding di belakangnya.
Tanpa memperdulikan jeritan Gracia, Darson menangkapnya dengan cepat. Ia mencium bibir gadis itu dengan paksa, tangannya mencengkeram pinggang dan kepala Gracia dengan kuat. Gracia berusaha melawan, namun kekuatannya jauh di bawah pria itu.
Darson menahan Gracia erat-erat, memastikan gadis itu tidak bisa melawan atau menghindar. Ciumannya penuh dengan kekerasan dan nafsu, seolah-olah ingin menunjukkan kekuasaannya atas tubuh Gracia.
Gracia merasa sesak, air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya bergetar hebat, kepalanya terasa pusing. Ia berusaha untuk menggerakkan tangannya, namun cengkeraman Darson terlalu kuat.
Darson menarik tubuh Gracia ke atas kasur dan menindihnya, nafasnya berat dan matanya penuh nafsu. Tanpa peringatan, ia mencium gadis itu dengan brutal sambil merobek pakaiannya.
"Jangan!" teriak Garcia, yang berusaha mengelak ke samping, namun usahanya sia-sia. Tangan Darson mencengkeram kuat, menahannya di tempat.
"Kau hanya akan menjadi milikku. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau!" ujar Darson dengan nada mengancam, sementara bibirnya turun mencium leher gadis itu.
Gracia berusaha melawan, mencoba menggunakan seluruh tenaga yang tersisa, namun tubuhnya kalah kuat dari pria itu. Teriakannya hanya terdengar seperti musik di telinga Darson yang semakin menggila.
Dengan satu tarikan kuat, Darson merobek pakaian gadis itu hingga tersisa bra dan kain tipis yang menutupi mahkotanya.
"Tidak... tolong jangan melakukannya lagi. Lepaskan aku...," jeritan Gracia terdengar serak, bercampur tangis.
Namun Darson tidak berhenti. Ia menarik bra gadis itu hingga terlepas, memperlihatkan dua gundukan besar dan kenyal yang membuatnya semakin bernafsu.
Darson semakin mengila, melumat dua gundukan besar itu dengan rakus. Tangan kanannya meremas dengan keras, berulang kali, tanpa ampun. Gracia berusaha melawan, tubuhnya menggeliat dan tangannya menolak dengan sia-sia. Ketakutan semakin mencengkeram hatinya, membuat tangisnya pecah.
"Tolong lepaskan aku!" tangisan Gracia semakin memilukan, namun bagi Darson itu hanya bumbu yang menambah kesenangan.
Dengan satu gerakan cepat, Darson melepaskan kemeja dan juga celananya, meninggalkan dirinya dalam keadaan hampir telanjang. Ia merobek kain tipis yang tersisa pada tubuh Gracia, kini gadis itu tanpa sehelai benang pun. Gracia menjerit, ketakutan merajalela dalam dirinya. Tubuhnya menggigil, namun Darson tidak peduli. Tangan-tangannya yang kuat menahan gadis itu, menyiapkan diri untuk aksi berikutnya yang lebih brutal dan mengerikan.
"Aahh!" Jerit Gracia, suaranya penuh derita. "Sakit! Tolong hentikan!" tangisannya semakin menjadi, namun Darson tidak memperdulikannya.
"Tolong hentikan!" pinta Gracia, suaranya penuh dengan kepasrahan dan ketakutan. Namun, permohonannya hanya terdengar seperti bisikan yang hilang di telinga Darson yang semakin menggila.
Tidak lama kemudian, Darson mencapai puncak kenikmatan. Dengan dorongan yang semakin cepat dan kasar, ia mengoyangkan pinggulnya tanpa henti. Setiap gerakannya penuh dengan kekuatan dan kebrutalan, menyebabkan Gracia tercekik oleh rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
Tidak lama kemudian, Darson menghentikan aksinya dan mengeluarkan pusakanya. Sementara Gracia yang kewalahan akhirnya tertidur pulas, tubuhnya terkulai lemah di atas kasur.
Cuaca mulai gelap, langit yang sebelumnya cerah kini berubah mendung, seolah mencerminkan suasana hati yang mencekam di dalam kamar hotel. Gracia masih belum bangun, terlelap dalam kelelahan dan rasa sakit yang menyiksanya.
Sementara itu, Darson duduk di sofa, menikmati minuman keras yang ia tuangkan dalam gelas kristal. Asap rokok mengepul dari mulutnya, memenuhi ruangan dengan bau tajam. Matanya yang dingin dan penuh kebencian menatap gadis itu yang tidur dalam posisi telungkup.
"Gracia Vanessa, ternyata kamu tidak mengenalku lagi. Keluargamu sama saja dengan dirimu yang tidak tahu malu. Jangan salahkan aku bertindak seperti itu," batin Darson, bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
Di luar kamar hotel, dua anggota Darson sedang berbisik, mereka berdiri berjaga dengan sikap waspada.
"Baru kali ini bos bermain wanita. Selama ini hanya dengan istrinya sendiri. Kenapa harus gadis ini? Selain itu juga sampai 3 hari," bisik salah satu dari mereka dengan nada heran.
"Tidak tahu! Kita hanya ikut perintah saja. Sisanya jangan ikut campur!" jawab yang lain dengan nada tegas, mencoba mengakhiri percakapan yang tidak perlu.
Sementara itu, di rumah keluarga Vanessa, suasana tampak berbeda. Thomas Vanessa, beserta istrinya Aniza, dan putrinya Beautiful duduk di ruangan keluarga yang mewah. Senyum kebanggaan terpancar dari wajah Aniza saat ia memandang putrinya.
"Beautiful, uang sudah dapat. Kamu bisa pergi ke luar negeri untuk belajar. Kamu harus banggakan nama keluarga kita!" ucap Aniza dengan senyum penuh kebanggaan.
"Benar! Uang sebanyak ini tidak mudah untuk didapatkan," lanjut Thomas, suaranya penuh kepuasan.
"Tidak tahu bagaimana dengan Gracia sekarang?" tanya Beautiful dengan senyum sinis, matanya berkilat dengan rasa superioritas.
"Sekarang dia pasti sedang melayani gangster itu. Kita dapat bayaran yang tinggi. Gangster itu dapat keperawanan adikmu dan kita dapat uangnya," jawab Aniza tanpa rasa bersalah, suaranya tenang seolah yang dibicarakannya adalah hal biasa.
"Papa, terima kasih karena sudi melakukannya untukku. Aku akan bekerja dengan baik dan mengharumkan nama baik keluarga kita," ucap Beautiful dengan nada manis, penuh rasa terima kasih yang tulus meskipun dasarnya adalah pengkhianatan.
"Tidak apa-apa! Gracia mirip dengan ibunya. Sama-sama pelacur. Masa depan kita hanya mengandalkanmu. Sementara anak itu, aku tidak pernah mengakuinya," ujar Thomas dengan nada dingin, penuh kebencian yang terpendam lama.
Senyum puas menghiasi wajah mereka, sementara di tempat lain, Gracia merasakan penderitaan yang tak terbayangkan, menjadi korban dari ambisi dan ketamakan keluarganya sendiri.
Di sisi lain, Darson keluar dari kamar hotel, dua anggotanya menyapa dengan hormat. Mereka berdiri tegak, siap menerima perintah.
"Selidiki kemana saja Gracia Vanessa selama ini! Cari tahu siapa saja di keluarganya, apa saja yang dia lakukan, dan dengan siapa dia bergaul!" perintah Darson dengan nada tegas dan dingin, matanya menunjukkan keseriusan yang menakutkan.
"Baik, Bos," jawab mereka serentak, menundukkan kepala dengan penuh hormat sebelum bergerak cepat untuk menjalankan tugas mereka.
Darson kembali ke kamarnya, langkahnya berat dan penuh determinasi. Ia berdiri di samping Gracia yang masih belum sadarkan diri.
Pandangannya tajam menatap gadis itu, matanya dipenuhi kebencian yang mendalam. tidak tahu pasti apa sebabnya ia begitu membenci gadis itu, namun rasa bencinya tak dapat ia kendalikan.
Ia kemudian menarik selimut yang menutupi tubuh Gracia, menyingkirkannya dengan gerakan kasar. Tanpa ragu, ia melepaskan jubah tidurnya, membiarkan dirinya tanpa sehelai benang pun. Gracia yang masih dalam kondisi tidak sadar dan telungkup, tubuhnya dengan mudah ia balikkan menjadi posisi berbaring.
Darson membuka pangkalan paha gadis itu dengan kekuatan, membuat Gracia tampak rentan dan tak berdaya. Dengan tanpa ampun, ia melakukan penyatuan dengan gadis itu, dorongannya keras dan brutal.
Ia bergerak maju mundur tanpa henti, setiap gerakannya penuh kekerasan dan nafsu yang mengerikan. Karena merasakan sentuhan dan perih yang tak tertahankan, Gracia terbangun dan merintih kesakitan.
"Jangan!" ucapnya dengan suara serak, matanya yang penuh ketakutan melihat pria itu yang sedang berada di atas tubuhnya. Tubuhnya lemas, terasa seperti dicabik-cabik dari dalam.
"Gracia Vanessa, ingat dengan wajahku. Jangan kau melupakannya. Aku akan menghantui hidupmu!" kecam Darson, suaranya penuh dengan kemarahan dan ancaman.
Wajah Gracia yang pucat semakin memucat, matanya kehilangan cahaya dan tubuhnya tak berdaya. Akhirnya, rasa sakit yang tak tertahankan membuatnya kembali tidak sadarkan diri, tenggelam dalam kegelapan yang menutupi kesadarannya.
Setelah tiga hari penuh penderitaan, Darson melempar sejumlah uang ke wajah Gracia yang duduk di atas kasur dengan wajah pucat. Selain melayani nafsu pria itu, ia juga tidak menelan makanan apapun.
Siang itu, tubuhnya hanya ditutupi selimut tebal dan tanpa pakaian."Aku bukan pelacur," teriak Gracia dengan marah sambil membuang uang itu kembali ke wajah Darson. "Kau adalah pria brengsek!"
Darson tersenyum sinis, tatapannya penuh ejekan. "Wanita memang suka berpura-pura. Keluargamu sama sepertimu, hanya suka pada uang. Mereka menjual tubuhmu. Apa bedanya dirimu dengan mereka?"
"Kau tidak mengenalku," balas Gracia dengan suara bergetar menahan amarah. "Jangan menuduhku sembarangan. Aku tidak butuh uangmu. Bawa pergi untuk membeli peti mati untuk dirimu sendiri," teriaknya kesal.
Darson mendekat, mencubit dagu Gracia dengan erat. "Dengar baik-baik! Aku akan mendatangimu kapanpun aku mau. Ibu tirimu itu mata duitan. Tubuhmu ini sangat berguna bagiku. Setelah aku bosan, aku akan menjualnya kepada pelangganku," kecam Darson dengan suara rendah dan dingin.
Gracia merasa hatinya hancur, namun ia tidak menunjukkan kelemahannya. Ia hanya menatap Darson dengan penuh kebencian, tekadnya semakin kuat untuk melawan nasib buruk yang menimpanya.
"Kau adalah bajingan!" ketus Gracia dengan mata berkaca-kaca.
"Apakah kau sudah lupa dengan janjimu? Apa yang kau alami sekarang adalah balasan dari kebohonganmu," ujar Darson.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Janji apa maksudmu? kau adalah pria terkutuk," ketus Gracia.
***
Hai, teman-teman! jangan lupa mampir untuk memberi dukungan. harap komentar ketika ada kesalahan dalam penulisan🙏🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!