Arneta Anindya Putri, gadis berusia tujuh belas tahun. Terlahir dari keluarga sederhana dan jauh dari kata cukup, sebab ayah kandung Arneta sering sakit-sakitan.
Ayah Arneta yang biasanya ia panggil dengan sebutan 'Bapak' hanyalah seorang tukang kebun di perumahan elit yang ada di daerah tersebut.
Sedangkan ibunya juga hanyalah seorang pembantu rumah tangga.
Kedua orang tuanya pulang ke rumah ketika hari sudah mulai larut. Wajah mereka terlihat sangat kelelahan.
Arneta takut untuk menyapa kedua orang tuanya itu, bahkan hanya untuk menanyakan bagaimana keadaan mereka saat ini. Gadis itu sudah tahu bahwa kedua orang tuanya lelah bekerja hari ini. Jadi ia hanya pergi ke dapur untuk membuat minuman favorit orang tuanya.
Pukul delapan malam, diruang utama Arneta menaruh dua gelas wedang jahe agar diminum untuk menghangatkan tubuh kedua orang setengah baya tersebut.
Ia bergegas duduk di sebelah Pak Anang dan memijat lembut bahunya.
"Diminum dulu, Pak, Buk!" suruh Arneta memulai pembicaraan.
"Iya."
Jawab kedua orang tersebut secara bergantian.
Arneta adalah anak yang berbakti, lemah lembut dan selalu bertutur kata baik, namun, hidupnya jauh dari kata mewah. Untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka ia sering menjadi guru les anak sekolah dasar. Meskipun sekali pertemuan hanya mendapatkan bayaran dua puluh ribu rupiah per anak, ia tetap bersyukur bisa membeli kebutuhan sendiri dari hasil jerih payahnya.
Sedangkan biaya sekolah selama ini ditanggung oleh pemerintah, dia adalah salah satu anak beruntung yang mendapatkan beasiswa sejak masuk sekolah.
"Gimana sekolahmu hari ini?" tanya Bu Ainun lembut.
"Berjalan seperti biasanya, Bu."
"Syukurlah," jawab Anang dan Ainun serempak.
Meskipun hidup mereka jauh dari kata mewah, tetapi mereka tetap bersyukur.
Apalagi mereka memiliki seorang putri yang mandiri dan berbakti seperti Arneta ini.
Setelah berbincang selama setengah jam, mereka memutuskan untuk beristirahat di kamar masing-masing.
.
Di sebuah sekolah menengah atas, awal semester. Pukul sembilan pagi di sebuah taman, Arneta duduk sendiri sambil mengulang mata pelajaran pagi ini. Itulah salah satu rutinitas yang selalu ia lakukan setiap hari.
"Cih! Lihat bagaimana rubah betina sok suci itu bisa bertahan selama tiga tahun ini, padahal setiap hari di maki ... benar-benar tidak tahu malu!" kelakar sorang gadis lain yang sengaja mencemooh Arneta. Mereka bertiga berdiri tak jauh dibelakang Arneta dengan memberikan tatapan jijik seperti melihat kotoran ayam.
"Heh! Namanya juga rubah. Siapa yang tau kelakuannya yang menjijikkan di luar sana," timpal gadis satunya lagi.
"Mending jangan dekat-dekat sama rubah ini ... nanti kita ketularan jadi rubah!" seru gadis lainnya. Setelah melontarkan beberapa kata pedas tersebut ke tiga gadis itu berlalu dari belakang Arneta.
Arneta yang mendengar hal tersebut hanya bisa menghela napasnya panjang dan meneguhkan hatinya agar tetap tenang seperti biasa.
Bullyan dalam bentuk apapun tidak menjadi masalah bagi Arneta, karena ia sudah mulai kebal dengan hal tersebut, sejak masuk sekolah dasar ia sudah terbiasa menerima cacian dan makian dari teman sebayanya maupun kakak kelasnya.
Di dunia ini siapa yang tidak iri dengan gadis cantik yang selalu bertutur kata sopan, lemah lembut, selalu dipuji oleh guru karena kepandaiannya dan tentu juga menjadi pusat perhatian bagi lawan jenis karena keelokkan yang ia miliki sejak lahir.
Ia masih bisa memberikan toleransi jika para gadis itu hanya menyindirnya, namun jika mereka main tangan tentu Arneta tak hanya tinggal diam.
Setelah selesai mengulang pelajaran, Arneta memutuskan untuk memakan bekal yang ia bawa, sendirian seperti hari-hari biasanya. Tiba-tiba ada seorang gadis sengaja berlari dan menabrak bekal yang Arneta bawa hingga makanan berserakan diatas tanah.
"Ups! Sorry! Sengaja!" ucap gadis yang sengaja menabrak Arneta tadi sambil tersenyum mengejek, gadis ini berbeda lagi dengan ketiga gadis yang memakinya barusan.
Arneta hanya bisa memejamkan matanya, mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari mulut secara berulang agar tetap tenang.
"Sabar, Net ... Ini bukan pertama kalinya kamu diperlakukan seperti itu, ingat! Kamu hanya perlu menuntut ilmu dengan baik dan benar agar bisa membahagiakan kedua orang tuamu," gumam Arneta menyemangati dirinya sendiri.
Neta bergegas membereskan wadah makanan yang jatuh ke tanah itu.
Tiba-tiba ada seorang pria berlalu di depan Arneta dan sengaja menaruh dua bungkus donat di bangku yang Neta duduki tadi.
"Eh! Donatmu ketinggalan!" seru Arneta meneriaki pria yang menaruh donat tersebut.
Pria yang hanya kelihatan punggungnya itu berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia melanjutkan langkahnya dan semakin menjauh dari tempat Neta berdiri.
"Sebenarnya siapa, sih, pria misterius yang selalu memberiku pertolongan. Makasih ya, aku makan donatnya dulu, kelak aku pasti cari tau siapa kamu sebenarnya," ucap Arneta sambil tersenyum tipis. Kemudian memakan donat tersebut.
Setiap kali ada masalah, ada seorang pria misterius selalu menolong Neta. Ia selalu memakai masker dan hoddie hitam.
Karena banyak yang mengaguminya, bahkan hampir seluruh pria di sekolah berbondong-bondong untuk mendapatkan hati Neta. Maka dari itu gadis tersebut menganggap bahwa pria yang selalu membantunya adalah salah satu pria penggemarnya.
.
.
.
Di dalam kelas, setelah semua mata pelajaran selesai.
"Ini buku catatanmu yang aku pinjam kemarin. Makasih ya!" ujar Vilia teman sekelas Arneta.
"Iya," balas Neta singkat sambil tersenyum tipis ke arah Villia.
Arneta tak pernah merasa ada yang aneh dengan teman sekelasnya yang bernama Vilia itu, karena hanya dia yang selama ini tidak pernah memakinya. Namun, hari ini ia mendapati sebuah kebenaran.
Neta tiba di parkiran, ia mengambil kontak motor bebeknya dari dalam tas. Tiba-tiba Neta mengingat buku catatan yang baru saja dikembalikan Villia masih tertinggal di meja, ia berniat mengambil buku tersebut.
Siapa sangka saat masih di koridor Neta mendengar suara tak asing sedang menyebut namanya.
"Ha-ha-ha! Menurut kalian aku benar-benar berteman baik dengan Arneta rubah b0d0h itu. Mimpi aja kali, aku hanya memanfaatkan dia dengan pura-pura sok baik. Rupanya rubah itu tertipu selama ini," ujar Villia pada kedua temannya.
"Benar juga, ya. Kalau selama ini kita tidak memanfaatkan rubah itu, mana mungkin nilai kita bisa sebagus semester ini. Ha-ha-ha!"
"Benar-benar b0d0h, seperti orang tuanya yang tak berpendidikan itu."
"Ha-ha-ha." seru tawa mereka memenuhi ruang kelas tersebut.
Neta mendengarnya dari luar dengan dada yang terasa sesak. Ia bergegas mengambil bukunya yang ketinggalan.
"Ternyata di dunia ini tidak ada yang benar-benar tulus berteman denganku, mereka hanya memanfaatkanku saja, hiks...." mendengar sendiri perkataan pahit dari mulut gadis yang ia anggap sebagai teman membuat dada Neta terasa sesak, ia pun sampai berlinang air mata.
Setelah ketiga gadis tersebut pergi dari kelas, Neta bergegas masuk mengambil buku dan langsung keluar dari kelas tersebut lalu duduk di bangku taman tempat dimana ia mengulang pelajaran tadi pagi, tiba-tiba cuaca berubah.
Saat ia sedang meratapi kesedihannya, hujan pun turun dengan derasnya.
Air mata Neta terjatuh bersama dengan air hujan siang itu.
Ini kali pertama ia merasakan sakit yang tak tertahankan, bahkan penghianatan dari seorang yang ia anggap teman lebih sakit dari sekedar makian yang keluar dari mulut orang-orang tak berperasaan selama ini.
Tiba-tiba sosok tinggi berhodie menyodorkan payung pada Neta.
Ia memandang pria itu dengan tatapan sendu dan penuh tanya. Siapa dia sebenarnya?
.
.
Kedua netra Arneta menatap manik pria tersebut sambil berkaca-kaca. Untuk saat ini ia tak mampu berkata-kata.
Apakah pria yang ada di depannya saat ini adalah seorang malaikat, Arneta belum pernah bertemu dengan pria sesempurna ini sebelumnya. Wajah itu memiliki garis tegas, hidung yang tajam. Sedangkan hoodie yang dikenakannya sangat pas di tubuh itu membuatnya semakin terlihat gagah. Matanya seperti bunga persik, semakin indah dilihat saat ia menunduk dengan tatapan teduh. Sungguh tidak tahu lagi bagaimana cara mengartikan keindahan makhluk Tuhan satu ini. Neta terlena untuk beberapa saat dan melupakan sejenak perihal penghianatan dari teman sekelasnya.
"Ambil payungnya!" ujar pria berhoodie tersebut dengan nada dingin, tetapi tetap penuh kharisma.
"Tidak perlu, aku tidak membutuhkannya ... lagi pula siapa kamu dan apa pedulimu, hiks...," balas Neta judes sambil terus meneteskan air matanya.
"Bukankah kamu hanya membuang-buang waktu saja dengan bersedih seperti ini? Hanya karena seorang penghianat tak berguna dan kamu menangis, tidak menyangka kamu benar-benar b0doh dan tidak bisa berpikir luas," sarkas pria itu, ia membiarkan diri sendiri kehujanan dan lebih memilih untuk memberikan payungnya pada Arneta.
Pria itu tak ingin berlama-lama memayungi Arneta, ia meraih tangan si gadis agar memegang payungnya sendiri. Lalu ia bergegas lari masuk ke dalam mobil.
Neta hanya bisa menatap kepergian pria misterius tersebut dengan tatapan kosong yang sulit untuk diartikan.
"Apa dia pria misterius yang selalu menolongku sejak aku masuk ke sekolah ini? Apa dia malaikat? Kenapa tampan sekali? Astaga?" tanya Neta pada diri sendiri.
"B0doh, apa yang dia katakan tadi benar? Dia tau apa yang sedang terjadi denganku!" Neta memukul kepalanya berulang kali merutuki dirinya yang lemah hanya karena seorang penghianat, tak biasanya ia selemah ini. Ia memukul kepalanya berulang kali agar dirinya sadar bahwa menyesal telah berteman dengan seorang penghianat tak ada artinya.
"Hidup harus terus berjalan, Arneta Anindya Putri. Waktumu akan jadi sia-sia kalau hanya untuk menyesali apa yang terjadi ... Arneta gadis kuat harus bangkit, kamu pasti bisa ... toh kamu juga tidak pernah bergantung dengan Villia dan temannya yang lain, merekalah yang bergantung padamu, ayo Arneta kamu bisa melewati ini dengan mudah seperti hari biasanya!" seru Arneta sambil berdiri dengan penuh keyakinan di tengah derasnya hujan. Ia menutup payung tersebut lalu memasukkannya ke dalam tas.
Sia-sia mengenakan payung karena tubuhnya sudah basah kuyub dan ia harus segera pulang. Ia menaruh semua buku-bukunya ke dalam jok motor agar tidak basah terkena air hujan.
Ia juga lebih memilih untuk menerjang hujan sambil membelah jalanan untuk kembali ke istana kecilnya.
.
Sementara itu di dalam mobil.
"Juan, apakah kamu bisa melihatnya?" tanya seorang pria ber-hoodie pada sosok pria yang sedang mengemudikan mobil mewah miliknya.
"Iya, Tuan. Saya sudah memperhatikannya sejak awal ... di sekolah ini hanya Arneta yang tidak mengenali Tuan. Apakah Tuan akan mulai mengekspose diri di depannya?" tanya Juan penuh antusias.
"Hm, mungkin sudah waktunya. Aku lelah harus bermain petak umpet dengan gadis satu ini. Jalan dan ikuti dia sampai rumah. Kita pastikan dia baik-baik saja," ujar Arsen penuh penegasan.
"Baik, Tuan."
Pria yang bernama Juan itu hanya bisa geleng kepala tak percaya melihat cara Tuan mudanya memperlakukan seorang gadis biasa dengan cara seperti itu. Sedangkan pada kenyataannya dia ribuan kali menolak gadis yang selalu mendekatinya. Ia bahkan merasa ilfil jika ada gadis yang terlalu berlebihan mendambakannya.
"Padahal Anda sendiri sedang basah kuyup, tapi Anda lebih mementingkan keselamatan gadis itu. Sepertinya gadis itu yang bisa membuat Tuan bersemangat pergi ke sekolah selama ini," gumam Juan lirih sambil sesekali melirik ke arah tuan mudanya yang berwajah dingin itu melalui kaca spion. Pria berhoodie itu mengenakan earphone di telinganya sehingga tak mendengar apa yang Juan katakan.
.
Setibanya di rumah Neta langsung membersihkan diri sekalian mencuci seragamnya yang masih harus dikenakannya besok.
"Hatchi...." Neta bersin berulang kali padahal dia sudah membuat wedang jahe untuk menghangatkan tubuhnya setelah kehujanan.
Tubuhnya mengigil, ia lebih memilih untuk berselimut di dalam kamar.
Lima belas menit kemudian. Hujan mulai mereda.
Samar-samar gadis itu mendengar suara ketukan pintu berulang kali, Neta bergegas menuju ke pintu depan dan membukanya.
Kosong melompong!
Tidak ada siapa pun di sana.
"Sudah sampai rumah seperti ini, apakah ada yang akan menjahiliku lagi kali ini, hah!" ujar Neta sambil bernapas berat. Sebenarnya ia sangat lelah setiap hari selalu diperlakukan buruk oleh semua gadis disekolah. Bahkan penghianatan membuat hati Neta lelah seperti sudah mencapai batas kesabarannya. Tidak tahu lagi apakah esok ia akan kuat dan tenang seperti biasa saat mendapat perlakuan buruk dari para gadis itu.
Setelah berdiri beberapa saat dan tak ada seorang pun di sana, Neta kembali menutup pintu, sebelum itu tiba-tiba ia menyandung kotak kecil yang tergeletak di lantai.
Neta segera mengambil benda tersebut dan membukanya.
"Apa ini? Semoga bukan tikus atau semacamnya," ucap Neta sambil agak menjauhkan kotak tersebut dari tubuhnya kemudian membukanya secara perlahan. Ia menunggu hingga beberapa saat.
Tidak ada benda aneh yang keluar, Neta mendekatkan kotak itu dan melihatnya.
Ternyata di dalamnya terdapat obat pereda flu dan demam juga ada vitamin. Di sana pun juga tertulis sebuah surat dengan tulisan tangan yang sangat indah.
'Jangan lupa diminum obatnya ... lekas sembuh ya.'
Sungguh manis!
Neta kembali melihat sekeliling, tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada genangan air hujan di sekitar rumahnya.
"Siapa yang memperhatikanku sampai sejauh ini, bahkan aku sakit pun juga ada yang tahu. Apa dia pria tampan yang berhoddie tadi atau penggemarku yang lain? Haih... ini tidak seperti biasanya, apakah masalah di hidupku akan semakin bertambah banyak?"
Neta tak ingin ambil pusing dibuatnya.
Ia segera mengambil makanan di dapur dan memakannya beberapa sendok lalu segera meminum obat tersebut.
Setelahnya ia kembali beristirahat ke kamar.
.
Di sebuah apartment mewah. Seorang pria tampan duduk di sofa sambil memerhatikan beberapa dokumen di tangannya.
"Setelah pesta kelulusan, Nona muda akan kembali ... apakah Tuan sudah mengetahuinya?" sahut Juan pada pria yang duduk di depannya.
"Hm," jawabnya singkat.
Juan tak berani berkata lebih banyak lagi, apalagi kalau jawaban Tuan mudanya sudah singkat, padat, dan jelas seperti ini.
Juan lebih memilih untuk kembali fokus dengan berkas-berkas yang ada di depannya.
"Sepertinya suasana hati Tuan muda tidak baik hari ini. Apa aku yang terlalu banyak berpikir? Ekspresinya semakin dingin. Perubahan sikap Tuan sepertinya tergantung gadis yang bernama Arneta itu. Sepertinya hanya dia yang mampu membuat Tuan tidak merasakan kesepian." Juan bermonolog dalam hati.
.
.
.
Keesokan harinya, di sekolah.
Seperti hari biasa Arneta selalu menyiapkan mentalnya untuk pergi ke sekolah. Karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dialaminya hari ini. Ia berangkat dari rumah penuh dengan keyakinan bahwa ia pasti bisa melalui setiap situasi walau tiak mudah.
Perjalanan dari rumah menuju sekolah memakan waktu sekitar lima belas menit dengan menggunakan kendaraan roda dua.
Tiba di sekolah, gadis itu langsung memarkirkan motor bebeknya.
Berkat obat yang ia minum kemarin sore flunya kini sudah agak mendingan. Ia terima kasih banyak atas pertolongan manusia misterius kemarin. Kalau bukan karenanya, ia hari ini tidak mungkin bisa pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu.
"Terima kasih orang baik, berkat obat darimu aku bisa sekolah hari ini," ucap Arneta setelah memarkirkan motornya.
"Apa keadaanmu sudah membaik?" sahut seorang pria dari arah belakang Neta.
Gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh.
Pria tampan yang misterius itu berjalan semakin mendekat ke arahnya.
Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba pria tampan itu menaruh satu tangannya diatas dahi Neta. Memastikan bahwa demam gadis itu sudah sembuh.
Mendapat perlakuan dari sosok tampan bak malaikat itu membuat jantung Neta berdegup kencang.
Astaga terlalu dekat dengan pria ini nggak baik buat kesehatan jantung, batin Arneta.
Neta segera menyadarkan dirinya dari dunia fantasy tentang pria bak malaikat yang ada di depannya itu.
"Ma-maaf aku sudah terlambat!"
Bukannya bertanya apakah pria itu yang memberikannya obat.
Neta malah balik badan dan berlari kecil ke ruang kelasnya dengan perasaan campur aduk, degup jantungnya sudah tak bisa terkontrol lagi. Pipinya pun kian memanas, ia tak sanggup jika harus berlama-lama dekat dengan pria asing yang tampannya tidak ketulungan itu. Bisa-bisa demamnya kumat karena terlalu lama berdekatan dengan pria asing itu.
Ini juga kali pertama ada seorang pria tampan dan baik yang memperlakukannya dengan lembut. Sejak ia masuk sekolah menengah atas, pria yang selalu menolongnya itu selalu memakai hoodie dan masker agar wajahnya tidak kelihatan. Namun, sekarang ada seorang penolong tampan bak malaikat, apakah mereka adalah orang yang sama. Neta belum mau memikirkannya lebih jauh.
Memang banyak pria yang menyukainya sejak kecil. Bahkan hampir setiap hari ia digoda oleh para pria itu. Namun, sikap Neta biasa saja. Ia menganggap godaan dari para pria itu hanya bualan biasa dan tak sungguh-sungguh. Inilah pertama kalinya dia mendapat perlakuan spesial dari pria asing yang tampannya mengalahkan artis korea, menurut Neta.
Pria itu hanya bisa berdiri memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie yang ia kenakan, ia tersenyum tipis melihat kepergian Neta dengan keadaan gugupnya.
"Di sekolah ini hanya kamu yang tidak mengenaliku, gadis b0doh," gumamnya lirih.
Rupanya sejak tadi ada tiga perempuan berdiri dari kejauhan sedang menatap Neta dan pria itu mengobrol. Ketiga perempuan itu sudah berapi-api melihat kedekatan si pria tampan dengan gadis idola para wanita. Tak bisa dipungkiri mereka terlihat sangat serasi.
"Rubah itu sudah menunjukkan ekornya, bahkan dia berani mendekati most wanted di sekolah kita, dia harus benar-benar diberi pelajaran kali ini!" ucap gadis itu dengan perasaan kesal. Kedua tangannya mengepal erat siap meninju siapa pun yang mendekatinya.
"Aku setuju, nanti kelas dia ada mata pelajaran olahraga, aku ada rencana untuk memberi pelajaran rubah betina itu," balas temannya dengan seringai licik dari sudut bibirnya.
"Kita lihat saja setelah ini apa dia masih berani mendekati pangeran kita, heh!" timpal gadis ke tiga.
.
Setelah istirahat pada jam pertama, hari ini mata pelajaran di kelas Neta adalah mata pelajaran olahraga.
Ada seorang pria dari kelas lain berlari kecil ke arah Neta yang baru saja mengganti pakaiannya dari toilet.
"Neta! Neta!" teriak pria itu dengan napas terengah-engah, Neta hanya memicingkan Matanya melihat pria tak dikenal itu menyerukan namanya.
"Arneta, kamu di suruh mengambil peralatan olahraga sama Pak Dono," ucap pria itu seraya mengatur napasnya.
"Oke," balas Neta singkat.
Tak ingin banyak bertanya, Neta langsung menyetujuinya tanpa ragu.
Pria itu mengacungkan jempol pada ketiga gadis yang berdiri tak jauh dari tempat Neta berbincang dengan pria pembawa pesan itu.
Gadis mungil tersebut hanya bisa pasrah, karena memang dialah yang biasanya secara suka rela membantu Pak Dono, guru olahraga untuk mengambil peralatan.
Kebetulan gudang tempat penyimpanan peralatan olahraga berada dekat dengan kolam ikan yang ada di bagian belakang sekolah.
Neta berjalan seperti biasa melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh rumput hijau dan ilalang, di dekat kolam ikan itu.
Seorang gadis muncul dari arah belakang Neta dan mendorongnya hingga terjatuh ke dalam kolam tersebut.
Byur!
Meskipun kolamnya tak terlalu dalam, tetapi kolam itu sangat dalam bagi Neta yang sama sekali tidak memiliki kemampuan berenang.
"To ... tolong!" teriak Neta sambil mengulurkan tangannya pada ketiga gadis yang hanya melihatnya dengan tatapan bahagia.
Ketiga gadis itu berdiri di tepian kolam, sambil memperingatkan Neta.
"Makanya jadi cewek itu jangan kegatelan, sampai berani dekat-dekat dengan pangeran yang ada di sekolah kita, rasain sendiri tuh akibatnya!" teriak gadis yang memiliki rencana licik itu.
"Heh! Dasar, kalau kamu berani dekat-dekat lagi dengan tuan muda kita bisa melakukan yang lebih kejam dari pada ini!" timpal temannya.
"Sukurin! Wlek!" imbuh gadis yang ke tiga sambil menjulurkan lidahnya.
Setelah melemparkan beberapa kalimat yang tak mengenakkan hati itu, mereka bertiga pergi dari sana. Mereka berlenggang dengan sombong seperti tak melakukan suatu kejahatan.
Samar-samar gadis itu bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Setelah lima menit berlalu dan bertahan dalam keadaan setengah berdiri, kaki Neta terkulai lemas tak bisa menahan tubuhnya lagi agar tidak tenggelam.
Mata Neta masih terbuka namun kakinya sudah lemas di dalam sana.
Tolong! Batin Meta saat mendapati bayangan hitam sedang berdiri di tepian kolam. Ia mengangkat satu tangannya sekuat tenaga agar seseorang yang sedang berdiri disana dapat menolongnya.
Dengan susah payah Neta akhirnya berhasil mendapatkan perhatian dari sosok tersebut.
Sosok tersebut duduk dan melihat betul-betul apa yang terjadi di depannya.
"Apa ada ikan mati?" tanya pria itu saat mendapati kolam ikan tersebut berombak.
Pria itu mempertajam penglihatannya sekali lagi.
"Rupanya bukan ikan, itu...itu tangan manusia," ucap pria itu sambil berlari terbirit-birit meninggalkan tempat tersebut.
Neta meminum air yang ada di kolam itu terlalu banyak, ia tak bisa bertahan di dalam sana lebih lama lagi. Kesadaran pun semakin pudar dan lama-lama hilang.
Tolong, siapa pun tolong aku, batin Neta sebelum benar-benar memejamkan matanya.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!