NovelToon NovelToon

Mantan Istriku Ternyata Sultan

Eps 1

"Jiaaaa.... Apa-apaan kamu jam segini belum ada masakan sama sekali. Menantu macam apa kamu ini ." Teriak Bu Arum yang menggelegar di dalam rumah.

"Kenapa sih Ma masih pagi juga sudah teriak-teriak tidak jelas." Ucap Rangga sambil membenahi seragam kerjanya agar rapi.

"Dimana istrimu? Lihat meja makan jam segini masih kosong."

Jawab Bu Arum yang membuat Rangga menoleh ke arah meja makan lalu melototkan matanya.

Tidak seperti biasanya Jia jam segini belum masak. Bukankah dia sudah tidak ada di kamar pikir Rangga.

"Lho dia tadi sudah tidak ada di kamar, ku kira dia sedang berkutat di dapur." Jawab Rangga dengan bingung.

"Ck sudah numpang tidak tahu diri." Gumam Bu Arum yang geram dengan tingkah Jia.

"Lho Ma kok belum ada sarapan? Mana sudah hampir jam 7 ini aku bisa telat kerja kalau begini caranya." Ucap Rendi, Kakaknya Rangga yang tiba-tiba datang ke dapur.

"Ini tuh ulah Adik ipar mu. Sudah tahu semua orang di rumah ini butuh sarapan pagi-pagi malah belum ada masakan sama sekali." Jawab Bu Arum mendengar ucapan anak sulungnya itu.

"Terus gimana ini? Masa iya aku bekerja tidak sarapan sih. Yang ada aku bisa kelaparan dan tidak fokus kerja nantinya." Jawab Rendi.

"Kamu suruh Istrimu memasak sana. Atau tidak kamu makan saja di kantor terlebih dahulu." Jawab Bu Arum membuat Mayang yang baru sampai langsung melototkan matanya.

"Aku mana bisa masak Ma. Suruh Litta saja itu." Jawab Mayang seadanya sembari menggendong Azura anak semata wayangnya.

"Lagipula aku juga harus mengurus Azura ini." Lanjut Mayang dengan alasan.

"Dih mana bisa aku masak Mbak. Kamu jangan ngarang deh, sini Azura biar aku gendong, Mbak masak aja buat kita." Jawab Litta yang tidak terima dengan ucapan Mayang.

"Ma, terus bagaimana ini?" Ucap Rendi memelas.

"Sudahlah kalian makan di kantor dan kampus saja. Dan kamu Mayang, kamu masak buat Mama sana biar Azura Mama yang menjaganya." Ucap Bu Arum memberi solusi.

Mau tidak mau akhirnya Rangga dan Rendi pamit pergi kerja dan Litta pamit pergi ke kampus.

Sedangkan Mayang, berjalan dengan malas menuju kompor.

"Ma ini mana bumbu dapur kosong semua bagaimana bisa masak kalau begini?" Ucap Mayang yang celingukan mencari bumbu masakan.

"Kamu cari saja di situ. Tidak mungkin Jia tidak belanja bulanan untuk bumbu dapur." Jawab Bu Arum seadanya.

"Tapi memang tidak ada Ma, kosong semua. Tinggal cabe 2 biji ini." Jawab Mayang dengan kesal.

Mendengar jawaban Mayang akhirnya Bu Arum berjalan mendekati Mayang dan benar ternyata bumbu dapur tinggal cabe 2 biji saja.

"Apa-apaan ini, kenapa Jia belum belanja bulanan untuk bahan dapur. Menantu kurang ajar. Sudah miskin, numpang di rumah orang, tidak tahu diri lagi." Geram Bu Arum.

"Ya sudah kamu ikut Mama beli nasi bungkus. Kita makan nasi bungkus saja sementara, nanti kalau Jia sudah pulang akan Mama caci maki saja dia." Ucap Bu Arum yang langsung di angguki oleh Mayang.

Bu Arum menyerahkan Azura pada Mayang untuk di gendongnya. Setelah itu mereka berdua berjalan keluar.

Tetapi ketika sampai didepan kamarnya Amira, anaknya Jia dan Rangga tiba-tiba saja Bu Arum menghentikan langkahnya dan membuat Mayang hampir saja menabrak tubuhnya dari belakang.

"Kenapa bu?" Tanya Mayang yang bingung karna Bu Arum tiba-tiba saja berhenti.

Bu Arum menatap Mayang sekilas lalu dia mencoba membuka pintu kamar Amira. Namun, ternyata pintu kamar Amira terkunci dan tidak dapat di buka.

"Berarti Jia sedang keluar sama Amira, Ma. Pintu kamar Amira saja terkunci." ucap Mayang yang mengerti maksud Bu Arum ingin membuka pintu kamar Amira.

Bu Arum menganggukkan kepalanya. Lalu dia melanjutkan langkah keluar rumah.

"Jangan lupa di tutup pintunya." Ucap Bu Arum yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Mayang.

"Nanti pesankan saja anak mu. Jangan biarkan dia memilih lauk yang mahal." Ucap Bu Arum seraya berjalan beriringan dengan Mayang.

Mayang hanya diam tanpa menjawab.

"Kenapa ya Ma, kok tiba-tiba saja Jia tidak masak hari ini?" Ucap Mayang yang heran dengan tingkah laku Jia hari ini.

"Beberes rumah juga tidak tadi." Jawab Bu Arum.

"Hahhh?" Ucap Mayang yang bingung seraya menatap ke arah Bu Arum.

"Kamu tidak lihat rumah masih berantakan kayak gitu?" Tanya Bu Arum menatap balik ke arah Mayang.

"Aku tidak memperhatikan keadaan rumah tadi." Jawab Mayang, yang hanya di jawab decakan saja oleh Bu Arum.

***

"Tumben bro sarapan di kantin? Berantem sama istri?" Tanya Adam pada Rangga.

Rangga mengangkat bahunya." Gak sih, cuma gak tahu aja tadi istri ku tidak masak di rumah." Jawab Rangga seadanya.

"Lah!!! emang kenapa dia tidak masak?" Tanya Adam lagi. "Tidak kau beri jatah uang bulanan atau memang lagi malas saja?" Lanjutnya dengan nada yang heran.

"Soal uang sih aku kasih ke Mamaku semua. Kata Mama semua bumbu dapur dan keperluan rumah itu sudah Mama yang ngatur." Jawab Rangga jujur.

"Jadi istrimu gak kamu beri pegangan uang sama sekali?" Tanya Adam lagi.

Rangga menggelengkan kepalanya sembari menyantap sarapan paginya itu.

"Kamu gila!!" Ucap Adam dengan tatapan heran.

Rangga menoleh ke arah Adam dengan bertanya.

"Kenapa kamu bilang aku gila?" Tanya Rangga yang membuat Adam semakin geram.

"Gini ya Bro. Kamu sudah menikah, yang berhak membawa uang nafkah mu itu istrimu bukan Mama mu." Jawab Adam menahan rasa kesalnya.

"Tapi kata Mamaku, dia juga memberikan beberapa uang kepada istriku untuk belanja bahan dapur. Jadi tidak masalah kan jika keuangan ku di atur oleh Mama. Lagian, aku juga masih menumpang di rumah orang tua ku." Jawab Rangga apa adanya.

"Bukan begitu maksudnya Ga. Walaupun kamu menumpang, setidaknya jangan semua kamu berikan sama Mamamu. Berikan juga ke istri mu setengahnya. Itu sudah kewajiban mu apalagi untuk biaya anak mu." Jawab Adam setelah mendengar jawaban Rangga.

"Aku cuma tidak mau di anggap anak durhaka saja sama Mama karna tidak menuruti ucapan Mama ku." Jawab Rangga acuh.

Adam yang geram mendengar jawaban Rangga pun segera pergi meninggalkan Rangga sendiri dari pada nanti malah ribut tidak jelas dengan Rangga.

***

Di sisi lain Jia istrinya Rangga sedang melamun memikirkan bagaimana kondisi keluarganya kedepannya.

Ya pagi-pagi buta Jia mengajak Amira untuk berjalan-jalan di taman bermain.

Jia menatap Amira yang sedang bermain dengan kegembiraannya dari kejauhan.

Jia yang sedang melamun di kagetkan dengan notif HP miliknya. Segera dia lihat siapa yang sudah mengirimkan pesan untuknya.

[Jia, Papi mau ketemu sama kamu. Apa kamu sibuk sayang?]

"Papi?." Gumam Jia ketika sudah melihat isi pesan tersebut.

Dengan cepat Jia menekan ikon telepon untuk menghubungi Papinya.

"Halo sayang. Assalamualaikum." Sapa Pak Alan Ayah dari Jia.

Jia tersenyum kala mendengar sapaan dari sang Ayah.

“Iya Papi waalaikumsalam.” Jawab Jia.

"Kamu gak lagi sibuk?" Tanya Pak Alan.

"Nggak, Pi, ini Jia lagi ada di taman bermain sama Amira." Jawab Jia dengan jujur.

"Jia, Mami kamu beberapa hari terakhir ini bermimpi buruk tentang kamu. Nak, kamu baik-baik saja kan di sana?" Ucapan Pak Alan berhasil membuat Jia terdiam, ternyata feeling seorang ibu sangatlah kuat.

"Halo Jia." Ucap Pak Alan lagi yang merasa tidak mendapat jawaban dari Jia.

"Ah iya Pi. Jia sama Amira baik-baik saja kok. Kasih tahu Mami untuk tidak berfikiran negatif ya, Pi "Jawab Jia cepat.

"Alhamdulillah kalau seperti itu. Kalau ada apa-apa tolong kamu segera kabari Papi ya, Nak. Paling tidak kamu kabari Adik kamu." Ucap Pak Alan.

"Iya Pi, pasti Jia kasih tahu Papi atau Jio kalau Jia atau Amira kenapa-napa." Jawab Jia.

"Ya sudah, Papi hanya memastikan keadaan kamu saja sayang. Kalau begitu Papi matikan dulu sambungan teleponnya. Papi juga mau lanjut kerja lagi. Sebentar lagi ada meeting penting jadi Papi harus mempersiapkan berkasnya." Ucap Pak Alan yang pamit kepada sang putri.

"Iya Papi semangat kerjanya ya. Semoga meetingnya lancar." Ucap Jia menutup sambungan telepon mereka.

"Maafkan Jia Pi, Mi, Jio. Kalau Jia sudah tidak kuat lagi Jia akan segera pergi dan meminta Jio untuk menjemputku." Batin Jia seraya menatap ponsel yang dia genggam.

********

********

Eps 2

"Darimana saja kamu? Kelayapan saja kerjaannya." Ucap Bu Arum ketika melihat Jia yang baru saja sampai di rumah.

"Oh kemarin Amira meminta ingin bermain ke taman jadi hari ini aku menepati janji ku untuk mengajak Amira ke taman." Jawab Jia dengan jujur.

"Kami lebih memilih mengajak anak mu bermain ke taman dari pada memikirkan kondisi keluarga yang kelaparan?" Tanya Bu Arum dengan sinis. "Terus kenapa bahan belanjaan di dapur pada kosong semua?" Bu Arum melanjutkan kalimatnya.

"Amira sayang, kamu ke kamar dahulu ya. Nanti Mama susul kamu ke kamar." Ucap Jia memberi pengertian pada Amira yang sedang asik menikmati lollipop yang dia pegang.

Amira menganggukan kepalanya sembari menjilati lollipop yang di belikan ibunya tadi.

“Mama Azura mau itu, itu yang di pegang oleh Amira.” Rengek Azura kepada Mayang.

Mayang menoleh ke arah Amira, sembari berjalan mendekati Amira.

Melihat Mayang yang berjalan mendekati Amira akhirnya Jia menarik kembali tangan Amira.

"Berikan lollipop itu sama Azura. Dia mau lollipop itu." Ucap Mayang yang menatap tajam ke arah Jia.

"Itu punya Amira, yang membelikan aku. Kenapa aku harus meminta Amira untuk memberikan permennya?" Ucap Jia tak kalah sengit.

"Azura menginginkannya." Teriak Mayang sembari melotot.

"Lalu?" Tanya Jia dengan remeh.

"Amira kasih permennya sama Azura." Ucap Bu Arum yang tiba-tiba saja membentak Amira.

Amira yang di bentak oleh Bu Arum pun merasa takut dan segera bersembunyi di belakang tubuh sang Mama.

"Jangan pernah membentak anak ku." Ucap Jia berusaha masih sabar.

"Suruh Amira kasih permennya sama Azura, Jia. Kamu tidak lihat Azura sudah menangis seperti itu?" Ucap Bu Arum pada Jia.

"Apa hak Amira meminta permen Anak ku?" Tanya Jia masih dengan nada yang sabar.

"Amira anak dari Kakak ipar mu, Jia. Harusnya kamu bisa bersikap adil terhadap Azura dan manjakan dia." Jawab Bu Arum yang geram dengan jawaban Jia.

"Dia bukan putri di sini. Lagian kenapa juga aku harus adil dengan Azura sedangkan kalian tidak pernah adil dan tidak pernah peduli dengan Amira." Jawab Jia santai.

"Dasar wanita miskin tidak tahu diri." Ucap Mayang dan langsung dibalas tatapan oleh Jia.

Jia tersenyum meremehkan pada Mayang.

"Jika aku miskin dan tidak tahu diri, lantas kamu apa Mbak?" Tanya Jia pada Mayang. "Mbak lupa, kalau semua kebutuhan dirumah ini yang menanggung siapa?" Tanya Jia yang membuat Mayang terdiam.

"Bukan Mbak ataupun Mama. Bahkan aku tidak di beri nafkah sama sekali oleh Mas Rangga. Semua nafkah yang seharusnya dia berikan ke aku itu malah di berikan pada Mama. Dengan dalih, semua kebutuhan rumah akan Mama yang ngatur, nyatanya apa? Tidak sama sekali." Lanjut Jia yang membuat Bu Arum membulatkan matanya.

"Berani kamu biacara seperti itu?" Tanya Bu Arum pada Jia.

"Kenapa tidak? Mulai sekarang aku hanya akan belanja kalau Mama atau Mbak Mayang memberi ku uang. Jika tidak maka selamat menahan lapar sekeluarga." Ucap Jia seraya berjalan meninggalkan keduanya menuju kamar Amira.

"Jia kamu sudah berani bicara seperti itu ya sama saya. Saya itu Ibu mertua kamu, harusnya kamu tahu diri sedikit, kalau tinggal di rumah ini." Ucap Bu Arum membentak.

Jia menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Bu Arum.

"Menantu di rumah ini bukan hanya aku Ma. Dan maaf jika aku berani seperti sama Mama." Jawab Jia singkat dan langsung melanjutkan langkahnya.

"Kenapa Jia tiba-tiba berubah. Bukan kah dia selama ini tidak pernah protes untuk memenuhi semua kebutuhan dirumah ini." Ucap Bu Arum geram.

"Terus bagaimana dong Ma?" Tanya Mayang yang turut kebingungan.

"Kamu tenang saja. Jia pasti hanya lelah saja dia butuh istirahat. Setelah ini dia pasti akan kembali lagi seperti semula. Dia pasti mau lagi menanggung semua kebutuhan di rumah ini tanpa protes." Jawab Bu Arum yang membuat Mayang sedikit tenang.

"Aku bakal laporin kamu Rangga biar kamu tau rasa Jia." Batin Bu Arum.

***

“Bunda Nenek marah ya sama kita?” Tanya Amira pada sang Bunda.

Jia menatap sendu pada sang anak. "Bukan sama kita sayang. Tapi sama Bunda, hanya sama Bunda bukan sama Amira, oke." Jawab Jia dengan lemah lembut.

"Tapi Nenek selalu marah-marah sama Amira, kalau Bunda keluar. Nenek bentak-bentak Amira karena Amira tidak ingin meminjamkan Azura mainan." Jawab Amira polos.

Jia mengerutkan keningnya mendengar ucapan Amira, karena ia baru pertama kali mendengar pengakuan Amira.

"Tapi Nenek gak nakal kan sayang? Dia gak pernah memukul Amira kan?" Tanya Jia memastikan.

“Neneknya gak nakal. Tapi, yang nakal Azura sama Tante Mayang. Waktu itu Azura ingin meminjam boneka yang baru di berikan oleh Oma, karena masih baru, jadi aku melarangnya. Azura menangis dan lapor sama Tante Mayang terus Tante Mayang marah dan memukul paha Amira." Jawaban Amira membuat Jia semakin marah karna baru saja mengetahui jika putrinya di pukul oleh Mayang.

"Itu kejadiannya sudah berapa lama sayang?" Jia kembali bertanya.

"Sekitar 3 hari yang lalu, Bunda . Aku gak mau main sama Azura lagi, Bunda. Aku takut kalau di pukul sama Tante Mayang lagi." Jawab Amira dengan ekspresi ketakutan.

"Kenapa Amira baru bilang sama Bunda sekarang sayang? Kenapa enggak bilang dari 3 hari yang lalu?" Tanya Jia dengan penuh kelembutan.

Amira menggelengkan kepalanya.

"Amira gak dibolehin cerita sama Tante Mayang, kalau Amira cerita, Tante Mayang akan menyakiti Bunda dan akan mengusir Bunda dari rumah ini. Jadi Amira takut mau cerita sama Bunda." Jawaban Amira membuat Jia memejamkan matanya dan menghela nafas.

Jia harus menahan amarahnya di depan Amira, dia tidak ingin anaknya trauma karna ketakutan.

"Sayang 3 hari yang lalu, bukannya itu hari Minggu?" Tanya Jia yang langsung di angguki oleh Amira.

"Bukankah waktu Bunda tinggal keluar, Amira di rumah di jaga sama Ayah?. Memangnya Ayah gak tahu kejadian ini sayang?" Tanya Jia penasaran.

Memang pasalnya 3 hari yang lalu bertepatan dengan hari Minggu dimana Rangga, Rendi dan Litta pasti ada di rumah karena libur dari kegiatan mereka.

Tunggu-tunggu, Jia baru saja teringat kalau sewaktu dia berada di rumah Bibinya. Tiba-tiba ia di telepon Rangga dan di suruh untuk segera pulang.

Tetapi sesampainya di rumah dia melihat jika satu keluarga itu sudah bersiap untuk berangkat liburan ke pantai tanpa ada niat mengajak dirinya dan Amira.

Apa karena kejadian itu membuat Azura menangis, sehingga mereka membawa Azura liburan dan meninggalkan Amira sendirian di rumah.

Diam-diam Jia mengepalkan tangannya. Sial!! dia baru ingat kejadian itu. Jia kini semakin dendam terhadap keluarga suami biadabnya ini.

"Ternyata selain meninggalkan anakku liburan, kalian juga melakukan kekerasan terhadap anak ku. Dan dengan teganya kamu hanya diam saja Mas, padahal Amira anak kandungmu. Tapi Azura yang kamu perlakukan seperti anak kamu. Cukup aku diam selama ini. Setelah ini, maaf aku tidak akan tinggal diam lagi. Kita buktikan aku atau kamu yang akan mendapat kebahagiaan." Batin Jia seraya mengusap helai rambut Amira dengan lembut.

********

********

Eps 3

Hari sudah sore. Jam menunjukan jam pulang untuk karyawan. Rangga membereskan berkas kerjanya dan dia dengan cepat menuju parkiran motor.

Hari ini jalanan tidak bergitu ramai sehingga membuat Rangga tidak terlalu lama untuk menempuh perjalanan pulang.

Sesampainya di rumah. Rangga segera pergi ke dapur, dia menahan lapar sedari jam makan siang. Dia tidak ingin membeli makan siang di kantin kantornya karna berfikiran bahwa Jia akan memasak di rumah.

Tetapi dugaan dia salah. Setelah sampai di dapur dia membuka tudung makanan di atas meja makan. Dia kaget karena hanya ada nasi putih itu pun sudah tidak hangat lagi.

Segera dia berjalan keluar menemui Mamanya yang sedang duduk bersantai di teras bersama Mayang menantu kesayangannya.

"Ma, belum memasak juga ya?" Tanya Rangga ketika sampai di hadapan Bu Arum.

Bu Arum menoleh ke arah Rangga, dia mengerutkan keningnya menatap heran ke arah Rangga.

"Bukannya biasanya istrimu yang memasak Ga?" Bukannya menjawab Bu Arum malah bertanya balik pada Rangga.

"Tapi tidak ada makanan sama sekali, yang ada hanya nasi putih itu pun sudah tidak hangat lagi." Ucap Rangga.

"Suruh saja Jia masak. Dan jangan lupa suruh dia untuk segera belanja keperluan dan membayar tagihan listrik." Jawab Bu Arum santai.

Tanpa memikirkan ucapan sang Mama Rangga segera melangkah pergi menuju kamar Amira.

“Kamu belum masak?” Tanya Rangga tanpa basa-basi pada Jia.

Jia menoleh ke arah Rangga, lalu dia berdiri dan berjalan keluar. Dengan segera dia menutup pintu kamar Amira.

"Kenapa emangnya?" Tanya Jia dengan singkat.

"Kamu kenapa sih? Bukannya itu tugas kamu untuk memasak? Kenapa hari ini tidak memasak. Bahkan untuk membereskan rumah saja kamu tidak." Ucap Rangga dengan nada tinggi

"Mama mu belum bilang sama kamu? Ada uang ada makanan. Kalau aku tidak di beri uang, maka jangan berharap aku akan masak untuk kalian." Jawab Jia tak mau kalah.

"Alesan saja kamu." Jawab Rangga menahan amarahnya agar tidak memuncak.

"Mas, selama kita menikah pernah kamu memberi ku uang? Semua uang kamu, kamu berikan sama Mama kamu. Aku tidak mendapat jatah nafkah sepeser pun. Bahkan anak mu sendiri tidak kau beri nafkah." Ucap Jia tetap tidak mau kalah.

"Gak usah bahas tentang itu. Sekarang segera pergi ke dapur dan masak untuk keluarga ku. Jangan lupa kamu bayar tagihan listrik bulan ini." Ucap Rangga seenaknya.

Jia menatap heran kearah Rangga. Segampang itu Rangga bicara!!

"Kamu seharusnya bicara seperti itu sama Mama kamu. Bukan sama aku." Jawab Jia penuh penekanan.

"Bukankah selama ini sudah menjadi tanggung jawab mu?" Tanya Bu Arum yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. "Kenapa sekarang kamu protes? Ingat Jia kamu hanya wanita miskin harusnya tahu diri jika kamu menikah dengan putra ku yang seorang karyawan di sebuah perusahaan besar." Lanjut Bu Arum lagi.

"Cukup selama 5 tahun ini aku bertahan dengan tindakan kalian. Semua keperluan rumah aku yang tanggung dengan uang ku sendiri. Kalau kamu berkata, Mama kamu yang mengatur keuangan dan kebutuhan rumah lalu dia akan memberi ku uang ketika aku membutuhkannya itu hanya omong kosong." Ucap Jia sambil menunjuk ke arah Rangga.

"Dan Ma sekali lagi maaf. Aku tetap dengan pendirian ku, aku tidak akan masak untuk kalian atau bahkan membereskan rumah lagi. Aku muak ." Ucap Jia yang kini menatap ke arah Bu Arum.

Plakkk...

"Berani kamu biacara seperti itu sama Mamaku?" Ucap Rangga setelah menampar pipi kiri Jia.

"Kenapa sekarang kamu membantah ucapan ku? Kamu istri ku seharusnya kamu mengikuti apa yang aku ucapkan, bukan malah membantah dan berkata tidak sopan terhadap Mama ku." Lanjutnya.

"Justru karna aku istrimu seharusnya uang nafkah mu jatuh ke aku. Bukan ke Mama kamu." Ucap Jia menantang.

Rangga dan Jia sama-sama diselimuti emosi. Mereka berdua kini saling memandang dengan tatapan tajam satu sama lain.

"Ada apa ini?" Tanya Rendi yang baru saja sampai di rumah.

"Ini Mas, Jia sudah tidak mau memasak lagi untuk keluarga kita." Ucap Mayang mengompori suaminya.

“Kenapa kamu tidak mau memasak Jia?” Tanya Rendi pada Jia.

"Mana uang belanjanya, Mas. Mas Rendi kasih aku uang untuk belanja maka akan aku masak untuk satu keluarga. Atau suruh Mbak Mayang saja yang belanja nanti biar aku masak." Jawab Jia sembari menyodorkan tangannya meminta uang pada Rendi.

"Berani sekali kamu minta uang sama suami ku. Kamu kan juga punya suami sendiri." Ucap Mayang menepis tangan Jia.

"Yasudah silahkan lanjutkan rasa lapar kalian." Jawab Jia santai.

"Bukannya selama ini kamu yang belanja?" Tanya Rendi tak kalah santai.

"Lalu?" Jawab Jia singkat.

"Ya kamu belanja sana. Pakai uang mu sendiri seperti biasanya." Jawab Rendi dengan entengnya.

Jia menganggukan kepalanya sembari melangkah berjalan keluar.

Semua melongo melihat tingkah laku Jia yang seakan-akan menurut pada Rendi.

"Tahu gitu dari tadi Rendi saja yang menyuruh Jia. Jadi kita tidak akan menahan rasa lapar dari tadi." Ucap Bu Arum yang diangguki oleh Mayang.

Setelah sampai teras ternyata Jia malah duduk di kursi teras sambil menunggu seseorang datang.

Dalam waktu 5 menit akhirnya seorang kurir makanan datang lalu Jia segera menghampiri kurir tersebut.

"Atas nama Mbak Jia ya?" Tanya kurir tersebut.

Jia menganggukkan kepalanya.

"Iya saya Jia. Berapa totalnya mas?" Tanya Jia sembari menerima delivery makanan yang dia pesan.

"32.500 mbak." Jawab Kurir tersebut.

"Nih, kembaliannya ambil saja." Jawab Jia memberi uang sebanyak 3 5.000 pada kurir tersebut.

"Terima kasih banyak ya Mbak." Ucap kurir tersebut sebelum pergi.

"Iya sama-sama mas." Jawab Jia dan langsung melenggang masuk ke dalam rumah.

"Wahh kamu beli makanan Jia? Jadi alasan kamu tidak masak itu karna ingin memesan makanan? Kalau gitu ayo kita makan bersama." Ucap Rangga yang di angguki oleh Bu Arum, Mayang dan Rendi.

Jia menatap heran kearah mereka.

"Aku emang gak memasak, dan aku juga emang beli makanan. Tapi aku bukan beli untuk kalian. Aku hanya beli 2 bungkus dan hanya cukup untuk aku dan Amira." Jawab Jia seadanya.

"Hah? Cuma 2 bungkus. Kamu lupa jika di rumah ini ada 7 orang?" Tanya Rangga.

"Aku ngga lupa kok, tapi uang ku cukupnya hanya untuk beli 2 saja. Gimana dong?" Jawab Jia tanpa rasa bersalah.

"Ya sudah kalau gitu biar aku saja yang makan. Aku sudah lapar, belum makan dari tadi siang." Ucap Rangga dengan pedenya.

“Buat kamu mas?” Tanya Jia heran, namun tetap di angguki oleh Rangga.

Jia tersenyum ketika melihat anggukan kepala Rangga.

"Tapi sayangnya cacing di perutku dan Amira lebih penting dari pada memikirkan penyakit magh kamu Mas." Jawaban Jia membuat semuanya kaget.

Saat Jia akan melangkah menuju kamar Amira. Tiba-tiba saja tangannya di cekal oleh Rangga.

"Berani sekali kamu bicara seperti itu padaku." Ucap Rangga dengan penuh tekanan dan mata melotot.

Jia menghempaskan tangannya yang digenggam oleh Rangga.

"Kenapa aku harus takut, cukup selama ini aku diam. Dan sekarang aku tidak akan tinggal diam lagi. Uang makan, uang listrik, uang air semua aku yang tanggung. Tapi apa ada kata terima kasih dari keluarga mu terhadap ku? Tidak sama sekali. Dan puncaknya kamu dengan gampangnya menganak tirikan anak mu sendiri Mas. Kamu lebih memilih Azura yang jelas-jelas mempunyai orang tua yang bekerja dengan gaji yang lebih besar dari pada kamu. Harusnya itu kamu mikir " Jawab Jia dengan lantang.

Tanpa menunggu jawaban dari Rangga, Jia segera melangkah menuju ke kamar sang anak dari pada harus berdebat lagi nantinya.

Rangga sempat tertegun dan terdiam ketika mendengar ucapan Jia.

"Gak usah di dengerin, Ga. Mungkin itu hanya emosi Jia sesaat saja." Ucap Rendi yang berusaha menenangkan pikiran Rangga.

"Iya Mas." Jawab Rangga singkat.

"Bodoh sekali anak sendiri di telantarkan sedangkan anak orang lain di manjakan. Tapi, tidak apa-apa lanjutkan saja peran mu sebagai Om yang baik hati Rangga." Batin Rendi yang berusaha menahan senyum agar tidak terlihat mencurigakan di depan keluarganya.

*******

*******

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!