...Cerita ini Sekuel dari "Turun Ranjang"...
...Selamat membaca cerita ...
...Rendra dan Dina.....
...________#HAPPY READING#_______...
...°°°...
Muhammad Rendra Prasetya atau hangat di sapa Rendra adalah lelaki asal Bandung yang kini sudah hampir memasuki usia 30 tahun. Di usia kepala tiganya, Rendra justru terlihat lebih muda karena wajahnya yang bias dibilang babyface di tambah senyumnya yang manis dan juga kumis tipis yang ia biarkan tumbuh di wajahnya.
Rendra adalah lelaki cerdas yang memiliki segudang prestasi saat sekolah dulu, tak jarang dengan wajah manisnya ia selalu mendapat banyak pujian dan mampu memikat para kaun hawa.
Saat ini dirinya bekerja di salah satu perusahaan yang baru ia bangun beberapa tahun terakhir ini, ia juga membantu mengurus salah satu bisnis milik keluarga yang baru ia pegang 2 tahun belakangan ini. Selain itu, ia juga seorang Dosen di salah satu Universitas Negeri di Bandung.
Selama ini Rendra sangat dekat dengan dua sahabatnya yakni Dimas dan Gilang yang sudah bersamanya sejak sekolah menengah pertama. Namun meski begitu, taka da yang tahu apa yang sudah terjadi dan dialami Rendra selama ini termasuk dua sahabatnya itu.
"Halo Ren, bisa jemput Dina ke kampus?" tanya Dimas di balik telpon.
"Bisa-bisa, jam berapa?" ucap Rendra semangat.
"Lima belas menitan lagi kelasnya kelar."
"Oke gue otw sekarang!"
"Thanks Ren, Sorry ngerepotin."
"Buat Dina, apa sih yang enggak."
Dimas langsung mematikan sambungan telepon sebelum Rendra kembali meminta restu darinya.
"Si Dimas, kapan sih dia serius nanggapin perasaan gue ke adeknya!" ucap Rendra sambil membereskan berkas-berkas yang baru saja ia periksa.
...***...
Dengan jaket hoodie dan celana chino abu, Rendra membuka helmnya dan menunggu di parkiran kampus yang cukup terkenal itu. Sambil menunggu kelas Dina bubar, ia merapihkan rambutnya di spion motor sambil bersiul dengan santainya.
Sudah sepuluh menit belum ada tanda-tanda kelas Dina bubar, cacing di perut Rendra sudah berdemo untuk diberi makan. Rendra memilih menaruh helmnya dan berjalan ke arah gerobak baso tahu yang mangkal di dekat gerbang.
Dengan penuh perasaan Rendra menikmati pesanannya, hingga tersadar beberapa mahasiswa yang tampaknya satu jurusan dengan Dina berhamburan keluar kampus.
Rendra langsung berdiri dengan mulut yang masih penuh dan tangan yang memegang piring ia mengintip ke arah belakang tempat motornya parkir dan benar saja rupanya Dina sudah berdiri dengan tangan terlipat.
"Mang ini uangnya, kembaliannya ambil aja," ucap Rendra menyodorkan uang sepuluh ribu.
Rendra memilih berjalan menemui Dina yang tampak kesal menunggunya.
"Eh Mas tunggu!" teriak tukang baso tahu membuat Rendra berhenti dan menoleh.
"Udah Mang, kembaliannya ambil aja enggak apa-apa saya ikhlas," ucap Rendra.
"Bukan gitu, Ini uangnya kurang lima ribu Mas."
"Seporsi lima belas rebu Mang?"
"Satu porsi sepuluh ribu, tapi kan tadi Mas nambah lagi tahu sama siomay."
Rendra menyengir sambil merogoh sakunya dan memberikan uang lima ribu yang sudah terlipat-lipat di sakunya, sepertinya uangnya sudah terbawa di cuci beberapa hari lalu.
"Ini Mang, punteun nya nggak ada lebihnya uangnya pas," ucap Rendra menyengir kuda.
Mang tukang baso tahu hanya tersenyum menerima uang Rendra yang hampir lecek, beberapa mahasiswi yang tengah berjalan tertawa bersama teman-temannya melihat Rendra yang kini menahan malu sambil berjalan menemui Dina.
"A'Rendra ke mana aja sih?" omel Dina yang kesal.
"Maaf, tadi amunisi dulu," ucap Rendra memberikan helm untuk Dina.
Dina menerima helm dari Rendra dan memasangkan sambil menatap ke arah gerbang matanya tertuju pada lelaki berjas Almamater berkaca mata bulat yang sedang bebincang dengan temannya.
"Woy, mau balik kagak? Malah melamun!" ucap Rendra.
Dina yang tersadar dengan teguran Rendra langsung menengok dan membalikan badannya kemudian menaiki motor N-Max milik Rendra.
Baru saja Dina menaiki motor, suara sendawa dari Rendra terdengar keras di telinga Dina dan membuat gadis itu menepuk punggung Rendra karena kelakuan sahabat kakaknya yang tidak pernah berubah.
"Ih A'Rendra mah jorok!" tegur Dina.
"Namanya juga kekenyangan pasti sendawa," ucapnya cuek dan melajukan motornya.
...***...
Dimas dan Gilang tengah duduk di teras rumah sambil menikmati kopi yang baru saja di buat Anin istri Dimas. Dua sahabatnya itu kini sudah menikah, hanya tinggal Rendra sendiri yang masih membujang sampai saat ini.
Ketiganya memang masih sering berkumpul, entah untuk urusan pribadi atau mengisi waktu kosong, bahkan tak jarang Gilang dan Dimas membawa anak mereka pula.
Motor Rendra sudah masuk gerbang dan di parkir di garasi. Dina turun dari motor memberikan helmnya pada Rendra, tak lupa ia juga mengucapkan terimakasih karena sudah di jemput.
"Assalammualaikum," ucap Dina menyalami Gilang dan Dimas di teras.
"Waalaikumsalam," jawab Dimas dan Gilang bersamaan.
"Eh si Gilang sama Dimas di salamin kenapa Aa Rendra enggak tadi?" tanya Rendra yang menghampiri mereka.
"A'Rendra mah bosen tiap hari ketemu!" ucap Dina yang lalu masuk ke dalam.
"Eh itu cewek udah di antar pulang malah bilang bosen, untung gue sayang," ucapnya duduk di kursi.
"Apa tadi lo bilang?" ucap Dimas tengah memegang pisau.
"Maksudnya untung gue baek," jawab Rendra takut melihat pisau di tangan Dimas.
Dimas mengangguk dan mengambil buah mangga yang akan di kupas, sedangkan Gilang hanya tertawa melihat ketakutan Rendra pada Dimas setiap kali bersangkutan dengan Dina.
"Mangga dari mana?" tanya Rendra.
"Dari pohon."
"Ya gue tahu buah mangga dari pohon masa turun dari langit," ucap Rendra kesal.
"Ya itu lo tahu, ngapain nanya?" ucap Gilang.
"Ini lho berdua ada masalah apa sih sama gue? kayaknya tuh punya dendam sama gue, heran gue teh," ucap Rendra meneguk kopi Gilang.
"Nah ini nih yang bikin kita dendam, itu kopi punya gue main sosor aja!" kesal Gilang.
"Nyobain doang kali, lagian kalian tahu gue datang bukan di buatin kopi juga,"
"Minta gih sama Dina, ke dalam," ujar Dimas.
"Ya udah gue ke dalam dulu," ucapnya berdiri.
"Eh tunggu, sekalian bawain ulekan gue lupa bawa," ucap Dimas.
"Oke."
"Eh tunggu!" ucap Dimas kembali.
"Ape lagi Dim?"
"Sekalian bawa talenan sama piring," ucap Dimas.
"Itu aja? Ada lagi?"
"Nggak ada."
Rendra mengangguk dan berjalan ke dalam. Namun baru dua langkah masuk ke dalam rumah, Dimas kembali memanggilnya dan dengan kesal ia membalikan badannya mengintip di balik pintu.
"Apalagi sih?" ucapnya kesal.
"Ehh jangan marah-marah dong!" ucap Gilang.
Rendra menarik nafasnya kemudian tersenyum manis pada Dimas yang masih mengupas mangga.
"Ada apalagi abang ganteng? Adek Rendra siap membantu," ucap Rendra sambil tersenyum manis.
Tiba-tiba saja kulit mangga mendarat di mukanya, siapa lagi kalau bukan ulah Dimas yang kesal dengan tingkah Rendra.
"Ada apalagi sih Dim?" tanya Rendra kesal.
"Jangan genit-genit sama Dina dan ingat jarak!" ucap Dimas.
Rendra melongo sambil mengedipkan matanya berulang-ulang, yang benar saja Dimas padahal tadi dia menyuruh dirinya menjemput Dina ke kampus dan sekarang disuruh untuk menjaga jarak dengan gadis itu. Dasar calon kakak ipar yang aneh!
"Baik kakak, saya laksanakan," ucap Rendra sambil menahan kesalnya masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah terlihat sepi, Rendra berteriak memanggil Dina namun tampaknya gadis cantik itu tidak mendengarnya. Wajar saja kamarnya berada di atas sedangkan dapurnya berada di bawah.
Rendra memilih langsung ke dapur dan membuat kopi untuknya.
"Ngapain di sini A?" tanya Dina.
"Mau bikin kopi, kamu di panggil nggak nyaut-nyaut," ucap Rendra mengaduk kopinya.
"Ya udah sini sama Dina," ucapnya.
"Nggak usah, kamu bawain ulekan aja tadi Dimas suruh."
"Ulekan kan berat A, Dina nggak kuat bawanya apalagi bawa keluar." keluh Dina.
"Eh iya, yaudah biar sama Aa aja kamu nggak akan kuat, ulekan terlalu berat nanti tangan mulus kamu terluka," ucap Rendra mengambil ulekan.
Dina hanya tertawa mendengar ucapan Rendra, entah mengapa lelaki dihadapannya ini selalu bisa membuatnya tertawa, hidupnya sepertinya ringan-ringan saja.
"Kamu bawain kopi Aa ya ke depan." Kata Rendra yang diangguki Dina.
"Nih ulekannya mas Dimas," ledek Rendra.
"Thanks."
"Mas Dimas mau bikin apa?" tanya Dina.
"Mau ngerujak, tadi istri Gilang beli mangga muda kebanyakan jadi di bawa ke sini aja," jawab Gilang.
"Oh gitu, eh A'Gilang gimana motor Dina? udah beres di service?" tanya Dina.
"Masih ada barang yang harus di pesan dulu, tadi karyawan Aa udah disuruh buat beli, paling tiga harian lagi baru selesai, soalnya banyak yang service juga," jawab Gilang.
"Yah nggak bisa cepat ya A? Soalnya susah kalau ke kampus nggak naik motor."
"Ya habis gimana, motornya banyak yang harus diganti, lagian kan kamu di antar Dimas dan di jemput Rendra."
"Iya tapi nggak bisa mampir ke mana-mana."
"Kalau mau mampir kemana-mana gapapa, A'Rendra antar," ucapnya sambil memakan potongan buah mangga.
"Nggak mau ah, nanti banyak gosip beredar, dikira Dina pacaran sama om-om," ucap Dina berlalu pergi ke dalam.
Gilang dan Dimas hanya tertawa dengan ucapan Dina pada Rendra.
Entah mengapa Dina selalu terlihat sensi pada Rendra seorang, sedangkan pada Dimas dan Gilang ia lebih sopan. Mungkin karena sifat Rendra yang selalu menggodanya membuat Dina menjadi sedikit kesal.
"Udah gue bilang, lo itu nggak pantes sama Dina, itu lo denger sendiri kan jawabannya?" ucap Dimas masih tertawa.
"Si Dina mah dia gengsi padahal hatinya udah ke pincut juga," ucap Rendra dengan percaya diri.
"Idih coba buktikan ilmu klepek-klepek lo itu mempan kagak?" tantang Gilang.
"Oke, gue bakal buktikan kalau si Dina jatuh cinta sama gue nanti, Dimas jangan halangin hubungan kita!"
"Ngarep aja terus, udah ditolak sama yang bersangkutan juga," ucap Dimas sambil menggelengkan kepalanya.
Sedangkan Rendra mengesap kopinya sambil mulai berpikir bagaimana membuat Dina jatuh hati padanya meskipun kemungkinannya memang tak mungkin terlebih jarak umur diantara mereka dan juga karena hubungan persahabatan antara dirinya dan Dimas.
...°°°...
Catatan : "Cerita ini adalah sequel dari "Turun Ranjang" novel pertama Author. Novel "Bukan Salah Jodoh" pertama kali di upload 10 Juni 2020 lalu di Wat**pd*. Di tahun* 2021 sudah pernah terbit di novelkan dan April 2024* karena kontrak sudah berakhir, jadi Author upload seluruh cerita di Noveltoon agar bisa di baca ulang dan gratis**."
...Terimakasih yang sudah membaca karya saya. ...
...Jangan lupa vote dan komentarnya yaa...
...^_^...
Pramudina Azzahra atau sering di panggil Dina adalah gadis cantik berhijab yang tinggal beberapa minggu lagi menginjak usia 22 tahun. Ia berkuliah di salah satu universitas ternama dan mengambil jurusan perawat sesuai keinginannya sejak lama.Dan beberapa bulan lagi ia akan mendapat gelar AMd.Kep di belakang namanya, sebuah gelar yang akan mengubah hidupnya akan di mulai.
Sudah hampir seminggu motor matic kesayangannya di bawa ke bengkel milik Gilang sahabat kakaknya. Padahal sebelumnya motor yang ia beri nama "Cimot" itu baik-baik saja namun setelah menebus jalanan saat hujan besar motornya mogok di jalan dan membuatnya harus di rawat di bengkel Gilang.
"Mas Dimas, ayo berangkat nanti Dina telat," ucap Dina.
Keluarga Dina berasal dari Jogja, ia adalah anak ketiga dari 3 bersaudara dan dia satu-satunya anak perempuan. Kakak pertamanya bernama Arya, sudah menikah dan tinggal di Bogor sedangkan kakak keduanya Dimas dan kini ia tinggal dengannya. Keluarganya saat itu memutuskan tinggal di Bandung setelah Papahnya yang seorang polisi dipindah tugaskan dan sejak saat itu mereka semua pindah dan memilih menetap di Bandung meskipun Papahnya sudah pensiun.
"Sebentar, makanan Mas belum habis dikit lagi, nanti mubazir," ucap Dimas sambil mengunyah sarapannya.
"Mas sih nggak ajarin Dina bawa mobil, jadikan susah kalau motornya di bengkel!" kesalnya.
"Ya udah nanti belajar sama Teteh aja," ucap Anin yang baru datang bersama kedua anaknya.
"Nggak ada! ya kali kamu ajarin Dina nanti siapa yang jaga Afifa sama Daffa?" protes Dimas.
"Mas Dimas!" ucap Dina dan Anin serentak.
"Enggak, pokoknya nggak boleh kalau kamu mau berangkat kan ada motor Mas, pake aja!" tawar Dimas.
"Mana bisa Dina bawa motor CBR Mas, yang ada bukan sampai kampus malah masuk rumah sakit," ucap Dina mengerucutkan bibirnya.
Dimas dan Anin hanya tertawa mendengar kekesalan Dina, memang sejak motornya di bengkel ia selalu di antar Dimas berangkat kuliah, sedangkan saat pulang biasanya akan di jemput Rendra jika Dimas tengah sibuk.
Dina memilih untuk duduk bersandar di sofa menunggu Dimas selesai menghabiskan sarapannya, sedangkan Anin yang baru saja selesai memandikan kedua anaknya memilih pergi ke ruang bermain di dekat kamar tamu.
"Assalamualaikum," teriak seseorang masuk.
"Waalaikumsalam, A'Rendra ngapain ke sini?" tanya Dina yang terkejut dengan kedatangan Rendra.
Rendra yang baru saja masuk menengok terkejut ke arah Dina yang tengah duduk di sofa dan memandangnya dengan sedikit jutek.
"Suka-suka dong!" ucap Rendra yang langsung menemui Dimas di meja makan.
"Sepatunya di buka dong Aa!" teriak Dina.
"Eh ini sepatunya baru beli kemarin, masih suci," jawab Rendra menunjuk sepatu kulitnya yang mengkilat.
"Tapi kan udah nginjek tanah tadi, di rumah ini harus steril apalagi ada anak kecil!" ucap Dina yang kini berdiri.
"Dina sayang, ini sepatu Aa Rendra baru di pake barusan belum nyentuh tanah, kamu lupa ya rumah Aa tuh sepanjang jalan pake karpet merah?"
"Nggak usah ngada-ngada!" ucap Dina tak terima.
"Dina kamu lupa ya, calon suami masa depan kamu ini anak sultan, kekayaannya nggak bakal habis tujuh turunan, Raffi Ahmad aja kalah!" ucap Rendra dengan sombongnya.
"Idih siapa yang mau jadi istri A'Rendra, Dina mah enggak mau sama om-om!"
"Dim, adek lo tuh masa bilang gue om-om. Lo lihat dong penampilan gue udah mirip Lee Min Ho," ucapnya sambil melipat lengan bajunya.
"Ren, emang lo udah om-om terima nasib aja," ucap Dimas berdiri menaruh piring.
"Kakak sama Adek emang sama-sama Dzolim!" ucap Rendra kesal.
"Lo mau ngapain ke sini pagi-pagi? Bukannya lo mau ngajar?" tanya Dimas mengelap tangannya dengan tisu.
"Nah kan gue lupa, gue ada janji sama Anin, mana dia?" tanya Rendra.
"Lo ngapain janjian sama Anin? Jangan bilang lo mau jadi pembinor!" ucap Dimas.
"Ya Allah suudzon aja lo mah, udah panggilin Anin biar jelas semuanya."
Dengan terpaksa Dina yang sedikit kesal pada Rendra, memanggil kakak iparnya, sedangkan Dimas dan Rendra memilih duduk di sofa menunggu Anin.
"Ada apa A'Rendra?" tanya Anin binggung.
"Mau ngambil rancangan, katanya udah selesai?"
"Eh iya udah, bentar Anin ambil di kamar," ucapnya.
Isri Dimas dulu berkuliah jurusan Arsitektur, ia juga pernah bekerja diperusahaan di Jogja. Namun setelah menikah dengan Dimas ia memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Dan saat ini Rendra meminta bantuan untuk membuat rancangan padanya.
"Rencangan buat apa?" tanya Dimas.
"Hotel di Jakarta mau gue renovasi sedikit," jawab Rendra merapihkan lengan kemejanya.
"Lo beneran ngambil alih hotel di Jakarta?" tanya Dimas serius.
"Ya gimana lagi bokap sakit, nggak ada yang urus, dan cuma gue anak cowok satu-satunya dari istrinya yang sah," ucap Rendra serius.
Belum sempat Dimas menjawab, Anin sudah datang membawa hasil rancangannya yang sudah ia gulung dan memberikannya pada Rendra.
"Oke deh, uangnya udah gue transfer ya," ucap Rendra.
"Udah di cek, tapi kebanyakan A, Anin kan cuman desain aja nggak sama bikin maket."
"Gapapa soalnya kartu ATM gue mau meledak saldonya udah kebanyakan," ucap Rendra.
"Bener-bener sombong lo!" ledek Dimas.
"Udah lah gue balik dulu ya, buru-buru mau langsung ke Jakarta."
"Lo berapa hari di sana?" tanya Dimas.
"Semingguan gue langsung balik, nggak betah juga gue di sana," ucap Rendra kemudian mengambil kunci mobilnya dan pamit.
Dina yang mendengar suara Rendra yang pamit langsung menemui Anin dan Dimas sambil mengendong Afifa anak mereka. Sedari tadi ia mendengar ucapan dari kakaknya dan Rendra yang membuatnya sedikit penasaran.
"A'Rendra udah pulang?" tanya Dina.
"Udah barusan." jawab Dimas.
"Tadi kalau Dina gak salah denger, A'Rendra bilang dia anak cowok satu-satunya dari istrinya yang sah, maksudnya Papah A'Rendra punya istri lain?" tanya Dina penasaran.
"Ceritanya panjang, ayo berangkat keburu siang," ucap Dimas.
Dina mengangguk dan langsung pamit pada Anin yang masih berada di ruang tamu, meskipun ia masih penasaran dengan ucapan Rendra tadi, karena selama ini ia tidak pernah tahu tentang kehidupan pribadi sahabat baik kakaknya itu, namun ia tak mau ambil pusing untuk memikirkannya.
...***...
Setibanya di kampus, Dina turun dari motor Dimas dan menyalaminya. Ia memilih langsung masuk ke ruang kelasnya. Namun baru saja hendak masuk ke kelas, ia melihat lelaki berkacamata bulat yang kemarin ia lihat di depan gerbang saat pulang bersama Rendra.
Lelaki berparas tampan, tinggi dan gagah itu adalah salah satu mahasiswa jurusan kedokteran tingkat Akhir. Lelaki itu bernama Riko, dia sangat populer di kalangan Mahasiswi karena ketampanan dan nilai akademiknya yang tinggi. Ia juga sangat memikat termasuk Dina yang diam-diam kagum dengan paras dan keramahannya.
"Maaf kamu mahasiswi jurusan perawat?" tanya seorang lelaki menghampiri Dina.
"Iya ada apa?" tanya Dina bingung.
"Saya Fikri, salah satu mahasiswa kedokteran, boleh ikut saya sebentar untuk kumpul di Aula?" tanyanya.
Dina berpikir sejenak sebelum akhirnya Ghea teman kampusnya menariknya berjalan ke arah aula bersama Fikri.
Dina masuk ke dalam Aula bersama Fikri yang menghampiri temannya yang sedang berjalan ke depan Aula. Suasana di Aula tidak begitu ramai sekitar dua puluh orang berada di sana.
"Eh itu kan kak Riko?" ucap Ghea.
Riko berdiri di depan sambil tersenyum, ia membenarkan kacamatanya kemudian membuka suara.
"Baik teman-teman sekalian, berhubung sudah berkumpul saya akan memberitahukan maksud dan tujuan kalian berkumpul di sini," ucapnya membuka suara.
"Rencananya kampus kita akan mengadakan penyuluhan kesehatan di desa, jadi kami mengajak mahasiswa dan mahasiswi jurusan kedokteran dan perawat tingkat akhir untuk ikut dalam acara ini," ucapnya.
"Penyuluhan?" tanya Gea terkejut.
"Dengerin dulu aja," bisik Dina.
"Nah buat kalian yang sudah berkumpul di sini diharapakan ikut membantu dan berpartisipasi dalam acara ini," lanjut Riko.
Semua mahasiswa dan mahasiswi berbisik-bisik tampaknya mereka menyetujui dengan kegiatan ini, pasalnya memang sudah beberapa kali universitas mereka mengadakan penyuluhan, entah itu di Desa, atau sekolah-sekolah.
"Kamu mau ikut?" tanya Gea.
"Aku gak tahu Desa mana."
"Tenang aja, nggak bakalan jauh banget lagi pula aku kan ikut jadi nggak usah takut, apalagi penyuluhan ini juga buat membantu orang-orang," ucap Ghea.
Dina nampak berpikir sejenak, ia sedikit binggung apakah akan ikut atau mengundurkan diri.
"Kalian isi nama dan nomor ponsel di sini, setelah di isi kasih ke teman sebelahnya," ucap Fikri memberikan kertas beralas papan dada.
Hingga pengisian data sampai di Dina ia terdiam, binggung apakah harus menanyakan dulu pada orang tuanya atau bagaimana? Ia masih memainkan pulpen di tangannya karena masih ada keraguan.
"Nggak usah ragu, tugas ini anggap aja untuk membantu secara suka rela, dan doakan menjadi ladang pahala." ucap Riko yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.
Sontak Dina yang terkejut menoleh, wajah tampan Riko sedang menatapnya sambil tersenyum membuat dirinya sedikit gugup, Dina tersenyum canggung kemudian menunduk, tinggal dirinya yang belum mengisi data.
"Tenang aja, ada pihak kampus yang akan ikut juga, nggak perlu khawatir saya juga sudah pernah ke sana dan desanya aman," ucapnya kembali.
Sepertinya Riko sudah tahu apa yang ada di pikiran Dina, dan Dina makin merasa canggung karena Riko masih menatapnya untuk meyakinkan.
Dengan sedikit ragu Dina menuliskan nama dan nomor ponselnya yang kemudian ia berikan pada Riko.
"Pramudina Azzahra, oke terimakasih," ucapnya setelah membaca namanya.
Riko tersenyum sambil berjalan kembali ke depan dan memberikan datanya pada Fikri.
"Ciye sampai di datangi kak Riko," goda Gea.
"Itss apa sih," ucap Dina dengan wajah memerah menahan malu.
"Pipinya merah merona gitu," ledek Gea tertawa.
Dina menempelkan kedua tangannya di pipi, ia memang malu sejak Riko menghampirinya. Ini bukan kali pertama ia melihat wajah Riko dengan dekat, sudah beberapa kali ia dan Riko pernah berbicara meskipun hanya urusan kampus dan baru kali ini Riko mengetahui namanya.
Dan tentu saja hatinya berbunga-bunga karena sudah sejak awal ia kuliah di sini ia sudah mengagumi Riko yang sangat populer di kampusnya dan hari ini ia juga dihampiri langsung olehnya.
"Baiklah kalau begitu, semua data sudah di isi, kita akan mulai kegiatannya lusa, untuk info lebih lanjutnya akan saya hubungi lewat nomor telepon," ucap Riko menutup pertemuan mereka.
Dina berdiri bersama Ghea dan keluar dari Aula, mereka mendapat informasi bahwa tidak ada kelas hari ini.
Dina sempat kecewa karena sudah datang pagi-pagi memaksa Dimas mengantarnya dan ternyata kelasnya kosong karena dosen bimbingannya berhalangan hadir.
Gea lebih memilih untuk pulang lebih dulu, sedangkan Dina memilih untuk ke perpustakaan sambil mengembalikan buku yang ia pinjam beberapa hari lalu. Namun baru saja sampai di depan perpustakaan, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Dina!" teriak seseorang memanggilnya.
Dina menengok ke arah suara yang memanggilnya, ia memutar bola matanya kesal, seharusnya ia berjalan lebih cepat tadi supaya jejaknya tidak terlihat. Dan kini siapa lagi yang bisa menemukan dirinya selain Rendra yang tiba-tiba datang ke kampus dan memanggilnya.
"A'Rendra ngapain ke sini?" tanya Dina.
"Aa mau jemput kamu pulang, kebetulan Aa baru selesai pertemuan sama salah satu dosen di sini."
"Bukannya Aa mau ke Jakarta, kok bisa di sini?"
"Kok kamu tahu sih? Wah jangan-jangan suka ngepoin ya?"
"Ih, kan tadi Dina denger obrolan Aa sama mas Dimas!" ucapnya.
"Nanti sore mau ke Jakarta, dan berhubungan masih ada waktu mending kita jalan-jalan dulu takutnya kamu kangen sama Aa ganteng soalnya seminggu nggak ada di Bandung." ucap Rendra.
"Kepedean banget, Dina mah malah seneng kalau A'Rendra ke Jakarta nggak ada yang ganggu lagi!" ucapnya memasukan buku ke dalam tasnya.
Baru saja hendak menjawab ucapan Dina, tiba-tiba telepon Rendra berbunyi dan ia pun langsung menjawabnya dengan raut wajahnya yang berubah serius ia dan berjalan menjauh dari Dina.
"Udah teleponnya?" tanya Dina.
"Udah, ayo kita pulang kamu nggak ada kelas lagi kan?"
"Iya, tapi Dina mau kembaliin buku dulu," ucapnya.
"Ya sudah Aa tunggu di parkiran jangan lama-lama," ucap Rendra langsung pergi.
Melihat wajah Rendra yang semula ceria dan tiba-tiba setelah menerima telepon wajahnya menjadi muram membuat Dina merasa aneh. Bahkan ia wajahnya tampak memerah seperti menahan amarah. Namun Dina tidak bertanya karena mungkin saja Rendra sedang merasa kesal dengan panggilan tadi.
..."Luka yang ditorehkan akan selalu membekas meskipun sakitnya sudah hilang."...
...-Rendra....
...***...
Rendra dan Dina sudah sampai di salah satu cafe tempat Dina biasa kumpul dengan teman-teman kuliahnya. Tempat paling favoritnya karena biasanya ia akan selalu singgah untuk mengerjakan tugas karena ada wi-fi gratis yang disediakan oleh pemilik untuk pelanggan. Tak salah banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berkunjung ke sini hanya memesan secangkir coffee late saja namun bisa berjam-jam duduk di sana.
"Mau pesen apa?" tanya Rendra.
"Milkshake aja," jawab Dina.
"Nggak mau sama makanannya?"
"Nggak, Dina lagi diet!" ucapnya cuek.
"Diet? Badan udah krempeng gitu. Yang ada nanti kalau jalan ke tiup sama angin langsung nyangsang di pohon!" ucap Rendra.
"Suka-suka Dina!" ucapnya cuek.
"Enggak, pokoknya harus makan juga, dari pagi kamu belum sarapan tadi juga belum ke kantin kan?" ucap Rendra.
Rendra tak mempedulikan Dina yang berusaha menolak untuk memesan makanan, Rendra tetap memesannya dengan porsi yang tidak terlalu banyak.
Hingga pesanan sudah sampai, dengan cepat Dina langsung memakannya tanpa mempedulikan Rendra yang sedang menatapnya sambil memaikan sedotan minumannya.
"Ngapain lihat-lihat?" tanya Dina.
"Yang katanya nggak mau makan lagi diet, belum sepuluh menit udah habis, dasar cewek!" ucap Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya kan udah di pesen kalau nggak di makan mubazir!" jawab Dina membela diri.
"Iya iya neng, tenang aja Aa mah nggak masalah kamu mau makan banyak juga, Aa mah terima neng Dina apa adanya," ucap Rendra.
Dina memutar bola matanya malas dengan ucapan Rendra. Sudah sering ia mendengar gombalan dari lelaki ini hanya saja ia tak pernah menanggapi serius. Lagipula bagi Dina, Rendra adalah kakak ke tiga yang sangat menyayanginya setelah Arya dan Dimas.
"A'Rendra ke Jakarta mau ngapain?" tanya Dina penasaran.
"Mau cari jodoh, habisnya kamu nolak mulu," jawab Rendra.
"A'Rendra serius ih!" ucap Dina kesal.
"Ada urusan bisnis," jawab Rendra.
"Bisnis? Bukannya Aa punya perusahaan di Bandung atau ada kerja sama?" tanya Dina kembali.
"Ngurusin hotel punya Papah."
"Hotel? Papah A'Rendra punya hotel?" tanya Dina kembali.
"Iya, kan Aa sering bilang kalau Aa teh udah terlahir dari keluarga kaya raya nggak bakal habis tujuh turunan juga. Makanya nanti kalau kamu nikah sama Aa nggak bakalan hidup susah tenang aja."
"A'Rendra kenapa sih mau ngajak Dina nikah mulu," ucap Dina.
"Ya gapapa, kamu jomblo saya juga jomblo, kenapa nggak nikah aja?" ucap Rendra.
"Dina itu jomblo fisabilillah," jawab Dina.
"Kalau saya Jomblo terhormat."
"Mana ada jomblo terhomat, kalau udah di putusin ya nggak laku!" jawab Dina.
Rendra hanya diam sambil membuang nafasnya, Dina selalu pandai jika berdebat dengannya. Apalagi ia selalu pandai menjawab apapun. Memang gadis cantik ini sangat luar biasa menguji kesabaran Rendra.
Selesai makan, Rendra mengatar Dina pulang ke rumah. Ia juga tak bisa mengajak gadis itu pergi berkeliling karena ia harus segera bersiap-siap ke Jakarta.
"A'Rendra berapa hari di Jakarta?" tanya Dina turun dari motor.
"Belum pergi udah khawatir, takut rindu ya?" ucapnya melepas helm.
Rendra berjalan mengikuti Dina, namun tiba-tiba teleponnya kembali berdering dan membuat dirinya harus mengangkatnya.
"Hallo, bang Rendra?" ucap seorang wanita.
"Ada apa?" tanya Rendra malas.
"Papah masuk rumah sakit lagi," ucapnya.
Rendra terdiam tanpa menjawab ucapan gadis yang meneleponnya.
"Bang, dari kemarin Papah nanyain Bang Rendra," ucapnya dengan nada khawatir.
Jeda, tidak ada jawaban Rendra.
"Ya sudah kalau gitu, maaf ganggu waktunya, semoga Abang punya waktu untuk nengok Papah." ucap wanita itu mengakhiri teleponnya.
Rendra terdiam sambil memasukan ponselnya ke saku. Panggilan tadi adalah dari adik tirinya yang menetap di Jakarta bersama Papahnya yang kini sedang terbaring sakit tiga bulan belakangan ini.
Rendra memilih untuk pulang, rencananya untuk singgah sebelum keberangkatannya ke Jakarta ia urungkan, ia memilih untuk menemui Mamah dan adik kandungnya di rumah.
"A'Rendra nggak mampir dulu?" tanya Dina yang muncul di balik pintu.
"Mau langsung pulang aja, soalnya mau langsung berangkat." jawab Rendra dengan wajah serius.
"A'Rendra kapan pulang?" tanya Dina khawatir.
"Belum pasti, kayaknya mungkin sedikit lama. Tapi kalau kamu nyuruh pulang nanti Aa langsung pulang," ucap Rendra tersenyum.
Dina menatap Rendra yang tersenyum ke arahnya, dari raut wajahnya tampaknya pria itu tidak baik-baik saja. Dina tak sengaja mendengar percakapan telepon dari Rendra yang cukup terdengar keras, tadinya ia mengira Rendra akan masuk ke rumah tapi ternyata tidak.
"Dina ulang tahu minggu depan, pokoknya a'Rendra harus kasih kado."
"Oke, nanti buat kadonya Aa bawa roti buaya dari Jakarta."
Dina hanya diam sambil menatap wajah Rendra, entah mengapa rasanya sedih Rendra akan pergi ke Jakarta padahal ini bukan kali pertamanya di tinggal Rendra, hanya saja semenjak ia kuliah Rendra lah yang paling dekat dan akrab padanya dan selalu ada untuknya saat Dimas sudah menikah.
"Jangan di anggap serius, Aa nggak bercanda kok," ucap Rendra tersenyum.
"Beneran lama di sana?" tanyanya memastikan.
"Seminggu kalau cukup, tapi kalau masih banyak urusan mungkin agak lama, Nggak usah sedih," ucapnya mengusap kepala Dina yang menggunakan hijab.
Dina hanya diam menatap Rendra, ia masih berharap urusan Rendra cepat selesai sebelum ulang tahunnya dan Rendra bisa dating.
"Nanti Aa kabarin lewat whatsapp aja ya, sekarang harus buru-buru mau siapin barang. Jangan lupa jaga kesehatan jangan makan telat," pamit Rendra.
Dina hanya mengangguk seraya menatap kepergian Rendra. Mungkin seminggu ini suara khas tawa dan tingkah lucu Rendra tidak akan ia dengar, dan ia juga memang teringat tentang penyuluhan yang di adakan kampusnya. Dan kalau pun Rendra tidak ke Jakarta ia tetap tak bisa bertemu Rendra.
...***...
Rendra sampai di rumahnya, dua kancing kemeja atasnya sudah ia buka. Rumah yang tidak terlalu megah adalah tempat yang paling nyaman menurutnya. Hanya ada ia, Mamah dan adik perempuannya yang kini masih SMA.
"Assalammualaikum," ucap Rendra masuk.
"Waalaikumsalam," jawab Mamah.
"Andin udah pulang?"
"Adekmu udah di kamarnya dari tadi."
Rendra mengangguk, ia melepas sepatunya dan duduk bersandar di sofa sambil memejamkan matanya. Mamah ikut duduk di sebelahnya sambil mengusap rambut anak kebangaannya itu.
"Kamu jadi pergi ke Jakarta?" tanya Mamah.
"Iya Mah, Rendra harus renovasi hotel supaya Bapak tua itu senang," ucap Rendra membuka matanya.
"Kapan kamu akan berbaikan dengan Papah?" tanya Mamah.
Rendra hanya diam, tatapannya fokus pada foto keluarga berfigura yang di pajang di ruang tamu itu. Foto dirinya saat di wisuda bersama Mamah dan Andin adik perempuannya.
"Tadi Nadia telepon katanya Papah masuk rumah sakit," ucap Ibu sedikit hati-hati.
Rendra menghela nafasnya, ia hanya mengangguk sambil membuka kancing tangan kemejanya.
"Mamah nggak benci sama Papah, lagipula yang lalu biarlah berlalu, bagaimana pun dia tetap Papah kandung kamu."
"Terus Mamah mau terima Nadia jadi anak Mamah?"
Mamah terdiam sejenak, ia menundukkan wajahnya, Rendra menatap ke arah beliau yang kini meremas sedikit bajunya.
"Mamah jangan maksain diri, Mamah nggak perlu harus terlihat kuat di depan Rendra, sekarang Rendra sudah dewasa," ucapnya kemudian berdiri meninggalkan Mamahnya.
Rendra sebenarnya paling malas untuk membahas masalah Papahnya yang sudah lama bercerai dari Mamahnya, entah memang sudah benar-benar bercerai secara sah atau Papah yang meninggalkan Mamah dan keluarganya.
Rendra berjalan menuju kamar Adik perempuannya yang bernama Andin itu. Ia sangat menyayangi Andin karena sejak ia berumur 4 tahun tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah.
"A'Rendra udah pulang?" ucap Andin tersenyum.
"Iya, Aa mau berangkat ke Jakarta nanti sore," jawab Rendra.
"Berapa lama?" tanya Andin.
"Seminggu langsung pulang, kamu jaga Mamah ya selama Aa nggak ada," ucap Rendra.
"A'Rendra ada urusan apa di Jakarta?"
"Ada acara seminar sama urusan kantor Aa," bohong Rendra.
"Hmm, Andin boleh minta beli handphone lagi nggak?"
"Lho bukannya sebulan lalu baru beli?"
"Iya, tapi layarnya udah retak nggak sengaja jatuh waktu mau ke kantin," ucap Andin.
"Kok bisa sih Dek? Sekolah belum nyampe setahun di SMA, udah tiga kali kamu ganti handphone, bukan Aa pelit, kalau masalah uang mah gampang tapi ini kamu boros sama ponsel."
"Maaf Aa, habis gimana lagi Andinnya yang ceroboh, janji deh nanti nggak akan ceroboh lagi." ucapnya pada Rendra.
"Ya udah nanti sore kamu beli sama Mamah, nanti Aa kasih uangnya, inget kalau sampai rusak lagi sebelum setahun Aa nggak bakal beliin lagi!" ucap Rendra menggoyangkan telunjuknya untuk memperingatinya.
"Siap, makasih Aa tersayang," ucapnya memeluk Rendra.
"Ya udah belajar lagi." Rendra berjalan keluar kamar.
Rendra mengambil koper yang sudah selesai ia siapkan sejak kemarin malam, ia menyeretnya keluar dan pamit pada Mamahnya.
"Rendra pamit dulu, Mamah hati-hati di rumah sama Andin, kalau ada apa-apa telepon Dimas sama Gilang." pamit Rendra.
"Iya, kamu juga hati-hati jaga kesehatan dan makan teratur," ucap Mamah mengusap pipi Rendra.
"Iya Mah, dan tentang Papah, Rendra mohon jangan beritahu Andin."
Mamah mengangguk tersenyum, beliau tahu Rendra tidak mau Adiknya sampai tahu keberadaan Papah kandungnya dan juga tentang kejadian yang sebenarnya terjadi di keluarganya.
Rendra mencium pipi sang Mamah yang paling ia hormati dan sayangi itu. Sejak di tinggal Papahnya, Rendra berubah menjadi sosok dewasa di usianya yang belum cukup dan dia bekerja keras untuk membantu keluarganya. Dan semua kerja kerasnya terbayar dengan prestasinya ia bisa menjadi dosen pembimbing dan mengambil alih perusahaan. Tuhan memang maha Adil.
...°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya...
...Jangan lupa vote & komentarnya yaa...
...^_^...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!