NovelToon NovelToon

Suami Penutup Aib

BAGIAN 1

"Pikirkan baik-baik ya nak, ibu tunggu kabar baiknya"

Pesan itu masuk beberapa saat setelah Ardha menutup panggilan. Seperti tak cukup hanya bicara lewat telpon, ibunya merasa perlu mengirim pesan lagi. Terkesan memaksa, tapi kata-katanya sungguh halus penuh makna.

Ardha duduk di sofa yang membelakangi jendela kamarnya. Memandang ke jalan depan rumahnya yang terletak di pinggiran kota Sidney. Jalan tersebut terlihat lengang karena malam memang sudah cukup larut. Hanya sesekali terlihat mobil atau pejalan kaki yang lewat. Pikirannya kembali ke percakapan dengan ibunya. Mimpi apa dia, tiba-tiba ibunya membawa kabar kalau mantan majikan beliau meminta Ardha untuk menikahi putrinya.

Sebenarnya Ardha merasa ini lebih seperti sebuah lelucon. Tak masuk akal, *impossible*. Ia perlu waktu untuk mencernanya. Tak pernah ia bayangkan dirinya menikah dengan anak seorang pengusaha kelas kakap. Abdi Prasetyo, siapa yang tak kenal dia? Cengkraman bisnisnya dimana-mana, bahkan sampai mancanegara. Seharusnya Ardha merasakan sensasi dapat durian runtuh.

Puteri Pak Abdi, Mawar, sebenarnya bukanlah sosok asing bagi Ardha. Dia mengenalnya sejak kecil bahkan mereka sering bermain bersama waktu itu. Walaupun dengan semakin bertambahnya umur, keakraban itu semakin berkurang dan akhirnya mereka tak pernah berkomunikasi lagi selama hampir sepuluh tahun.

Ibu Ardha pernah bekerja sebagai juru masak di rumah keluarga Pak Abdi. Rumah mewah di pinggiran kota Bogor dengan hamparan kebun teh yang sangat luas serta peternakan yang lumayan besar. Ardha kecil pun biasa diajak ibunya ke sana karena memang tidak ada yang menjaganya di rumah.

Lalu, apa dia akan langsung menyanggupi permintaan itu? Mungkin, jika saja dia belum melamar seorang wanita. Ya, itu masalahnya. Kemarin dia sudah menyatakan lamarannya kepada Nadya seorang gadis imigran asal Rusia.

Nadya Fedorova, seorang diri ia merantau ke Sidney karena dipaksa menjauh dari keluarga besarnya. Mereka tak terima dengan keyakinan baru yang dipilihnya sejak beberapa tahun lalu. Ketegaran itulah yang membuat Ardha kagum dan memutuskan bahwa gadis itu calon yang tepat sebagai pendamping hidupnya.

Dan mengapa gadis itu memilih tinggal di Sidney? Ceritanya panjang. Tapi bagi Ardha yang juga anak perantauan, itu adalah cara Allah untuk mempertemukan mereka.

Nadya merupakan salah seorang karyawan administrasi di restoran yang kini dikelolanya. Sebuah restoran halal yang merupakan alternatif bagi penduduk maupun pengunjung kota Sidney untuk menikmati *western food*. Letaknya di area dekat pusat kota Sidney, tak terlalu jauh dari lingkungan perkantoran dan pertokoan. Memang bukan restoran mewah, tapi cukup ramai pengunjung terutama saat musim liburan.

Ardha sendiri merupakan salah satu pemilik restoran tersebut. Selain sebagai asisten manajer, ia juga merangkap chef kepala di sana dan membawahi 8 chef, beberapa pelayan, kasir, tenaga kebersihan dan administrasi.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ardha nyatanya punya bakat dan minat yang besar terhadap kompor seperti ibunya. Jadilah setelah lulus SMA, dia melanjutkan pendidikannya di salah satu sekolah kuliner terbaik di Australia.

Berapalah gaji ibunya sebagai juru masak rumahan hingga bisa menyekolahkan Ardha jauh melintas laut dan batas negara. Pun uang peninggalan almarhum ayahnya yang tak pernah sempat dia temui sejak lahir tidak cukup untuk sekedar biaya pendidikan SD nya.

Jadilah Pak Abdi yang berperan sebagai donatur penuh dari biaya pendidikannya. Tak heran ibunya begitu gigih membujuk Ardha untuk menerima permintaan beliau. Singkat kata, demi balas budi.

Lihatlah, rumah miliknya sekarang sangat lebih dari sekedar layak huni. Sungguh berbanding jauh dengan rumahnya saat kecil dulu. Mobil dan segala fasilitas yang kini dia nikmati adalah hasil dari usaha restorannya. Yang secara tidak langsung merupakan hasil dari kemurahan hati Pak Abdi.

Nafasnya berhembus kasar. Ardha benar-benar pusing dibuatnya. Sepertinya akan lebih baik kalau dia berbicara langsung dengan Pak Abdi agar jelas termasuk tentang Nadya.

Nadya... Ardha menyalakan kembali layar ponselnya. Maksud hati ingin memandang wajah calon isteri idaman yang tersimpan di situ, tapi apa daya yang muncul malah aplikasi pesan yang tadi belum ditutupnya. Alhasil, kata-kata menghantui dari ibunya terbaca lagi. Wajah Ardha kembali lesu. Akhirnya ponsel itu terlempar dan berakhir di dudukan sofa.

BAGIAN 2

"Tolong ke alamat ini pak", Ardha menyerahkan sebuah kertas kecil kepada sopir taksi di jok kemudi.

"Baik mas", ucap sopir itu tersenyum dan mengangguk kecil.

Ada rasa bahagia menyusup di hatinya tiap kembali ke tanah kelahirannya. Setiap melewati tempat-tempat familiar, memorinya otomatis mengulang kejadian lampau di tempat tersebut.

Sehari setelah menerima telepon ibunya, Ardha memutuskan untuk pulang. Dia harus membicarakan masalah pernikahan itu secara langsung kepada ibunya dan Pak Abdi.

Beberapa lama kemudian taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah rumah. Tak terlalu besar namun memiliki pekarangan yang luas dan asri. Setelah membayar dan mengambil kopernya di bagasi, Ardha mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya dengan langkah cepat menuju pintu rumah. Rumah dimana wanita terpenting dalam hidupnya tinggal. Rasa rindu membuatnya ingin segera bertemu ibunya, padahal baru dua bulan sejak terakhir ia pulang ke sini.

" Assalamualaikum... Bu.. ini Ardha Bu".

Setelah beberapa kali ketukan, pintu pun terbuka.

"Wa'alaikumussalam..", muncul seorang pria umur 40-an yang langsung disalami oleh Ardha.

"Ardha?" Ucapnya dengan senyuman lebar walaupun wajahnya terlihat sedikit kaget.

"Iya paman.." sahut Ardha balas tersenyum.

"Ayo masuk, ibu kamu ada di rumah belakang", sambung pamannya sambil menuntun tangan Ardha layaknya menuntun anak kecil. Padahal ukuran tubuhnya lah yg lebih kecil dari Ardha sehingga lebih tampak seperti anak kecil yang menyeret orang dewasa.

Pamannya, Hendra adalah adik satu-satunya Andini, ibu Ardha. Dulu dia dan istrinya tinggal di Lampung bersama ibunya, nenek Ardha. Sementara Andini dibawa suaminya merantau ke Bogor untuk bekerja. Setelah tiga tahun yang lalu nenek Ardha meninggal dunia, Andini mengajak adik dan keluarganya untuk tinggal bersamanya. Selain supaya ada teman di rumah, juga sekaligus untuk membantu merintis dan mengelola usaha kateringnya.

Memang setelah Ardha mulai sekolah ke Australia, Andini berhenti bekerja di rumah Pak Abdi karena ia harus pulang ke kampung mengurus ibunya yang sakit-sakitan. Merasa kasihan, Pak Abdi pun dengan terpaksa mengijinkan. Dan akhirnya dia harus susah payah mencari juru masak baru yang cocok dengan selera keluarganya.

Andini sempat meminta Ardha dipulangkan saja karena merasa tidak enak atas biaya pendidikan Ardha sementara ia tidak bekerja lagi di sana. Tetapi Pak Abdi bersikeras tetap membiayai Ardha sampai selesai. Berdalih sebagai ucapan terima kasih dan hitung-hitung sebagai gaji pensiun untuknya. Padahal uang pesangon yang dia beri pun sebenarnya sudah lebih dari cukup.

Dan di sinilah akhirnya dua kakak beradik asal Lampung itu berada. Menjalani hidup di tanah rantau setelah kepergian ibu mereka. Berbekal uang warisan peninggalan orang tua mereka ditambah pemberian dari Ardha, Andini memulai usaha katering yang sekarang lumayan sukses.

"Assalamualaikum..." Ucap Ardha begitu memasuki rumah belakang yang merupakan bangunan terpisah yang dikhususkan untuk urusan katering.

Andini menoleh ke asal suara yang sangat dikenalnya dan buru-buru menghampiri Ardha dengan senyum lebar selebar hijab yang dipakainya.

"Ardha...", ucapnya dengan ekspresi yang mungkin bila umurnya jauh lebih muda akan terlihat sangat imut. Jangan lupakan tangannya yang langsung memeluk dan bibirnya yang langsung mencium kedua pipi anaknya yang terlihat memerah. Ya, merah karena merasa malu atas perlakuan ibunya di hadapan karyawan katering, dan merah dalam artian sesungguhnya karena bekas lipstik. Apakah ibunya belum tahu kalau ada merek lipstik yang tidak menempel? Tentu tahu, tapi dia adalah tipe orang yang benar-benar setia. Bukan hanya kepada mendiang suaminya yang dibuktikannya dengan tidak menikah lagi, tetapi juga pada merek kosmetik jadulnya.

"Kenapa gak ngasih kabar sih.. kalau mau pulang hari ini?" protes sang ibu.

"He..he.. iya Bu", kekeh Ardha.

"Sekali-sekali biar jadi kejutan" Ardha mencoba mengantisipasi kalau-kalau kalimat protes ibunya bersambung.

"Ya sudah, kita ke rumah depan aja yuk. Ibu mau siapin makan dulu buat kamu sambil kita ngobrol", ucapnya sambil membereskan buku dan catatan keperluan kateringnya.

"Dinah, kamu ambil alih dulu ya. Kalau ada perlu sama saya, kamu susul aja ke rumah depan", titahnya bak komandan memerintah ajudan.

"Beres bu. Don't worry, be happy. Ibu boleh libur seharian, biar saya yang urus semua", ucap Dinah penuh percaya diri. Sementara puteranya yang masih balita berdiri di sampingnya, memandangi Dinah dengan binar kekaguman sambil mengunyah bolu cokelat. Ardha seperti melihat gambaran ibunya di masa lalu. Janda beranak satu yang berjuang untuk hidup yang lebih layak. Bedanya ibunya janda ditinggal mati, sementara Dinah janda karena cerai dengan mantan suami yang jauh dari kata tanggung jawab.

***********

"Jadi, kapan kamu mau ketemu Pak Abdi?", tanya Bu Andini sambil menambahkan nasi ke piring Ardha karena dia merasa nasi yang ditaruh Ardha terlalu sedikit. Bukan bermaksud memaksa, tapi itulah sifat dasar seorang ibu yang khawatir kalau anaknya kurang makan. Ibunya tidak tahu saja kalau tadi saat perjalanan menuju ke rumahnya, Ardha meminta sopir taksi untuk singgah sebentar di warung bakmi pedas favoritnya. Awalnya si sopir ragu, tapi setelah Ardha mengatakan ada ongkos tambahan dan si sopir juga ditraktir, akhirnya kata sepakat pun didapat.

Apakah Ardha akan memberitahu ibunya kalau dia masih kenyang sebab sudah makan? No..way.. kecuali dia bersedia mendengar ceramah panjang kali lebar dari sang ibu sebab makanan pedas yang tadi dikonsumsinya. Akhirnya Ardha cuma bisa pasrah..

BAGIAN 3

"Kalau bisa sih sore ini habis Ashar Bu, biar nanti pulangnya gak kemalaman", jawab Ardha kemudian menyuap nasi dan lauk dengan perlahan.

"Mau paman antar? Sekalian nanti sore paman mau ngantar pesanan katering, habis itu kita bisa langsung ke rumah Pak Abdi", tawar Hendra.

"Makasih paman, Ardha berangkat sendiri saja. Takutnya kalau nanti kelamaan, kasian Bi Retno nungguin paman pulang", tolak Ardha halus.

"Ardha pinjam motornya paman aja kalau boleh, biar bisa cepat", sambung Ardha.

"Kasih aja mas.. Mungkin dia sekalian mau ngajak calon isterinya jalan-jalan pake motor. Biar romantis. Ya kan?" Tiba-tiba Retno yang baru datang menjemput anaknya pulang sekolah menimpali dengan senyum usil.

"Eh, bibi.. Assalamualaikum bi..", ucap Ardha bangkit dari duduknya kemudian mencium tangan Retno dan mengajak tos Syamil sepupunya yang masih SMP.

"Wa'alaikumussalam.." jawab Retno sedikit kesal karena merasa Ardha secara tidak langsung menegur dirinya yang seolah lupa mengucapkan salam. Padahal mereka bertiga saja yang tidak mendengar karena asyik mengobrol. Retno kemudian mencium tangan suami dan kakak iparnya diikuti oleh Syamil. Setelah itu duduk di sofa dekat ruang makan dimana suaminya sudah duduk lebih dulu.

"Mana berani dia dek. Orang dia sama Mawar sudah lama gak ketemu. Anakku ini memang gantengnya nomor satu, tapi pemalunya juga nomor satu", Andini menyindir anaknya halus.

Ardha mendelik malas ke arah ibunya yang malah dibalas Andini dengan kekehan.

**************

"Bu.. ini Ardha belum buat keputusan ya? Jadi ibu jangan mikir yang iya-iya dulu", Ardha memulai pembicaraan dengan ibunya.

Ibunya melihat ke arah Ardha dengan tatapan datar sambil melipat mukena dan sajadahnya. Setelah pulang dari sholat Ashar, Ardha memutuskan untuk bicara serius dengan ibunya. Dan di sinilah dia sekarang, duduk bersila di lantai kamar di samping Andini yang juga baru selesai sholat.

Selama beberapa saat keduanya hanya diam. Kemudian Andini berpaling menghadap Ardha dan menggenggam kedua tangan anak semata wayangnya.

"Ibu paham, ini bukan perkara mudah bagi kamu nak", ucap Andini.

"Menikah dengan seseorang tanpa cinta itu memang sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin berhasil. Contoh paman sama bibimu, mereka nikahnya dulu juga dijodohin. Awalnya memang agak sungkan. Tapi gak lama, eh... malah lengket gak ketulungan kaya lem Korea", ujar Andini hiperbola.

Ardha cuma tersenyum mendengar cerita ibunya.

"Iya Bu, Ardha bukan bermaksud pesimis dengan rencana pernikahan ini, tapi ada yang membuat Ardha tidak bisa langsung menyetujuinya", jawab Ardha pelan.

"Apa yang membuat kamu merasa berat nak, apa karena Mawar anak orang kaya? Dan kamu anak ibu yang cuma punya usaha katering, begitu?", Andini pun mulai mengeluarkan kalimat melankolis ala sinetron kejar tayang tontonannya.

Kalau sudah begitu, Ardha cuma bisa diam. Dia lalu mengeluarkan ponselnya, menggeser-geser layarnya kemudian menyerahkannya pada Andini.

"Namanya Nadya, salah satu karyawan di restoran Ardha. Kami memang tidak pernah memiliki hubungan khusus Bu. Tapi selama tiga tahun lebih mengenalnya, Ardha merasa kalau dia sesuai dengan kriteria seorang isteri yang Ardha harapkan", terang Ardha yang ditanggapi Andini dengan wajah yang tampak sedikit terkejut.

Andini hanya diam memandangi foto di layar ponsel itu. Seorang wanita berhijab hijau tua, kontras dengan kulit wajahnya yang terlihat pucat khas orang eropa. Mata birunya juga menegaskan hal itu.

"Dia dari Rusia Bu, nasib membawa kami ke Australia dan akhirnya bertemu", tambah Ardha masih dengan suara rendah.

"Sehari sebelum ibu menyampaikan pesan Pak Abdi, Ardha sudah menyampaikan maksud untuk melamar Nadya. Dia meminta waktu satu minggu sebelum menjawab", Ardha menunduk, dia merasa tidak enak dengan cerita yang dia sampaikan ke ibunya.

"Berarti belum tentu dia menerima kamu kan? Kalau memang dia bersedia harusnya tidak perlu waktu lama untuk menjawab", Andini merasa masih ada harapan.

Ardha mengalah tak balas menimpali argumen ibunya. Meskipun dia tahu persis bahwa Nadya memang mengharapkan hal yang sama, seperti yang pernah disampaikan salah satu pelayan restorannya. Nadya bermaksud curhat kepada seseorang yang dipercaya bisa menyimpan rahasia hatinya. Tapi apa daya, ternyata dia memberikannya kepada orang yang salah. Ardha bahkan bingung harus bagaimana dengan pelayan itu, memecatnya karena khawatir kalau-kalau dia juga tidak amanah urusan restoran, atau berterima kasih dengan menaikkan gajinya atas apa yang disampaikannya.

"Bu, Ardha tidak bermaksud langsung menolak permintaan Pak Abdi. Itulah mengapa Ardha perlu bicara dulu dengan beliau mengenai kondisi yang Ardha hadapi. Juga menanyakan alasan beliau meminta Ardha untuk menikah dengan Mawar.

Ardha khawatir kalau-kalau rencana pernikahan ini sebenarnya juga tidak diinginkan oleh Mawar, dan itu akan membuatnya menjadi tambah sulit Bu", jelas Ardha sungguh-sungguh.

Andini hanya menghela nafas berat. Walau bagaimana pun yang dikatakan Ardha ada benarnya. Menerima permintaan Pak Abdi tanpa kejelasan tidak akan mempermudah rencana pernikahan ini. Andini yang memang dibutakan perasaan utang budi yang teramat besar kepada Pak Abdi sedikit banyak terkesan memaksa Ardha untuk mengiyakan. Sampai-sampai dia lupa kalau selain Ardha, perasaan dan pendapat Mawar juga harus jelas agar nantinya tidak timbul masalah serius saat semuanya sudah terlanjur terjadi.

"Baiklah, ibu paham maksud kamu nak. Segera temui Pak Abdi untuk membicarakan apa yang ingin kamu sampaikan. Lagipula beliau memang berharap secepatnya mendapat keputusan dari kamu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi kamu", ucap Andini sambil tersenyum. Nada suaranya kembali tenang pertanda hatinya mulai melunak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!