"Cepetan dong jalannya, Lelet banget sih!" sentak Valerie sambil mendorong tubuh ringkik Helena.
Helena mengangguk dan segera mempercepat langkahnya.
"Heh cupu, habis ini Lo simpen tas kita ke kelas! jangan lupa Lo harus simpen rapih di tempatnya tanpa ada lecet sedikitpun, ngerti!" titah Wilona sambil menyodorkan tas miliknya juga tas milik Valerie dan Gita.
Setiap bertemu geng Black Angel Helena selalu di suruh membawakan tas milik mereka ke kelas yang kebetulan kelas yang sama dengannya. Helena tak bisa menolak permintaan Valerie karena dia adalah penguasa di sekolah.
"Ngapain masih bengong sih! Sana pergi!"
Valerie kembali mendorong tubuh Helena hingga gadis itu hampir saja jatuh di atas lantai. Namun, untung saja Helena bisa menahan berat tubuhnya yang tak terlalu gemuk. Setelah menyeimbangkan tubuhnya Helena segera berlari menuju kelasnya yang berada di lantai tiga. Namun, saat di lantai dua di koridor, Helena melihat Jeyra masuk ke dalam gudang sendirian sambil celingukan. Itu sangat mencurigakan! Helena penasaran dengan apa yang ingin di lakukan Jeyra di dalam gudang. Namun, dia kembali melihat tas Black Angel yang ada di genggamannya, tak ingin mendapat masalah dari tiga orang itu akhirnya Helena melanjutkan langkahnya menuju kelas.
"Ngapain Lo panggil gue ke sini? Cepet bilang karena Gue nggak punya banyak waktu buat ladenin Lo!" tanya Jeyra tanpa basa-basi pada pemuda yang ada di hadapannya.
Gevan menoleh lalu membuang puntung rokok yang baru saja dia hisap sambil menyemburkan asapnya pada Jeyra hingga gadis itu terbatuk-batuk.
"Lo udah gila ya anj*ng!" sentak Jeyra yang kemudian memundurkan tubuhnya hingga menjauh dari pemuda itu.
Gevan mendekat sambil menatap Jeyra dengan tatapan tajam, "Lo tahu kenapa gue panggil Lo ke sini! Gue akan kasih uang buat Lo, nominalnya juga nggak sedikit! Lima ratus juta dan Lo harus gug*rin ka*dungan Lo secepatnya!"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di wajah tampan Gevan. Baru saja pemuda itu memberikan penawaran pada Jeyra agar dia mau menggu*urkan k*ndungannya.
"Brengsek! Setelah apa yang udah Lo lakuin sama Gue, dengan seenaknya Lo nyuruh Gue buat g*gurin k*ndungan ini!" sentak Jeyra sambil menyeringai.
"Shit! Kenapa? Bukannya Lo juga nggak mau bay* itu ada? Terus salah gue di mana! Gue cuman kasih Lo keringanan karena jangan harap setelah ini gue mau kasihani Lo lagi ya!"
Jeyra terdiam sambil tersenyum remeh saat mendengar pertanyaan Gevan. Apa yang pemuda itu katakan memang benar, untuk apa Jeyra marah jika dia juga tak menginginkan b*yi itu. Bukannya Jeyra juga ingin men*gugurkan kandungannya bahkan tanpa di minta Gevan sekalipun. Namun, apa yang sebenarnya terjadi pada Jeyra? Apa mungkin Jeyra berharap sesuatu yang lebih dari Gevan?
"Simpen uang Lo karena gue nggak butuh! Masalah anak ini biar gue yang urus!" ucap Jeyra sambil berbalik hendak meninggalkan Gevan.
Entah mengapa hati Jeyra saat ini terasa sangat sakit dan sedih setelah mendengar ucapan Gevan. Perasaannya hancur berkeping-keping saat Gevan juga tak menginginkan benih ini, tapi di mana salahnya?
"Bagus kalo Lo mau urus itu sendiri! Karena gue juga nggak yakin kalo anak itu adalah anak gue! Gue cuman mau pastiin aja kalo Lo nggak akan bocorin hal ini sama siapapun, karena kalo sampe itu terjadi maka gue akan pastiin hidup Lo nggak akan pernah tenang!"
Ucapan Gevan barusan seperti tamparan keras untuk Jeyra, apa sekotor itu dia di mata Gevan? Padahal sudah jelas dialah yang sudah merenggut kesu*ian Jeyra hingga menghasilkan benih di dalam perutnya. Namun, apa tadi yang pemuda itu katakan? Tidak yakin jika ini adalah anaknya? Sungguh brengsek seorang Gevan ini! Setelah dia berhasil menghancurkan hidup Jeyra, kini dia menyangkal dan tak mau mengakui jika dialah penyebab kehancuran hidup Jeyra hingga dia harus hamil di usianya yang masih belia.
Jeyra menyeringai sambil membalikkan tubuhnya menatap wajah Gevan yang terlihat sangat menjijikan. Tadinya Jeyra memang tak ingin mempermasalahkan ini dengan siapapun apalagi jika ada orang yang tahu jika dia sudah tak suci lagi. Namun, perkataan Gevan sudah membuatnya tersinggung. Maka sekarang Gevan harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah dia mulai.
"Sebenarnya kesialan apa yang udah menimpa gue sampe gue harus ngalamin hal buruk ini sama Lo! Seandainya bukan Lo orang yang udah regut kehormatan Gue, mungkin gue nggak akan hancur seperti ini! Tapi Gevan, ucapan Lo barusan terdengar menantang buat gue. Oke kalo gitu, Lo takut gue berulah dan menghancurkan nama baik Lo padahal Lo cuman sampah yang berpura-pura lugu di balik nama belakang Lo itu! Kita liat Gevan sang penguasa, apa yang bisa Lo lakuin kalo nama Lo bener-bener hancur di mata orang-orang sampai keluarga Lo ikut malu karena perbuatan Lo ini!" tunjuk Jeyra tepat di hadapan wajah Gevan sambil menatapnya dengan tatapan tajam.
"Maksud Lo apa ngomong gitu?"
Jeyra kembali tersenyum sinis, "Pecundang seperti Lo memang harus di kasih pelajaran! Kita liat siapa yang akan menang di antara kita! Coba hentikan kegilaan gue kalo Lo bisa! karena kehancuran Lo akan segera di mulai, Gevan Willson Junior!"
Ucapan Jeyra terdengar sangat mengerikan, wajahnya yang semula sendu tiba-tiba saja berubah dingin, tajam mematikan. Jantung Gevan tak bisa terkontrol setelah melihat perbedaan Jeyra. Entah apa yang akan gadis itu lakukan pada Gevan.
"Heh, tunggu! Maksud Lo apa? Lo mau ngapain anji*g!"
Gevan menarik kasar lengan Jeyra hingga gadis itu meringis kesakitan. Tapi sebisa mungkin Jeyra tak menunjukkan wajah lemah di hadapan Gevan. Justru Jeyra semakin mengembangkan senyumnya.
"Lo penasaran sama apa yang mau gue lakuin? Kalo gitu ikutin gue dan lihat apa yang akan gue lakuin sama Lo!"
Jeyra segera menepis lengan Gevan dengan kasar hingga akhirnya lengan kokoh Gevan berhasil terlepas dan Jeyra segera pergi meninggalkan Gevan sendirian di dalam gudang.
"Brengsek! Apa yang mau cewek gila itu lakuin?"
Gevan mengacak-acak rambutnya dengan kasar sambil menendang meja di hadapannya dengan brutal.
Jeyra yang baru saja keluar dari dalam gudang dengan nafas yang masih memburu serta amarah yang belum mereda, tidak sengaja dia bertabrakan dengan Ravendra, sahabat dekat Gevan yang juga anggota geng Black Devil.
Brak!
"Ah, ya ampun, sorry .. sorry!"
Refleks Ravendra segera memegang bahu Jeyra untuk memastikan jika dia baik-baik saja. Tapi dengan cepat Jeyra menghindar.
"Nggak apa-apa! Gue yang salah jalan nggak lihat-lihat!" ucap Jeyra.
Ravendra menghela nafasnya sambil menatap Jeyra yang sedang memegang pergelangan tangannya yang terlihat memar. "Jey, tangan Lo kenapa? Kok memar?" tanya Ravendra dengan wajah khawatir.
Jeyra segera menggelengkan kepalanya, "Nggak apa-apa, cuman luka dikit!"
"Tapi Lo abis ngapain dari dalem gudang?" Ravendra tak bisa menahan rasa penasarannya. Dia selalu seperti itu, ingin tahu apa saja yang di lakukan Jeyra.
"Nggak abis ngapa-ngapain kok! Sorry Raven gue duluan!"
Tak mau basa basi lagi Jeyra pun segera pergi dari tempat itu sebelum Gevan keluar dan membuatnya semakin dalam kesulitan. Mungkin selama ini Jeyra terlalu lemah karena tak pernah membalas perbuatan teman-temannya yang selalu merendahkan dirinya. Namun, kali ini dia tak mau diam lagi, sudah cukup masa depannya hancur oleh Gevan dan semua itu karena Valerie. Seandainya malam itu dia menolak untuk mengantarkan minuman pesanan Valerie, mungkin saja semua itu tak akan terjadi padanya. Mungkin saat ini Jeyra tak akan mengandung anak Gevan dan masa depannya akan terselamatkan.
"Sial! Kenapa harus cowok brengsek itu sih yang jadi ayah anak ini! Kenapa bukan yang lain! Bodoh .. gue bener-bener bodoh!"
Jeyra menangis di sudut koridor yang nampak sepi tak ada siapapun karena ini masih jam pelajaran. Sengaja Jeyra menemui Gevan di gudang tadi atas permintaan Gevan saat Jeyra masuk ke kelas, Gevan menyelipkan sebuah kertas yang berisi pesan jika dia menunggu Jeyra di dalam gudang.
"Gue nggak bisa diem aja, cewek itu nggak boleh bocorin berita ini!"
Bel sudah berbunyi, waktu istirahat sudah tiba. Jeyra masih sibuk mengemasi buku-bukunya yang ada di atas meja lalu memasukkannya ke dalam tas. Dari kejauhan Gevan yang berada di bangku kedua kini sedang menatap tajam wanita di depannya tanpa berkedip. Bukan tanpa alasan Gevan terus menatap Jeyra, dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Jeyra sebenarnya karena Gevan penasaran dengan ucapan Jeyra tadi.
"Woy, ngelamun aja! ke kantin yuk? Laper nih gue!"
Angkasa menepuk bahu Gevan hingga pemuda itu sadar dari lamunannya.
Gevan menghela nafasnya, "Gue nggak laper! kalian duluan aja ke kantin, nanti gue nyusul!" sahut Gevan acuh.
Angkasa, Leon dan Ravendra mengerutkan keningnya mendengar ucapan Gevan. Sejak kapan manusia ini betah ada di dalam kelas? Bukannya dia yang paling sibuk jika bel istirahat sudah berbunyi yang segera ke kantin untuk menggoda beberapa siswi cantik yang ada di sana. Tapi apa yang terjadi pada Gevan?
"Lo kenapa Van? Sehat kan Lo? Tumben betah di kelas!" cibir Leon.
Gevan hanya terdiam tanpa menggubris ucapan sahabatnya, dia berpura-pura fokus pada ponsel pintarnya padahal sebenarnya pikirannya sedang tertuju pada Jeyra dan janin yang ada di dalam perutnya. Sebenarnya Gevan sangat khawatir jika Jeyra tak mau mengg*gurkan kandungnya, karena bisa saja Gevan akan dapat masalah besar jika itu benar-benar terjadi. Apalagi jika sampai kedua orang tuanya tahu, bisa habis Gevan di rujak oleh ayahnya sendiri.
"Kalo Gevan nggak mau ke kantin biarin aja sih, kita duluan ke kantin! Gue haus!" ucap Ravendra salah satu anggota Black Devil terkeren dan terdingin nomor dua setelah Gevan.
"Lo yakin bro nggak ke kantin?"
Untuk yang ke dua kalinya Angkasa bertanya pada Gevan. Namun, pemuda itu masih terdiam menatap nyalang ke arah depan sambil menggelengkan kepalanya.
Setelah puas mendengar jawaban dari Gevan, Angkasa dan dua anggota Black Devil lainnya akhirnya pergi menuju kantin meninggalkan Gevan yang terlihat aneh hari ini.
Saat Ravendra berjalan melewati kursi Jeyra, tak bisa menyangkal jika pemuda itu memiliki ketertarikan pada gadis dingin itu. Ravendra sekilas menatap wajah pucat Jeyra sambil menyunggingkan seulas senyuman walaupun Jeyra tak merespon sama sekali. Namun, selama ini Ravendra tak pernah mengungkapkan perasaannya karena dia memiliki Trauma di masa lalu yang membuatnya tak berani mendekati wanita lagi.
"Jey, kita ke kantin jajan bakso Mpok Imin yuk, udah lama nih gue nggak jajan bakso!" ajak Aleana sahabat dekat Jeyra.
Mendengar ajakan Aleana, entah mengapa membayangkan bakso yang belum ada saja membuat perutnya terasa mual parah. Padahal selama ini Jeyra begitu menyukai bakso karena itu makanan favoritnya.
"Mmm."
Wajah Jeyra langsung memucat karena menahan mual yang semakin menjadi-jadi.
"Lo kenapa Jey? Kenapa wajah Lo pucat banget?" Tak mau ketahuan oleh Aleana atau siapapun, Jeyra memutuskan untuk pergi ke toilet.
"Sorry Lea, kayaknya gue perlu ke toilet deh! Lo duluan ke kantin aja nanti gue nyusul!"
Jeyra segera berlari kearah toilet sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan karena merasa mual.
Aleana mengerutkan keningnya sambil menghela nafas, "Ada apa sama Jeyra, kenapa belakangan ini tingkahnya makin aneh sih!" gumam Aleana sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Melihat Jeyra yang semakin pucat dan sering merasa mual hingga terus bolak-balik ke kamar mandi membuat Gevan semakin gusar bahkan tak bisa tenang lagi. Dia takut jika terus seperti ini Jeyra bisa saja ketahuan sedang h*mil dan semua orang tahu jika Gevan sudah mengh*milinya. Jika itu semua terjadi bagaimana nasibnya nanti.
"Gue nggak bisa biarin cewek sialan itu hancurin hidup gue! Kalo cara alus nggak bisa bikin cewek itu nurut, terpaksa gue harus pake cara kasar!" gumam Gevan sambil menggebrak meja.
Sontak Aleana yang masih bengong merasa terkejut dan segera pergi menuju kantin menunggu Jeyra sambil makan bakso kesukaannya.
Sementara itu, Gevan juga ikut keluar pergi menuju toilet mengikuti Jeyra hingga masuk ke dalam toilet.
Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, tidak lupa Gevan memberi label kamar mandi yang bertuliskan 'rusak' sengaja agar tidak ada orang yang masuk ke dalam kamar mandi.
"Sampai kapan gue terus kaya gini?" gumam Jeyra yang masih bersimpuh lemas di depan closed sambil meneteskan air mata.
"Ikutin saran gue buat gugur*n kandungan itu dan Lo nggak akan menderita lagi!"
Sontak Jeyra terkejut mendengar suara Gevan yang saat ini ada di depan pintu kamar mandi.
"Shit, udah gila apa yah tuh cowok! Ngapain sampe masuk ke kamar mandi sih? Kalo ada yang liat sama denger gimana! Berengsek emang tuh cowok!" gerutu Jeyra yang kemudian bangkit lalu segera keluar dengan wajah cemas.
Jeyra menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan di luar aman tidak ada siapapun.
"Aman! Lo pikir gue sebodoh itu masuk ke sini gitu aja?"
Jeyra menghelas nafasnya, "Lo emang bodoh! Lagian ngapain juga Lo masuk ke kamar mandi cewek? Kalo ada yang masuk gimana?"
"Nggak akan ada yang masuk! Gue udah pasang tulisan rusak sama gue kunci nih kamar mandi! Jadi nggak akan ada yang tahu, ngerti!" sentak Gevan.
"Terus alasan Lo masuk ke kamar mandi ngikutin gue ngapain? Bukannya pembahasan gue udah jelas yah tadi pagi?"
Gevan segera merogoh sakunya lalu mengeluarkan bungkusan kecil yang berisi beberapa butir obat di dalamnya yang di duga obat ilegal yang sengaja dia beli untuk Jeyra.
"Minum ini! Obat itu mahal dan nggak akan ada efek samping. Sakit sedikit nggak ngaruh kan buat Lo!" ucap Gevan sambil menyodorkan obat yang dia pegang.
Jeyra menyeringai tak percaya, "Seharusnya gue tuntut Lo karena Lo udah hancurin masa depan gue Gevan! Kenapa Lo percaya diri banget gue bakal gugu*in janin ini?" tanya Jeyra sambil melipat kedua tangannya.
Gevan mendekat sambil mengepalkan tangannya, entah harus bagaimana lagi bicara pada gadis keras kepala ini. Gevan pikir bisa saja ini taktik gadis licik ini supaya Gevan mau bertanggung jawab dan merusak masa depannya atau memanfaatkan kekayaannya karena cewek ini miskin dan ingin menumpang hidup enak darinya. Tidak! Sebelum itu semua terjadi, Gevan sudah lebih dulu memiliki ide untuk mengurus wanita sialan ini.
"Cih! nggak akan pernah Gue biarin dia manfaatin Gue!" gumam pemuda itu dengan rahang mengeras. Perlahan-lahan Gevan maju mendekati Jeyra dengan tatapan membunuh. Melihat hal itu sontak Jeyra ketakutan setengah mati, karena Jeyra tahu seperti apa pemuda di hadapannya ini.
"Lo mau apa, Gevan? Mundur atau gue teriak!"
"Coba aja kalo Lo berani! Lo teriak sama aja Lo akuin apa yang udah terjadi di antara kita dan akhirnya semua orang tahu kalo saat ini Lo lagi ham*l!" gertak Gevan. "Simple buat gue kalo cuman urus cewek murahan kek Lo! Karena nggak akan ada yang percaya kalo itu adalah anak gue! Secara mereka semua tahu selera gue bukan cewek kayak Lo. Jadi ambil tawaran gue sekalian obat yang gue kasih! Secepatnya Lo urus atau Lo akan menyesal!" ancamnya lagi sambil menekan Jeyra kedinding.
Jeyra kembali menyeringai sambil menahan sakit karena saat ini Gevan sedang mencekik lehernya.
"Gue bukan selera Lo tapi Lo tetep ambil kehormatan gue secara paksa di saat gue nggak berdaya! Cih, Fuck you!" Jeyra meludah tepat di hadapan Gevan.
Gevan semakin mengeratkan cengkeramannya sambil menceki* leher Jeyra dengan kuat.
"Lo fikir gue nggak bisa lakuin apapun sama Lo hah! Lo tahu siapa gue, gue Gevan dan gue nggak takut apapun! Bahkan gue bisa lenyapin Lo dengan gampang sekarang juga!"
"Lo bukan manusia, Gevan!"
Gevan menyeringai, "Apa Lo baru sadar kalo Gue nggak pernah main-main sama ucapan, Gue?" ucap Gevan sambil menatap Jeyra dengan tatapan menakutkan.
Jeyra sudah tak tahan lagi menahan cekikan Gevan yang semakin kuat menekan lehernya. Apa mungkin takdir Jeyra akan sama dengan takdir sahabatnya yang lenyap tiga tahun lalu karena ulah orang yang sama?
Brak!
Tiba-tiba saja seseorang mendobrak pintu kamar mandi dengan kencang hingga kamar mandi akhirnya terbuka.
"Van, Lo apa-apaan, gila!" Pemuda yang baru masuk ke dalam kamar mandi segera menarik lengan Gevan yang masih menempel di leher Jeyra.
"Lo mau bunuh orang, brengsek!"
Gevan tersungkur dengan wajah pucat, hampir saja dia kehilangan kendali.
"Jey sadar! Lo nggak apa-apa kan?"
Sayup-sayup Jeyra mendengar suara seseorang sampai akhirnya dia pingsan tak sadarkan diri.
Ruangan untuk kesehatan (UKS)
Satu jam sudah berlalu dan akhirnya Jeyra kembali sadar.
Perlahan-lahan Jeyra membuka matanya. "Dimana ini?"
Penjaga UKS tersenyum sambil menepuk bahu Jeyra.
"Tadi kamu pingsan di dalam toilet. Beruntung teman sekelas kamu cepat bawa kamu ke sini!"
Jeyra mengerutkan keningnya, teman sekelas siapa? Bukankah tadi hanya ada Gevan yang sedang mencekiknya dan nyaris kehilangan nyawa karena pemuda brutal itu. Namun, jika diingat kembali sebelum Jeyra tadi pingsan dia mendengar seseorang memanggil namanya, tapi siapa?
"Kalo boleh tahu siapa yang sudah bawa saya kesini?" tanya Jeyra.
Tiba-tiba seseorang masuk sambil tersenyum pada Jeyra. "Gue, Gue yang bawa Lo ke sini! Syukurlah kalo Lo udah siuman!"
Senyuman manis yang di pancarkan pemuda dihadapannya seakan menyihir kesedihan dan kesakitan yang tadi Jeyra rasakan. Melihat Ravendra tersenyum bagaikan seorang pangeran di dalam cerita dongeng, membuat jantung Jeyra berdegup dengan kencang. Namun, sedetik kemudian Jeyra segera menepis pikirannya dan kembali berfokus pada lehernya yang masih terasa nyeri.
"Oh ternyata Lo! Thank's ya Raven karena tadi Lo udah tolongin Gue!" ucap Jeyra.
Ravendra mengangguk, "Sama-sama," ucapnya singkat.
"Tapi kenapa tadi Lo bisa ada di sana? apa kalian tahu kalo Gevan ada di toilet tadi?" tanya Jeyra ragu-ragu.
Ravendra menghela nafasnya, "Harusnya gue yang tanya, kenapa Lo bisa dicekik Gevan? apa kalian ada masalah?" tanya Ravendra yang sudah penasaran sejak tadi.
Jeyra menelan ludahnya dengan kasar lalu menunduk tanpa menjawab pertanyaan dari Ravendra.
Melihat itu Ravendra mengerti, mungkin saja Jeyra masih trauma dan tak ingin mengingat kejadian tadi.
"Gue nggak sengaja liat Gevan masuk ke kamar mandi cewek saat gue mau ke toilet juga. Gue kira dia cuman mau main-main sama cewek cewek centil, tapi pas gue mau balik gue denger suara ribut dan suara Lo minta tolong!" jelas Ravendra dengan wajah sendu.
Jeyra mengulas senyuman di bibirnya.
"Gue hutang nyawa sama Lo, Ravendra. Seandainya Lo nggak datang tepat waktu tadi, mungkin gue udah nggak ada!"
Refleks Ravendra menutup mulut Jeyra dengan telapak tangannya.
"Jangan ngomong gitu, Jey!"
Jeyra melotot tajam saat tangan kekar Ravendra menyentuh bibirnya. Gadis itu kembali terpana dengan jantung yang kini berdegup kencang.
"Lo apa-apaan sih!"
Jeyra segera menepis lengan Ravendra dengan kasar setelah perasaannya kacau.
"Ah, sorry! Gue nggak mau Lo ngomong kayak tadi, sekarang Lo mendingan istirahat aja gih!" titah Ravendra sambil memegang bahu Jeyra dengan lembut.
"shit! sorry sorry, Gue nggak maksud nyentuh Lo lagi, Jey!" ucap Ravendra yang langsung melepaskan sentuhannya dari baru Jeyra.
Kali ini Jeyra memaafkan tingkah Ravendra karena hari ini dia sudah menyelamatkan nyawanya. Namun, jika terulang lagi Ravendra fisikal touching padanya, mungkin Jeyra tidak akan memaafkan Ravendra apapun alasannya.
"Hm, nggak apa-apa kok!"
Jeyra menundukkan wajahnya karena merasa malu dan bingung harus berkata apa lagi.
Kini kecanggungan terjadi di antara Jeyra dan Ravendra. Namun, beruntung dokter jaga segera membuyarkan suasana tegang di dalam ruangan itu.
Dokter mendeham, "Hmm."
"Oh iya, Dok. Kenapa?" tanya Ravendra salah tingkah.
"Maaf Ravendra, apa bisa tinggalkan kami berdua dulu? Ada yang harus saya tanyakan kepada Jeyra."
Ravendra melirik ke arah Jeyra, lalu segera mengangguk.
"Iya, Dok!"
"Terima kasih banyak Raven!"
"Gue keluar dulu, kalo ada apa-apa Lo bisa panggil gue ya. Jangan ragu!" ucap Ravendra.
Jeyra hanya mengangguk pelan.
Ravendra lalu keluar dari ruang UKS dengan perasaan berat. Entah mengapa saat ini Ravendra merasa sangat khawatir pada Jeyra setelah tadi dia menyaksikan Gevan mencekiknya dengan begitu brutal. Namun, apa yang membuat Gevan marah pada Jeyra hingga nyaris membuatnya kehilangan nyawa? Apa mungkin ada yang Gevan rahasiakan dari anggota Black Devil?
"Apa Gevan dan Jeyra punya rahasia?"
Ravendra segera bangkit lalu berjalan cepat menuju ruangan khusus anggota Black Devil untuk mencari Gevan serta mendengar alasan Gevan tadi mengapa dia berbuat kasar pada Jeyra.
**_RED ROOM_**
Brak!
"Sial! Buat apa Ravendra dateng ke sana segala sih! Semua rencana gue gagal gara-gara dia!" gerutu Gevan sambil menendang benda yang ada di hadapannya.
"Lo yang ngapain Van? Lo hampir aja bikin nyawa orang lain lewat! Lo udah nggak waras apa?" sentak Leon yang merasa kesal dengan sikap sahabatnya itu.
"Leon bener, sebenarnya apa yang tadi Lo lakuin sama Jeyra? Kesalahan apa yang buat Lo nyakitin dia sampe hampir bikin nyawanya bahaya kalo aja Ravendra nggak cepet dobrak pintu toilet itu!" timpal Angkasa yang juga ikut kesal dengan tingkah sahabatnya yang sudah melebihi batas.
"Sial .. Sial!"
Bukannya menjawab Gevan malah semakin meradang sambil mengacak-acak rambutnya dengan kasar.
"Ada apa sih Van sebenarnya?" Leon masih penasaran.
"Bener! Sebenarnya apa yang terjadi sama Lo dan Jeyra? Apa ada hal yang kita nggak tahu di sini, Van?"
Ravendra tiba di dalam ruangan dan langsung menanyai Gevan yang terlihat masih kesal dan gusar.
"Bacot! Ini semua gara-gara Lo anjing!"
Bukannya menjawab pertanyaan teman-temannya, justru Gevan semakin meradang.
"Stop! Stop Gevan! Just tell me apa yang sebenarnya terjadi bro! Kita temen dan kita bisa bantu masalah Lo oke!" Leon mencoba menenangkan Gevan yang semakin tak bisa terkontrol. Hampir seluruh barang yang ada di ruangan red door hancur gara-gara Gevan mengamuk.
"Cewek sialan itu hamil anak gue!"
Ravendra, Leon dan Angkasa sangat terkejut mendengar pengakuan Gevan.
"Lo udah gila ya, Van! apa yang Lo omongin barusan? jangan becanda deh!" sahut Angkasa panik.
"Bangsat!"
Ravendra menghampiri Gevan sambil mengangkat kerah bajunya karena emosi.
"Maksud Lo apa, bangsat? apa yang udah Lo lakuin ke Jeyra?" tekan Ravendra dengan kuat.
Gevan menyeringai, "Kenapa Lo marah? apa Lo suka sama cewek sialan itu?"
Bugh!
"Jeyra bukan cewek yang seperti Lo pikirkan!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!